17
Terima kasih atas kesediaan kalian membeli USIA 34 Versi Ebook di IBUK. Bulan lalu USIA 34 berhasil menjadi IBUK of the Month.
Jangan lupa, USIA 34 dan PETARUNG TANGGUH masih OPEN PO ya. jangan sampai ketinggalan buat yang mau peluk bukunya.🙏🙏🙏
***
Kuarahkan mobil ke sebuah mal yang terletak di pusat kota. Sambil sesekali melirik bidadari cantik yang ada di sampingku. Yang dilirk tengah sibuk dengan ponselnya. Aku suka rambutnya yang lurus. Terlihat hitam alami, aku yakin ia tidak pernah mewarnai rambut sebelum ini.
"Kamu sudah makan, Mel?" tanyaku.
"Belum, kamu?"
"Sore belum. Siang tadi udah, mami dan para tante yang ke dapur. Jadi rasanya kayak makanan rumah."
"Kamu kayaknya suka makanan rumah, ya?"
"Ya, meski nggak menolak kalau makan di luar. Aku nggak susah kok makannya. Telur balado kamu aja bisa bikin aku makan dua piring." Balasku. Kulihat ia tersenyum. Mungkin karena kulitnya memang putih alami sehingga mudah sekali terlihat blushing.
Jalanan di depan sana sangat padat. Plat B menguasai jalanan. Beruntung tak lama kami sudah sampai di area mal. Parkir juga terlihat penuh. Sampai akhirnya kami mendapatkan satu tempat yang cukup jauh. Sebelum turun kutatap ia yang tengah melepas safety belt untuk bertanya.
"Aku boleh pegang tangan kamu kalau kita jalan nanti, nggak?"
Ada kilat terkejut dimatanya. Namun akhirnya mengangguk. yes! Akhirnya kami berdua turun. Kugenggam jemarinya erat. Memasuki area dalam mal, suasana terlihat sangat ramai. Sepertinya orang benar-benar memilih menghabiskan waktu di luar rumah. Kami segera naik ke lantai empat. Kutatap antrian yang mengular.
"Kamu mau nonton apa?"
"Lihat dulu aja yuk." Kami kemudian berkeliling mencari film yang kira-kira menarik.
Sedikit menyesal karena tidak melakukan pemesanan tiket melalui online tadi. Dan akhirnya aku menatap Melly usai melihat pengumuman.
"Yang masih tersisa untuk jam 21.00. Bagaimana? Pulangnya kamu pasti malam sekali."
"Kamu besok ngantor?" tanyanya.
"Belum sih, lusa. "
Sepertinya ia bimbang.
"Ya udah deh, kita pulang aja." Ucapnya pada akhirnya. Kulihat jam tangan yang masih menunjukkan pukul 18.30. mau kemana lagi setelah ini? Wajah Melly terlihat kecewa.
Saat kami akan keluar, seseorang datang menghampiri.
"Mas mau gantiin dua tiket nggak? Kami harus pulang, Karena tadi lupa, kunci rumah terbawa. Orangtua kami nggak bisa masuk rumah. Harga beli tadi aja mas."
Aku ragu, Karena film yang disodorkan adalah film animasi anak-anak, kuminta persetujuan Melly. Ia tersenyum mengangguk setuju. Akhirnya kubeli dua tiket tersebut. Kami kembali masuk dan membeli popcorn serta minuman ringan.
"Kamu nggak apa-apa nonton film animasi?" tanya Melly.
"Aku sudah biasa nonton bareng Calvyn dan Andrea. Sebentar lagi bareng sama Diandra malah." Balasku sambil menyebut nama ketiga anak Kak Lyo.
Beruntung kami mendapat kursi dibagian atas, ia duduk disamping kananku. Kulihat durasi film. Lumayanlah dua setengah jam kedepan kami akan menghabiskan waktu bersama. Kubuka minuman dingin yang kami beli tadi. Kuserahkan kepadanya.
Duduk berdekatan seperti ini, membuatku mencium aroma lembut parfumnya. Yang segera kutahu, Cool water for woman dari Davidoff. Terasa ringan di indra penciumanku.
"Kamu suka nonton?" tanyaku.
"Jaman kuliah dulu, bareng teman-teman. Makin kemari makin jarang. Karena sebenarnya nggak terlalu hobby. Kamu?"
"Suka juga, terutama yang box office movie. Sebenarnya lebih ke nonton film tentang misteri atau future fiction. Tapi nggak menolak kalau ada film epic tentang kepahlawanan."
"Film favorit kamu?"
