Ketemu Lagi



"Abis dari mana, Sin?"

Sinta menaikan belanjaannya, beli barang kebutuhan nek."

"Kan jauh, kamu juga. Cuman jalan kaki?"

"Gak papa, nek. Biar gak jadi remaja jompo. Harus kuar, aku masuk ke dalam kamar lagi, ya." pamitnya berlalu membawa barang belanjaannya.

***

"Selamat pagi semua—"

"—Eh!"

Sinta ingin menyapa, Kania. Tapi sosok lain di sebelahnya membuat Sinta terdiam mendekati temannya itu.

Kania melihat Sinta lalu melihat orang di sebelahnya tersebut, "abang kenal Sinta? Sin, kamu kenal abangku?"

Tentu melihat ekspresi keduanya cangung.

Gion, kakak dari Kania diam membisu. Sinta pun demikian mengingat kejadian semalam.

"Gak sengaja, pernah liat di mini market deket rumah, jadi pernah liat doang." Tukasnya malu, malu mengatakan hal sebenarnya.

"Oh," kata Kania tak ambil pusing.

"Kalau gitu aku masuk dulu ya, bang. Bey, bey."

"I-iya," sahut Gion cangung.

Kania mengandeng Sinta, tak menyadari raut wajah temannya sempat tegang melihat abangnya.

"Sin, nanti mampir ke kos-an ku sebentar ya."

"Kos, kamu ngekos?"

"Iya, aku ngekos. Tapi belakangan aku ada yang antar jemput, tuh. Abangku, jadi aku mau balik ke rumah. Mau 'kan?"

"Boleh," sahut Sinta menyanggupi.

***

Keduanya betul betul lelah, Sinta kelelahan membantu mengepak baju Kania, perempuan itu ternyata mempunyai hobi menimbun barang, sedangkan Sinta dan juga Kania saling memandang, begaimana kiranya kondisi perut mereka yang minta di isi.

"Yahhh," lesu keduanya, keuangan yang ngepres, biaya harus dibagi-bagi.

"Sin, kayaknya ada indomie deh."

"Yang bener?" secercah harapan terpancar dari keturunan jawa itu, hidung peseknya kembang kempis.

"Masak itu aja ya," seloroh Kania berjalan membuka laci dapur, kamar kost mereka memang cukup lengkap dengan dapur mini didalamnya, "Syukur deh, ini nyisa satu rasa soto." Kedua mahasiswa itu berseri, "Aku masak nasi dulu ya." Keduanya berbagi tugas, Sinta menanak nasi tinggal satu cangkir kecil, Sinta dengan cakap memasukan telur dengan daun bawang sisa tadi.

"Aku ada sosi, buat tambahan ya."

"Boleh, tambah mewah nih." Sinta tersenyum senang, toping mereka makin mewah.

Badan Sinta yang cukup berisi bergoyang ke sana kemari mengikuti lagu Koes plus tengah diputar Sinta.

"Bukan lautan hanya kolam susu... ."

"Kail dan jala cukup menghidupimu." Sambung Arini ikut berdendang.

"Tiada badai tiada topan kutemui... ."

"Ikan dan udang menghampiri dirimu... ."

"Orang bilang tanah kita tanah surga,"

"Tapi surga mana, masih di korupsi?!" lah, Kaniammengganti liriknya menjadi lagu sindiran, disusul tawa keduanya.

"Iya juga," setuju Sinta, "Penghuni surga mana, hobbynya jadi koruptor?" gurau Sinta menambahi

"Taraaa! Udah kelar, gimana, nasinya sudah jadi belum."

"Udah, udah. Mau aku kipasin dulu biar adem, kalau panas ketemu panas nanti njebeber," cetus Sinta ngide, nasi mengeluarkan kepulan uap panas, sebagai anak kost dengan berbagai cara anehnya, buku tebal berwarna biru beralih fungsi menjadi kipas, kipas mereka terlalu berdebu bisa berterbangan kotorannya.

"Njebeber itu apaan?"

"Itu, kalau kamu ninggalin mie kelamaan jadinya njebeber,"

"Ngembang?" Kania menebak clue diberikan oleh Sinta, "Iya itu!" timpalnya.

"Gimana, udah?"

"Sip." Jempol teracung, nasi mereka sudah cukup dingin sedang indomie beraroma sedap masih terasa hangat itu segera di gabung antar nasi plus indomie cukup khas bagi warga merah putih.

"Gak makan nasi gak makan," tutur Kania dengan pipi menggembung.

"Iya, makan steak aja kudu pake nasi," kekeh Sinta mengingat kalau mereka baru mendapatkan transferan langsung merasa kaum elit, memilih dibungkus untuk membuat pernikahan tak lazim antara nasi dengan steak dalam satu piring dengan kerupuk menjadi saksinya.

