Kebenaran


Sinta juga menjadi ingin tahu akhirnya pertanyyan yang berakhir membawa keduanya ke salah satu kota sebrang, "kita nekat deh, udah gila." Sinta menoleh ke jurusan angkot baru aja pergi setelah dia turun.

Har mengaruk belakang kepalanya, "baru kepikiran,"

"APa," sentak Sinta melirik tajam ke Hartanto sekali kali memastikan tak ada orang di sana memperhatikan mereka.

"Kita cuman tau nama rumah sakitnya, R.S Satika, tapi nama adikku juga gak tau."

Sinta mengertkan dahi ikut berfikir, "kayaknya kita salah langkah juga, ya." Sinta garu garul dahi, jadinya dia kepingin salto atau kayang sangki menyesali kebodohannya kenapa kepikiran baru sekarang!

Sinta kembali berbicara dengan si hantu yang tampan itu dengan isi percakapan mereka sangat kaku.

Sinta, "jadi kita sodorin satu persatu buat nyari tubuh adikmu."

kembali di timpali oleh si hantu yang ikut celingukan takut kalau ada manusia melihat percakapan mereka tak lazim alias liat Sinta komat kamit buat ngomong dengan hantu itu.

"Boleh juga, aku kepikiran begitu."

Obrolan singkat itu berakhir  dengan tindakan mereka kelewat nekat seperti yang di lakukan oleh keduanya, saling bertanya ke orang pinggir jalan sampai nanya ke tempat segala sumber informasi data pasien berasal.

Sinta cekat cekot kepalanya kayak kena tendang bola, dadaya berdegup tangannya bergetar, "mbak, ada namanya orang Hartanto, cowok. Namanya gitu, adekknya teman saya." bibirnya pucat kayak belum di kasih makan membuat orang di balik komputer itu iba.

"Ta-tapi dek, di sini banyak yang namanya Hartanto, mau yang muda, mati, tua, yang lagi di oprasi."

"Yang pernah kecelakaan, namanya itu, saya temen kakaknya." begitu ujarnya.

orang itu berfikir dengan serius seperti ikutan super famili 100 jadi bagiamana memecahkan ini semuanya, "muda ngak?"

"Iya kali," sahut Sinta ragu. Tak berapa lama akhirnya orang itu mengeluarkan sebuah nama asing, "Rio Hartanto?"

"Ahh, itu." Sinta menepuk tangannya, dia melompat riang dengan Hartanto, mereka hampir lupa. KEwasrasn Sinta hampir di pertanyakan, dia berniat menarik kembali informasi tapi kembali Sinta mendesak menanyai di mana tubuh itu berada.

Sinta mendapati kamar terate ruangan dari mana Hartanto di kamarkan, adiknya. dia celingukan di depan pintu, melirik dari kaca pintu.

Terlalu takut kalau dia dikira dia mau maling, karna sejatinya dia dan hantu yang ikut di sebelahnya tembuh pandang tentunya akan cangung.

'Kriettt.... .'


Sinta reflek mundur sejalan dengan daun pintu yang terbuka, mata Sinta terbelalak ada seorang perempuan cantik baru saja muncul dari sana terkejut dengan kemunculan Sinta itu sendiri.

Keduanya sesaat teriam, Maria juga melihat dari bawah ke atas. "kamu siapa, ya?" tanyanya ke Sinta denan tatapan penuh selidik. Sinta ingin cangung ingin lari terbirit birit nyatanya

"Saya temennya temen orang yang di dalam!" serunya begitu semangat. "Hah?" Maria terkejut, masih memproses. "teman," beo nya masih meliat Sinta seperti orang yang baru di temuninya.

"Sayang, kenapa?" sesosok lelaki bertubuh tinggi muncul dari sana, menyusul Maria.

"Kamu adikku?" Har mendekat ke cowok yang baru saja muncul dan mendekat, "bukan apa apa, kayaknya dia temennya Rio deh,"

Kata perempuan itu menoleh ke sang pria, "Rio," beo Sinta mengangguk.

"Kalau begitu kamu jagain dia ya, aku titip sama kamu. Bilangin maaf aku gak bisa nungguin dia lebih lama lagi," ungkap perempuan itu dengan sedih.

Sinta mengangguk kikuk, obrolan singkat memperkenalkan diri satu sama lainnya mereka lakukan, kemudian Sinta baru bisa masuk ke dalam untuk melihat tubuh yang terbaring tak berdaya di sana. "Sin!" pekik Hartanto melihat tubuh itu.

