P r o l o g
Pagi ini matahari sengaja bersembunyi, mendung betah menghalangi seolah mengerti jika di bawah sana, tepatnya di salah satu pemakaman umum tampak seseorang tengah duduk diam mengabaikan beberapa kerabat yang mulai pamit pulang sebab prosesi telah selesai.
Wajah sendu nan basah menjadi saksi betapa berharganya waktu yang kini terasa pendek, sebab ketika Tuhan meminta waktu berhenti, maka kita tidak bisa menukar ataupun menambahkannya walau sedetik.
'Kai nggak siap, Buk. Kai nggak bisa nggak ada Ibuk'
Kaisar memandang gundukan tanah yang baru saja menyemayamkan sosok paling hebat di hatinya, ribuan sesal hanya bisa terucap dalam angan sebab dia tidak bisa menjadi lemah sekarang, masih ada beberapa hal yang belum tuntas, salah satunya adalah sebuah upaya merelakan dari Ayah dan Adiknya yang kini belum bisa datang ke tempat peristirahatan terakhir keluarganya karena beberapa alasan.
"Balik yuk, lo kan masih harus dirawat," ujar Satya setelah di rasa hanya tersisa mereka berdua disana.
Kaisar menggeleng pelan, "Gue masih mau disini, Sat."
Satya hanya diam. Dia tahu semua orang merasa kehilangan, tapi dari kesemuanya tidak ada yang bisa menyetarai kehilangan yang dirasakan oleh sahabatnya yang saat ini masih duduk di kursi roda. Meski sudah tidak menggunakan infus dan alat digital lainnya, namun beberapa jejak luka disertai bebatan panjang di siku dan plester di kepala cukup membuktikan sedahsyat apa kecelakaan yang mereka alami hingga membuatnya kehilangan sang Ibu untuk selamanya.
Hiks... hiks...
Isakan mulai terdengar.
Satya menoleh dan mendapati Kaisar yang tengah menahan tangis dengan menggigit bibirnya kuat, buru-buru Ia bangkit lalu mendaratkan tepukan pelan dipunggung sahabatnya. Posisi mereka tampak kurang nyaman mengingat Kaisar masih berada di atas kursi roda, tapi untuk sekarang hanya itu yang bisa dia lakukan.
"Nangis aja, nggak apa-apa. Nangis sekeras yang lo mau, keluarin semuanya. Bodo amat kalaupun ada yang dengar, mereka nggak berhak ngomongin lo! mereka nggak tahu apa-apa!" Satya mengeratkan pelukannya, isakan tertahan tadi kini berubah menjadi tangis yang meraung keras bersamaan dengan sesak dan badan yang terus bergetar, butuh beberapa menit hingga tangisan itu kembali menjadi isakan kecil.
"Thanks."
Satya tersenyum, "Its okay, sekarang bisa kita balik ke rumah sakit?"
Kaisar menggeleng, "Kita pulang aja," pintanya seraya menegakkan badan hendak berdiri namun ditahan Satya.
"Lo mau nyari mati ya! nggak usah aneh-aneh jadi manusia!" tegur Satya keras.
"Memang apa bedanya, mati sekarang sama mati besok? sama-sama mati, kan." balas Kaisar datar.
"Ngomong ngunu neh tak gibeng raimu!(1)" sahut Satya kesal.
"Lagian kenapa Ibuk harus dorong gue? Kenapa Ibuk nggak ngajak gue aja sekalian? bukannya kalau bareng-bareng lebih seru ya, disana?"
"Istighfar! Jangan ngomong seolah lo nggak punya Tuhan. Nggak baik tahu!" omel Satya lagi.
"Astaghfirullah..." Kaisar menutup wajahnya dengan telapak tangan, hampir saja rasa putus asa membuatnya lupa bahwa segala hal di dunia sudah digariskan dan dia tidak punya kuasa untuk mengubah itu.
Satya tersenyum lega "Kita kerumah sakit ya? Pak Dedi udah nunggu." ujarnya seraya menunjuk mobil Toyota Rush yang terparkir tidak jauh dari pintu keluar.
Kaisar mengangguk saja.
Lagipula mereka mau ngapain lama-lama disini? Nyari wangsit?
***
"Gimana, Dok?" Satya beranjak dari posisinya, mendekati Dokter Aji yang tengah menulis rekam medis setelah mengalungkan stetoskopnya di leher.
Sepengelihatannya tentu kondisi Kaisar tampak jauh lebih baik setelah satu Minggu jadi tahanan rumah sakit. Namun sebagai orang awam Satya perlu memastikan dugaannya benar atau tidak.
Kaisar yang asyik rebahan di atas ranjang menyimak dengan seksama.
"Alhamdulillah, kondisi pasien stabil. Mulai besok udah bisa belajar jalan ya, kalau ngerasa nyeri atau apa bisa skip dulu. Insya allah kalau rutin dilatih nanti akan cepat kok pemulihannya, asal pasiennya nurut aja," tutur Dokter Aji panjang lebar.
