Last Goodbye
🎶 If the world ever changes
And takes me to my past self
that doesn’t remember anything
Take me away
So my memories don’t fade away
[ Memories, ost. ONE PIECE ]
--
"Papi!"
"Papi!!"
"Zhao!!!"
Seruan panggilan yang berulang itu membuat Masayu yang tengah membantu Iris menyiapkan makan malam jadi teralihkan. Zhao yang baru meletakkan seloyang kaserol segera berlari, diikuti Red dan kepala pelayan mereka.
"Pas?" panggil Zhao sembari menyusuri tangga rumah.
"Movie room!" teriak Pascal.
Zhao menoleh keponakannya dan berujar, "Red please get my medical kit."
"Alright!" ujar Red, berlari lebih cepat memasuki kamar pamannya tersebut.
Pak Vido, sang kepala pelayan, menghentikan langkah di tengah tangga. "Saya akan menelepon ambulance."
Zhao mengangguk. "Thanks, Pak Vido," sahutnya sembari mempercepat langkah, memasuki ruang khusus menonton.
Layar lebar di ujung ruangan menampilkan setengah bagian film lawas Asoka Pasque. Di salah satu sofabed, Pascal tampak kalut, memeriksa Byakta yang mulai kehilangan kesadaran.
"Papi! Papi, look at me!" seru Pascal sembari menepuk-nepuk bahu sang ayah pelan.
"Pas, hei ... it's okay, let me check him," ujar Zhao sembari berhati-hati memintanya bergeser, gantian memeriksa. "Kita luruskan dulu posisi tubuhnya."
"Okay-okay," sebut Pascal lalu mengikuti Zhao untuk menyelipkan lengan di bawah tubuh sang ayah, perlahan menggeser dan meluruskannya.
Zhao mengambil bantal dari bawah kepala ayah mertuanya, memindahkan ke kaki, memberi satu tumpukan bantal lagi dan kembali memeriksa. "Papi..." panggilnya lembut dan melepasi kancing kemeja Byakta, memeriksa denyut ritmis di lehernya.
"It's t... time..." sebut Byakta terbata, ditengah helaan napas yang sepertinya semakin sulit untuk diambil.
"Stop speaking about time," kata Pascal dengan gelengan kepala serius. Tiga menit yang lalu, dia memanggil untuk mengajak makan malam dan justru mendapati ayahnya megap-megap kesulitan bernapas. Byakta juga seketika melemah di sofabed.
"Red!" panggil Zhao.
"I'm here," sahut Red, memasuki ruang menonton dengan membawa tas medis milik pamannya tersebut.
"Keep talking to him," pinta Zhao sembari beralih, membuka tas tersebut, menyiapkan suntikan obat untuk ayah mertuanya.
"I... it's re... really t.. the time," ucap Byakta semakin terbata, pandangannya juga begitu kabur, wajah anak-cucu sekaligus menantunya mulai buram.
"Opa, don't worry ... Uncle will make you feel better." Red segera meraih tangan kakeknya. "Just hang on a little more."
Byakta mengatur napasnya, memperhatikan sosok anaknya dan kembali berujar. "I miss your mother..."
"I know," sahut Pascal singkat. "Kita semua merindukannya, karena itu menanggung kehilangan itu bersama-sama ..."
Red menyipitkan mata sewaktu menyadari tangan yang digenggamnya semakin melemah. Ia juga sadar napas kakeknya mulai terjeda, gerakan dadanya tidak teratur.
"Uncle..." panggilnya.
Zhao mendekat, memeriksa dan sewaktu menyadari otot wajah ayah mertuanya mulai menegang segera meletakkan suntikan di meja. Ganti mengambil sebuah tablet obat dari salah satu tabung.
Red bergerak cepat, membantu sejenak menegakkan tubuh sang kakek, karena Zhao bergegas menyelipkan tablet obat tersebut ke bawah lidah Byakta.
"Pak Vido udah telepon ambulans, pastikan sudah di jalan menuju ke mari," pinta Zhao pada Pascal.
"Keep him alive!" pinta Pascal sembari berlalu memanggil kepala pelayannya.
Zhao memeriksa jam tangannya, memastikan denyut kehidupan masih teraba pada tubuh Byakta. Ia sesekali juga memperhatikan Red yang tampak tabah, sekaligus sigap membantu.
