14-Sticky Note
Aras menatap kosong papan tulis di depan kelas seraya memutar-mutar ponsel di atas meja yang menampilkan satu akun Facebook yang menjadi penemuannya semalam. Dia sudah memberitahu akun itu kepada Haifa dan sekarang gadis itu masih asyik berseluncur di akun bernama Senjaras. Aras sempat memikirkan pemilihan nama itu. Kalau Senja berniat menyembunyikan sesuatu, kenapa namanya ditulis sangat jelas?
Namun, ketika dipikir-pikir, dia tidak punya Facebook, kecil kemungkinan mengetahui adanya akun Senjaras. Mungkin itu penyebabnya. Cowok berhidung mancung itu menatap Senja yang tengah duduk di sampingnya. Sedari tadi Senja hanya diam, sesekali alisnya berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.
Senja ini aneh. Arwah bisa menyentuhnya dan juga menyentuh benda lain, juga bisa merasa seperti manusia. Kenapa dia baru menyadari itu sekarang.
"Ja, lo kenapa bisa merasa layaknya manusia, juga bisa nyentuh barang? Tapi lo cuma bisa nyentuh gue aja, lo gak bisa diliat orang lain juga."
Senja terkesiap, dia buru-buru menatap Aras lalu sekitarnya. Ternyata kelas sedang sepi sebab waktu istirahat. Dia terdiam sejenak karena terpikir akan sisa waktu yang dia miliki tak banyak lagi.
"Itu semua kelebihan yang gue dapat selama sebulan. Kalau dalam waktu sebulan gue gak bisa nemuin alasan gue meninggal, semua kelebihan tadi bakalan lenyap, termasuk ngobrol sama lo, nyentuh, atau bahkan dilihat sama lo. Gue cuma punya waktu sebulan, Ras dan sekarang sisa dua minggu lagi."
Helaan napas panjang Senja membuat Aras merasakan kegundahan gadis itu. Memang waktunya semakin menipis dan Aras lupa akan fakta itu, lebih tepatnya tidak mau mengingat. Mau sekeras apa pun Aras agar siap menerima kenyataan, dia tidak akan secepat itu rela ditinggalkan apalagi jika nanti dia tahu apa yang membuat Senja sampai kehilangan nyawa, dibunuh atau bunuh diri.
Haifa yang mampu melihat kegusaran Aras, kini duduk di kursi kosong depan meja cowok itu. Meskipun dia tidak dapat membantu banyak, setidaknya dia bisa terlibat sebagai pernyataan terima kasih kepada Senja karena telah mau menjadi temannya selama ini di saat kebanyakan orang hanya memandangnya sebelah mata.
"Ras, lo kenapa? Senja ngomong apa?"
Aras menyenderkan punggung ke sandaran kursi sambil menghela napas. "Waktu Senja gak lama lagi. Kita cuma punya dua minggu untuk cari tau semua."
Sebenarnya Aras sudah tidak ingin melibatkan Haifa lagi, tetapi tatapan kesungguhan Haifa pernah melarangnya untuk mengatakan itu. Sekarang mereka dihadapkan situasi membingungkan sebab segalanya semakin menjadi tanda tanya besar. Senja dan akun Facebook yang mereka temukan memberikan sebuah petunjuk.
"Kita harus mulai dari mana kalau gitu, Ras? Setelah aku perhatiin status-status yang Senja kirim, semua nandain kalau dia lagi gak baik-baik aja." Haifa menyodorkan ponselnya, menyuruh Aras memperhatikan lagi tulisan di sana baik-baik.
Manusia tersenyum, terus terbahak, tak pernah samar bahagianya sampai-sampai tak ada waktu berkeluh-kesah. Tidak penting mencari telinga untuk mendengar lantang dukanya. Terlalu bahagia.
Ya, Aras tahu Senja tak baik-baik saja dalam kiriman ini, tetapi apa yang membuatnya demikian? Apa ada kaitannya dengan Nino dan Daren? Aras menggeram. Sial! Otaknya tak bisa perpikir dengan baik.
"Ras, gue emang suka bahasan kesehatan mental, ya?" Senja menempelkan pipi di atas meja, menatap Aras dengan tatapan bingung.
Aras menggaruk tengkuk, sedikit berpikir. Kalau diingat-ingat, Senja memang sering memposting sesuatu berbau kesehatan mental. "Bisa jadi. Lo emang suka upload tentang itu, sih?"
"Tentang apa, Ras?" Haifa mencoba masuk ke dalam pembicaraan.
"Menurut lo Senja suka konten kesehatan mental?"
Haifa berpikir sejenak, lalu mengangguk patah-patah. "Tapi dia sukanya baru gitu, Ras. Maksudnya dia mulai bahas kesehatan mental gak lama ini. Dia sering cerita ke aku tentang banyak hal. Salah satunya itu, tapi kesehatan mental menurut aku adalah topik baru yang Senja bahas."
Aras melirik Senja yang terlihat ikut berpikir. Dia masih belum bisa menyimpulkan meski mulai sedikit paham kalau mungkin Senja mengalami sesuatu di luar dugaannya.
"Senja, lo gak ingat apa-apa?"
Gelengan Senja membuat Aras tersenyum kecut. Baiklah, sepertinya salah satu jalan untuk memecahkan masalah ini adalah berurusan langsung dengan Nino atau Daras. Dia harus memikirkan cara apa yang mampu membuatnya bisa betah berurusan dengan Daras. Soal Nino, mungkin tidak terlalu sulit karena cowok itu sering melihatnya bersama Selena. Aras bisa perlahan-lahan mengorek informasi dari Nino.
Namun, bagaimana dengan Daren? Dia harus meredam emosi setiap melihat cowok itu. Aras membuang napas lalu berucap, "Kita mulai cari tau tentang Daren, Fa. Lo tau sesuatu?"
