11
Papa sedang menyiram tanaman di depan rumah saat aku pulang dari kantor.
"Tumben langsung kemari." ujar papa setelah aku mencium tangannya.
"Lapar, malas makan di luar. Mami mana. Pa?"
"Ada di dalam. Tapi tadi nggak masak. Karena mau makan di luar."
"Mami gimana sih? Aku kan pulang karena butuh makanan bergizi?" Protesku.
Papa tertawa.
"Habis kamu juga akhir-akhir ini jarang pulang ke rumah. Mamimu sering kesal, katanya nggak ada yang menghabiskan makanan."
"Iya juga sih. Ya sudah aku mandi dulu. Kali ini aku yang traktir ya pa."
"Sip." Balas papa sambil melanjutkan pekerjaannya.
Memasuki bagian dalam rumah, mami terlihat baru mandi. Kupeluk mami dan kucium pipinya.
"Wangi amat, mi? mentang-mentang mau makan di luar sama papa."
"Sesekali, mau ikut?"
"Enggak ah, nanti mengganggu orang kencan." Jawabku pura-pura menolak.
"Kamu tuh ya, mana ada umur segini mau kencan. Ayo sekalian, tadi mami nggak masak."
"Aku mandi dulu kalau begitu."
Malamnya kami bertiga sudah berada disebuah mal yang cukup ramai. Papa memilih makan ramen. Aku hanya mengikuti dan menjadi saksi pasangan yang mesranya awet hingga kini. Senang melihat papa dan mami masih saling memperhatikan.
"Lusa, Daniel pulang. Kamu mau ajak kemana, ud?"
"Jadi sama pacarnya?"
"Jadi, kenapa?" tanya papa lagi.
"Kalau begitu paling aku kasih info aja tentang tempat bagus yang belum pernah dia datangi. Nggak enak juga kalau jadi nyamuk kan, pa?"
"Menurut papa sih, nggak apa-apa. Mereka mau liburan, kan? Kamu juga belum ambil cuti tahun ini."
"Enggak ah, nggak enak nanti."
Aku segera makan saat pesanan datang. Dan seperti biasa, selesai duluan karena memang punya kebiasaan makan cepat. Kutatap sekeliling, sampai kemudian mataku tertumbuk pada seorang gadis yang masuk sendirian mengenakan gaun biru muda berbunga kecil, Mellysa.
Gadis itu tengah mencari meja kosong, namun terlihat penuh karena memang sedang sangat ramai. Mungkin karena weekend. Aku bangkit berdiri lalu melambaikan tangan memberi kode. Meski terlihat ragu, ia tetap datang. Wajahnya terkejut saat melihat ada orangtuaku.
"Mau makan malam?" tanyaku.
"Iya, tadi kemari cuma kangen sama ramen. Nggak tahunya penuh."
"Sini gabung sama kami."
Terlihat ia sungkan, sampai kemudian mami yang menawarkan.
"Nggak apa-apa. Gabung saja, pernah begini juga saat ramai."
Akhirnya Melly duduk.
"Kenalkan ini mami dan papaku."
Melly kemudian mengulurkan tangan sambil menyebut namanya. Seperti biasa papa dan mami terlihat santai. Karena memang kami sering seperti ini. Apalagi aku memiliki banyak teman di luar rumah.
"Mau pesan apa, Mel?"
"Biar aku aja yang pesan." Jawabnya sambil tersenyum, masih terlihat sungkan.
"Nggak apa-apa. Mau yang mana?" tanyaku sambil menatap display didepan sana.
"Shoyu ramen, aja. Minumnya ocha."
Aku segera memanggil waitress, memesan lalu memberikan sejumlah uang untuk memesan makanan Melly.
"Kok jadi kamu yang bayar?"
"Nggak apa-apa. Kalau cuma ramen belum bikin aku bangkrut. Anggap aja ganti makan malam di kebun kamu waktu itu." Jawabku sambil menatap wajahnya yang memerah.
Aku tahu didepan kami, Ibunda Vera boru Tobing menatap dengan penasaran. Aku tidak menanggapi, karena yakin setelah tidak ada Melly pasti ada puluhan pertanyaan tentangnya ditujukan padaku. Tak lama pesanannya datang, aku dan papa yang sudah selesai menunggu mereka.