"I'm scared," sebut Red sewaktu balas memandang Zhao.
"I know, but you did great!" Zhao kemudian mengusap kepala keponakannya itu.
"He's not gonna leave us, right?" tanya Red, mendadak merasa setakut ayahnya tadi. Ia juga sangat khawatir mendapati wajah sang kakek yang semakin memucat.
Zhao mengulas senyum simpul, menunjuk ke dada keponakannya. "He's here always."
"Uncle..." sebut Red dengan sedih.
"It's really long and exhausting battle, Red." Zhao mengelus lembut tangan renta ayah mertuanya. "And he knows ... it's really his time."
***
"Hanya kamu yang bisa memberi tahunya," ucap Hoshi Walker, menerima update terbaru dari tim dokternya. Ia menyerahkan komputer tablet di tangannya pada sang adik.
Zhao menerimanya dan memeriksa. Ia memang sudah menduga, namun menerima bukti dugaannya secara nyata tetap tidak terasa mudah.
"Jika beruntung, kesadarannya akan kembali dalam beberapa jam," ungkap Hoshi saat Zhao meletakkan komputer tablet tersebut.
"Apakah sudah sangat—"
"Ya, aku sudah bilang salah satu efek kemoterapi akan berefek juga pada kinerja jantungnya ... Papi sudah bertahan sangat baik selama dua bulan terakhir." Hoshi kemudian menepuk bahu adiknya. "Memberinya lebih banyak suntikan penahan rasa sakit, hanya akan memberinya kesakitan baru ... termasuk terus menahannya dengan berbagai alat penunjang kehidupan, itu justru menyiksanya."
"Kak ..."
"First, do no harm." Hoshi mengingatkan dan menundukkan kepala. "Aku akan mengabari Jenna dan Hiroshi."
Zhao menahan air matanya, mengatur napas dengan baik tatkala Hoshi beralih memeluknya.
"We did our best," ungkap Hoshi, menepuk-nepuk bahu adiknya.
Zhao mengangguk, bertahan dalam pelukan sang kakak sedikit lebih lama dan baru beralih. Ia berjalan ke Suite Room tempat Pascal dan keluarga yang lain menunggu.
Iris yang sengaja menunggu di luar, begitu menatap sang suami seketika geleng kepala. "Enggak, enggak ... Mas Zhao, please ..."
Zhao beralih ke samping kursi roda sang istri, berlutut untuk menyamakan posisi tatapan. "Arrestnya hanya akan terus berulang dan itu akan menyiksanya ... Papi sudah sangat lemah."
Air mata Iris seketika bercucuran. "Enggak... enggak boleh," isaknya.
Zhao mengulurkan tangan, mengusap pipi sang istri dan memeluknya. "Papi udah selalu bersikap kuat, melalui berbagai perawatan yang melelahkan, dari Jakarta ke Singapura ... berbulan-bulan bertahan melalui serangkaian prosedur operasi dan kemoterapi. Papi sudah selalu bersikap kuat, karena itu sekarang giliran kita."
Tetes air mata Iris semakin membanjir mendengarnya. Ia menundukkan kepala di bahu sang suami.
Zhao mengelus lembut punggung istrinya, tidak mudah juga untuknya menyampaikan hal ini. "Papi pasti pengin lihat kamu, pasti pengin pegang tangan kamu, karena itu bisa ya, bantuin Papi melaluinya ..."
"Enggak," tangis Iris.
Zhao menunggu, bermenit-menit hingga isak tangis istrinya yang perlahan mereda. Ia mengurai pelukan, membantu Iris menyeka sisa lelehan air mata. "Sama-sama aku ya, Sayang ..."
"Hanna," pinta Iris.
"Iya, aku akan panggil Hanna juga," ujar Zhao lalu menegakkan diri, memanggil putrinya yang duduk di ruang tunggu.
Usai memastikan Hanna bersama Iris, Zhao menarik napas panjang, membuka pintu ruangan tempat Byakta Pasque dirawat. Ada ruang duduk di dalam, tempat Masayu tengah memeluk Emerald yang tertidur. Di kursi sofa sebelah, Red juga terlelap bersama Rave yang menyender di bahunya.
"Purp sudah sampai?" tanya Zhao lirih.
