Buruan Pertama
"Jadi ini alamat rumahmu?" Sinta memegang selembar kertas di tulisnya sendiri berisikan alamat Hartanto, hantu itu tak banyak membantah di bilang Sinta. "betul, ini emang rumahku ..., dulu."
Di lihatnya pemandangan puluhan tahun lalu, pernah menjadi tempat dirinya dan keluarga bernaung, sosok lain menghampiri Sinta. "cari apa dek, kok di sini?" tanya seseorang pria sudha lanjut usia agak membungkuk, matanya keriput. "ini pak, saya mau cari teman saya, rumahnya di sini kalau gak salah dulunya," Sinta menjawab setenang mungkin.
Pria tua itu mangut mangut tapi keheranan, "yakin temanya di sini?" tanyanya bali dengan selidik.
Sinta melirik Har, hantu itu tentunya tak kasat mata bisa di lihat secara gamblang oleh bapak tua. "betul kok, pak. Rumahnya ini, nih saya di kasih alamatnya di sini."
Sinta tentunya menyodorkan kertas hasil tulisannya sendiri, sebagai alibi toh yang memberi tahu alamatnya juga Har.
"Betul, ini betul alamatnya." Setelah beberapa menit berpikir, tampak sekali otak tuanya mencerna.
"Tapi," katanya sambil terngungu, "adek ini siapanya si penghuni rumah, ya?" keembali di serahkan kertas tersebut pada si pemilik, "dulu memang ada keluarga yang tinggal di sini, tapi setelah anak pertamanya meninggal mereka kayaknya udah pindah."
Sinta dan Har, tercekat. Tentu yang di maksud Hartanto.
"Namanya Hartanto bukan?"
"Betul, itu kakaknya." soraknya membenarkan, "tapi adiknya masih hidup kok, kabar terakhir dia setelah pindah dari sini juga kecelakaan."
"Adik?"
"Aku punya adik?" Har kebingungan, "aku gak ingat." dia mengaruk pucuk kepala.
Sinta kembali menodong si bapak dengan pertanyaan lainnya, "lalu siapa nama adiknya?"
"Wah, sudah pikun jadi lupa. Tapi kedua anaknya emang di kasih nama belakang Hartanto semuanya, kadang di panggil Har, gitu aja. Jadi warga sini apalnya Har dewasa sama Har kecil," dia masih berpikir.
"Ah, aku baru inget. Yang bungsu namanya Rio, ya Rio."
Hartanto membeo sekali lagi, "adikku Rio? aku betulan punya adik, gimana dia sekarang." wajahnya mendung, rasa rindu kepingin bertemu adiknya.
"Kalau kakaknya makamnya di mana ya?"
"Ada, kalau itu ada di makam Kemuning dekat sini, cari aja TPU Kemuning, terus makamnya yang di tumbuhi rumput liar."
"Pak, tapi namanya kuburan pasti kembanyakan di tumbuhi rumput liar semuanya."
"Gak kok, kamu pasti tau yang mana nantinya soalnya cuman kuburan itu gak terawat, nisannya aja hampir gak kelihatan," dia menjawab denagn pasti, yakin dengan apa dia ingat sebagi orang tua yang sering berbaur dengan masyarakat. "Kuburannya gak pernah ke urus, keluarganya kayak dapet pukulan berat setelah kakaknya meningal."
Bapak itu mendesah, seperti mengeluarkan banyak beban, "Adiknya juga sempet trauma waktu kecelakaan itu ikut soalnya,"
Sinta tertegun, melihat Har kebingungan, tingkahnya grasak grusuk gak santai, "Makasih pak, infonya, kalau gitu saya mau ke makam dulu." pamit Sinta melambai menyuruh Har mengikutinya.
"Tadi aku kok gak tanya ya, dia tadi temannya siapa? kalau temenya Rio masa dia gak tau temennya masuk rumah sakit," si bapak tua mengaruk jangutnya sudah memutih.
***
Langkah kedua makhluk beda dimensi tersebut berjalan di akhri papan bertuliskan Tempat Pemakaman Umum,
"Di sini," Har bergidik melihat pamakaman walaupun dia sadar, jasadnya ada di bawah tanah berkumpul dengan kematian di sana.
Sinta menunjuk ke pintu pemakaman, "ayok, masuk sini! cepat." Sinta melihat sekitar tentunya dia gak mau di cap sebagai orang gila baru, bisa jadi bahan aib untuknya, mana ada orang gila yang wangi, cuman emang matanya rada nyeleweng bisa liat demit.
Langkah pertama menginjak pemakaman, Sinta sudah melihat kabut. Menyesakan untuknya masuk ke area di mana manusia akan berakhir di sana kelak, tingal waktunya kapan.
