3. THE HEIR


"I don't mind about size, with sexy jawline and one million dollar in pocket, then I'm his lover."

Sexy jawline your ass! gerutu Pascal ketika meninggalkan restoran. Ia sempat lega mendapati sekretarisnya menikmati makan siang, ia mendekat untuk menyapa namun semakin dekat langkahnya, semakin ia menyadari apa yang sedang para gadis itu tertawakan. Sekretaris direktur bidang pemasaran, berkelakar tentang ukurannya. Dan Masayu mengabaikan itu. I don't mind about size! Sexy jawline she said? BAH!

"Pascal." panggilan itu membuat Pascal menghentikan langkah, ia lupa punya janji makan siang dengan sang ibu.

Asoka Leoly Pasque berhati-hati menjinjing keranjang berisi pot bunga anggrek saat bergegas mendekati putra sulungnya. "Penuh banget ya di dalam?"

Pascal segera mengangguk, "How about coffee and cake?" tanyanya menunjuk kedai kopi di seberang.

"Ini cangkir kopi keberapa?" tanya balik Asoka.
Sial! Dua bulan yang lalu Pascal dilarikan ke rumah sakit karena maag dan sejak saat itu, ia wajib membatasi asupan kafeinnya. Atau tumbang lagi.

"Aku bisa minum smoothies." kata Pascal

Asoka geleng kepala, ia menatap restoran dengan desain khas negara Jepang di belakangnya. "Nggak ramai kok."

"Iya, tapi aku—" Pascal tak dibiarkan beralasan, ia terpaksa mengikuti karena sang ibu menarik lengannya memasuki restoran.

Pascal mendiamkan saat ibunya menghampiri meja tempat Masayu dan beberapa rekannya makan. Empat perempuan dan satu pria yang sama-sama berprofesi sebagai sekretaris itu segera berdiri.

"Selamat siang." sapa Masayu lalu mengangguk formal bersama rekannya yang lain.

Asoka balas mengangguk dan mengulurkan keranjang bunga di tangannya. "Selamat ulang tahun ya, sampai tahun-tahun berikutnya tolong bantu Pascal."

Masayu menerimanya dengan kikuk. "Terima kasih."

"Tadinya mau titip Pascal, tapi mumpung ketemu ini... Masayu sudah selesai makan?" tanya Asoka.

"Sudah, tapi sebelum kembali akan saya aturkan meja." kata Masayu lalu meletakkan keranjang bunganya dan beranjak.

Pascal menyukai tempat yang terlindung dengan partisi pembatas  dan memiliki pemandangan ke luar ruangan. Masayu kembali untuk mengarahkan Pascal bersama ibunya ke meja yang sesuai. Pascal tidak terkejut saat mendapati pelayan khusus sudah menunggu.

"Untuk pesanan makanannya, harus saya bantu atau—"

"Kami bisa sendiri, kembalilah ke kantor." sela Pascal enggan menatap sekretarisnya.

Masayu mengangguk, "Baik, selamat siang..." katanya dan segera berlalu pergi.

Pascal menghela napas lalu membuka buku menu, "Mami mau apa?"

"Salmon nabe, salmon salad roll... and cold ocha."

Pascal membiarkan pelayan mencatat pesanan itu, lalu beralih ke menu udon. Ia tak begitu suka udon, tekstur mienya membuatnya kesulitan menelan. Tapi ia malas makan nasi, atau sup, apalagi salad.

"Miso udon." kata Pascal tapi saat mendongak pelayan tampak ragu mencatat. "Out of stock?" tanyanya.

"Tidak, tapi nona tadi memberi pesan bahwa, jika Bapak memesan udon saya diminta memastikan ulang."

Asoka menatap Pascal, "Iya, kamu kalau makan udon selalu nggak habis."

Pelayan tersenyum, "Saya diminta menyarankan untuk menu lunch set sukiyaki, bisa dipesan tanpa nasi."

"Oke, extra daging." kata Pascal sembari menyerahkan buku menunya. Ia menatap ke arah meja tempat Masayu dan yang lainnya mulai berbenah, siap beranjak.

"Masayu ulang tahun yang ke berapa? Dua puluh lima?"

Pascal mengoreksi, "Dua puluh tujuh."

"Awet muda ya? Ada rencana menikah belum dia?"

"Mana aku tahu." jawab Pascal beralih kembali menatap sang ibu. "Tipe cowoknya David Gandy, sexy jawline she said."

