6. TRUE FACE


"Kamu yakin bisa mendapatkan tanah itu?" tanya Byakta sesaat sebelum supir berbelok menuju rumah. Begitu memasuki mobil untuk pulang, Pascal memilih memundurkan sandaran dan benar-benar terlelap tidur.

"Ya." jawab Pascal, menegakkan kembali sandaran tempat duduknya.

"Ellen berkata Masayu sulit melepaskan tanah itu, karenanya berharap kita bisa—"

"Aku akan mendapatkannya, siapkan saja berkas legalnya." sela Pascal, ia merapikan diri saat mobil berhenti di halaman rumah. "Aku akan kembali ke Apartemen sendiri."

"Adikmu datang, dia menginap." kata Byakta membuat Pascal langsung turun dan mendahuluinya memasuki rumah.

Pascal melirik jam di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul sepuluh malam. Ia bergegas menaiki tangga, menuju lantai dua. Langkahnya menjadi lebih pelan saat mendapati adiknya masih ada di balkon, duduk di kursi roda, ada buku terbuka di pangkuannya.

Pascal meraih lipatan selimut dari lengan sofa, membuka dan melingkupkannya ke pundak sang adik. Iris Pasque menoleh, memberi senyum lebar yang menurut Pascal masih tampak kekanakan. Pascal merendahkan tubuhnya, membiarkan kedua lengan sang adik terulur memeluknya. "Ponselmu mati ya?" tanya Iris

"Aku perlu berpikir, jadi kumatikan ponselnya." kata Pascal dan mengurai pelukan. "Ini sudah jam sepuluh malam."

"Aku tidur sore, baru bangun jam sembilan tadi..." cerita Iris lalu menatap Pascal, menyengir. "Sudah makan? Mie rebus yuk..."

Pascal balas menyengir, "Mie rebus?"

"Kemarin Mas Zhao makan itu, aku cuma dikasih dua suap, curang banget!" kata Iris lalu merogoh kantong di belakang kursi rodanya, ada dua bungkus mi instan di tangannya. "Barang selundupan..."

Kali ini, Pascal tertawa, ia mengangguk dan beralih ke belakang kursi roda tersebut. "Mari kita amankan barang selundupan berharga itu." katanya dan mulai beranjak ke lift.

Pintu lift terbuka, Byakta tersenyum, "Mau ke mana?" tanyanya.

Iris memamerkan dua bungkus mie instant di tangannya. "Makan mie."

"Cuma ada dua bungkus." kata Pascal dengan nada peringatan.

"Aku biasanya nggak habis, nanti aku setengah aja, kalau Papi—"

"Aku lapar, setengah bagianmu akan kuhabiskan." sela Pascal membuat Iris melotot.

Byakta terkekeh, mengulurkan tangan untuk mengelus kepala si bungsu, "Besok, Papi akan beli satu pak sekalian, supaya kita semua bisa makan."

"Oke." kata Iris, tersenyum saat ayahnya itu beralih keluar dari lift.

Begitu pintu lift tertutup, Iris langsung memicingkan mata pada kakaknya. "Kekanakan."

Pascal mengabaikan itu, segera menekan lantai dasar tempat dapur berada. Pengurus rumah tangga masih terbangun dan bermaksud membantu. Pascal menggeleng, ia bisa mengurus adiknya, mengolah dua bungkus mi instan juga tidak sulit.

Pascal melepas jas berikut dasi di lehernya, lalu melepas kancing di pergelangan tangan dan menggulungnya hingga siku. Pascal beralih mencuci tangan sebelum mengeluarkan panci, mengisinya dengan air dan menyalakan kompor listrik.

"Pas, pakai sayur yang banyak." seru Iris saat Pascal memeriksa isi kulkas.

"Nggak, pakai telur sama sosis saja." kata Pascal beralih memasukkan dua bungkus mie ke air mendidih. Berikutnya memasukkan dua butir telur dan beralih memotong-motong sosis.