"Bener deh, kayaknya cuman kuburanmu yang gampang di kenali." Sinta tampak tak kaget dengan hal di lihatnya di sana, "emang kenapa, bisa liat masa depan gitu, makannya cepet ketemu?"
"Bukan, yang lain tandus tuh, di sana yang paling seger." Sinta menunjuk salah satu kuburan di tumbuhi tanaman liar, mereka berjalan begitu hati hati, takut menginjak gundukan tanah dan menghormati sosok yang ada di dalam sana.
Sinta lihai mencabuti rumput liar, berhati hati dirinya menyingkirkan tumpukan di satu sisi, "bisa jadi pakan kambing nih," seru Har, sumringah dengan sikap rajin Sinta. "ini kalau aku gak terpaksa juga ogah," tuturnya mengosok tangannya dari debu pasir.
"Namanya siapa, lihat." Har mencoba mengeja namanya. "Kenapa?"
Tak kunjung di jawab, Sinta ikut melihat nisan milik hantu itu, "Ahmad Hartanto?" melirik dari ekor matanya, "namamu Ahmad?"
"Aku familiar namanya, tapi masa namak Ahmad,"
"Udah mati, di bantuin cari jati dirimu, ngeyel. Namamu Ahmad tuh," Sinta menadahkan mata mulai merapalkan doa untuk Ahmad, Hartanto yang baru tau nama lengkapnya tersenyum mendapati orang asing seperti Sinta mau saja berdoa serta mencari kuburannya.
"Kanapa menatapku kayak gitu," ketus Sinta melihat Har tersenyum ke dirinya. "gak papa, jarang aja liat orang peduli, di liat dan kayak apa di kata bapak tadi, betulan keluargaku gak ngunjungin aku." nanarnya berujung sedih.
Sinta menghiburnya dengan kalimat penenang, badannya di geserkan mendekat, "kalau begini, kamu udah tenang?"
Sinta tau Har --yang diketahui ini bernama Ahmad--sedang memaksakan senyum, jika ada Anggun, pria bebencongan itu pasti menghibur. "kenapa lagi?"
"Kalau keluargaku trauma semenjak aku gak ada, kenapa mereka gak berkunjung ya?" rautnya menjadi sedih, apa gini kematian seseorang yang tak di ingat oleh orang terdekatnya, Sinta jadi ingin membangun relasi yang baik dengan sesama manusia agar dirinya tetap di ingat sepanjang masa, minimal anak cucunya mengenang dia menjadi sosok yang baik.
"Bapak tadi ada omongan kalau adikmu masuk rumah sakit, apa karena itu mereka sibuk." Sinta mengendikan bahunya, "ngomong ngomong aku minta maaf, ke sini gak bawa kembang."
Har terkekeh, "kita juga dadakan kemari, mana tau kalau ternyata malah ke kuburan." Har yang duduk bersebrangan menahan Sinta, "Sin, diam dulu deh. Ada orang mendekat kamu nanti di kira gila kalau ketahuan ngomong sendiri, Sinta menoleh betulan ada sosok perempuan tua membawa sapu. Mungkin memang orang yang membersikahan makam ini dengan cara di bayar.
"Bu," sapa Sinta ramah.
"Mbak ini, kok ada di makamnya mas Ahmad. Apa saudaranya ya?" tanya si ibu tampak mengenali almarhum, Sinta melirik Har yang mengendikan bahu seperti paham arti dari tatapan Sinta.
"Bukan bu, tapi kenalannya.
"Tapi kayaknya, mbak ini bukan seusia mas Ahmad ya. Temnnya adeknya?"
"Begitu," sahut Sinta mengulum senyum, hatinya sudah gundah gulana tak nyaman dengan sosok yang terus membrondongnya dengan pertanyaan.
"Syukur," dia tampak lega. "dulu mas Rio yang kesini, dia selalu bilang ke saya dan orang yang berbesih disini, jangan ada yang nyentuh makam keluarganya kalau bukan dia sendiri atau orang yang di kenalnya. Makannya makamnya di tubuhi rumput liar."
'Pantas' pikir Sinta melirik ke tumpukan rumput tadi, "kalau begitu mas Rio nya kemana?" balik tanya Sinta, "loh, bukannya temen, ya?"
Seperti kemakan bumerang sendiri, Sinta harus terlihat 'dekat' dengan Rio. "begini bu, saya udah lama gak ketemu sama si Rio ini, karena dia itu kenalan saya. Cuman niat negok makam kakaknya juga,' Sinta nyengir.
"Sin, Sin. Tanyaain adikku gimana sekarang, aku kepikirng liat. Siapa tau kalau aku liat adikku itu alasan aku ada di sini, mungkin kangen,"
Sinta mendengar saja celotehan Har, 'Apa aku tanyain,' gundahnya tak enak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top