"Ya, lima belas menit lagi sampai."
Zhao menatap pintu geser menuju area perawatan untuk papi mertuanya. "Aku akan bicara pada Pascal... tapi jika dia—"
"Ya, aku akan menanganinya," sahut Masayu.
Zhao mengangguk, melanjutkan langkahnya, perlahan menggeser pintu dan memasukinya.
Pascal duduk di kursi penunggu dalam diam, ruangan yang diredupkan membuat suasana hening menjadi terasa lebih menyesakkan. "Apakah harus operasi lanjutan?"
Pertanyaan itu membuat Zhao berjalan mendekat, hingga ke samping kursi Pascal. "Perkiraannya dalam satu kali dua puluh empat jam, hingga pasien akan kehilangan kemampuan untuk bernapas secara mandiri."
"Bisa intubasi dan gunakan ventilator."
"Itu bukan hidup yang akan Papi pilih."
Pascal menipiskan bibir. "Yang penting hidup."
Zhao memutuskan untuk diam, sampai sahabatnya itu kemudian tergerak untuk menolehnya. Zhao menghela napas pendek, tahu maksud tatapan itu.
"Keep fighting for him, please," pinta Pascal dengan nada serak. "Aku akan usahakan apa pun, bilang pada Kak Hoshi untuk menghubungi dokter Papi di Si—"
"Kak Hoshi meneleponnya begitu Papi masuk ruang perawatan ini, mereka diskusi selama satu jam ... dan sampai pada kesimpulan yang sama ..." Zhao geleng kepala. "It's time for him to leave us."
"No!" tolak Pascal.
"It's not easy for him too, enduring this pain." Zhao berujar lebih lirih tatkala menambahkan, "Yang lebih menyedihkan bagi pasien seperti Papi ... itu bukan kematian. Justru kehidupan yang terus dipaksakan pada jiwanya yang siap mencapai kedamaian."
Pascal seketika menundukkan kepala. "I just ... I can't ..."
"I... Iris..." suara samar itu membuat Pascal bangkit dari duduknya. Zhao juga beralih memeriksa ayah mertuanya yang membuka mata.
"Papi," panggil Pascal.
"I... ris ..." ulang Byakta Pasque.
"Sebentar ya, Pi," ujar Zhao lalu keluar ruangan, ketika kembali segera membantu istrinya berdiri di samping Pascal.
"Papi," panggil Iris sembari menggenggam tangan renta sang ayah, membawa telapak yang berkerut itu ke pipinya. "Ini Iris, Papi..."
Byakta tampak tersenyum, mengatur napasnya untuk berbicara lebih jelas. "I miss your mother ... and I really can't wait to see her again."
Iris seketika menangis, meski tetap ingat untuk bertanya, "Papi ada yang sakit?"
Byakta menggeleng. "Sudah enggak ada yang sakit ... karena itu ... uhk!"
"Papi!" sebut Pascal dan segera mengelus-elus bahu ayahnya. "Zhao please berikan suntikan yang—"
"No!" tolak Byakta cepat, meski napasnya semakin jelas terjeda-jeda. Tatapannya juga mulai tidak jelas mengidentifikasi wajah dan ekspresi sang anak. Ada hal yang harus dia sampaikan dengan segera. "Tha ... thank you, S -son ... for s... sharing every beautiful thing ... in y...our life with me."
"M... masih ada banyak hal luar biasa yang bisa aku—" ucapan Pascal terjeda tangisnya sendiri, itu karena sang ayah mulai kepayahan dan tampak kesulitan mempertahankan kesadaran. "No! Come back to me, Papi ..."
"Pascal," ucap Masayu yang mendekat dan menyadari monitor mulai mendeteksi penurunan kondisi pasien. Waktu mereka semakin sedikit.
"Just tell him ... now!" pinta Masayu.
Pascal sejenak memejamkan mata, mengatur napasnya dan memandang sang ayah yang jelas semakin melemah. Pascal sadar, dirinya, adiknya, atau anak-anaknya sudah tidak bisa lagi menjadi alasan Byakta untuk bertahan.
"I love you, Papi ..." ungkap Pascal, memastikan ayahnya mendengar. "Tell Mami, Iris and I ... we have a good and amazing life. Tell Mami that we miss her so much. And we'll miss you both..." Pascal berhati-hati memeluk sang ayah untuk berbisik, "Until we meet again."
