2 🥀 Aurora Putri Ibram
Bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Seperti biasa, Aura memilih menghabiskan waktu istirahat di taman daripada berdesakan di kantin. Selain malas berada di keramaian, dia juga malas berinteraksi dengan orang-orang yang hobi pansos cuma gara-gara dia jadi anak kesayangan guru.
Harusnya, kalau mereka mau jadi seperti Aura, ya tinggal belajar saja yang benar, tidak perlu repot-repot mengaku kenal sama Aurora segala, belum lagi ada kelompok cewek-cewek yang katanya teman dia dari lama, ada juga yang mengaku bestie. Sumpah ya, effortless sekali orang-orang ini.
Padahal sudah jelas Aura adalah cewek yang apa-apa serba sendirian. Dia merasa sangat mandiri dan merdeka dengan dirinya. Teman dekatnya ada, tapi tidak satu sekolah. Selain itu hidup Aura sama saja seperti orang-orang kebanyakan. Menjadi anak perempuan satu-satunya membuat hidupnya sangat terjamin, keluarganya masih lengkap dan harmonis.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah mendekat, seseorang datang dan duduk tanpa aba-aba. Aura yang sedang menikmati udara segar dengan bersandar di bawah pohon membuka mata lalu mengendurkan kepala. Seperti dugaannya, dia mendapati Kaisar sudah duduk dengan memeluk lutut tepat di hadapannya.
Daun-daun pohon akasia yang gugur terbawa angin menambah syahdu suasana, namun atmosfer yang menguar justru sebaliknya.
"Ngapain sih, lo!" balas Aura acuh.
"Nih," Kaisar mendekatkan kotak bekal yang dibawanya, membuka dengan segera, "makan bareng, yuk? Lapar, kan? Aku tebak tadi pagi kamu nggak sarapan karena buru-buru berangkat?" lanjutnya dengan mata berbinar.
Aura mendengus pasrah, ini orang cenayang kali ya? Bisa-bisanya dia tahu hal-hal yang bahkan menurut Aura itu tidak penting.
"Ambil aja, Ra... Aku jamin kamu pasti suka." Ajak Kaisar semangat. Dia sudah mengambil satu potong lalu mendekatkan kotak itu pada lengan Aura.
Aura melihat dua potong bread toast di dalam kotak dengan bibir tergigit.
'Kenapa roti panggangnya keliatan enak banget ya, pengen nyoba tapi gengsi. Mana lapar beneran lagi. Ya elah' Nah, mulai random nih pikiran si Aura.
"Aaaaaa..." Kaisar mendekatkan roti yang dipegangnya ke wajah Aura.
"Eh, eh, ngapain?" Aura kaget.
Kaisah terkekeh, "Mau nyuapin, abisnya lama kalau nunggu kamu makan sendiri." Ujarnya tanpa dosa.
Aura berdecak malas, "Nggak usah modus, gue bisa sendiri," Aura mengambil satu potong roti lalu memakannya, gestur dan wajah sebal yang belum hilang membuat nyali Kaisar yang tadinya ingin berbasa-basi ciut seketika. Jadi, Kaisar memilih menikmati wajah lucu Aura saat makan.
'Cantiknya' puji Kaisar dalam hati.
Aura melebarkan matanya, rasa roti panggang buatan Kaisar benar-benar enak ternyata, isiannya gurih dan melimpah, sayur dan tomat potong menambah sensasi segar di mulut. Sampai pada setengah bagian, tiba-tiba Aura merasakan sensasi pedas yang tidak biasa, cepat saja dia menghentikan gerakan mengecapnnya, bibirnya terasa panas.
"Gila, Kai. Pedas benget nggak sih ini? Lo niat ngasih makan apa mau ngeracunin gue!" Sembur Aura marah. Baru saja dia hendak memuji rasa rotinya yang enak tapi ternyata oh ternyata, ada udang dibalik rempeyek.
"Hah? Masa? Aku bikinnya standar kok." Respon Kaisar bingung.
"Coba aja kalau nggak percaya!" Sahut Aura. Nafsu makannya seketika hilang gara-gara panas yang membakar bibirnya. Dia sebenarnya oke-oke saja sama makanan pedas, tapi ya tetap saja dia terkejut.
Kaisar membuktikan ucapan Aura dengan menggigit roti yang ada ditangannya, beberapa gigitan pertama masih aman sampai saat rotinya sudah habis setengah, barulah Kaisar merasakan seolah ada semburan asap di dalam mulutnya.
