18
Kutatap mata Daud dengan intens. Ya, aku tahu bahwa latar belakangnya mungkin tidak mudah untuk diterima oleh keluargaku. Karena tahu bagaimana standar menantu bagi papa dan mama. Tapi aku yakin bahwa ia adalah pria yang baik. Teringat bagaimana tadi, untuk memegang tanganku saja meminta ijin erlebih dahulu. Meski aku juga tahu ia memiliki banyak kekurangan. Tapi akupun bukan makhluk sempurna.
"Kita jalani saja dulu." Jawabku. Rasanya terlalu jauh kalau berpikir tentang orangtuaku. Meski sebenarnya aku juga ingin agar ini menjadi hubungan terakhir sebelum memasuki jenjang pernikahan.
"Aku pamit dulu, besok sebelum pulang ke Jakarta, aku akan mampir kemari.
Kulepas Daud malam ini setelah kami berbincang lama. Ia mengecup keningku lembut. Membuatku benar-benar tidak bisa tidur.
***
Keesokan harinya aku bangun kesiangan. Pagi hari saat membuka ponsel ada pesan dari Daud.
[Selamat pagi cantik, dari kami yang sedang mandi pagi. Nanti siang aku mampir ya. Mungkin sampai malam, karena akan kembali ke Jakarta.]
Kulihat ia dan kedua keponakannya sudah berada di dalam bath up Dan say hai ke kamera. Senang melihatnya begitu menyayangi anak-anak. Aku lantas bangun dan segera mandi. Karyawan masih libur, sementara kedua orangtuaku berada di Solo. Jadilah tempat ini sangat sempurna untuk menjadi persembunyian sementara. Kubenahi seisi rumah dan menambah beberapa bunga segar di ruang tamu. Kemudian menuju dapur. Sudah tidak ada apapun di kulkas. Akhirnya kutitip belanja dapur pada karyawan di belakang rumah.
Kuputuskan memasak soto betawi. Sebelum makan siang semua selesai. Saat tengah berbaring kudengar suara mobil, dari balik jendela terlihat Daud sudah datang.
"Kok cepat?"
"Kangen sama kamu." Jawabnya setelah mengecup keningku.
"Makan siang langsung yuk." ajakku
"Boleh."
Kami makan siang berdua. Ia tampak menikmati seluruh hidangan yang kumasak. Meski aku tidak yakin dengan rasanya. Karena biasanya untuk yang seperti ini aku akan meminta mama mengoreksi rasa.
"Kamu pulang sendirian?" tanyaku.
"Iya, paling pulang ke apartemen. Mami dan yang lain akan menginap dulu di hotel milik Bang Bara di Lembang."
"Liburan mereka sepertinya panjang."
"Ya, sekalian karena para tante pulang. Sudah jarang keluarga papa berkumpul."
"Kalau keluarga Tante Vera?"
"Tulangku ada yang di Sidney dan Bali. Kami ketemuan biasanya waktu tahun baru begini. Tapi karena tahun ini keluarga papa berkumpul, jadi kami disini. Beruntung sih, karena jadinya aku bisa nembak kamu."
Aku hanya tertawa, Daud selalu spontan kalau berbicara.
"Kalau aku kerja kita tidak bisa seperti ini. Waktuku habis untuk kantor. Semoga kamu mengerti." Kali ini menurunkan intonasi suaranya. Seolah sedang menyesali sesuatu.
"Jadwal libur kamu, kapan?"
"Aku libur di hari jumat sebenarnya. Tapi karena banyak jadwal pekerjaan ya kadang tidak diambil."
"Pacar kamu sebelumnya, nggak pernah protes?"
"Mungkin karena kami sama-sama sibuk, enggak sih. Kenapa?"
"Nanya aja, Kenapa kamu nggak suka sama Tiffany? Kelihatannya dia suka kamu. Dan kalian berasal dari dunia yang sama."
"Gimana ya, dia bukan tipeku sih. Aku suka yang seperti kamu. Yang nggak terlalu aneh-aneh dan nggak suka menghabiskan waktu diluar. Katakanlah aku egois. Tapi jujur, aku memimpikan sebuah rumah tangga seperti di jaman dulu. Seorang suami yang bekerja, lalu istrinya diam di rumah sambil mengurus rumah tangga."
"Aku juga bekerja dan punya bisnis. Jadi nggak bisa di rumah terus."