Satya menarik senyumnya semakin lebar "Baik, terima kasih ya, Dok."
"Kalau begitu saya permisi ya,"
"Silakan, Dokter."
Dokter Aji melangkah keluar dari ruang rawat sementara Satya beringsut cepat menempati tempat duduk di samping ranjang, jangan lupakan senyum pepsodent yang awet pakai banget di wajah oval lelaki itu.
"Mukanya biasa aja, please..."
"Biarin orang gue seneng." Satya meraih ransum makan malam yang sudah datang sebelum Dokter Aji memeriksa Kaisar tadi lalu menyodorkannya ke depan lelaki itu. "Nih, makan."
"Kenyang, Sat."
"Gue laporin Dokter Aji nih kalau lo rewel," sahut Satya tak mau kalah.
Kaisar mendecak, "Lo sohib gue apa bukan sih! anceman banget, heran!"
Satya tertawa puas, kapan lagi dia bisa main-main dengan seorang Febrian Kaisar Ahmad yang pesonanya menyebar sampai ke lubang tikus.
Jangankan para gadis di sekolah, sepanjang dia dirawat beberapa hari ini saja, Kaisar seperti magnet yang bisa menarik orang untuk mengarahkan atensi padanya dan membuat orang itu tergila-gila.
Ah okay, ini lebay.
Tapi sayang, pesona yang katanya luar biasa itu nyatanya tidak bisa menggerakkan hati orang-orang yang dia sayang.
Cklek...
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam, masuk aja, Buk."
Suara lembut salam terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu ruangan dan kemudian sepasang suami-istri yang baru datang itu mulai melangkah mendekati ranjang. Selebrasi peluk cium seperti iklan sabun dan tingkah manusiawi lainnya saat menjenguk anak sakit dan lagi tingkah ketiga orang itu membuat Satya menyergit.
'Sebenarnya, yang anak mereka itu siapa, sih? Bisa-bisanya mereka datang tapi anaknya sendiri nggak di sapa? Apa jangan-jangan Satya punya jurus bayangan yang bikin dia nggak kelihatan di ruangan sebesar ini'
"Ehem." Satya berdeham sengaja, tapi tak ada guna. Selanjutnya Ia menatap Bapak yang duduk di sofa, dari wajahnya tampak sekali jika beliau sangat puas melihat putranya kayak cacing kepanasan.
Satya beranjak mendekati Bapak dengan wajah tertekuk sempurna, "Bapak tadi kesininya naik apa? Kok nggak bilang dulu, kan bisa Mas jemput di Bandara?"
"Ibumu buru-buru, jadi nggak sempat ngabarin. Tadi dari bandara dijemput mobil gede (besar) gitu, Le. Mas Dedi namanya, katanya kamu yang minta karena masih repot di rumah sakit."
What?
Penjelasan Bapak bukannya membantu tapi malah membuat Satya sepaneng.
Dia saja tidak kepikiran, Bapak dan Ibunya akan datang kesini, secepat ini.
"Ibuk kalau ketemu Kaisar kayak ketemu anak artis ya, Pak?" Satya membuka obrolan, meninggalkan penjelasan dari Bapak yang tidak bisa dia tanggapi sendirian. Lagipula dia mau bilang apa? Jelas-jelas bukan dia yang memprakarsai penjemputan itu.
Jangankan Satya mau minta tolong, bicara empat mata sama Pak Dedi saja dia gemetar setengah mati.
"Oalah, le... le, kamu ini kayak nggak tahu ibumu aja. Dari Surabaya sampai kesini ibumu itu pegang hp terus nungguin telepon, takut nyasar katanya." jelas Bapak lagi
Emmm...
Satya mengangguk paham, berarti sudah jelas Ibuk yang memberi tahu Kaisar tentang rencana kedatangan mereka dan terjadilah hari ini dengan sedemikian baik.
"Lha, kalau bicara kedekatan Ibumu sama Nak Kaisar ya, ndak usah ditanya lagi, Wong Kamu aja kalah pamor sama dia di depan Ibumu." cerita Bapak yang 100% benar.
Satya mengiyakan saja sepanjang Bapak bercerita sembari netranya menelisik Kaisar yang tengah menikmati makan malam ditemani sang Ibu dan sesekali mereka tampak mengobrol selayaknya Ibu dan Anak.
Jujur.
Satya senang ada Ibuk di sini, dia percaya Ibuk bisa mendampingi dan menguatkan Kaisar lebih baik daripada dirinya. Satya tahu Kaisar anak yang kuat tapi bisa saja kan, Kaisar hanya berpura-pura agar tidak membebani siapapun?
Kamus :
(1) : "Ngomong begitu lagi Gue pukul wajahmu!"
***
Hallo...
Akhirnya bisa update dengan benar setelah drama dan loading lama semalam. Segini dulu ya, nanti malam disambung lagi...
Jangan lupa vote dan komen biar rame ya, biar aku semangat juga menulisnya 🥳🥳🥳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top