"Pakai sayur, ada pakcoy sama brokoli." pinta Iris

Pascal menghela napas, kembali membuka kulkas, mengeluarkan seikat pakcoy. "Aku tak bisa mengurus brokoli, pakai sayur ini saja." katanya dan memilih beberapa helai, mencucinya, memotong-motongnya.

"Aku buka bumbunya, keluarkan mangkuk." pinta Iris, menjalankan kursi roda ke dekat meja.

Pascal menoleh sekitarnya, "Dimana mereka meletakkan mangkuk?"

Iris mengamati kakaknya itu beralih membuka satu per satu lemari kabinet. "Siapa sih tadi yang berlagak bisa mengurus semua sendiri?"

"Aku yakin, kamu nggak lebih tahu dari aku, tempat mangkuknya."

Iris menatap kabinet di atas bak cuci, "Coba yang atas ini."

Pascal beralih membukanya, menatap deretan mangkuk berbagai ukuran di sana. Segera menurunkan dua mangkuk ke meja makan tempat Iris menunggu. "Suatu kemajuan, kamu tahu tempat mangkuk di dapur."

"Sendirinya, selama ini di rumah ngapain?" gerutu Iris, menghindar saat tangan Pascal akan mengacak kepalanya, ia hafal kelakuan kakaknya itu. "Jangan sampai mienya terlalu empuk."

Pascal tertawa lalu kembali mendekat ke panci, memasukkan sayur yang dipotong-potongnya. Dua menit kemudian Pascal memindahkan mie instan tersebut ke mangkuk, membaginya sama rata. Iris geleng kepala mendapati seluruh sayuran dituang ke mangkuknya.

"Pas, makan sayurnya juga dong." kata Iris, menyendok beberapa sayuran.

Pascal menjauhkan mangkuknya, "Nggak."

"Demi aku, makan sayur, ya?" kata Iris, berusaha menampilkan puppy eyes andalannya.

"Nggak bisa, Ris..." Pascal menggeleng. "Aku carnivora sejati."

Iris menjulingkan mata, terpaksa mengalah. "Dari mana sama Papi?"

"Kerja." jawab Pascal lalu menuang segelas air putih untuk adiknya. "Tanah yang kami incar, ternyata punya keluarga Masayu."

"Masayu? sekretarismu?"

Pascal mengangguk, "Dia sebenarnya tidak berniat menjual tanah tersebut, tapi neneknya bersikeras agar dijual."

"Kok aneh?" tanya Iris, mengangkat mienya, menunggu sejenak sebelum menyeruputnya. "Jadi, dijual atau tidak?"

"Emm... kami akan membicarakannya lebih lanjut." jawab Pascal, memakan telur rebus utuh dalam satu suapan. "Aku akan mendapatkannya."

"Masayu bukan sih yang ulang tahun kemarin? Mami beli bunga buat dia."

"Iya, dia."

"Kasih hadiah apa, Pas?"

Pascal mengunyah mie yang masuk ke mulutnya. "Tas."

"Aku harus kasih hadiah nggak? bagaimanapun dia bertahan selama ini, menghadapimu."

"Aku juga bertahan menghadapinya tahu."

Iris tertawa, "Melihat penampilannya, heran juga kamu nggak berminat menjamah."

Uhuk! Pascal tersedak, dan kuah kari yang pedas membuatnya langsung berlari ke wastafel, memuntahkan sedikit mie yang tak tertelan. Iris mengerjapkan mata, ia yakin reaksi kakaknya ini sesuatu yang tidak biasa.

"Are you alright?" tanya Iris, gantian mengulurkan gelas berisi air putih.

Pascal kembali duduk, mengambil tissue untuk menyeka mulutnya. "Cuma kaget."

"Kaget? kan biasa kalau bos ganteng, sekretarisnya cantik, ada gosip macam-macam..."

"Masayu yang mengurus keperluan kencanku, Ris."

Iris tahu itu, selama ini Masayu memang mengurus banyak hal tentang Pascal. "Ya, aku kan cuma bercanda tadi, reaksimu yang terlalu serius."