"Thank... you," balas Byakta lirih, penuh kelegaan.
Masayu segera mendekap tatkala Pascal kemudian bergeser dan mencari pelukannya untuk meluapkan kesedihan.
Zhao menahan tangis mendapati Byakta ganti tersenyum ke arahnya. Ia mengangguk, mendekatkan kepala, membantu ayah mertuanya untuk menghadapi detik-detik akhir yang menyakitkan itu, memandunya melafalkan sebaris kalimat berbalut kepasrahan untuk jiwa yang segera kembali pada Sang Pencipta.
***
Pasque Techno Tower
Two weeks later ...
"On behalf of my family. I would like to begin by thanking everyone that is here today and for those who have sent their condolences. We have received countless phone calls, texts, flowers, letters, visits, thoughts and prayers. They have been both comforting during this difficult time and absolutely a reminder of the impact that Mr. Byakta Pasque had on so many others." Pascal menatap kerumunan massa yang berkumpul di halaman utama perusahaannya.
Ia mengatur napas lalu melanjutkan. "My name is Pascal Pasque. I am his eldest son and it is an immense privilege to be able to say a few words about my father and I cannot deny that it has not been an easy task to summarize such a long and really busy life of a remarkable person."
"To many he was known as Pak Byakta, Om Bya, Pak komisaris, Mr. Pasque Senior, or sometimes simply old man ... but to me he was always Papi. Papi taught me many things, especially about Pasque Techno, he made sure that I was able to understand the things needed for this company. His dedication, struggle, sacrifice for this company really amazing and incomparable."
"Papi's example has been an important guidepost to me, a standard of what a truly leader should be. Over the last few years, and in particular the last couple of months, he provided yet another example ... what it means to be someone who bears illness and pain with strength, patience, and dignity."
Baris-baris kalimat pada kertas di tangan Pascal seakan mulai mengabur, kesedihan yang masih lekat dalam benaknya seakan mulai berkumpul kembali, membentuk koloni untuk meruntuhkan kekuatan sekaligus kepercayaan dirinya.
"You're amazing, Mr. Pasque!" teriakan itu membuat Pascal mengangkat kepala, mendapati istrinya berdiri dan bertepuk tangan.
Orang lain yang mendengar juga ikut-ikutan berseru, memberi tepuk tangan sekaligus sorakan bernada dukungan.
Pascal sejenak memalingkan wajah, segera mengatasi efek duka yang dirasakannya sebelum kembali berbicara, "Thank you for that, Masayu ... I love you so much. Thank you everyone for understanding this difficult time. As you know, not easy for me to continue this speech but yah, grief is the price we pay for love. I love my father and here I promise that his legacy to this amazing company will live on."
***
Pasque Techno Tower
Two decades later ...
Pascal bergegas keluar dari mobilnya, setengah berlari saat akhirnya mencapai lift. Ia menekan angka delapan, sejenak mengatur napasnya yang kian terasa berat.
Gerak jarum pada jam di pergelangan tangan kirinya terasa lambat, namun dirinya lega saat tiba di kantor tepat waktu. Ia keluar dari lift, melewati meja sekretaris yang lengang, sesaat terpaku di sana sebelum mengambil tumpukan surat dan membawanya masuk ke ruang kerjanya.
"Good morning, Mr. Pasque ... today your schedule is extremely busy, so I prepared breakfast for you. A sandwich wrap and Gayo apple cider coffee ..."
Pascal menyentuh keningnya, memperhatikan sekitar dan geleng kepala. Kantornya memang berhantu, sudah sejak sebulan lalu dan tidak ada yang percaya padanya. Ruang kosong ini selalu menyuarakan itu setiap kali dia masuk.
"I have a call for you, Mr. Pasque."
Suara itu lagi, batin Pascal saat duduk dan menyalakan komputer. Ia menahan napas kala pop up agenda langsung muncul di layar. D-day: decided Married, she said YES.
"What ..." sebut Pascal lalu mengerjapkan mata saat layarnya berganti slide show foto-foto seorang wanita cantik tersenyum simpul, berpakaian formal, rambut panjang hitam legam yang diikat ekor kuda.
