EPILOG

"Saya harus apa tadi?" tanya Edwin bingung.

"Ada kotak, isinya kartu nama di laci, buang semuanya." kata Pascal menunjuk-nunjuk meja kerjanya. Edwin mengerutkan kening tapi segera menjalankan tugas, ia menarik laci yang dimaksud, mengeluarkan kotaknya juga. "Nah, itu, buang aja semuanya."

"Ini banyak, Pak... nggak mau di—"

"Nggak, buang aja, semuanya." sela Pascal yakin, "Jangan lupa difoto ya, Ed... kirimkan ke istri saya, bilang kalau saya sama sekali nggak tertarik sama isi kotak itu."

Edwin menatap kotak yang setidaknya memuat ratusan kartu nama, "Oh, ini yang dimaksud sama Masayu, katanya Bapak akan minta saya urus koleksi relasi."

"Koleksi relasi?" Pascal memejamkan mata dengan istilah yang digunakan istrinya.

"Saya harus bawa ini pulang, kalau Bapak mau sortir dulu, saya bisa tutup mata."

"Astaga, Ed!"

Edwin tertawa dan memilih mengagguk formal sembari membawa kotak tersebut pergi. Sepeninggal supirnya, Pascal duduk di kursi, mengetikkan pesan untuk Masayu.

Pascal Pasque: koleksi relasi, itu istilah yang sangat ambigu, Sayang.

Meine Frau: berapa kartu yang kamu sortir? aku bilang Edwin, kamu boleh melakukannya

Pascal Pasque: aku tidak tertarik jadi kubiarkan Edwin membawa semuanya.

Meine Frau: lacimu akan sangat lengang, Mr. Pasque

Pascal Pasque: haruskah aku menyimpan beberapa album fotomu sebagai gantinya?

Meine Frau: jangan yang nakal, aku khawatir itu membuatmu sulit berkonsentrasi.

Balasan itu membuat Pascal langsung tertawa, ingatannya berkelana saat-saat mereka membuat dokumentasi pribadi. Pascal teralihkan karena dering telepon, ia segera mengangkatnya dan mulai bekerja. Pascal menerima beberapa salinan kontrak eksklusif sebelum makan siang, karena itu ia membuka brankas pribadi untuk menyimpannya.

Pascal baru melihatnya lagi, map kontrak pribadinya dengan Masayu. Ia benar-benar lupa dengan yang satu ini, padahal bulan demi bulan sudah berlalu sejak seharusnya ia melenyapkan kontrak ini. Pascal membuka kontrak tersebut, lalu mengeluarkan semua salinan kontrak yang ia miliki bersama Masayu, termasuk kontrak terakhir yang dibuatnya pada malam pertama pernikahan itu. Seperti sejarah panjang saat ia membaca semuanya. Pascal juga memeriksa berkas lamaran kerja yang Masayu buat, foto kepegawaian pertama Masayu. Betapa polos istrinya itu dulu, bahkan tak mengenakan make-up, caranya berpakaian juga terlalu formal.

Lalu Pascal mendapati foto terbaru miliknya dan Masayu, pas foto yang mereka buat untuk kelengkapan dokumen pernikahan. Diantara foto-foto berukuran 3 x 4 tersebut, ada satu foto berukuran 5R hitam putih mereka berdua. Fotografernya menghadiahkan itu sebagai foto prewedding. Diambil secara candid, itu adalah foto Pascal memperhatikan Masayu.

"Seperti inikah, aku selalu melihatnya..." gumam Pascal dan tersenyum.

Edwin mengetuk pintu dan Pascal mendongak, supirnya itu mengangkat dua buah paper bag. "Dari rumah, makan siang Bapak." katanya sembari memasuki ruangan.

"Oh, thanks." kata Pascal dan membiarkan Edwin meletakkan tas-tas kertas itu di meja. "Tolong cari pigura untuk foto ini, aku mau memajangnya."

Edwin memperhatikan foto yang Pascal tunjukkan, segera mengangguk dan membawa foto tersebut untuk dipasangi pigura.