Asoka terkekeh, "David Gandy seksi semuanya, nggak hanya jawline."

Pascal bahkan tidak tahu bentuk pria yang baru disebutnya itu. Sejujurnya ia juga tak mau peduli, sampai saat Yoshua menyebutkan bahwa Masayu bisa orgasme hanya dengan gesekan dagu. Dan gilanya, sekretarisnya itu tertawa, seolah menganggap itu memungkinkan.

"Junior Mami di agensi ada yang mirip David Gandy, apa Mami kenalkan saja ya?"

"Mami kalau kurang kerjaan, jangan terus mengganggu Masayu."

Asoka menghela napas, "Mami maunya ganggu kamu saja, gadis mana yang akhirnya kamu pilih untuk dikenalkan secara resmi pada kami."

"Belum ada." jawab Pascal dan Asoka semakin dalam menghela napasnya.

"Apa kamu nggak kepengin seperti Iris dan Zhao?"

Disebutnya dua nama itu membuat Pascal merasa rindu. Iris, sang adik memang mendahuluinya menikah dan jelas itu adalah pernikahan yang bahagia. Iris menikahi sahabat baik Pascal, Zhao Walker.

"Nggak." jawab Pascal lalu merelakan lengannya dihujani cubitan kecil oleh sang ibu. "Aw! Mami."

"Mami sudah kepengin gendong cucu."

Ya Tuhan! Ada apa dengan para ibu dan keinginan semacam ini. Pascal ganti menghela napas, benar-benar tidak habis pikir.

"Mami nggak bisa minta sama Iris, karena itu Mami minta sama kamu." lanjut Asoka.

"Ya, kapan-kapan coba aku buatkan." jawab Pascal santai dan kali ini cubitan ibunya semakin kuat. "Astaga! Mami." tegurnya sembari mengelus-elus lengan.

"Regista sepertinya menunggu kamu."

It starting again, seleksi terselubung, tapi Pascal kukuh menggeleng. "Aku nggak berminat sama Regis, aku juga nggak berminat sama Noelle, Tyra apalagi Alana."

Semua yang Pascal sebut itu adalah nama para putri dari pemegang saham mayoritas Pasque Techno. Sekalipun pernikahan itu akan menguatkan posisinya di perusahaan, Pascal tak berminat.

"Terus siapa? Pacar juga ganti terus, nggak takut kena penyakit kamu?"

"Mainanku mahal dan bersih, Mami..." komentar Pascal santai, perkara perlindungan diri sudah ia khatamkan sejak lulus sekolah, dan setiap tahun Pascal rajin memeriksakan diri. Dia sesehat para atlet olimpiade.

"Tahun ini kamu sudah tiga puluh, nggak lama lagi Papimu juga memilih rehat, sebelum itu seharusnya kamu punya anak, pewaris berikutnya."

"Aku saja belum sepenuhnya mewarisi Pasque Techno." gerutu Pascal, ia mendongak dan membantu pelayan menyajikan makan siang.

"Kamu tahu, hidup ini kadang nggak bisa diprediksi... panjang dan pendeknya umur manusia." kata Asoka sembari mengatur sumpit untuk Pascal. "Ingat, pengusaha yang kecelakaan helicopter itu? Bagaimana kalau samp—"

"Mami... apa sih?"

"Mami nggak bisa kalau ada apa-apa sama kamu, apalagi setelah kejadian Iris." Asoka meraih tissue dan mulai menyeka tetesan air matanya.

Crying scene, gumam Pascal meski ia tahu bahwa sang ibu benar-benar khawatir. Hampir dua tahun berlalu sejak adik Pascal mengalami kecelakaan. Kecelakaan itu membuat Iris harus bersahabat dengan kursi roda dan merenggut kemungkinannya menjadi seorang ibu. Itu adalah ujian terberat bagi Pascal dan keluarganya. Hingga detik ini, meski Iris sudah sepenuhnya menerima keadaan dan berbahagia, kejadian itu tetap membekas dalam diri Pascal, juga orangtuanya.

"Aku selalu hati-hati, Mami... aku tahu tanggung jawabku nggak sekadar sebagai anak, tapi juga menjaga Pasque Techno agar tetap berdiri, tetap mampu menghidupi." kata Pascal

Asoka mengangguk, "Karena itu, Mami lega kalau kamu menikah, terus punya anak, memastikan keberadaan pewaris Pasque Techno berikutnya."