"Kamu tahu seleraku kayak gimana, bisa-bisanya beranggapan..."

"Kalau dipikir-pikir Masayu masuk lah, dia jelas pintar, cekatan, tahu banyak hal tentang kamu, tentang bisnis... selera fashionnya bagus dan kakinya... high heels suits her well."

"Masayu sekretaris professional."

Iris tertawa, "Pesonamu terhalang sikap professional? pendekatan di luar kantor dong!"

"Ada banyak perempuan yang tersedia di luar sana, sebaiknya aku tidak bermain-main dengan orang yang jelas kubutuhkan."

"Kalau nggak mau main-main ya serius ajalah."

Mendengar itu, Pascal menyadari, adiknya ini pasti berkoalisi dengan sang ibu.

"Sebanyak apapun perempuan yang tersedia di luar sana, nggak akan berarti kalau bukan yang benar-benar kamu inginkan." kata Iris.

Pascal tidak ingin meneruskan obrolan ini, ia menandaskan sisa mie di mangkuknya. "Kamu udah?"

Iris menyodorkan mangkuk mienya, masih sisa separuh. Pascal lebih dulu menyingkirkan semua sayurannya dan segera menghabiskan setengah mangkuk ke duanya.

"Aku bahagia banget, Pas..." kata Iris membuat Pascal kembali menatapnya.

"Aku tahu." kata Pascal, meraih tissue untuk melap sudut bibirnya.

"Aku pengin kamu bahagia juga." kata Iris, mengulurkan tangan untuk menggenggam jari telunjuk sang kakak. "There's nothing to fear, love will find the way."

Pascal nyengir, "Zhao pasti menjejalimu dengan buku puisi aneh lagi."

"Sesekali kamu harus membacanya."

"No, thanks."

Iris tertawa lalu mengamati Pascal menyelesaikan acara makan malam mereka dengan segelas air putih. "Kali ini bukan buku puisi, tapi literatur Jepang... mereka bilang semua orang di dunia ini memiliki tiga wajah; satu, wajah yang selalu ditunjukkan pada dunia... dua, wajah yang hanya diperuntukkan pada orang terdekat... dan tiga, wajah yang hanya diketahui oleh diri sendiri, our true face."

"I know that." kata Pascal, ia pernah membaca itu.

"Ajaibnya, orang yang kita cintai dan yang balas mencintai kita, bisa mengenali ketiga wajah tersebut... saat kita memasang wajah untuk dunia, memasang wajah untuk orang yang kita merasa dekat bersamanya, dan wajah sesungguhnya diri kita."

"Well, interesting..." komentar Pascal, suaranya datar. "Setidaknya kamu nggak terang-terangan seperti Mami dalam memaksaku menikah."

Iris tertawa, "Mami pasti kepengin punya cucu dan aku juga kepengin lihat keponakanku."

"Ack! sebaiknya... kita bereskan ini lalu mengantarmu ke atas." kata Pascal, bangkit berdiri dan menumpuk mangkuknya, meletakkan ke wastafel.

"Aku mau keponakan perempuan ya." kata Iris membuat Pascal bergidig saat kembali ke belakangnya, mendorong kursi roda ke lift. "Namanya Purple, oke?"

"Hmm... kalau mood, kubuatkan." kata Pascal membuat sikut adiknya segera bereaksi. "Aduh! kalau Mami cubit, kamu sikut."

"Salah sendiri, sembarangan." gerutu Iris, mendongak. "Masayu punya pacar nggak sih?"

"Mami sudah berniat mencomblangkan Masayu dengan juniornya di agensi."

"Ih Mami, kenapa nggak dicomblangkan ke kamu aja?"

Pascal menghela napas, "Karena Mami tahu, Masayu nggak tertarik padaku."

"Kalau kamu, tertarik?" tanya Iris tepat saat lift terbuka di lantai dua. Pascal tidak menjawab, melanjutkan langkah dengan mendorong kursi roda adiknya ke kamar dengan pintu ganda.