==]P — CONTRACT[==

Sore harinya, karena berencana untuk berbelanja keperluan bayi, Masayu diantar Asoka ke Pasque Techno. Pada jam lima sore, gedung delapan lantai itu mulai lengang. Masayu sendiri selalu senang berada di kantor pada jam-jam ini, apalagi jika sibuk di ruangan Pascal, ia bisa menikmati sunset dari jendela kaca di sana. Masayu memasuki ruangan dengan mendapati Pascal bertelepon memunggunginya. Karena menggunakan bahasa mandarin, Masayu yakin suaminya terhubung dengan klien mereka di China. Masayu mengerjapkan mata saat mendapati ada tambahan item di meja Pascal, dekat dengan layar komputer, ada foto mereka berdua. Masayu tahu itu hadiah saat mereka membuat pas foto, ia baru melihatnya sekarang.

"Astaga! aku nggak dengar kamu masuk." kata Pascal saat berbalik dan mendapati Masayu.

"Akibat aku nggak boleh pakai heels." kata Masayu, lalu membiarkan Pascal mendekati dan memeluknya santai. "Aku baru lihat foto itu."

"Aku juga baru lihat tadi waktu bereskan laci, selama ini aku begitu kalau lihat kamu."

Masayu tertawa, tatapan Pascal di foto tersebut memang terlihat sangat lembut. "Siapa coba yang nggak jatuh cinta, kalau ditatap seperti itu? selama bertahun-tahun, dari sini ke sana."

Pascal memperhatikan Masayu menunjuk meja kerjanya dan meja sekretaris di luar sana. Meja sekretaris itu sudah banyak dibereskan, dokumen-dokumen penting juga sudah beralih ke ruangan Pascal, tapi ada perasaan hangat saat ia mengingat hari pertama Masayu menempati meja tersebut hingga hari terakhirnya kemarin.

"Aku tadi nostalgia sama banyak hal, duduk sini dulu." kata Pascal menarikkan kursi agar Masayu duduk, baru setelah itu mengeluarkan semua berkas-berkas yang tadi dibacanya.

Masayu langsung mengenali berkas-berkasnya, ia punya salinan yang sama, tapi baru kali ini melihat semua itu lagi. Masayu mengelus foto kepegawaian pertamanya, "Ya ampun, aku."

"Inilah sebabnya aku cinta banget sama rambut hitammu, hanya itu yang tidak berubah... kamu berdandan, mengubah gaya berpakaian, tapi rambut hitammu tetap seperti itu."

Masayu menatap Pascal, menebak langsung. "Itukah yang selalu kamu bisikkan ke perutku?"

Pascal tertawa, memang sulit menyembunyikan sesuatu dari istrinya ini. "Ya, aku berdoa sambil cium perutmu, aku mau anakku punya rambut hitam ibunya."

"Tinggal sebentar lagi dan kita bisa lihat, doamu terkabul atau tidak."

"I love you, Masayu." kata Pascal dan senyum istrinya melembut. "Dan aku mau kita memperbarui ini, karena yang lama sudah berakhir di mesin penghancur." lanjutnya mengeluarkan map di dasar tumpukan berkas itu. Masayu tampak terdiam melihat map tersebut, isi map itulah yang mengawali seluruh kehidupan baru mereka hingga detik ini.

"Dan sebelum kamu membacanya, aku mau kamu lihat ini dulu." kata Pascal, meraih komputer tabletnya, membuka file terbaru dari arsitek yang selama setengah tahun ini ditugaskannya mengurus hal penting di Majalengka.

Masayu memperhatikan file tersebut, ternyata video, perkembangan pembangunan sebuah rumah. Masayu terkesiap, rumah itu setidaknya sudah melewati lima puluh persen tahap pembangunan. Masayu menangis saat melihat dinding-dinding bata itu tak lagi memiliki bekas terbakar, jendela tinggi, pintu berukir, bahkan balkon kamarnya dulu mulai terbentuk kembali.