"Target pekerjaanku masih banyak" ucap Pascal sembari mengambil daging matang, mulai makan. "Dan lagi, aku belum bertemu perempuan yang sesuai."

"Pacar-pacar kamu nggak ada yang latar belakangnya jelek, kenapa nggak ada yang kamu pertahankan sih?"

Pascal juga bingung, mereka berkomunikasi dengan baik setiap kali berkencan. Pembahasan bisnis, jenis hiburan sampai pandangan politik, mereka bisa sangat sesuai. Di tempat tidur pun tidak mengecewakan. Tapi tetap saja ada yang tidak pas untuk hubungan itu berlanjut, Pascal bisa merasakannya. Para perempuan itu juga bisa merasakannya, karenanya setiap kali Pascal bosan dan mengambil jarak, mereka ikut melupakan.

"Kalau kamu pacaran cuma untuk bersenang-senang, memang nggak ada artinya." ucap Asoka lalu memindahkan sepotong salad roll ke mangkuk Pascal. "Ada nggak sih, perempuan yang masih dekat sama kamu, setelah kamu campakkan?"

Ada, tapi Pascal tidak mencampakkan, perempuan itu juga tidak mencampakkannya. Mereka berdua hanya sepakat bahwa hubungan tempat tidur adalah sebuah kekeliruan dan kembali menjalin hubungan profesional. Tapi memang mustahil bagi Pascal melupakan kejadian tiga tahun lalu bersama Masayu. Sial, ia baru sadar, setelah selama ini melalui setiap detik bersama tanpa mengungkitnya, tadi Pascal kelepasan.

Itu karena Masayu memilih berkelakar tentang garis dagu dibanding... shit! Pascal memaki pada pikirannya sendiri. Jika Masayu memang sudah melupakannya, itu adalah hal bagus. Tidak seharusnya Pascal bersikap seperti tadi. Ia merasa brengsek.

Tidak, ia memang brengsek.

"Pascal?" panggil sang ibu.

"Hmm..." Pascal menanggapi sembari mengunyah, ia benci sayuran tapi tak kuasa menolak salad roll dari sang ibu.

"Ada tidak, perempuan yang masih dekat sama kamu, setelah kamu campakkan?" ulang Asoka.

"Nggak ada." jawab Pascal, ia tidak bisa menganggap Masayu sama dengan barisan mantan pacarnya.

"Ada perempuan yang masih kamu harapkan untuk kembali?"

"Ada, Mami sekarang juga, kembali ke rumah." ucap Pascal dan hampir saja kembali mendapat cubitan maut, untung ia menghindar.

"Anak nakal!" gerutu Asoka meletakkan kembali sumpitnya. "Nggak tahu kalau ibunya benar-benar khawatir, nggak merasa kalau ibunya benar-benar peduli..."

Crying scene part two, Asoka kembali meraih tissue untuk melap setitik air di sudut matanya. Hal ini tidak akan berhenti hingga Pascal berubah pikiran, Pascal tahu benar. Sejak pernikahan Iris terbukti benar-benar membahagiakan, Pascal yang kemudian mendapat teror untuk melakukan hal yang sama. Dan tangisan adalah senjata bagi Asoka Pasque.

"Aku sehat, Iris masih hidup. Kalau aku ada apa-apa, masih ada Iris dan masih ada Papi juga, Pasque in really safe hands." kata Pascal lalu meraih tangan sang ibu. "Aku benar-benar belum bertemu perempuan yang sesuai."

"Yang seperti apa lagi, yang kamu cari?"

Pascal menatap tidak yakin, "I'm not really sure, tapi aku akan tahu jika sudah saatnya, sama seperti yang Iris dan Zhao alami."

Jawaban itu tidak terlalu memuaskan Asoka, tapi ibu dua anak itu akhirnya mengangguk. Pascal tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Memang menghadapi ibunya, harus dengan penolakan terselubung. Sedikit kata-kata manis yang menenangkan, dan Pascal lolos dari jebakan.

"Setidaknya, istri kamu nanti harus tahu semua hal tentang kamu, kalau perlu minta dia belajar sama Masayu."

Uhuk! Uhuk! Pascal tersedak kuah dan segera meraih tissue. Ia berusaha menenangkan diri sebelum meraih gelas minuman. Ia lupa, seharusnya tadi mengganti paket ocha dalam lunch setnya. Sial! Pascal tetap minum dan setelah satu teguk, terkesiap karena gelas tembikar berwarna hijau itu berisi lemon tea.