"Ya, tapi kamu kan bisa bekerja dari rumah dan waktunya fleksibel. Artinya kalau aku pulang, kemungkinan besar kamu sudah ada di rumah. Kalaupun kamu keluar ya nggak setiap saat dan sampai tengah malam."
"Bisa saja aku pulang malam kalau pekerjaanku banyak."
"Tapi tidak tiap hari, kan?"
"Aku bingung dengan sikap kamu. Disatu sisi kamu sangat membebaskan perempuan. Tapi disisi lain kamu seperti memenjarakan pasangan kamu."
"Bukan seperti itu, aku bisa ngomong begitu karena yakin kalau aku bisa menafkahi kamu. Meski bukan yang mewah-mewah banget. Aku tidak ingin kita menjadi orang lain dan tidak saling mengenal lagi karena kesibukan setelah menikah."
"Kalau kelak kita nggak punya anak?"
Daud tertawa,
"Aku tidak akan pernah memaksa kalau tentang anak. Kamu yang hamil, kamu yang terlibat langsung si bayi. Kalau kamu bersedia untuk hamil, aku akan senang. Tapi bila tidak, nggak masalah. Aku tidak akan memaksa kamu untuk hamil yang kemudian bisa memusnahkan impian kamu."
Aku menatapnya tak percaya.
"Kadang aku tidak bisa menyelami pikiran kamu." Ucapku jujur.
"Aku memang sedikit extra ordinary people. Buat aku punya anak adalah komitmen serius antara dua orang. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kehadiran mereka. Atau kelak salah satu dari kita tidak menganggap kehadiran mereka. Kan kasihan anaknya.
Kamu lihat kedua keponakanku yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Karena mereka tidak bisa melakukan itu pada ayahnya yang super sibuk. Kasihan kan? Aku percaya abang iparku pun merasa dilemma. Kenapa? Karena sebagai pebisnis ia selalu ditantang untuk memperbesar usaha. Jadi habislah waktunya dan tidak ada waktu untuk anak-anak. Aku nggak mau begitu, makanya kerja keras dari sekarang, kalau punya anak ya harus mengurangi banyak waktu diluar.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi didepan. Tapi tetap berharap bisa tetap bersama menghadapi banyak masalah. Kalau kita diberi keturunan aku ingin kita membesarkan mereka bersama-sama. Tapi bisa saja kan? Aku yang tidak bisa memberi kamu keturunan."
"Kamu sudah periksa?" tanyaku.
"Belum sih, kamu mau aku periksa dulu?"
Aku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng. Daud kemudian menyelesaikan makannya. Rasanya memang aku harus banyak belajar menyelami aktifitas dan cara berpikir kami yang sangat berbeda. Sepertinya Daud sudah benar-benar modern, sementara aku masih sangat tradisional. Aku sekarang memaklumi, latar belakang sikapnya selama ini.
Tumbuh besar ditengah keluarga yang menjunjung tinggi logika. Membuatnya seperti orang yang tidak memiliki perasaan. Padahal dibalik itu, Daud adalah pria yang sangat perhatian pada hal-hal kecil yang kadang luput dari perhatianku.
***
Hubungan kami yang sudah naik satu tahap, tidak membuat sesuatu yang berbeda. Meski memang beberapa kali aku menerima kiriman makanan atau kue darinya. Kami juga lebih banyak berkomunikasi melalui chat dan telepon. Daud beberapa kali memberikan jadwalnya selama satu minggu. Kuakui ia memang sangat sibuk.
Meski begitu aku belum mengatakan apa-apa sebagai protes. Karena sadar, bahwa akupun memiliki kesibukan yang sama. Bahkan semenjak tahun baru, kami belum pernah bertemu. kadang saat kami sedang melakukan face time, di sore hari ia sudah sangat mengantuk. Sementara ketika ia sudah bangun di malam hari, giliran akulah yang sudah mengantuk.
Kedua oragtuaku juga belum mengetahui hubungan kami. Namun aku berjanji dalam hati kalau akan memperkenalkan Daud saat kami sudah benar-benar yakin. Beruntung kedua orangtuaku belum pernah bertanya tentang siapa kekasihku. Apalagi mereka tidak pernah melihat kalau aku keluar dengan seseorang.
Hingga kemudian pada suatu malam, Daud bertanya tentang waktuku.
"Aku mau ada liputan ke Singkawang, kamu ada waktu nggak?"
"Kamu mau ajak aku?"