"Arsitek yang mengerjakan rumah ini sudah meninggal, tapi beruntung anaknya juga seorang arsitek dan memiliki detail rancangannya... aku menghubunginya saat berkunjung ke Madja dulu, aku memintanya memeriksa, apakah rumah ini bisa dipulihkan kembali." Pascal menggenggam tangan Masayu. "Dia bilang itu memungkinkan, meski akan sulit menemukan perajin yang bisa mengembalikan semua ukiran khas di partisi dan setiap pintu."

Masayu berusaha menghentikan tangis saat menatap suaminya. "Thank you..."

"Aku ingin memberimu kejutan, tapi terkadang aku berpikir, apa kamu akan senang jika aku membangunnya kembali, sama persis dengan rumahmu yang dulu." kata Pascal dan menghapus tetesan air mata di pipi Masayu. "Tapi sering kali aku melihatmu, memandangi foto orangtuamu, memeluk foto tersebut... setiap kali Ellen melupakanmu, kamu bercerita bahwa hidup kalian begitu bahagia, saat itu aku tahu bahwa kamu benar-benar telah memaafkan dan rumah itu adalah bukti bahwa cintamu lebih besar dari rasa sakit atas setiap kehilangan."

Masayu mengangguk, "It's really important to me... rumah itu menyimpan semua kenangan terbaikku sebagai seorang anak dan atas alasan itu, aku memaafkan ayahku."

"Beri aku waktu sampai tahun depan, dan kita akan tinggal di sana."

Masayu mengerjapkan mata, "Tinggal di sana?"

"Madja akan jadi rumah utama kita dan aku akan lebih fokus ke Pasque Seeding Centre... aku bicara sama Papi, konsultasi juga sama dewan komisaris, memang akan sulit untuk meyakinkan para pemegang saham lain atas pilihanku ini, tapi keputusanku bulat."

"Lalu posisi kamu di sini?"

"Papi yang akan mengambil alih, aku sudah melatih Isaac untuk mendampinginya."

"Serius?"

"Kamu nggak setuju, sama keputusanku?"

"Aku hanya tidak menyangka... aku bersamamu, berusaha mencapai posisi ini."

"Ini posisi yang hebat, pekerjaanku pun luar biasa, tapi aku tak sabar memiliki lebih banyak waktu bersamamu dan anak ini, aku juga tak sabar mengembangkan Pasque Seeding Centre." kata Pascal, menarik kembali mapnya tadi. "Nah, sekarang kamu bisa membaca ini."

Masayu membuka map tersebut, ia hanya menemukan satu lembar surat sederhana.

Kepada Masayu Aria Djezar, yang untuk selamanya akan kusebut istriku.

Aku mencintaimu dan berjanji akan membuktikan itu selama sisa hidupku.

Aku memiliki rencana besar untuk masa depan kita, tentang rumah bertingkat tiga yang indah, tentang area yang dipenuhi bentangan hijau yang asri, tentang pegawai yang harus dilatih untuk menjalankan program pertanian modern dan terutama, tentang satu hingga lima malaikat yang akan kita hadirkan ke dunia. Karena itu, maukah kau, membantuku... dalam semua rencana masa depan itu. Mewujudkannya sebagai bagian dari impianmu juga.

Dari Pascal Oleander Pasque, yang untuk selamanya, bahagia menjadi suamimu.

"Ini kontrak paling sederhana yang pernah kuterima." kata Masayu, berusaha agar air matanya tak terus jatuh. "Kau yakin tak butuh pengacara untuk meninjaunya?"

"Seratus persen yakin."

"Dan omong-omong, dimana aku harus tanda tangan?"

Pascal tertawa, "Kontrak ini hanya bisa disegel dengan tindakan nyata." katanya lalu menghapus sisa air mata di wajah Masayu, mendekatkan wajahnya dan mencium lembut.

Saat mereka saling menatap lagi, Masayu tersenyum, mengelus pipi suaminya, "Aku harap semua kontrak darimu untukku, disegel dengan cara yang sama."

"Tak ada kontrak lainnya, karena yang ini berlaku untuk selamanya."

Masayu membiarkan Pascal kembali menciumnya, mulai meyakinkannya tentang selamanya.

THE END


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top