Seorang perempuan berseragam suster mengangguk ramah ketika Pascal membawa adiknya masuk, "Good night, Purp..." kata Pascal membungkuk untuk mencium kepala adiknya.

Iris tersenyum, "Jangan pulang ke apartemen ya?"

Pascal mengangguk dan keluar dari kamar sang adik. Ia memasuki pintu kamar di seberangnya, kamarnya sendiri. Pascal melepas kemeja dan celananya, berlalu untuk mandi. Setelah mandi, Pascal memilih langsung ke tempat tidur, ia menatap langit-langit, memikirkan pertanyaan Iris yang tak dijawabnya tadi.

==]P — CONTRACT[==

Pascal terbangun sebelum alarmnya berbunyi, ia memutuskan bangun dan menukar piamanya dengan pakaian olahraga. Ia keluar dari kamar saat mendapati sang ibu terkantuk-kantuk menaiki tangga. "Mami..." panggil Pascal.

Asoka mendongak dan tersenyum, "Cuma dua adegan tapi benar-benar deh..." gerutunya lalu membiarkan Pascal membantunya berjalan ke kamar. Pascal meletakkan tas tangan sang ibu di kursi, menyingkap selimut agar sang ibu bisa langsung berbaring, setelah itu melingkupkan selimut kembali. Pascal menyalakan air conditioner sebelum keluar kamar.

Byakta Pasque ada di luar pintu kamar seberang, Pascal menarik sebelah alisnya. "Mau apa?" tanya Pascal, menutup pintu kamar sang ibu.

"Nggak ada, kalau Asoka pulang ya sudah." jawab Byakta berjalan kembali ke kamarnya.

Pascal menatap datar dan berlalu menuruni tangga, ia melakukan peregangan sembari berjalan menuju pintu depan. Pascal menguap sebentar, berlari pelan sementara penjaga rumah buru-buru membukakan pintu gerbang utama.

Pascal berlari mengelilingi komplek perumahan tersebut, sekitar empat puluh lima menit hingga mendapati sinar matahari mulai terbit, memunculkan bayangan dirinya saat memasuki halaman rumah. Pascal tersenyum melihat mobil SUV milik Zhao masih terparkir di luar garasi, suami adiknya itu berdiri menunggunya.

"Bro..." sapa Zhao dan mereka beradu tos dengan kepalan tinju.

"Asli, gerah banget." kata Pascal, melepas jaket yang melapisi kaus tanpa lengan miliknya. Kaus itu sudah basah, menempel, membentuk lekuk otot tubuhnya.

Zhao membuka pintu, "Iris bilang, kau pulang terlambat."

"Ya, sekitar jam sepuluh."

"Dia meneleponmu tapi tak tersambung dan Mami sudah berangkat syuting."

Pascal mengangguk, "Aku mematikan ponselku." katanya lalu terkekeh. "Semalam kami makan mie rebus, Iris punya barang selundupan yang enak."

Zhao tertawa, "Hari sebelumnya, aku pulang pakai ojek online dan kehujanan... selesai mandi rasanya lapar dan aku buat mie."

"Iris bangun dan kau hanya memberinya dua suap."

"Aku sudah selesai makan, itu dua suap terakhir."

Pascal tertawa dan mereka menaiki tangga bersama. "Aku akan berangkat siang hari ini."

"Aku sempat tidur beberapa jam di rumah sakit, aku akan turun bersama Iris saat sarapan."

"Oke." ucap Pascal lalu memasuki kamarnya, langsung mandi dan berpakaian. Masih setengah jam hingga waktunya sarapan tapi Pascal tetap turun, seperti dugaannya sang ibu sudah sibuk di ruang makan. "Kita sarapan french toast, kamu mau sama telur atau berry?" tanya Asoka.

"Telur, dua." jawab Pascal lalu duduk dan memeriksa laporan melalui ponsel.

Asoka meletakkan segelas jus jeruk di hadapan Pascal, "Hari ini jadwalmu sibuk?"