"Masih hujan ya?"

"Iya, kalau kita nunggu bisa keluar juga bakal lama." Ratap keduanya, ngomong-ngomong soal payung, mereka tak memilikinya juga alhasil hujan memang akan memenjarakan mereka.

"Nir, kalau gini jadi ingat jaman SMP?"

"Kenapa? pengen di ngulang sekolah lagi?" Kania mengernyitkan dahi.

"Kita dulu bisa kenal gara-gara indomie juga kan?"

"Oh, yang kita disuruh bawa spageti malah bawa indomie yang hemat,"

"Iya, kan hemat," tawa Sinta mengingat kekonyolan dia di sekolah sebelumnya.

"Kalau ingat-ingat, jadi mikir."

Sinta mencoba menelan makanannya yang belum habis sebelum menjawab, "Mikir apa?"

"Kalau kita udah lulus, bisa nggak kayak gini lagi, kelaperan makan indomie bareng temen kost, Loe bakal pulang ke Kediri gue bakal balik ke jakarta," ujar Kania memandangi mangkuknya telah kosong, momen hari ini benar-benar terasa bakal ngangenin.

"Iya juga sih," setuju Sinta sendu menggosok hidung peseknya, indomienya sudah tandas sejak tadi.

"Kalau aku kangen kamu tak makan indomie kalau gitu," usul Sinta nyeleneh matanya memerah menahan perasaan campur aduk.

"Tapi kita harus lulus, lo tau kan, kita disini buat wisuda, ngebangain orang tua kita."

Sinta mengangguk ia setuju dengan pernyataan barusan, ia ingin cepat-cepat wisuda mengejar mimpinya.

"Kayaknya yang bakal buat kita kangen gini, ujan-ujan di kost makan bareng temen sama ngegibah kalau stres dikasih tugas banyak-banyak, pulang sore."

"Kayak katamu kalau kangen kita bakal vidio call sambil makan indomie, terus kalau butuh sound ujan kita stel tuh video hujan di youtube," gurau Kania mengusulkan ide untuk mereka.

Padahal Sinta juga murid baru di sekolahnya sekarang, tapi beretman dengan Kania juga suatu hal yang menyenangkan, setidaknya dia punya satu gadis seusianya yang lucu.

Bayangan waktu yang belum terjadi pun malah mereka pikirkan saat ini.

"Boleh juga idemu, kalau bosan entar aku mau buat mie sambal ijo."

"Indomie goreng dikasih parutan keju, wahhh ... enak banget," celetuk Kania menimpali, membayangkan makanan itu mendapatkan toping tambahan mozarella, aneh. Di Lidahnya terasa fancy

"Belum pernah makan makan coto makasar dikasih potongan ikan goreng, itu mantap ditambah wijen," ungap Sinta hampir ngiler membayangkan.

Semoga mereka tidak dituntut oleh sekte indomie lainnya jika kedua nya mempunyai sekte terbaru, sekte toping. Berharap tidak menimbulkan kegaduhan seperti sekte bubur diaduk atau tidak.

"Jadi mau nambah."

"Hujannya sudah mau berhenti nih."

"Ada uang berapa?"

"Kalau buat hari ini 10 ribu ada."

"Gua ada 20 ribu, bikin nasi goreng mawut aja gimana? Mienya pake indomie goreng terus pake saos sama kecap dikasih bawang sama nasi, kelar udah."

"Ide sangat sesat, tapi aku setuju! cukup kayaknya 30 ribu kalau cuman beli gitu,"

"Makan malam enak entar, ha..ha..ha." Sinta tak begitu ambil pusing lagi kedepannya, makan nasi sama garam mereka pernah, sekedar buat nasi goreng ala kadarnya juga udah bagus.

"Kar, mau tanya."

"Itu tadi, beneran abangmu?"

"Betulan," sahut Kania.

"Sejak kapan?"

Kania terdiam. "Sin, bang Gion abangku dari lahir, kalau dari kapan. Ya, dari bapak sama ibu kami menanam bibit," sahut Kania lugu.

"Betul juga," kekeh Sinta kikuk, ngak lucu. Dia mengaruk lehernya terasa panas.

Pikiran Sinta mendadak melayang, 'kok, aku gak ketemu Har, ya? kemana hantu itu. Apa dia pindah sekolahan, emang hantu bisa pindah sekolah?'

Sinta bermonolog dengan pikirannya sendiri, juga menertawai pikirannya yang tenagh tanya jawab sendiri.

"Sin, kamu naksir sama abangku?"

Pertanyaan Kania mendadak membuat Sinta melotot, memproses apa yang barusan terucap. "ah, ngak kok." jawabnya cepat, dengan wajah panik tak bisa di tutupi.








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top