"Kamu ini kenapa? Hati-hati kalau makan, sebentar Mami mintakan air mineral." kata Asoka dan pelayan segera mengantarkan sebotol air mineral.

Pascal menatap pelayan yang datang, "Ini bukan ocha?"

"Oh, setelah Bapak dan Ibu selesai memesan, nona tadi memeriksa, katanya untuk lunch setnya minuman ocha diganti lemon tea dan untuk salmon nabe dikurangi lobaknya." kata Pelayan sambil menunjukkan catatan tambahan. Pascal mengenali tulisan tangan Masayu.

"Oh pantesan, Mami daritadi enak aja makan, nggak menyisihkan lobak yang biasanya kebanyakan." kata Asoka lalu tersenyum, membiarkan pelayan beranjak. "Nggak salah memang, kalau istri kamu nanti harus belajar dari Masayu."

Jika itu harus terjadi, Pascal akan memilih melajang selamanya. Masayu memang sangat mengenal Pascal, bahkan mungkin lebih baik dari orangtuanya. Tapi perempuan itu tak punya maksud selain menjaganya tetap dalam hubungan kerja. Bukan berarti Pascal pernah melakukan pendekatan secara pribadi, tapi ia bisa merasakan saat seorang perempuan menaruh minat terhadapnya atau tidak. Dan Masayu, sedekat apapun mereka terlibat dalam hubungan pekerjaan, tak pernah memandang Pascal selain sebagai atasan. Kenyataan yang agak menyebalkan, tapi Pascal memang tak ingin bermain-main dengan pegawai, cukup sekali kesalahan itu terjadi.

Selama sisa acara makan siang, Pascal memilih membisu. Ia mengantar sang Ibu pulang baru setelah itu kembali ke kantor. Masayu sudah tidak ada di ruangannya. Setiap hari ulang tahun, perempuan itu hanya masuk setengah hari dan mengambil cuti untuk dua hari berikutnya.

Pascal menatap post it yang tertempel di pinggir layar komputernya.

- Ms. Lang menelepon ponselmu, 2x dan tidak terjawab. Dia menelepon kemari, berterima kasih untuk bunganya, sekadar informasi aku mengirimkan sebuket mawar warna peach dan babys breath.
- Buku cek ada di lacimu
- Sekretaris pengganti akan datang besok pagi karena sore ini hanya tersisa agenda meeting marketing. Aku sudah merangkum data klien terbaru untuk dipetakan, juga laporan terbaru dari RnD dan produksi.

Bunga dari Mrs. Pasque aku titipkan di ruanganmu, jaga jangan sampai layu, setidaknya sampai aku kembali. Thank you, Boss

Pascal melepas post it itu, menemukan kartu nama Rubiena Lang di baliknya. Masayu selalu mengembalikan kartu nama tersebut. Seolah mengesankan bahwa hal-hal semacam itu tidak membuatnya keberatan apalagi terpengaruh.
Pascal menghela napas lalu menoleh ke pinggiran jendela ruangannya, keranjang bunga dari ibunya ada di sana, bersama dengan bejana penyemprot tanaman. Ada post it tertempel juga di sisi depan bejana itu. Semprotkan setiap pagi dan sore.

Telepon di meja Masayu berdering, hanya dua kali sebelum telepon di meja Pascal yang kemudian berdering. "Pasque CEO office." Pascal mengangkatnya.

"Sore, Pak... terkait meeting marketing sore ini, akan diadakan tepat pukul empat sore, di lantai dua."

Pascal melirik jam tangannya, "Masih kurang lima belas menit."

"Iya, Masayu bilang saya harus telepon Bapak dulu, kalau-kalau ada perubahan waktu atau ruangan."

"Tidak, I'll be there at the time." kata Pascal lalu menutup telepon. Ia segera memeriksa file yang Masayu siapkan, setelah memastikan file tersebut sesuai. Ia mengambil komputer tablet dari laci. Saat menghidupkannya, Pascal tahu bahwa Masayu sudah memenuhi pengisi daya cadangan. File-file yang ia butuhkan juga tersedia.

Karena inilah, Pascal tidak bisa mengakhiri hubungan profesionalnya dengan Masayu. Ia tak bisa kehilangan sekretaris secakap Masayu Aria Djezar, tak peduli betapa perempuan itu membuatnya tersiksa setiap hari.

| To be continued. . .|


siksa terosss, Mas~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top