Tabrak Lari
Sinta, gadis pecinta bola basket itu paginya di sibukan oleh kegiatan rutin.
"Mau pergi, subuh subuh gini?" Dimas bersender ke pintu, melihat kembaraannya tengah memakai pakaian tempur, biasa di gunakan untuk olahraganya itu.
"Minggu itu harus di manaatkan, janga di sia siakan. Sayang banget kalau dekem di rumah, ngapain," ucapannya hanya sebagai bentuk sindiran halus ke Dimas, anak itu selalu hobbi nge-game dalam kamarnya itu, gak jauh beda dengan Sinta. kebiasaan dua orang kembar beda gender itu, kadang suka beatel main game, bedanya Dimas orang lebih proper dalam melakukan hobbi.
Balik membalas, Sinta. Dimas hanya mencebikan bibir sembari menaikan pundak. "aku ini mau jadi pro player, jadi ogah panas panasan. Mending nih, denger." Dimas memiringkan badan, "mending aku jadi pemain hebat, terus di kelilingi cewek cantik, seksihh ...., gak kayak kamu, item ho--" Dimas kembali mencari sosok Sinta, hanya ada pintu rumah terbuka.
Tas serta botol minum juga tak ada di tempat beserta sang pemilik, "wohhh, anjing emang!" maki Dimas, "kalau dia anjing, aku juga anjing. Lah, susah mau maki orang tapi dia kembaranmu sendiri," decak Dimas menarik omongannya sendiri.
Sinta tertawa lepas, sambil menekan pedal. "pasti dia tadi ngoceh sendiri, kek orang gila." tawa Sinta, "makannya jangan dodol banget, lah!"
Dia sama sekali tak kenal takut, langit masih gelap dan jam 5 pagi ini dirinya sudah menuju ke alun alun, di sana ada lapangan basket sekalian bisa lari pagi.
Jalanan yang sepi membuat dia kurang awas, nyala lampu menerangi dirinya membuat Sinta oleng dalam berkendara, sepedah itu terasa mengantam benda keras, selanjutnya Sinta sama sekali tak bisa memprediksikan setelah rasa sakit teramat sangat tiba tiba menjadi mati rasa.
***
Nyeri, amat sangat. Sinta memaksa tubuhnya untuk di gerakan tapi ada tulang yang remuk tiap dia bergerak, matanya mengerjap mencoba menerima sorot cahaya lampu, bukan aspal dengan bau darah, oli serta bau panas seperti logam bergesekan. Bau alkohol serta obat, semuanya terasa akrab di penciuman Sinta.
Ruangan putih sebagai dasar warna mendominasi, serta ranjang di pakainya, sofa hitam sebagai warna lain di sana. "Dim, Dimas."
"Kamu udah sadar, Sin." suara serak seketika panik, menghampiri putrinya itu. "Pa, ada di sini?" balas Sinta sadar kalau papa-nya ada di sana.
Papa langsung sumringah menjawab si anak, "kamu istrahat ya, baru sadar."
"Aku kecelakaan, ya?" pertanyaan bodoh, padahal sudah bisa di lihay dengan mata batin telanjang pun, dia berbaring di sana karena kecelakaan.
"Ngak nak, kamu habis lakuin parkor, makannya bisa di sini... ."
Mungkin papa-nya pengin banget jadi pelawak, tapi selalu garing. "ya jelas kamu kecelakan, apa kamu gagar otak ya, jadi gak inget. Ini berapa?"
Papa menunjukan dua jemarinya untuk di lihat Sinta, "Pa, aku kecelakaan belum buta."
"Berarti inget, kalau kecelakaan?"
"Iya, inget." Sinta mengedipkan mata sebagai penganti anggukan, "rasanya remuk, Pa. kira kira aku apa masih bisa main basket lagi, ya?"
Sinta kepikiran, gimana team nya yang sudah lama berusaha latihan demi lomba kali ini. Kalau dia gak ada tentu akan kekurangan team, "Kamu tanya dokter aja, ya. Papa panggilin dulu,"
Dari raut papa singel parent itu, dia tak tega menjawab pertanyaan si anak, tentu karena Sinta anak yang suka sekali dengan olah raga basket, selama ini Sinta hanya punya dunianya sendiri.