"BraveHeart. Mel Gibson. Aku masih belum bisa lepas dari film itu. Benar-benar detail. Kamu?"
"Semua film yang berbau romantis. Khas perempuan."
Aku tertawa kecil.
"Sudah berapa lama nggak nonton?"
"Lupa." Jawabnya singkat. Ia kemudian meletakkan tangan untuk menopang dagu tepat di sebelahku. Membuatku bisa mencium aroma rambutnya. Rasanya hari ini benar-benar keberuntungan buat kami berdua.
"Kamu serius nonton film ini, mel?" tanyaku sambil berbisik karena takut mengganggu penonton lain. Meski 70% adalah keluarga yang membawa anak kecil.
"Nggak terlalu. Kenapa?"
"Aku sebenarnya ingin bicara tentang kita. Hubungan kita ke depannya nanti." Ucapku serius.
"Aku akan mendengarkan."
"Aku suka sama kamu."
Melly segera menatapku tak percaya. Jarak kami hanya sekian centimeter. Membuatku bisa merasakan hangat hembusan nafasnya.
"Kamu mau nggak menjalin hubungan serius denganku? Rasanya dengan usia kita sekarang, nggak mungkin untuk main-main lagi."
"Apa yang membuat kamu suka sama aku? Kamu serius?"
Aku tertawa kecil.
"Aku serius, kadang hati tidak butuh alasan untuk menyukai. Aku suka sama kamu, melihat senyum kamu dan apa yang ada dalam diri kamu. Kamu sendiri bagaimana?"
Kulihat ia menarik nafas dalam. Aku sedikit takut kembali ditolak. Aku tahu ia bukan orang yang mudah untuk menyatakan perasaan.
"Sama sih." Jawabnya pelan sambil menatap ke arah layar besar di depan.
Kuraih jemarinya, rasanya ingin mencium punggung tangan halus ini. Tapi sayang banyak anak kecil di sekitar kami. Aku tidak ingin para orangtua nantinya melotot menatapku horror.
"Pendapat mami kamu?" tanyanya.
"Mami sudah setuju, jadi jalan kita aman."
"Sedekat apa kamu dengan Tante Vera?"
"Dekat sekali. Seperti yang pernah kukatakan. Ada trauma dimasa kecil. Yang membuatku selalu ingin melihat mami tersenyum. Setidaknya aku tidak akan menjadi beban pikiran baginya. Mau bicara di tempat lain? Rasanya kita nggak cocok ngobrolin hal serius di tempat seperti ini."
"Boleh."
Kemudian kami bangkit. Kutuntun langkah Melly menuruni tangga.
"Kita makan dulu, Mel?" tanyaku setelah kami berada di luar. Namun melihat beberapa restoran yang kami lewati semua penuh, akhirnya Melly menawarkan hal lain.
"Mau makan di rumah kebun?"
"Boleh deh, ada orang lain kan disana?"
"Ada karyawanku. Mereka kan tinggal di belakang. Memangnya kenapa?"
"Aku khawatir kalau kamu sendirian. Menjaga omongan orang aja sih sebenarnya. Nggak baik nanti buat kamu kalau cuma kita berdua yang di rumah." Ucapku jujur.
Saat kami sudah tiba di rumah Melly, ia segera membawaku ke dapur. Aku membuka pintu belakang selebar mungkin, agar karyawannya bisa melihat aktifitas kami. Meski yakin mereka takkan berani mendekat. Paling tidak aku sadar kalau ia masih anak gadis orang.
Dengan cekatan, ia memasak nasi dirice cooker lalu menyiapkan sayuran dan ikan.
"Sorry ya, aku cuma akan tumis bayam dan buat ikan steam."
"Nggak masalah." Jawabku.
"Kamu suka ke dapur, Ud?"
"Jarang, dapur adalah area territorial mami. Aku kesana hanya untuk mencomot makanan atau melihat apakah masakan sudah matang atau belum." Jawabku sambil tertawa.
"Tapi kamu boleh mengandalkanku soal membersihkan dan membereskan rumah. Itu adalah tugasku dan papa."
"Aku pernah lihat di vlog kamu, kalian suka berkebun ya."
"Ya, awalnya sih papa. Diturunkan oleh kakekku. Aku sering ikutan, akhirnya jadi kebiasaan. Mami yang membuat jadwal kami tanam apa. Karena itu di rumah jarang beli sayur. Ikan juga papa pelihara sendiri. Ada Nila, lele dan ikan mas."