"Rencananya begitu. Sambil aku liputan, kamu ikut. Lumayan aku akan tiga hari disana. Kita nggak cuma berdua, karena ada tim dari televisi yang ikut. Mau meliput tentang upacara cap go meh. Dari awal sampai akhir acara. Sekalian mau mengenalkan kamu tentang dunia kerjaku."
Kuhembuskan nafas kasar. "Aku minta ijin dulu kalau begitu."
"Atau mau aku yang minta ijin pada kedua orangtuamu?"
"Nggak usah, takut malah nanti papa tidak mengijinkan. Karena kita belum resmi. Nggak enak kan kalau ketahuan sudah liburan bareng padahal kita masih pacaran."
"Kan aku nggak akan ngapa-ngapain kamu?" protes Daud.
"Kamunya sih enggak, tapi bagaimana dengan pendapat orang. Apalagi kalau orangtuaku dapat kabar dari orang lain."
"Ya sudah kalau begitu. Aku tunggu jawaban kamu."
Malam harinya saat sedang santai kusampaikan niatku pada papa.
"Pa, aku mau liburan ke Singkawang, boleh?"
"Sama siapa?"
"Sama beberapa teman. Liat festival kebudayaan gitu."
"Laki-laki apa perempuan?" tanya mama.
"Rame-rame."
"Nginap dimana?"
"Ya di hotel."
Mama menatapku lama, seolah mencari kejujuran.
"Bukan sama pacar kamu, kan?"
Aku menggeleng. Meski sebenarnya dalam hati takut ketahuan.
"Berapa hari?" tanya papa.
"Tiga hari."
"Ya sudah kalau begitu. Biar papa yang ke kebun menggantikan kamu."
Entah kenapa selain merasa lega aku juga aku merasa sangat bersalah karena sudah membohongi papa. Kuhembuskan nafas pelan. Malamnya, saat sedang berbincang dengan Daud aku menyampaikan kebingunganku.
"Tadi aku sudah minta ijin papa. Sudah diijinkan sih."
"Lalu masalahnya dimana?"
"Aku merasa bersalah karena sudah membohongi mereka."
"Kalau begitu aku akan meminta ijin langsung."
"Takut kalau nanti mereka malah tidak memberi ijin."
"Dari pada kamu kebingungan sendiri karena merasa bersalah? Ya mending diselesaikan satu persatu."
"Kalau nanti karena itu aku malah nggak bisa pergi?"
"Ya itu resiko kita."
Kuhembuskan nafas perlahan.
"Kamu nggak apa-apa kalau harus mengenalkan kamu ke orangtua aku?"
"Kamu juga sudah kenal mami dan keluarga besarku. Lalu masalahnya dimana, Mel?"
Akhirnya aku bisa bernafas lega mendengar pendapat Daud. Tadinya kupikir ia tidak setuju, apalagi harus mencari waktu lagi agar bisa datang ke Bogor.
"Kapan kamu ada waktu?" tanyaku.
"Aku kabari besok. Belum lihat jadwal sih."
"Kabari aku, ya."
"Pasti, aku sayang kamu."
Daud selalu mengucapkan kalimat itu saat kami selesai membahas sesuatu. Entah kenapa aku merasa bahwa sebenarnya ia pria romantis, dengan caranya sendiri.
***
Saat makan malam keesokan harinya aku menyampaikan rencana kedatangan Daud pada kedua orangtuaku.
"Pa, kamis malam ada temanku mau datang."
Papa dan mama saling menatap.
"Teman bagaimana?" tanya mama.
"Teman dekat sih."
"Pacar?" tanya papa.
"Ya, tapi kami belum lama jadian. Jadi baru dalam tahap saling mengenal."
"Siapa?" lanjut papa.
"Daud."
Kulihat kelegaan dimata kedua orangtuaku.
"Wah akhirnya jadi juga kita mantu, ma."
Seketika wajahku pias.
"Maksud dia kemari bukan melamar. Tapi hanya berkenalan." Aku mencoba meluruskan.
"Ya sama saja. kalau dia sudah kemari kan artinya dia serius." Balas mama. "Yang news anchor terkenal itu kan? Yang waktu kemarin mampir pakai mobil Alphard?" lanjut mama.
Kali ini aku benar-benar kesal.
"Ya sudah, mama akan mempersiapkan. Siapa tahu kalian jodoh. Kalau sudah ada pria seperti itu yang suka sama kamu, jangan terlalu jual mahal lagi. Susah lho dapat yang seperti dia." lanjut mama dengan mata berbinar.
Meski kesal aku hanya bisa mengangguk.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
141120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top