Saat akan pulang mami bertanya.
"Melly tadi naik apa?"
"Taksi, tante. Tadi kebetulan ke rumah adik. Malas bawa mobil karena apartemennya di dekat sini. Lebih lama nyari parkirnya nanti."
"Kamu masih mau jalan?"
"Langsung pulang saja, takut kemalaman karena saya pulang ke Bogor, tante."
"Nyetir sendiri nanti?"
"Bareng sama papa tadi, jadi bawa supir."
"Syukurlah, kalau begitu biar kami antar sampai apartemen adik kamu. Kami juga sudah mau pulang kok. Lagian apartemennya kan dekat, jangan sungkan." Ucap mami.
Aku ikut mengiyakan saat Melly menatap minta persetujuan. Aku tahu ia lebih merasa tidak enak kepada mami. Akhirnya gadis itu mengangguk.
***
Malam harinya, mami memasuki kamarku dan langsung duduk di sofa. Aku tahu akan ada beberapa pertanyaan khas mami setelah ini. Dimana-mana para ibu sama saja.
"Ud, gadis yang makan dengan kita tadi siapa?"
"Kan mami sudah tahu, namanya Melly."
"Maksud mami, apa dia masih sendiri?"
"Setahuku beberapa bulan lalu, iya. Tapi sekarang nggak tahu."
"Mami suka melihatnya. Anaknya sopan, di depan orangtua tidak sibuk dengan ponsel."
Kutatap mami menahan tawa. Selalu seperti ini saat kuperkenalkan pada seorang gadis. Mengerti akan arti tatapanku mami melanjutkan kalimatnya.
"Dia tipe perempuan yang menghargai orangtua. Jarang yang seperti itu jaman sekarang."
"Mami suka dia?" tanyaku.
"Ya."
"Kalau begitu besok aku akan lamar dia." Jawabku sambil berbaring dipangkuannya.
"Daud! Kamu jangan bercanda terus."
"Lho, aku kan mau mamiku senang dan bahagia. Aku juga ingin cari istri yang bisa membahagiakan mami. Aku baikkan jadi anak." Ucapku sambil memainkan kedua alisku.
Mami sampai memutar bola matanya sambil menatapku kesal.
"Menikah itu cari yang cocok sama kamu, bukan sama mami."
"Aku akan cari yang cocok dengan mami juga. Karena keputusanku belum berubah, istriku akan tinggal disini. Aku nggak mau mami kesepian dimasa tua. Meski ada papa, kan lebih baik ada orang lain yang juga bisa sayang sama mami. Atau mami sudah bosan lihat aku disini?" godaku.
Mami hanya tertawa kemudian menarik kepalaku dalam pangkuannya.
"Kamu tuh ya, dek. Paling bisa bikin mami senang."
"Aku hanya berbagi tugas dengan Pak Nicholas, mi."
Kami berdua tertawa kencang. Dekat dengan mami selalu menjadi sumber ketenangan buatku. Entah kenapa, aku terlalu menyayanginya. Apalagi teringat saat bagaimana ia bisa bertahan dari serangan Tante Diana, papi dan juga kesulitan ekonomi.
Beruntung sekarang papi memiliki istri yang baik, meski Tante Sarah masih muda saat menikah. Tapi tetap saja kenangan buruk itu menghantuiku. Karenanya aku tidak ingin membuat wajah mami bersedih lagi. Mami masihlah cengeng. Bahkan kadang menangis saat merindukan Kak Lyo yang jarang datang. Karena memang kakakku juga sibuk di rumahnya. Apalagi sejak ayah mertuanya meninggal dua tahun lalu. Otomatis tidak ada yang menjaga ibu mertuanya. Dan ia harus terus berada dibawah dominasi Bang Bara. Jadilah mami harus memendam rindunya baik kepada Kakak juga kedua cucunya.
***
Seperti biasa aku duduk dibelakang saat ikut dalam mobil orangtuaku. Papa masih duduk dengan tegak, sementara mama sudah tidur disebelahku. Kuraih ponsel yang ada didalam tas. Saat membuka WA, hal yang pertama yang terlihat adalah postingan Ardy berupa sebuah testpack. Aku tersenyum, pasti ia sedang bahagia sekarang.
