1-Kertas Rahasia
Aras perlahan membuka mata seiring kepalan tangannya perlahan melemah dan menampakkan remasan kertas. Cahaya matahari sore menyambut netra dari celah gorden putih. Dia mendongak, menatap langit-langit kamar seraya menggoyangkan kursi belajar ke kiri dan kanan. Otaknya ikut berpikir, berusaha mengartikan guratan singkat dari kertas lusuh karena ulahnya.
Tulisan itu jelas ditulis di hari Senja, pacarnya, meninggal. Dia masih tidak percaya Senja meninggal. Pacarnya baik-baik saja sebelum meninggalkan sekolah, bahkan gadis itu pernah bilang kalau dia baik-baik saja selama Aras ada.
Cowok yang kini sudah duduk di tingkat terakhir sekolah menengah atas itu membuang napas panjang. Tulisan Senja jelas menunjukkan bahwa dia dibunuh, bukan bunuh diri. Namun, bagaimana caranya mengungkapkan hal ini jika dia saja masih ragu.
"Senja, gue gak tau harus gimana sekarang." Aras melihat kertas di tangannya untuk kesekian kali.
"Pembunuhan tanpa benda tajam nyata adanya. Mungkin mereka tidak pernah tau bahwa ada banyak hal yang bisa membuat manusia terbunuh. Mungkin aku adalah salah satu manusia yang mengalami hal ini." Aras kembali menggumamkan kalimat serupa.
Kali ini dia yakin sekali orang lain telah membunuh Senja. Namun, Aras bisa apa? Dia hanya punya secarik kertas dan sedikit keberanian. Dia memijat pangkal hidung lantas berdiri, hendak keluar dari kamar sang pacar yang telah tiada. Tidak sia-sia dia datang ke sini. Berkat rindu, Aras bisa menemukan catatan penting.
Aras memutuskan diam seribu bahasa untuk sekarang, menyimpan temuannya untuk diungkap kemudian hari. Perlu rencana dan harus memikirkan langkah awal secara matang-matang sebelum bertindak.
"Kamu udah mau pulang, Ras?" Selena, kakak Senja, menyapa Aras ketika remaja itu menutup pintu kamar.
Selena jelas tidak akan kaget mendapati kehadiran Aras. Semenjak Senja tiada, Selena membiarkan saja Aras menyambangi kamar adiknya. Dia pun tahu ada rindu yang tak bisa dibayar meski hanya mengunjungi tempat ternyaman sang adik.
Aras mengangguk dan buru-buru menyelipkan kedua tangan ke saku celana abunya, memasukkan kertas rahasia. "Besok Aras balik lagi, Kak."
Cewek berumur pertengahan dua puluhan itu mengangguk, lantas memasuki kamarnya di sebelah kamar Senja. Sebelum dia menutup pintu, dia berpesan kepada Aras agar menutup pagar rapat-rapat, dan cowok itu tak keberatan. Aras sudah terbiasa dengan ketidakpedulian Selena. Sebelum Senja meninggal, cewek beramput sepunggung itu memang sedikit tak memedulikan sekitar, sudah terlampau sibuk dengan pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan Senja.
Aras bergegas, ingin cepat-cepat tiba di rumah agar bisa menyusun rencana. Fakta yang dia temukan kembali menorehkan luka. Pikirnya, kenapa harus Senja yang mengalami ini semua? Dia tahu kalau sikap ambisius gadis itu sudah membawa petaka, tetapi apa tidak cukup kebencian teman-temannya, cercaan, dan gosip tidak menentu yang dilayangkan untuk Senja sebagai hukuman?
Keesokan hari di sekolah, Aras memperhatikan teman sekelasnya satu per satu, mencoba menemukan kemungkinan kecil di antara orang-orang yang tak pernah menyukai Senja, kecuali satu gadis di pojok kelas, dekat jendela, teman sebangku Senja, Haifa namanya.
Dia pikir kecil kemungkinan pembunuh Senja menampakkan gelagat aneh, seperti ketakukan atau banyak melamun, bahkan tidak masuk sekolah. Semua teman sekelasnya bersikap normal, seperti biasa. Aras mengempaskan punggung di sandaran bangku. Bagaimanapun juga dia perlu menyelidiki tiap teman sekelasnya. Ya, dimulai dari kelas ini.
Aras yakin, bukan hanya satu kelas saja yang membenci Senja. Gadis itu bahkan dibenci oleh beberapa siswa dari kelas lain karena banyak hal. Salah satunya, Senja pernah dituduh menyuap guru pembina olimpiade agar dia yang ditunjuk sebagai perwakilan sekolah. Aras membuang napas panjang. Tentu saja Senja tidak seperti itu. Dia tahu semua tentang pacarnya. Dia sudah berteman lama dengan Senja, sejak kelas satu SMP.