"Lumayan." tapi Pascal pikir dengan kembalinya Masayu, ia pasti bisa meluangkan waktu. "Ada sesuatu?"

"Yah, kami berencana untuk mengajakmu ke acara penggalangan dana."

Pascal mengerutkan kening, "Kami?" ulangnya.

"Emm... Major Entertainment, rumah produksi filmnya Mami ada acara penggalangan dana, kemudian kebetulan Papimu mendapat undangan yang sama, jadi—"

"Aku sibuk." tandas Pascal cepat.

"Acaranya sore hari, garden party dan undangan terbatas." Asoka masih mendesak.

"Kebetulan aku ingin berangkat siang hari ini, itu artinya sore hingga malam nanti akan sangat sibuk di kantor." kata Pascal memperjelas penolakannya.

"Ada seseorang yang ingin Mami kenalkan padamu."

Itu dia! Pascal sudah bisa menduga tujuan utama sang ibu mendesaknya. Ia lega karena benar-benar memiliki alasan. "Lain kali saja."

"Lain kali itu kapan? Sabtu?" tanya Asoka.

"Tidak, aku punya janji hari Sabtu." jawab Pascal

Asoka memicingkan mata, "Siapa? Rubiena Lang? Kamu datang bersamanya di acara amal HW-Hospital kemarin."

"Rubi dan aku berteman."

"Jadi?"

"Aku bersama Masayu, membicarakan pekerjaan."

Asoka geleng kepala, "Tidakkah Masayu butuh waktu untuk dirinya sendiri? siapa tahu dia punya kencan."

"Pascal, Mi... teman kencannya." sahut suara Iris, memasuki ruang makan bersama Zhao.

Asoka menatap Pascal serius. "Sekarang ini mencari pegawai yang kompeten itu sulit."

"Mami nggak setuju? Pascal sama Masayu?" tanya Iris, penasaran.

"Mami pikir seseorang yang mendampingi Pascal, haruslah perempuan dengan latar belakang yang kuat, bisa memberi tambahan dukungan untuk Pascal, mempertahankan kesuksesan itu bukan hal yang mudah." kata Asoka sembari menggeser sepiring roti ke hadapan Pascal.

"Mami benar." ucap Pascal.

"Tapi cinta itu penting, untuk apa sukses tapi nggak bahagia..." ucap Iris langsung memandang suami yang duduk di sisinya.

"Tolak ukur kesuksesan itu bahagia." kata Zhao dan tersenyum pada Pascal, "Sudah saatnya... menyusul kami."

"Hmm... yah, nanti kalau di jalan ada yang cocok, kubawa pulang." komentar Pascal asal.

Cubitan Asoka mendarat di lengan putra sulungnya itu, "Ih, anak ini."

"Ack! aw!" Pascal mengelus-elus lengannya.

"Selamat pagi." sapa Byakta dan Asoka segera beranjak untuk mengambilkan kopi.

"Papi sama Pascal nggak kerja hari ini?" tanya Iris menyadari ayah dan kakaknya masih berpenampilan casual.

"Masuk siang." jawab Pascal, menandaskan sarapannya lalu minum jus.

"Papi dan Mami ada acara sore bersama, jadi bekerja dari rumah saja." jawab Byakta.

"Siang nanti aku sama Mas Zhao mau berangkat ke Jogja, keluarga besarnya Mas Zhao kumpul semua di sana." kata Iris sembari menuang jus ke gelas Zhao.

"Acara apa? berapa lama?" tanya Asoka.

"Tiga hari, cuma acara kumpul keluarga, mumpung liburan." jawab Zhao

"Kami sama Jenna, soalnya Kak Hoshi sama Kak Jassy harus stay di Jakarta." tambah Iris. Jenna adalah nama keponakan Zhao, sementara Hoshi dan Jasmine— Jassy adalah orangtua gadis delapan tahun tersebut. Jenna dekat dengan Zhao dan Iris, karena itu mereka sering pergi liburan bersama, seperti kali ini.