"Pagi, Pak ... saya Masayu yang hari ini bertugas sebagai sekretaris Bapak."
Suara itu kini diikuti dengan bayangan sosok perempuan yang kerap menempati meja sekretaris, sibuk dengan telepon, mendatanginya dengan tumpukan berkas, nampan makanan, tas berisi setelan pakaian, hingga ... map kontrak kerja mereka.
"No ... Masayu," sebut Pascal saat kemudian menarik laci, menemukan map yang familiar dan membukanya.
Ada tulisan tangannya sendiri.
Remember this! You're not crazy or stupid! It's just a fucking dementia! The voice in your head is Masayu, remember her so you remember yourself. — Pascal Oleander Pasque.
"Papa ..." suara panggilan itu membuat Pascal terkesiap dan terpaku ke pintu ruang kerjanya.
"Purp," panggil Pascal lalu mengatur napas. Itu putri pertamanya dan Masayu.
"Ya, it's me, it's okay ... Papa, it's okay!" Purple segera mendekat dan membungkuk, mengelus bahu sang ayah.
"I'm not remember Masayu, again," ujar Pascal lalu menatap putrinya cemas. "It's getting worse, Purp ... what if I die without remember her."
"You're not gonna die," ujar Purple lalu menekan panggilan yang masuk ke ponselnya. "Ya, Red, Papa di kantornya ... ya, he's okay."
"I'm not okay! I can't remember Masayu!" ucap Pascal serius.
Purple mematikan teleponnya dan menatap sang ayah lekat. "It's because you're so silly! Papa pikir berhenti minum obat bisa bikin cepet ketemu Mama? Enggak, Papa justru makin enggak ingat apa-apa."
"I hate the medicine!"
"Papa bakal lebih enggak suka lagi sama efek akibat enggak minum obat." Purple berujar tegas lalu menepuk-nepuk bahu ayahnya. "You're gonna be okay."
Pascal terdiam mendengarnya, baru kembali mengangkat kepala saat lelaki serupa dirinya berjalan melewati meja sekretaris dan membuka pintu ruang kerjanya.
"Papa ... ya ampun, Papa bikin Rave dan Emerald cemas!"
"It's really getting worse, Purp!" ujar Pascal seraya menoleh sang putri. "Aku bicara pada diriku sendiri."
Purple mengangguk. "Let him talk to you."
Red geleng kepala pada sang kakak. "Ini enggak lucu, Purp! Papa harus selalu disadarkan tentang realitas dan identitas kita ... aku bukan Papa, aku Red Pasque, anak Papa yang nomor dua."
"Aku dan Masayu punya tiga anak," cetus Pascal begitu teringat. Purple Lavender Pasque, Red Alexander Pasque dan Emerald Oleander Pasque.
"Ya, tiga anak, tiga menantu, dan delapan cucu. Amazing!" ungkap Purple bangga.
"Amazing," ulang Pascal lalu tersenyum mengingat lebih banyak anggota keluarganya.
Purple mengangguk. "We have to bring you home, so leave that contract here."
Pascal mengelus map juga tulisan tangannya, butuh waktu baginya untuk mengembalikan semua itu ke dalam laci dan beranjak bersama kedua anaknya keluar.
"Why I didn't bring that contract home?" tanya Pascal saat melewati meja sekretaris dan menoleh ke ruangannya lagi.
"Papa enggak bisa ingat kalau dibawa ke rumah, harus di sini," ujar Red lalu merangkul bahu sang ayah, membawanya melanjutkan langkah menuju lift.
"How bad am I actually?" tanya Pascal.
"As a father?" tanya balik Red membuat Purple tertawa.
"My condition, Red!" omel Pascal.
"Ini kali ke lima dalam dua minggu, Papa kembali ke sini ... sebelumnya hanya butuh seminggu sekali." Red kemudian geleng kepala. "Papa harus minum obat dengan baik supaya ingat Mama dengan baik juga."
"I miss her so bad," kata Pascal.
"We all know about that," balas Purple dan Red mengangguk. "Tapi Mama selalu bilang, bakal kesal kalau Papa hidup sembarangan."
"I am sorry," kata Pascal lagi dan saat lift tiba di lobi utama, seorang remaja muram berkacak pinggang ke arahnya.
"Opa! Stop stealing my car!"