"Pa," Sinta menahan papa-nya menarik lengan papa. "Papa, kenapa bawa temen aneh, kok mbak itu diem, emang begitu ya?"
Merasa omongan anaknya meracau, Papa melihat sekelilingnya yang kosong. "Sin, kayaknya obat biusnya masih bekerja ya?"
***
Sinta pasrah, kali ini benera benar gak ada cara lain. "Sin, kamu beneran mau pindah ke rumah nenek?"
Rencananya, Sinta. Meneruskan SMA nya di SMA Tadika Mesra, jangan harap itu TK milik upin ipin, ini betulan SMA normal di desa nenek Sinta dari pihak ibunya.
"Yakin, Sin?" Dimas kembali menanyai si kembaraan.
'Aku yakin, dari pada di sini liat setan mulu.' Sinta melirik di belakang pungung Dimas, ada sosok kunti yang lagi kesemsem sama doi-nya, 'kasian, kamu pantes jomblo. orang suka di tempelin,'
Sinta memaksa senyum, "Yakin, harus yakin. Kalau di sini aku keinget sama cita citaku terus, mana aku gak bisa lanjutin basket ku," resahnya.
Papa baru nyelesaiin menata koper di bagasi belakang, sesekali menghela nafas melihat si putri kecil-nya itu, lebih memilih healing ke luar kota sekalian sekolah di sana.
"Sin, papa ngak ngelarang kamu. Pokoknya kamu happy, jangan risau kami. Nanti kita saling liburan aja, ya."
"Ya, itu ide yang bagus," jawab Sinta, dia tahu Dimas. Kembaran yang selalu bikin tensi naik, dia yang nemenin Sinta selama ini selain papa, Sinta jadi kasian sesaat kalau mikirin tapi sejak empat bulan lalu, sadar dari kecelakaan. Hantu, makluk aneh dan abstrak. Sinta selalu menganggapnya begitu.
Sekarang dia bisa melihat apa yang kata orang 'Seram' bolak balik dia pergi ke psikiater, Hypnoterapi serta dokter syaraf, Nol. semua tak ada yang bisa menjelaskan kenapa kondisinya sekarang, selain kata stres, Szko. Bisa diangap gila dia.
Obses akan basket tak sampai membuat Sinta akan patah semangat, hal itu cuman hobi tapi kalau sampai gara gara diangap gila karena dirinya gak bisa meraih apa yang di mau, yaitu basket. Sinta memilih meningalkan semuanya di sini, Pindah ke Malang bukan hal buruk.
Perjalanan berkelok serta turunan dan tanjakan, mengambil jalan pintas. Begitulah Sinta mau memilih jalan lain untuk menghindari setan yang belakangan ini dia lihat.
'Aku liat setan kok bentukannya aneh, ku pikir mirip kayak di anime sering aku liat sama Dimas, ternyata beda, ya?' pikir SInta melihat ke luar jendela.
Sinta mengabsen satu persatu hantu yang dia lihat. Ada kuntilakan yang lagi kayak di depan halte, Sinta pikir mungkin kalau ada yang bisa lihat dia lagi kayang biar serem, padahal menurut SInta, Kuntilanak kayang itu mungkin lagi senam.
Penampakan lainnya, Pocong, hantu di juluki candy jump itu ernyata melayang. Lucunya di lihat lihat lagi, ketika si poci merentangkan tangan (berusaha keras) di tengah balutan kain kafan, malah mengingakan Sinta pada ikan yang di kutuk, apa lagi kalau bukan ikan pari lagi berenang.
"Mirip banget,"
Papa tengah menyertir mobil, mendengar gumaman si anak, mengira Sinta lagi memanggil dirinya. "kamu tadi ngomong apa, Sin?"
"Ah," tersadar dari lamunanya, Sinta menetralkan diri menjawab. "bukan apa apa, pa. Tadi liat ada mainan balon terbang,"
"Wah, lucu deh. Apa mau papa beliin," tawas si Papa memelankan mobil, Sinta panik. masa iya dia minta beliin satu ekor poci terbang?
"Gak perlu, pa. aku udah gede, gak perlu kayak gitu. Cuman lucu aja,"
"Ohh, kirain beneran pengen,"
Sinta menghembuskan nafas lega.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top