"Waah, ternyata beneran pedas. Sori ya, Ra. Kayaknya aku pakai saosnya kebanyakan deh. Siniin rotinya, biar aku buang aja." Ujar Kaisar menyesal.
"Eh, ya jangan dibuanglah, mubazir. Ini masih bisa dimakan kok, gue masih bisa makan yang ini, tapi sisanya Lo aja yang habisin ya, gue takut mules kalau kebanyakan." Tahan Aura seraya mengembalikan kotak yang masih terisi dengan potongan roti yang terakhir.
"Eee... ta... tapi a... aku—"
"Udah makan aja, masih banyak tahu, anak-anak kurang beruntung yang nggak bisa makan enak." Balas Aura lagi.
"Iya sih, ta... tapi, Ra—"
"Makan, atau gue cabut! Mumpung Gue temenin nih." Ancam Aura tegas. Detik berikutnya Aura benar-benar memakan kembali roti yang tersisa sambil sesekali minum air yang tentu Kaisar bawa serta bersama kotak bekal tadi.
"Ayok di makan, kok malah bengong?"
"E... I... Iya iya." Kaisar menggaruk keningnya bingung. Iya, memang benar rotinya masih bisa dimakan, ada air minum juga disebelahnya, tapi masalahnya—
Ah, sudahlah.
Kapan lagi mereka bisa makan berduaan di bawah pohon seperti ini, ya kali momen sweet begini mau disia-siakan. Dengan ragu-ragu, Kaisar melanjutkan aksi memakan roti yang tersisa ditemani semilir angin yang menyejukkan.
"Thanks ya, enak banget rotinya, coba nggak sepedas ini, pasti lebih enak lagi." Aura menepuk pundak Kaisar sebagai ucapan terima kasih.
Kaisar mengangguk, memaksa tersenyum ditengah keringat dingin yang mulai membasahi keningnya. "Be... besok Aku bikinin yang nggak terlalu pedas ya, Ra." Tawarnya.
"Lo mau nyogok gue pakai makanan? Yang benar aja!" Sembur Aura marah.
Kaisar kelabakan mendengarnya, "Eh, ya... e... enggak gitu juga. Maksud aku kan, karena kamu suka, ya, ke... kenapa enggak." ujarnya putus-putus. Sumpah demi apa, tinggal dua gigit lagi roti ditangannya ini habis tapi badannya sudah gemetaran.
"Jangan lo pikir gue semurahan itu, ya!"
"Aku nggak pernah mikir begitu, Aura."
"Terus itu tadi apa? Gue udah mencoba bersikap baik sama lo, ya." Aura berdiri dari duduknya, hendak meninggalkan tempat namun Kaisar lebih dulu bangun dan menahan lengannya.
"Ra... tunggu, bu... bukan gitu." Sela Kaisar cepat, susah payah dia menahan diri untuk tetap berdiri. "Aku cuma pengen bikin kamu senang, aku tahu kamu nggak suka sama aku, aku ngerti. Meskipun aku belum tahu alasannya apa, tapi aku juga nggak bisa bohongi pe... perasaan aku, aku nggak bisa nyerah sama kamu, setidaknya untuk sekarang." Jelasnya panjang lebar.
"Terserah lo aja!" Aura menghentakkan tangan hingga genggaman mereka terlepas, tanpa membalas apa-apa lagi dia memilih pergi.
Kaisar menunduk dalam, menyesali sikapnya yang malah membuat gadis itu marah, lagi dan lagi.
Sepertinya, benar kata Satya, sudah satu tahun lamanya dia mengejar Aura, dari menjadi pengagum rahasia sampai berani menyatakan cinta secara terang-terangan, harusnya Kaisar sadar bahwa sekeras apapun dia berusaha, jika Aura tidak memiliki perasaan yang sama, maka tidak peduli berapa lama, penantiannya akan sia-sia, bukan?
Tapi, ya emang dasarnya si Kaisar aja yang bucin akut, meskipun dia tahu semua kemungkinan itu, tekadnya masih begitu besar, keinginannya untuk melindungi Aura masih sekuat sejak pertama kali dia menyatakan perasaannya kepada gadis itu.
Tahukah lagu yang kau suka
Tahukah bintang yang kau sapa
Tahukah rumah yang kau tuju Itu a...ku
Lantunan lagu dari band Sheila on 7 terdengar dari radio, Aura menceritakan kejadian sekolah tadi dengan sangat ekspresif, wajahnya yang lucu tampak merengut dan sesekali tersenyum mengingat momen menyebalkan di taman belakang sekolah.