Purple menipiskan bibir pada keponakannya, Hiroyuki Pasque-Walker. "Kamu yang salah karena taruh kunci sembarangan, mana Mami?"
"Mami ..." panggil Hiroyuki lalu meraih tangan Pascal dan gantian memeganginya. "Opa, kalau mau ke sini, bisa minta dianterin aku atau Mas Paundra, bahaya kalau menyetir sendiri!"
"Papa!" sebut Emerald dan seketika menghela napas lega saat mendekat. "Papa ... ya ampun."
Pascal mengerjapkan mata saat kemudian dipeluk, digandeng menuju mobil dan ketika pulang disambut lebih banyak wajah-wajah yang familiar. Ia lega masih dapat mengingat semua hal tanpa kesulitan.
"Boys ... biar Opa istirahat! Nanti habis makan siang, giliran Paundra bantu Opa minum obat," ucap Red pada anaknya yang mengacungkan jempol.
"Kenapa Hiroyuki lebih terasa seperti aku dibanding Paundra?" tanya Pascal membuat Red tertawa.
"Mama juga bilang gitu, Hiroyuki itu bukan perpaduan Emerald dan Hiroshi tapi Papa featuring Hiroshi! Hahahaha."
"I'm so grateful about our family, Mr. Pasque ... I'm not worried about leaving you with them, so don't worry about me, okay? I always patiently wait for you."
Pascal mendengar suara itu dalam kepalanya lalu menahan lengan Red yang masih memeganginya usai membantu duduk di pinggiran tempat tidur.
"Pa ..." panggil Red, beralih duduk ke sisi kanan sang ayah.
"How long since Masayu leave us, Red?"
"Six months," jawab Red lalu meyakinkan sang ayah. "It's really a peaceful morning, right after you lead her to pray. She said feel sleepy so you let her lay in your arms. Just a moment after that you call me and Purp, and we help Emerald to say last goodbye."
Pascal mengingatnya dan perlahan memeluk sang anak. "I miss her so bad."
"I know ... I know," ulang Red lalu balas memeluk sang ayah.
***
"Opa?"
Suara lembut itu membuat Pascal menoleh. Aria Parashati Pasque, satu-satunya cucu perempuan diantara tujuh cucu lelakinya yang selalu ramai dan kelebihan energi.
"Bunga anggreknya mekar," ujar Pascal seraya menunjuk batang pohon yang menjadi inang bunga tersebut.
"Oh! So beautiful," kata Aria lalu berjalan mendekat. "Mama memang bilang kalau bukan sore kemarin, pasti pagi ini mekarnya ..."
"Kali ini enggak perlu dipangkas untuk dibawa ke makam," ujar Pascal lalu duduk di kursi taman. "Rave sebentar lagi ulang tahun."
Aria tersenyum. "Mama pasti suka deh."
"Aria ..."
"Ya?"
"Opa mau ke kantor, sekarang."
"Eh?" tanya Aria, usai sejenak terdiam lantas mengangguk. "Oke, Aria bilang Mas Paundra, ya?"
"Bilang sopir aja, hanya sebentar."
"O ... oke." Aria menyampaikan permintaan itu lalu setelahnya memanggil sang kakak, mereka membuntuti mobil yang membawa sang kakek ke Pasque Techno Tower.
"Tapi Opa kayaknya enggak lupa, Mas," ujar Aria dan Paundra yang menggandengnya hanya mengangguk.
Mereka membuntuti langkah pelan Pascal Pasque, sang kakek tidak langsung menuju lift dan menekan lantai delapan. Justru berkeliling area lobi, memasuki ruangan rapat, tampak tenang didampingi seorang manajer selama sekitar satu jam dan baru beralih menuju ruang kerja di lantai delapan.
Aria begitu saja menahan tangis. "Oma dulu ... sebelum pergi, tiba-tiba juga minta ditemani ke Majalengka sama minta tinggal di apartemen yang lama."
"Aria," panggil Paundra lalu menggeleng. "Shhh ... enggak kok."
"Mas ... Aria takut."
"Aria panggil Papa, ya? Biar Mas susul Opa di ruangannya," kata Paundra melepas sang adik lalu bergegas menyusul kakeknya.
Pascal Pasque ada di ruangannya, duduk tenang membaca catatan pada map tebal bertanda grafir huruf P yang artistik.