Dari nama pasien memang betul Rio Hartanto, tapi wajah mereka sama. "Har, kamu masih hidup," gumam Sinta membekap mulutnya, keduanya menjadi bertanya tanya, lalu siapa yang di kuburkan di dalam tanah sana, kalau itu kakaknya, maka ini adik--dan Hartanto yang ada dengannya adalah adiknya.

"Aku gak tau, kenapa bisa begini. Aku masih hidup, apa aku bisa balik lagi ke tubuhku?" pundaknya luruh, dia menemukan pecahan di dalam kepalanya.

Sinta memecahkan suara antar mereak, "jadi kamu masih koma, kapan sadar?" dia meoleh ke Har, dia tengah bengong melihat tubuhnya terbaring. "Apa jangan jangan yang meninggal kakakku?"

"Bisa jadi ingatanmu kuran revelan, buat kejadian sebenarnya."

Tubuhnya Har melorot terduduk di lantai, "ak--aku bisa hidup? Sin, kalau aku hidup lagi ..., kamu mau nikah ngak sama aku?" tanyanya mendongak melihat SInta, risih melihat tatapan melas, "ya, kalau kamu manusia, aku iyain ajakan nikahmu. Pokoknya janji."

"Okey, beneran ya."

"Ngomong ngomong, perempuan tadi siapa ya? apa dia saudaramu?" tanya Sinta ke Har yang tak lain bernama Rio.

"Aku gak inget." katanya sambil mengendikan bahu, "emang bener ya, ada hantu amesia."

Kalau begitu mungkin mereka akan sepakat bersama untuk mencari keluarga Hartanto yang kita sebut saja Rio, hantu amesia ternyata di takdirkan bertemu dengannya.

"Okey, kita tanya tanya sama Anggun. Siapa tau dia bisa ngasih tau cara supaya balik ke badanmu." ide Sinta mengajak Rio balik ke rumah, kebetulan memang keduanya sudah melalang buana ke kota ini sampai malam menyelimuti langit.

Kembali ke rumah sudah di nantikan oleh kedua orang tua yang telah melahirka ayahnya, tubuh lengket terkena terik dan bau tanah segera membuat Sinta pergi ke kamar mandi, menyegarkan diri sebelum mengendap endap mencari makan.

"Ngak mandim,  bau badan entar,"

Rio mengecek bau tubuhnya lalu menyadari sesuatu, "aku kan hantu, mana ada bau badan. Emang mau ngajak mandi bareng?"

"Eh, ngak. aku lupa," gugupnya.

***

Rungkad
Entek entek an
Kelangan koe sing paling tak sayang
Stop mencintaimu
Gawe aku ngeluMungkin
Aku terlalu cinta
Aku terlalu sayang nganti
Ra kroso dilaraniPancen

Ku akui kusalah

Terlalu percoyo mergo
Mung nyawang rupoSaiki aku wes sadar
Terlalu goblok mencintaimuRungkad
Entek entek an

Kelangan koe sing paling tak sayang

Bondoku melayang tego tenan
Tangis tangisan


"Kecilin dong suaranya!"

"Lagi aasooy nih,"

Karin langsung mencebik, protesnya tak di dengarkan oleh temannya satu kelas.

Karin mendelik ke teman sekelasnya tengah berjoget dengan lagu khas jawa, dia tak masalah dan suka dengan suka saja kalau tidak di nyanyikan pakai vokal fales, rasa mengumpatnya dia alihkan untuk memperhatikan temannya.

Sinta sekarang punya kebiasaan pulang bergi ke rumah sakit, belum pernah dia ketemu dengan kedua orang tua Rio, apa lagi dengan perempuan waktu itu, membuatnya gelisah bagaimana kehidupannya setelah ini. "Jadi kenapa murung." taya Karin. "apa putus dari pacar?" selidiknya serius.

"Buka...ann, aku gak ada pa..car."

Karin mengendikan bahu, "lal apa masalahnya dong, masa tau tau surut kiek kembang tahu, loyo banget."

"Aku kepikiran tiba tiba sama temanku, masa dia sakit tahunan gak ada yang jenguk."

"Loh, sakit apa, keluarganya kok tega?"

Sinta membalas, "dia koma. tapi aku kunjungin dia di rumah sakit, gak pernah bangun dari sakitnya, orang tuanya juga gak pernah tau ada di mana?" sahutnya demikian.

Karin mengagankan mulut, "di buang kah?"



























































Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top