Kutatap wajahnya yang tengah tekun merajang bumbu. Melly termasuk cepat dalam bekerja. Selesai ikan dimasukkan kedalam kukusan. Ia segera menumis sayur. Tak lama semua makanan matang.
Seperti dulu, kami makan berdua. Masakannya cocok dilidahku.
"Sorry aku nggak terlalu ahli memasak. Bisanya cuma yang simpel."
"Ini sudah enak. Aku suka masakan yang tidak terlalu manis. Mungkin karena memang mami batak ya. Jadi makanan di rumah cenderung pedas. Bagaimana ibu kamu?"
"Mamaku juga suka berada di dapur. Meski akhir-akhir ini saja. dulu papa dan mama bekerja."
"Dulu kamu kuliah di fakultas apa?" Tanya Melly saat kami makan.
"S1 aku ambil HI, S2 ambil jurnalistik."
"Di Jakarta?"
"S1 ya, S2 di Inggris. Beasiswa."
"Kamu hebat."
"Bukan hebat, kalau punya uang lebih aku pasti ambil jalur umum. Nggak perlu ketar-ketir mikirin buat proposal, terus nunggu lolos atau enggak." Jawabku santai.
Seperti biasa ia tersenyum, tapi sore ini jauh lebih lepas. Selesai makan aku membantunya mencuci piring. Kalau untuk yang satu ini, aku cukup bisa diandalkan. Kemudian kami kembali duduk di meja makan.
"Kamu lebih dekat dengan siapa?" tanyaku.
"Papa, mungkin Karena aku anak perempuan. Aku boleh nanya sesuatu tentang keluarga kamu?" tanya Melly dengan nada hati-hati. Aku mengangguk.
"Kok panggilan kamu pada kedua orangtua kamu berbeda sih?"
"Karena papa bukan papa kandungku. Tapi kami sangat dekat. Ibaratnya aku tumbuh bersama dia. Dia ikut membentukku menjadi seperti sekarang."
Kulihat kilat terkejut dimatanya.
"Artinya—"
"Orangtua kandungku sudah berpisah sejak aku kecil. Biasalah, kasus perselingkuhan. Itu menimbulkan kesedihan dan kemarahan yang dalam. Aku sempat menjadi anak yang tidak punya percaya diri, murung dan sekolahku hancur. Beruntung ketemu papa."
"Ayah kandung kamu?"
"Sebuah hubungan yang buruk, bahkan sampai sekarang. Kita pernah ribut besar, aku memang salah karena memukulnya. Tidak terima, dia dan istri mudanya melaporkan aku ke polisi. Aku hampir di penjara, kalau saja Kak Lyo tidak dengan sengaja menabrakkan dirinya di jalan. Mungkin Daud yang kamu kenal sekarang adalah mantan narapidana."
"Apa trauma itu masih ada sampai sekarang?"
"Bukan trauma, tapi apa ya namanya—" aku terdiam memilih kata. Sebenarnya enggan untuk bercerita. Tapi aku ingin Melly tahu bahwa hidupku tidak sesempurna yang dipikirkan orang.
"Hubunganku dengan ayah kandungku sama sekali tidak baik. Bahkan sampai sekarang kami tidak pernah bertegur sapa. Pertemuan terakhir saat Kak Lyo menikah. Aku selalu berusaha menghindar bila ada kesempatan bertemu. Bukan apa-apa, aku takut kami ribut dan kejadian lama terulang lagi. Entah kenapa aku takut tidak bisa menahan diri."
"Dia tinggal di Indonesia?"
"Ya, di Jakarta juga. Seorang pengusaha. Tapi aku tidak pernah memanfaatkannya. Bahkan untuk pendidikanku sekali pun. Entah kapan aku bisa melupakan semuanya. Meski kadang rasanya sesak sekali."
"Apa mantan-mantan kamu tahu?"
"Aku tidak pernah menceritakan kecuali saat ini dengan kamu. Mungkin karena memang sebelumnya tidak pernah mengarah ke serius."
"Dengan aku kamu serius?"
"Kalau kamu mau. Tapi inilah aku, seseorang yang tidak sempurna, berasal dari keluarga yang juga tidak sempurna. Yang aku tampilkan dilayar kaca kadang berbanding terbalik dengan kehidupan pribadiku. Aku khawatir dengan orangtuamu. Sepertinya mereka mengharapkan calon menantu yang bukan seperti aku. Dengan segala kekurangan yang kamu sudah tahu. Masih maukah kamu mencoba sekali lagi?"
Melly membalas tatapanku, kemudian mengangguk. rasanya dunia menjadi milikku diawal tahun ini. Kugenggam jemarinya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
121120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top