"Red, enggak perlu khawatir, Papa baik- baik saja ... ini ke kantor cuma mau lihat-lihat sebentar."
"Paundra, Opa," ujar Paundra lalu tersenyum santai dan berdiri di samping kursi kerja yang masih begitu kokoh.
Ruangan ini sebenarnya sudah jauh dimodernisasi sebagaimana ruangan yang lain. Namun, sakit ingatan yang diderita Pascal memaksa mereka merombak lagi ruang kerja ini, menjadikannya serupa dengan saat dulu masih digunakan sang kakek untuk bekerja.
"Tanpa Masayu, segalanya benar-benar terasa berbeda," kata Pascal sedih.
"Ya, memang begitu," sahut Paundra lalu menoleh ke pintu ruang kerja. Ayahnya jelas bergegas menyusul.
"Papa, Purp baru pulang ke Majalengka semalam ... jangan bikin dia semakin cemas," ungkap Red yang segera mendekat. "Paundra, apa obat Opa yang tadi—"
"Aku minum dengan benar, it's okay, relax," sebut Pascal cepat lalu mengendik pada kardus di atas meja sekretaris. "Baguslah kalian di sini, bantu membereskan semuanya ..."
"Membereskan?" ulang Red.
"Papa yakin enggak perlu kembali lagi ke sini, time to say goodbye," kata Pascal.
Red menyipitkan mata, menoleh pada anaknya yang juga tampak tidak yakin. "Pa, Papa mau—"
"Enggk ada yang Papa mau selain membereskan semuanya, terus pulang, istirahat. Papa serius, Red!"
"Okay ..." kata Red lalu meminta putrinya menyusul untuk ikut membantu membereskan barang-barang memorabilia yang sengaja ditempatkan dalam ruang kerja itu.
"Aria bisa bawanya?" tanya Paundra usai merapatkan kardus paling besar dan mendekapnya.
"Bisa, Mas, ini isinya cuma foto-foto," jawab Aria lalu membawa kardusnya keluar, mengikuti sang kakak.
Red menunggu ayahnya yang masih tertahan di depan meja sekretaris dan agak termenung di sana.
"Pa, kalau—"
"Waktu Opamu enggak ada dan Papa harus bicara mewakili keluarga untuk acara penghormatan ... itu adalah momen yang enggak mudah dilalui, Masayu tahu itu, dia menunggu di sini sampai Papa siap. Selepas acara itu juga, dia tetap di sini, menunggu Papa selesai dengan setiap efek duka yang enggak tertahankan." Pascal menoleh putranya dengan senyum sendu. "Papa enggak mau ada acara penghormatan. Kamu dan saudarimu juga, berdukalah seperlunya saja."
Biasanya, Red akan membantah dan menyanggah omongan semacam itu. Namun kali ini dirinya mengangguk, "Sure."
"How bad am I actually, as your father?" tanya Pascal dan menambahkan, "Answer me with truth."
Red menyengir. "Not really bad. I just realized this since I was a kid ... no matter how much I love you and our family, you always love my mother the most."
"For me she's just and always ..."
"Masayu," sambung Red lalu mengangguk dan menatap sekitar sebelum bertanya. "What was you say to her for last goodbye."
"In another life please sign the same contract with me," jawab Pascal lalu tersenyum meski sepasang matanya dibayangi kesedihan. "She said, of course ... I will bring the most expensive pen to sign the contract, Mr. Pasque."
Red menyengir. "She's still trying to make you happy until the end."
"Yes, she is," ungkap Pascal lalu mendekap mapnya erat, berjalan menuju lift dan sebelum memasukinya, menoleh sekali lagi ke ruangan yang begitu lama menjadi bagian hidupnya bersama Masayu.
"Papa?" panggil Red yang menahan pintu lift agar tetap membuka.
"Good bye ..." ujar Pascal lirih lalu beranjak memasuki lift.
End!
👑
maaf ya, mendadak kangen kampret satu ini dan kepengin bikin dia nangis, wakakakaka
.
Sama kayak Masayu, how Pascal leave his family juga in peaceful way dan kalau mau versi in another life; mereka tanda tangan kontrak dan berantem gemash lagi, silakan baca ulang dari bab pertama, eyaaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top