4

Dalam satu sesi percakapan antara Papa, Mia, dan aku, ketika kami sedang bersantai di ruang tengah sehabis makan malam, Papa bercerita tentang bagaimana dia dan Mama akhirnya memutuskan untuk menikah. Pertanyaan semacam ini tentu saja diinisiasi oleh Mia selagi mereka berkutat dengan papan catur dan sibuk memikirkan strategi pergerakan, sedangkan aku seperti biasa hanya menjadi pengamat.

Aku mengamati raut wajah Papa yang berubah menjadi serius, meski tetap memancarkan kehangatan. Kulihat Mia juga memberi jeda pada permainannya, menanti jawaban Papa. Aku sudah mengetahui latar belakang kisah Papa dan Mamaku berpacaran, namun mengenai keputusan mereka untuk membangun rumah tangga, Papa belum pernah menceritakannya. Dan aku pun belum sempat menanyakannya. Terpikirkan saja tidak. Tapi Mia selalu punya cara untuk menarik perhatian siapa pun, termasuk Papa dan diriku.

Papa masih terdiam dan berpikir sejenak. Tidak, agak lama. Jidatnya berkerut, namun kemudian, senyumnya merekah. Ia bergantian tersenyum kepada Mia, lalu kepadaku.

"Sayang, bisa tolong ambilkan gitar kamu?"

Gitar? Aku pernah mendengar dari Om dan Tanteku kalau Papa piawai memainkan alat musik senar itu, namun aku tidak pernah menyaksikannya bermain langsung di hadapanku. Sekalipun aku pernah memintanya. Barangkali Mia lebih berhasil memancing kesediaannya.

Sebelum kuserahkan gitar baruku itu pada Papa, kulihat mereka berdua tertawa, membuatku seolah baru saja melewatkan lelucon yang menarik.

"Habis ngomongin apa, sih?"

"Kamu." Kompak mereka menjawab.

"Hah? Apa yang lucu?" tanyaku heran.

"Skip. Skip. Skip." Mia menyela dan menggelengkan kepala. "Tadi gimana kelanjutan ceritanya, Om?" Mia mengembalikan arah pembicaraan ke pertanyaannya semula.

Raut wajah Papa kembali serius. Gitar Yamaha berukuran ¾ milikku telah berada di antara genggaman tangan kiri dan celah lengan kanannya. Kemudian, sederet ujung jari di tangan kanannya mulai memetik senar. Mia bertepuk tangan dengan girang dan menatapku penuh semangat, berharap aku bereaksi dengan kegembiraan yang sama. Menggantungkan pertanyaan Mia, Papa malah bernyanyi, seakan-akan nyanyiannya bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Aku dan Mia mencoba menyerap setiap lirik yang Papa suarakan.

Go away from my window
Leave at your own chosen speed
I'm not the one you want, babe
I'm not the one you need
You say you're looking for someone
Who's never weak but always strong
To protect you and defend you
Whether you are right or wrong
Someone to open each and every door

But it ain't me, babe
No, no, no, it ain't me, babe
It ain't me you're looking for, babe

Go lightly from the ledge, babe
Go lightly on the ground
I'm not the one you want, babe
I will only let you down
You say you're looking for someone
Who will promise never to part
Someone to close his eyes for you
Someone to close his heart
Someone who will die for you and more

But it ain't me, babe
No, no, no, it ain't me, babe
It ain't me you're looking for, babe

Go melt back in the night
Everything inside is made of stone
There's nothing in here moving
And anyway, I'm not alone
You say you're lookin' for someone
Who'll pick you up each time you fall
To gather flowers constantly
And to come each time you call
A lover for your life and nothing more

But it ain't me, babe
No, no, no, it ain't me, babe
It ain't me you're looking for, babe

Aku merasakan energi yang asing menjelang Papa mengakhiri kepiawaiannya tersebut.

Mendekati bait terakhir, Papa menatapku dengan sendu. Kalau kuperhatikan, bibirnya bergetar dan matanya sedikit berair. Benar saja, dia menyekanya sambil terkekeh pelan. "That's how I convince your Ma to not marry me."

Aku bingung dan menunggu kelanjutannya. Mia juga memperlihatkan ekspresi yang sama denganku.

"But instead, she loved me even more. Even though I kept telling her through the song that I wasn't the one that she was looking for." Papa menghela nafas panjang.

"Selama pacaran, kami tentu aja punya banyak masalah. Sama seperti pemuda-pemudi pada umumnya, yang alasan klasiknya terutama karena, tidak direstui orang tua."

"Ya jelas aja, Papa waktu itu masih kere, masih kurang bertanggung jawab juga, bahkan untuk diri Papa sendiri. Apalagi untuk Mamamu. Makanya orang tua Mama kekeuh agar Papa menjauhkan diri, setelah 4 tahun kami menjalin hubungan."

"Pertahanan Papa akhirnya runtuh."

"Di café tempat Papa biasa cari uang dan akustikan, Papa minta Mamamu untuk datang. Niat Papa sebenarnya, ya buat mutusin Mamamu. Dengan lagu tadi. Cara yang kurang ajar, memang."

"Tapi untungnya, semesta berkata lain. Usai Papa nyanyiin itu lagu--dengan ekspresi yang mungkin lebih menyedihkan dari yang Papa tampilkan barusan tadi--Mama kamu malah meluk Papa erat detik itu juga."

"Papa kaget dan sontak, nangis di depan banyak orang." ujar Papa terdiam sejenak. "Eh, enggak banyak juga sih. Yang nonton seingat Papa cuma 4 sampai 5 orang." Papa tertawa kecil meralat ucapannya. Dia terdengar sungguh tenggelam dalam kenangan masa lalu yang baru kudengar pertama kali itu. Aku pun tersenyum.