Namun memilih tidak mengucapkan selamat, takut panjang urusannya. Aku belum kenal istrinya, takut kalau perempuan itu cemburu. Dibawahnya ada status daud tengah berbaring diatas pangkuan seseorang yang aku tebak adalah ibunya. Ada caption disana
[tempat terindah selama hidup di dunia]
Tampaknya ia sangat dekat dengan ibunya. Tadi juga di mobil mereka banyak berinteraksi. Sangat berbeda dengan hubunganku dan mama. Entah kenapa kami selalu seperti musuh. Kalau aku suka bunga, maka mama suka hewan. Aku suka makanan pedas, mama suka manis. Begitu terus! Karena itu kami sangat jarang bisa pergi sekedar belanja atau makan berdua seperti ibu dan anak lain. Bagi mama aku selalu saja salah dan kurang. Dulu aku sampai menangis karena merasa dibedakan.
Sama seperti hari ini, saat mengunjungi Rudy adikku. Disana mama terlihat dekat sekali dengan adik iparku, Chitra. Mereka bisa mengobrol dan terlihat sangat akur. Sampai kadang aku berpikir, aku tuh anak mama atau bukan, sih? Pernah pertanyaan itu kusampaikan pada papa. Namun papa hanya bilang. Bahwa aku anak kandung mereka.
Namun semakin dewasa, akhirnya aku bisa menarik kesimpulan. Mama adalah anak tunggal di rumah. Kakekku memiliki beberapa orang istri. Sehingga ketika menikah dengan papa, mama merasa bahwa papa adalah miliknya sendiri. Kehadiranku sering dianggap sebagai saingan dalam merebut perhatian papa.
Aku sering heran, kenapa papa betah disamping mama yang posesif dan cemburuan. Tapi kemudian papa berkata, bahwa mama adalah perempuan yang mendampinginya dari saat susah dulu. Dan papa sangat menghargai itu. Mama mendukung karier papa tanpa pernah membebaninya tentang masalah di rumah.
Dan lagi ada keunggulan mama, yakni selalu tampil rapi dimana saja. jangan harap mama dasteran keluar kamar, pasti ganti pakaian. Meski tidak menggunakan make up full, mama pasti bedakan, pakai lipstick dan parfum, meski saat dirumah. Yang satu ini sangat berbeda denganku yang cenderung cuek terhadap penampilan.
Mungkin perbedaan itu juga yang sering membuatnya kesal padaku. Setiap kali ia menyarankan aku mengenakan gaun atau make up terbaru, selalu kutolak. Dan akhirnya mama menemukan anak perempuan yang sama dengannya di dalam diri Chitra sang menantu. Jadilah aku semakin tersisih.
Tak terasa kami sudah tiba di rumah. Setelah membangunkan mama, kami turun. Aku langsung masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Selesai bersih-bersih kuraih ponsel yang tengah berkedip.
[Hai, apa kabar?]
Dari Daud ternyata. Tidak mungkin menghindar, kubalas.
[Kabar baik, terima kasih atas traktirannya tadi.]
[Itu tidak gratis, lho. Suatu saat aku akan menuntut penggantian.]
[Artinya kamu tidak ikhlas?]
[Ikhlas banget sih, tapi rasanya sekali makan malam nggak akan cukup buatku. Apalagi tadi ada mami yang sepertinya sangat suka sama kamu.]
[Apa karena beliau kamu menghubungi aku?]
[Kamu mau aku jujur?]
[Ya.]
[Aku sangat sayang sama mami, karena itu aku percaya apa yang dia sukai pasti baik untukku. Dan mami suka kamu. Paling tidak aku tidak akan repot nanti dengan urusan persetujuan orangtua. Karena aku menganggap bahwa restu mami adalah awal dari setiap keputusan besarku.]
Aku terdiam sejenak setelah membaca kalimat yang menurutku terlalu jujur itu. Tapi aku menemukan kebenaran dalam kalimatnya. Paling tidak restu itu di dapat. Artinya Daud sangat menghormati orangtuanya. Dibalik sikapnya yang suka seenaknya, ia masih memikirkan orang lain.
[Bagaimana?] bunyi pesan selanjutnya.
[Aku bukan orang yang mudah untuk mengatakan, ya. Aku pikir-pikir dulu.]
***
Happy reading
Maaf untuk typo
51120
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top