Obrolan tentang Kopi Hitam

Di hadapannya, kutuang air panas ke dalam cangkir yang sudah kutuang sebungkus serbuk white coffee yang tengah laris manis di pasaran dan digemari banyak orang, tak terkecuali, aku.

Dia memandang cangkir yang tengah kuaduk perlahan. Keningnya berkerut, lalu suaranya yang berat meluncur dalam keheranan, "Ini... ini... kopi?"

"Ya," kujawab pertanyaan keheranannya dengan santai.

"Loh, kok, putih? Eh, bukan. Kok, kayak kopi dikasih susu?"

"Ini kopi putih."

"Ah, mana ada kopi putih. Di mana-mana, kopi itu item!"

"Trus, kalo kopi mau berevolusi jadi putih, lo mau apa?" tanyaku meledeknya.

"Ya, tetep gak mungkinlah. Sampe kapan juga, kopi itu item!"

"Itu kata lo. Kalo gue suka kopi putih, gimana?"

"Ya, ya... kok, bisa?" Dia semakin keheranan.

"Ini, buktinya! Mau coba?" Kusodorkan secangkir white coffee yang begitu harum menggoda, ke wajahnya yang berkerut-kerut bagai pakaian yang lama tak disetrika. "Coba, deh. Ini enak. Luwak White Coffee. Kopi yang berasal dari kotoran luwak."

"Hah?" Untuk kedua kalinya ia terheran-heran, "ja-ja-di, lo minum kotoran... kotoran apaan, tadi?"

"Luwak, binatang pemakan kopi."

"Iiiih... lo jorok banget!"

"Eh, lo nggak tau rasanya. Cobain, deh!"

"Nggak mau. Gue tetep lebih suka kopi tubruk. Kopi item." Dia memundurkan kepalanya jauh-jauh dari cangkir yang kusodorkan.

"Lo, belum tau rasanya. Kopi putih itu evolusi dari kopi item. Orang item aja bisa kok, diubah jadi putih, apalagi kopi?"

"Emangnya kopi bisa dibedakin?" tanyanya sewot.

"Hahaha... diproses, dong, bukan dibedakin. Sekarang ini, hal yang nggak mungkin terjadi, bisa aja terjadi. Apa yang kita liat, nggak selamanya seperti itu terus. Apa yang kita liat itu, kadang menipu kita. Kita ditipu sama itemnya kopi. Padahal, kopi itu sebenernya nggak item, tapi ijo kalo masih muda dan merah, kalo udah tua."

"Maksud lo?"

"Apa lo tau, kenapa kopi yang lo minum itu item?"

"Nggak. Gue kan, cuma minum doang."

"Itulah, lo cuma bisa minum doang, masih pake protes segala?"

"Protes apaan?"

"Lah, itu tadi. Lo bilang, kok, ada kopi putih?"

"Loh, emang kan? Selama gue minum kopi, nggak pernah gue minum kopi kayak susu begini."

"Lah, lo sendiri gak tau, kenapa kopi item."

"Apa hubungannya sama kopi putih?"

"Jelas ada, dong. Kopi putih juga aslinya dari buah kopi. Trus diproses, jadi gini, deh."

"Ah, gue bingunglah sama lo. Urusan minum kopi aja kok, ribet."

"Kan, gara-gara lo, gak percaya."

"Gue heran aja, kenapa kopi bisa putih?"

"Lo heran gak, perempuan jelek bisa cantik?"

"Mungkin karena dandan, atau operasi."

"Zaman udah modern, Bro! Suara gelombang gravitasi alam semesta aja bisa ditangkap alat yang ada di bumi, kok. Padahal di luar angkasa sana, hampa udara. Gimana suara itu bisa sampe ke bumi? Apa penjelasan lo?"

"Aaah... elo bahas sampe ke sana sana. Kita kan lagi mau minum kopi."

"Gue maksud, zaman makin modern. Orang bisa ngubah dan nyiptain banyak hal. Termasuk kopi putih ini. Orang, sekarang aja ada semangka yang berdaun sirih, kok. Tuh, saking modernnya dunia biologi."

"Masa, sih? Gue baru tau."

"Tuh, lagunya si Broery Marantika, " aku menyanyikan potongan lagu Broery, "tapi lihatlah, apa yang terjadi, buah semangka berdaun sirih...." Aku meledek temanku yang satu itu.

Dia meninju bahuku. "Aaaah! Lo becanda aja, gue kira beneran."

Kami terkekeh bersama. Dia dan aku sama-sama penyuka kopi. Namun aku tidak suka kopi hitam, karena terlalu banyak serbuk dan membuat perutku mual. Dia, sahabatku, yang lama hanya berkutat pada perkebunannya, masih saja suka dengan kopi hitam yang banyak sekali ampasnya.

Akhirnya dia, tetap saja minta kopi hitam kesukaannya. Kopi bubuk Cap Bola Dunia, kopi Lampung yang diproses secara tradisional.

"Zaman makin modern. Tapi, rasa asli tetep lebih enak." 

Dia menyeruput kopi yang kusediakan. Aku meringis, merasakan pahitnya rasa kopi hitam di lidahku. Bagaimana ia bisa suka kopi pahit seperti itu. 

"Ini kopi terlezat!" dia meletakkan cangkir kopi di atas meja, "Gue lebih suka kopi item. Lo gak bisa maksa gue buat suka kopi putih, walau lo bilang itu enak."

"Selera kita beda, Bro!"

"Memang. Selera dan pikiran kita selalu aja beda. Dan gue herannya, kita sampe sekarang, masih aja tetep temenan."

"Itulah uniknya. Gue juga gak tau, kenapa."

"Itu, karena gue sayang sama lo, Ceking!" pekiknya dengan nada olokan terhadap tubuhku yang kurus kerempeng.

"Gue juga, sayang sama lo, Gembrot!" balasku tak mau kalah, mengolok dirinya yang tambunnya astaganaga.

Kami saling menjabat tangan erat dan tertawa terkekeh-kekeh.

Bandar Lampung, 07 Juli 2016, 15.44

Saya dedikasiin buat Nurul_Shinichi05 si penyuka kopi. Nanti rasain kopi hitam yang disukai tokoh cerita ini. :D

Satu lagi, saya dedikasiin buat DashaArdeliaKaili 
Walau berbeda selera dan pemikiran, dua orang bisa menjadi sahabat. Itu karena adanya rasa kasih sayang. :P 

Kalo yang dimunculin rasa benci dan curiga, walau sama selera dan pemikiran, orang bisa bermusuhan.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #prosa