"Berangkat jam berapa?" tanya Pascal.

"Siang, setelah jam dua belas." jawab Zhao lalu meringis. "Masih sempat main game dulu."

"Cool." kata Pascal yang belakangan ini memang ikut menyenangi permainan virtual tersebut.

Begitu selesai sarapan dan memastikan tidak ada masalah di kantor, Pascal langsung beralih ke ruang tengah. Zhao menyusul beberapa menit kemudian membawa dua gelas jus dan sepiring buah potong. Mereka bermain game sepak bola. Pascal dan Zhao sama-sama pendukung Liverpool FC sehingga ketika memilih pemain, mereka berebut hingga harus melakukan suit.

Sebelum mengubah hubungan menjadi saudara ipar, Zhao adalah sahabat baik Pascal, karena itu mereka berdua biasa melewatkan waktu bersama. Sekadar bermain game, futsal, ngopi, atau hanya menonton siaran berita di ruang tengah.

"Ah sial, sial, sial." omel Pascal saat memasuki injury time dan Zhao berhasil memasukkan satu gol yang membuat skor imbang.

"Yeah." kata Zhao lalu menoleh Pascal yang berusaha fokus membalasnya.

"Jangan coba-coba mengalah." komentar Pascal saat Zhao membiarkan pemain utamanya lewat begitu saja. Zhao tertawa mendengar komentar itu, mengarahkan pemainnya untuk menghadang dan setelah dua menit, muncul pop up pemberitahuan bahwa pertandingan berakhir.

"Ah sial, seri lagi." kata Pascal sembari bersandar, meletakkan stick game lalu meraih gelas, jusnya masih sisa setengah.

"Lama kita nggak futsal, minggu depan, oke?" tanya Zhao, ikut menghabiskan jus.

"Aku harus ke Jepang, jadi jadwalku minggu depan pasti padat." jawab Pascal dan terdengar suara ponselnya berdering. "Waktunya bekerja..."

Zhao tertawa, "Akan kubereskan gamenya."

"Thanks." kata Pascal lalu mengangkat teleponnya sembari berjalan menuju tangga.

Menyelesaikan telepon tersebut, Pascal segera berganti dengan setelan kerja, mencari ibu dan adiknya untuk berpamitan. Asoka Pasque siap berangkat ke salon, sementara Iris sudah selesai menyiapkan tas untuk berlibur. Pascal mengecup kening Iris sebelum bergegas turun ke ruang tengah. Zhao sedang mengobrol dengan Byakta, jadi Pascal hanya melambaikan tangan. Edwin sudah menunggu di ujung teras dengan pintu penumpang belakang terbuka.

"Aku akan berangkat sendiri, antar Iris dan Zhao ke Bandara baru menyusul ke kantor." kata Pascal meminta kunci. Edwin menutup pintu penumpang belakang dan memberikan kuncinya.

Pascal mengemudi sembari berbicara dengan direktur marketing, memastikan rencana kerjasama dengan Miura Dentist siap diproses. Pascal baru selesai menelepon saat memperhatikan Masayu di seberang jalan, turun dari ojek online. Perempuan itu tersenyum pada pengemudi, mengangguk formal saat mengembalikan helm.

Pascal terkejut saat tiba-tiba merasakan benturan keras dari belakang, membuat mobilnya terdorong lalu oleng. Saat ingat untuk mengerem, mobil itu akhirnya menabrak pembatas di tengah jalan, rusuk pengemudinya terdesak stir, air bag mengembang.

Pascal memperhatikan dari tempatnya duduk dan terdesak dan bingung, Masayu menjerit, perempuan itu pasti mengenali mobilnya. Orang-orang berlarian menolong dan hanya perempuan itu yang berjalan ke arahnya. Pascal tersenyum sesaat sebelum tak sadarkan diri.

| to be continued. . . |

nggak, si Pascal nggak amnesia terus anggap Masayu jadi istrinya, nggak ada cerita begitu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top