Dari dulu Senja memang selalu dirundung karena kecantikan dan talenta gadis itu. Aras akan selalu ada untuk Senja, menjadi pembela dan tempat berbagi dikala Senja sudah capek menghadapi perkataan serta tindakan kasar teman-temannya. Remaja sekarang memang aneh, semua jenis orang bisa dirundung.
Berbeda dengan zaman dulu, biasanya orang yang selalu tersingkir adalah mereka yang kutu buku, tidak punya lingkar pertemanan orang-orang kaya. Namun, Senja sebaliknya. Senja pintar, cantik, dari keluarga berada, ramah, bertalenta, hanya saja kedua orang tuanya sudah tiada. Semua guru suka padanya, tetapi sayang teman-temannya malah bertindak sebaliknya.
Aras mengepal, berusaha meyakinkan diri bahwa dia pasti bisa menemukan jawabannya. Dia ingin Senja mendapatkan keadilan. Siapa pun yang membunuh Senja, dia berhak dihukum. Dia bangkit, menimbulkan derit kursi yang beradu dengan lantai, keluar kelas menuju perpustakaan. Dia butuh tenang untuk memulai aksi awalnya.
Namun, sampai detik bel memulai pelajaran dan bel pulang berdentang nyaring, Aras belum menemukan cara yang pas untuk menemukan informasi tentang Senja. Dia mulai merasakan otaknya letih, ingin segera diistirahatkan. Dia bahkan tidak memperhatikan pelajaran seharian ini.
Setiba di rumah, Aras buru-buru mengganti pakaian lalu merebahkan diri di kasur. Tak butuh waktu lama dengkuran halus mulai mengisi sudut-sudut kamar.
Dua jam cukup membuat Aras bangun dari tidur. Dia menguap lebar-lebar sembari melirik arloji, sudah pukul lima sore. Aras menyempatkan diri tenggelam dalam kenangan bersama Senja. Dia rindu gadis itu, bahkan sangat merindukannya. Hari-hari Aras selalu dipenuhi Senja selama hampir enam tahun, tetapi kini gadis itu sudah tidak ada di dunia ini.
"Gue rindu lo, Senja ...," lirihnya.
Tidak ingin berlama-lama memupuk kesedihan, Aras segera bangkit dari rebah, takut tidak mampu mengungkap tulisan Senja. Pemandangan pertama yang menyambut ketika berhadapan dengan kursi belajar adalah seorang gadis. Gadis berambut panjang, bermata sipit, dan tersenyum hingga menampakkan gigi putih yang tersusun rapi, juga berseragam sekolahnya.
Aras mengucek mata berkali-kali, bisa saja dia berhalusinasi sebab terlalu merindukan Senja. Tidak mungkin orang yang telah meninggal bisa duduk di kursi, bahkan tersenyum lebar. Akan tetapi, dia tersadar bahwa Senja di hadapannya memang nyata ketika matanya mulai perih karena terus dikucek.
Remaja cowok itu berdiri, gadis itu juga ikut berdiri hingga kini mereka saling berhadapan dan tatapan saling mengunci. Aras mulai dibanjiri keringat dingin. Hanya satu kemungkinan, orang atau apalah yang mirip Senja ini sudah jelas hantu, tidak mungkin Senja kembali hidup.
"Hai, Aras."
Sapaan riang itu membuat bulu kuduk meremang, tetapi hatinya malah menghangat. Aras ingin membalas sapaan itu, hanya saja mulutnya terkunci rapat, masih terlampau terkejut. Bagaimana bisa hantu bisa menyapa seramah itu?
"Aras, ini gue Senja, pacar lo." Senja mulai mendekat hingga membuat Aras mundur perlahan, siap-siap mengambil langkah seribu. "Ras, ini Senja. Kenapa lo ketakutan kayak gitu?"
Kali ini Aras benar-benar terbirit sambil berteriak, "Gue rindu sama lo, tapi lo gak harus jadi hantu juga, Senja!"
Senyum Senja memudar, dia baru tersadar kalau ternyata dia bukan lagi manusia. Senja kembali duduk di kursi, cemberut. Dia yang awalnya kelewat senang karena bisa dilihat Aras kini uring-uringan. Beberapa hari ini dia cuma bisa melihat tanpa bisa dilihat balik. Namun, apa ini? Dia malah ditinggalkan.
"Aras, gue balik dan waktu gue gak banyak," lirih Senja, terdengar putus asa.
***
01 November 2022
Jumkat: 1102
So, this is the first chapter at last. Semoga kalian suka. Jangan lupa vomment, minna-san.
Matane!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top