Haifa menggeleng. Sebagai orang yang tak memiliki banyak teman, dia hanya bisa mengenal orang tanpa dikenal balik. Haifa bahkan tahu tentang Daren karena curhatan Senja kala itu, ketika Daren berusaha merusak hubungan Aras dan Senja dengan menuduh Senja selingkuh.
"Mungkin aku bisa cari tau dari pacarnya Daren." Meski sulit, Haifa tetap ingin membantu. Mendekati Tiana sangat mustahil, tetapi tidak sulit membuntuti gadis itu.
Aras mengangguk. "Makasih, gue percaya lo bisa."
Setelah menghabiskan waktu di sekolah memikirkan banyak hal tanpa memperhatikan pelajaran, akhirnya Aras dapat merebahkan diri di kasur. Hari ini dia tidak begitu banyak bicara dengan Senja, gadis itu pun juga hanya diam.
Aras melirik Senja yang tengah melamun. "Ja, lo mikirin apa hah? Tenang, lo gak ninggalin utang buat keluarga, kok." Dia mencoba membuat cair suasana, bagaimanapun juga Aras selalu merindukan tawa renyah gadis itu.
Bukannya tertawa, Senja hanya tersenyum kecil. "Gue gak mikirin apa-apa, Ras."
"Kalau gitu kenapa lo diam? Biasanya nyerocos mulu. Udah ketemu sama ayang arwah lo hari ini?"
Senja berdiri dengan kesal dan meraih bantal, menimpuk wajah Aras dengan benda itu. Lama-lama Senja selingkuh juga kalau Aras selalu menyebalkan di saat yang tidak tepat.
"Gimana gue bisa selingkuh, Ras. Gue gak punya banyak waktu lagi. Gak ada waktu buat nyari ayang baru."
Aras terbahak, tetapi juga sedih. Waktu ... dia benci waktu juga menyukainya di saat bersamaan. Karena waktulah yang membuat Senja berada di sini dan yang akan menarik gadis ini hilang dari pandangannya.
"Gak usah, Ja. Cukup jadiin gue satu-satunya di hati lo." Aras mengunci tatapan mata mereka berdua, menyelami rasa yang tetap sama.
Senja tersenyum kecut. "Curang. Gue bisa jadiin lo yang terakhir di hati gue, tapi lo gak akan bisa jadiin gue yang terakhir di hati lo, Ras."
Aras memeluk Senja seraya memejam. Tangannya mengelus surai panjang gadis itu sambil menitikan air mata. Memang benar, Aras tidak akan pernah bisa menjadikan Senja sebagai yang terakhir. Bagaimanapun hidup harus terus berjalan.
"Meskipun lo bukan yang terakhir, lo harus tau, Ja kalau lo selalu punya tempat spesial di hati gue." Aras semakin mengeratkan pelukannya ketika Senja balas memeluknya. "Lo selalu punya ruang di kehidupan gue, Ja sekalipun lo udah gak ada."
Hening sejenak, hanya isakan keduanya yang bisa terdengar. Mereka bukan hanya sepasang muda-mudi yang saling mencintai, tetapi juga sepasang sahabat yang telah melewati ribuan hari sejak mereka berumur dua belas tahun sampai akhirnya mereka berumur delapan belas. Banyak kenangan yang telah mereka lalui bersama, tak mudah terbiasa melewati hari nantinya jika mereka sudah tidak bersama.
"Senja ... gue sakit kalau lo gak ada. Orang yang udah gak bernyawa gak akan bisa mengingat apa-apa lagi, Ja. Lo bakalan lupain gue, ninggalin gue yang akan berusaha nata hari-hari yang gak akan mudah."
Isakan Aras membuat Senja bergeming. Benar, cepat atau lambat ucapannya yang mengatakan akan selalu mengingat Aras hanyalah penenang semata. Dia tentu tidak bisa mengingat apa-apa setelah benar-benar pergi.
"Maaf, Ras. Maaf kalau gue pergi lebih dulu. Sekalipun berat, lo harus hidup sebahagia lo bareng gue, atau bahkan lebih bahagia dari yang pernah kita laluin sama-sama."
Aras memegang pundak Senja, menyelami tatapan mata gadis di depannya. "Gue gak janji, Ja. Tapi gue bakalan berusaha untuk itu."
Senja tersenyum dan menghapus air mata Aras yang terus berderai. "Udah, ah, nangisnya. Gue gak pernah lihat lo nangis kayak gini."
Aras tersenyum. "Ya iyalah. Harusnya lo bangga ditangisin, Ja. Artinya gue bener-bener sayang sama lo."
"Tanpa lo nangis pun gue bisa tau kalau lo kelewat sayang sama gue, Ras. Dari lo yang selalu siap sedia di kala gue butuh bantuan, butuh pendengar dan gak pernah menghakimi, dan banyak lagi. Lo selalu jadi tempat curhat favorit gue, Ras."
"Tapi ada kalanya lo nyembunyiin sesuatu dari gue, Ja." Aras tidak mampu menyembunyikan raut kecewanya. Dia tahu Senja memang selalu menjadikannya tempat curhat nomor satu, tetapi ketika mengetahui akun Facebook yang dia temukan, gadis ini benar-benar dirundung masalah yang tak seorang pun bisa tahu.
"Oh, ya, Ras. Di rumah gue ada sticky note yang isinya tulisan potong rambut dan harus tetap senyum. Gue mikiran itu mulu dari tadi, tapi gak bisa nemu ingatan apa-apa."
"Sticky note? Kalau gitu kita ke rumah lo sekarang!"
***
04 Desember 2022
Jumkat: 1396
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top