Dari tadi Papa bercerita seperti hanya kepadaku, mengingat dia yang hanya menyebut dirinya sebagai "Papa" dan berpusat ke arahku. Padahal yang memberikan dia pertanyaan sejak awal adalah Mia, yang kini hanya tercengang mendengar celotehan Papa sedari tadi. Di satu sisi aku patut berbangga karena Papa akhirnya memusatkan kembali seluruh perhatiannya kepadaku. Namun di sisi lain, aku jadi agak iba dengan Mia yang terkesan diabaikan.

Lalu Papa meneruskan ceritanya, "Love is real, Put."

"Kalau seseorang sungguh-sungguh mencintai kamu, dia akan melakukan segala upaya untuk mempertahankan hubungan kalian."

"Dan itu yang dilakukan Mamamu terhadap Papa yang nyalinya diuji dan ciut waktu itu."

"Dia cerdas, dia menarik, dan tentu saja dia mampu mendapatkan apa saja dan siapa saja dengan semua kelebihannya tersebut. Tapi anehnya dia malah berani mempertahankan lelaki pengecut ini yang dengan tololnya udah memutuskan dia lewat lagu." ucap Papa menunjuk dirinya sendiri.

"Tapi di situlah letak kehebatan Mamamu."

"Dia udah membuat Papa berani. Berani mengajak dia kabur dari rumah orang tuanya untuk menikah dengan Papa beberapa hari setelah kejadian itu."

"Dan yah, tentu kamu paham, Put, hubungan Papa dan kakek-nenekmu itu baik-baik saja hingga saat ini. Karena dengan lahirnya kamu dan progress yang keluarga kita capai semenjak itu, mampu membuat orang tua Mama perlahan-lahan menyambut Papa, anak, dan cucu mereka dengan tangan terbuka."

"Mamamu itu, luar biasa." Papa meletakkan gitar di bawah dan berdiri untuk memelukku. Aku bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan di dalam pelukannya. Tanpa kuduga air mataku turut menetes.

Melepaskan pelukannya, Papa mengusap kepalaku dengan semangat. Aku pura-pura kesal dan mengerucutkan bibirku. Kulihat Papa kembali menyadari kehadiran Mia yang semenjak konser kecil hingga pertunjukan drama tadi selesai, masih terpaku menatap kami. Dengan rautnya yang sulit kutebak.

Kali ini Papa mengusap kepala Mia dengan lembut, lalu berkata, "Hi Mia, are you okay? We're sorry about the drama." Papa tersenyum dan merasa tidak enak.

"Nah, I'm good, Om." Mia menjawab gelagapan. "Mia cuma terpukau dengan pertunjukan musik Om tadi dan, emm, makin kagum dengan Om setelah mendengar kisah cinta Om dan almarhum Tante Nugie."

Yap, Mia menunjukkan kekagumannya itu dengan nyata. Aku bisa menyimpulkannya setelah beberapa bulan menghabiskan waktu bersamanya. Dan Mia tipikal perempuan yang sulit dibikin kagum.

Papa tergelak. "Hah! Kisah cinta ya. Itu belum apa-apa. Masih secuil aja." ucap Papa menjentikkan jempol dan telunjuknya.

"Om yakin kamu dan Puput akan mengalami cinta yang jauh lebih spektakuler dari yang pernah Om dan Tante alami dulu." Papa mengedipkan satu matanya ke arah Mia, lalu kepadaku, membersitkan harapan dan keyakinan kepada kami berdua untuk merasakan hal yang sama bahkan lebih dari yang dia rasakan.

"Makasih, Om... em, boleh Mia peluk Om sekarang ini?" pinta Mia kepada Papaku yang membuatku sedikit kaget. Rautnya sungguh tampak memelas. Padahal selama ini dia selalu bersikap dominan terhadapku. Betapa kontradiktif.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Papaku memeluk Mia. Seperti memeluk aku, anaknya sendiri.

Namun entah mengapa, aku merasa risih.

Barangkali Papa tidak menyadari, namun semenjak saat itu, aku mulai merasa dan meyakini kalau Mia memiliki ketertarikan yang tidak wajar terhadap Papaku.

Aku tidak rela.

.

.

.

"Put, giliran kamu sekarang." Tiba-tiba Papa mengambil gitar dan menyerahkannya kepadaku, membuyarkan kegelisahanku. Dia duduk kembali ke kursinya.

"Hah?"

"Nyanyi lah." Papa mengonfirmasi.

Aku menggeleng.

"Ck. Bujukin tuh, Mia, temanmu yang sombong ini." ucap Papa pura-pura kecewa.

Mia tersenyum padaku dan, secara tidak terduga, memohon agar aku mengabulkan permintaan Papaku tersebut. Bahkan, dia menggenggam tanganku, sehingga aku tidak mampu menolak permintaannya--permintaan Papaku. Sengatannya lagi-lagi tidak pernah tidak membuatku menuruti kemauannya. Bagai terhipnotis, tanganku lekas otomatis mengambil gitar dan mempertunjukkan giliranku.

Papaku tersenyum menatapku, sementara Mia terfokus padanya. Dan aku merasakan pahit di lidahku ketika 'ku mulai bersuara,

Kita teralih terlalu tinggi
Terbuaikan mentari, tak mau kembali
Kita melayang terlalu lama
Menghangatkan segala dingin dunia
Kita teralih
Kita teralih
Kita teralih

Tibalah malam, herannya lelah
Tak kunjung datang jua
Kita teralih
Kita teralih
Kita teralih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top