Nabila yang tengah menyetir mendengarkan sambil sesekali tertawa melihat tingkah sahabatnya yang yaa... seharusnya orang awam juga tahu jenis-jenis kasmaran itu banyak, salah satunya ya salah tingkah yang sedang memanjakan matanya ini. Ah, Dasar bocah!
"Menurut lo gue jahat nggak sih, sama dia?" tanya Aura setelah bercerita hampir setengah perjalanan.
Nabila kembali tertawa. Sebagai sahabat yang sudah dekat sejak lama. Nabila sudah sangat khatam dengan lika-liku kisah cinta mereka berdua. Lalu, kalian berharap dia harus berkomentar apa?
"Lo mau jawaban yang benar apa yang buat nyenengin lo doang." balas Nabila datar.
"Maksud lo?" Aura menyahut sambil melirik gadis lain disampingnya yang masih fokus menyetir, mereka sedang dalam perjalan ke mall karena ada buku yang mau dibeli.
"Pilih aja sih!"
"Yang pertama deh," sahut Aura seadanya.
Nabila tertawa sumbang, "Ya lo pikir aja sendiri!" ujarnya sakartis.
"Njir, jawaban apa coba!" Aura mencak-mencak, "buat apa gue nanya sama lo kalau ujung-ujungnya gue yang mikir sendiri!" lanjutnya tidak terima.
Apa-apaan sih, si Nabila ini. Maksudnya apa coba?
"Sekarang gini aja deh, Ra. Lo cerita kayak gini udah berapa kali? udah nggak keitung kan ya?"
Aura mengangguk.
"Gue udah ngasih lo banyak kemungkinan selama ini, tapi apa yang lo lakuin? lo masih jalan di tempat. Lo emang udah nolak Kaisar, tapi yang gue liat lo masih ngerespon dia, sesekali lo masih iya-in bantuan dari dia. Lo bahkan masih sering manfaatin kebaikan dia, itu namanya apa kalau bukan bergantung, Ra?" Nabila bicara panjang lebar setelah memastikan mobil mereka berhenti di parkiran sebuah mall, tidak terasa mereka sudah sampai di tujuan tapi Nabila masih ingin melanjutkan kalimatnya, "Lo bilang Kaisar bukan tipikal cowok sempurna seperti yang lo mau, tapi menurut gue, apa yang sudah Kaisar lakuin selama ini itu udah lebih dari kata sempurna, lo nggak akan nemuin laki-laki yang meratukan lo seperti dia. Percaya sama gue!"
"E... eee... ta... tapi, Bil..."
"Nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini, Ra."
Aura menggeleng, "Ada, Bokap gue adalah definisi laki-laki sempurna menurut gue, bokap gue adalah tipikal laki-laki yang sayang sama keluarga, dia serius dengan pekerjaannya dan sukses, dia bisa mengayomi dan menjaga keharmonisan keluarganya." ujar Aura bangga.
Nabila tertawa, "Lo pikir Bapak lo bisa di kloning?" ujarnya sambil mendorong kening Aura gemas, "Nggak ada orang yang bisa ngejugde manusia itu baik atau buruk cuma dengan apa yang kita liat. Lo nggak akan tahu seperti apa Kaisar, selagi lo nggak ngasih dia kesempatan buat nunjukin dirinya secara utuh."
"Maksud lo gue harus nerima dia jadi pacar gue, gitu?"
"Kesempatan, Ra... setidaknya kasih dia kesempatan buat buktiin perasaannya sama lo!"
"Ah, ribet, Bil! Belum ngurusin Reno yang kerjaannya gangguin gue terus!"
"Lah, bukannya bagus ya? Misalnya nih, lo jadian sama Kaisar, terus Reno denger, ya kali aja Reno bisa berhenti gangguin lo!"
"Lo kayak nggak tahu aja bar-barnya si Reno gimana."
"Ya maka dari itu gue pengen lo jadian sama Kaisar aja, bukan sama Reno!"
"Ah, lo malah bikin gue pusing, Bil!" keluh Aura akhirnya. Ya mau bagaimana lagi, kisah hidupnya memang lebih rumit dari sampul pramuka.
Nabila meraih bahu Aura dengan dua tangannya lalu menatap mata gadis itu, menandakan jika dia akan bicara serius, "Pikirin baik-baik apa yang tadi gue bilang, Gue cuma mau yang terbaik buat lo, gue mau lo bahagia."
Aura mendengar dengan sepenuh hati.
Terima kasih buat antusiasnya di Bab 1 kemarin yaa, doakan aku lancar menulisnya...
Sayang kalian banyak-banyak!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top