27. TRUE FEELING

Iris merasa ada yang tidak beres saat orangtuanya pulang, bukan hanya tanpa Pascal, tapi juga Masayu yang tidak bisa dihubungi. Asoka hanya bercerita bahwa Pascal memang marah, tapi mereka bisa membicarakan perasaannya. Byakta sendiri langsung mengalihkan Iris dengan berbagai oleh-oleh. Pascal menelepon saat makan malam dan Iris mengangkatnya di kamar.

"Hei..." sapa Iris.

"Hmm... aku pulang ke Apartemen." kata Pascal, suaranya terdengar lemah.

"Aku tahu, kamu nggak papa? Mau aku datang?" tanya Iris.

"Nggak, ini sudah malam dan aku harus periksa pekerjaan."

Jawaban itu membuat Iris segera menebak, "Masayu pergi ya?"

"Pergi ke mana?"

Iris berdecak, "Dasar bodoh!"

Pascal tertawa dan mengaku begitu saja, "Iya, aku bodoh."

"Selama bersama Masayu, aku menyadari sesuatu..." kata Iris lalu menambahkan saat abangnya hanya diam. "Aku sadar, bahwa akhirnya ada seseorang yang mencintaimu, lebih dari aku."

"Mana mungkin..." kata Pascal.

"Itu benar dan karena kamu berbuat bodoh, kalau aku dapat kabar soal Masayu, aku nggak akan beritahu..." kata Iris, ia tertawa saat Pascal langsung menggerutu. "Tapi karena cinta itu memaafkan, dia akan memaafkan kamu nanti."

"Buku terbarumu pasti berwarna pink dengan taburan bunga-bunga."

"Aku cerita sama Masayu tentang pepatah tiga wajah itu dan Masayu bilang, wajah pertamamu adalah Mr. Pasque lalu wajah keduamu adalah Pascal, dan wajah ketigamu adalah Big guy..." kata Iris kembali menghadirkan keheningan. "Aku menebak itu adalah kamu saat bersamanya tapi Masayu bilang itu adalah kamu saat menjadi dirimu, dia bilang Big guy kadang sulit dipahami tapi juga begitu mudah dicintai."

"Aku tidak sulit—"

"Sulit, aku sendiri hanya bisa mencintai tanpa memahamimu, karena perasaan ini natural untukku, tetap ada walau apa pun yang terjadi..." sela Iris dan menghela napas. "Tapi Masayu menumbuhkannya, perlahan-lahan dan mencoba memahami, sedikit demi sedikit..."

Tidak ada tanggapan apapun dan Iris tahu ia membuat kakaknya itu berpikir.

"Masayu bisa memilih untuk menjalani hubungan kalian dengan niat bersenang-senang, sepertimu, dia bisa menjaga dirinya untuk tidak meletakkan terlalu banyak perasaan, tapi dia tidak melakukan itu..." kata Iris dan berharap Pascal bisa mengerti. "Karena saat mencintai, ia tak bisa memilih atau hanya setengah-setengah... ini bukan sesuatu yang kubaca dari buku, ini sesuatu yang kurasakan sendiri."

"I don't wanna get hurt." ucap Pascal lirih.

"Dan sekarang kamu merasa tidak sakit?" tanya Iris.

"Yang sekarang masih bisa kutanggung, it's gonna be fine."

Iris menggeleng, "Yang sekarang masih bisa kamu tanggung karena kamu merasa masih memilikinya, tapi nanti-nanti saat Masayu menyadari hal yang lebih baik? there's good in goodbye, you know that."

"Dia tidak bisa apa-apa jika aku tak memutuskan melepasnya."

"Menyakitinya tidak membuat rasa sakitmu menjadi lebih baik, itu justru menjadikannya lebih buruk." kata Iris, berharap kakaknya sadar. "Mas Zhao bilang, kamu akan kalah dan pada detik ini kamu tidak hanya kalah... kamu menyedihkan."

"Argh!" ucap Pascal, seolah Iris baru saja menusuk dadanya dengan pisau tajam.

"Kadang orang yang mencintai memang menunjukkan sisi meyedihkan, sisi paling buruk, sisi paling rapuh dalam diri kita, tapi ketahuilah... dia melakukannya untuk memberimu lebih banyak kekuatan agar bisa melaluinya." kata Iris, ia sendiri berharap bisa memeluk Pascal saat ini. "Aku harap cintaku bisa memberimu cukup kekuatan untuk tidak menyerah, terhadap dirimu sendiri, terhadap orangtua kita di sini, dan terhadap Masayu..."

"Aku... dan Masayu... mungkin akan..."

"Kalian akan bersama-sama dan bahagia." Iris begitu saja melanjutkan kalimat Pascal. "Aku tahu, sulit untuk mempercayakan hatimu pada orang lain, tapi Masayu adalah orang yang tepat... sejak dulu kamu tahu, karena itu kamu bersamanya, menikahinya, memilikinya."

Pascal baru bisa menanggapi beberapa saat kemudian, "I love you, Purp... thank you."

==]P — CONTRACT[==

Usai menelepon adiknya, Pascal langsung sibuk menelepon ponsel Masayu, ia tahu ponsel itu mati dan Pascal akhirnya meninggalkan banyak pesan suara. Menjelang subuh, Pascal baru tertidur dan hal pertama yang ia periksa saat membuka mata adalah ponselnya. Ia kembali mencoba menelepon Masayu, kali ini tersambung tapi tidak diangkat. Pascal kembali meninggalkan pesan suara dan beberapa menit kemudian mendapat pemberitahuan pesan suaranya sudah didengar Masayu. Istrinya itu membalas dengan mengirimkan chat.

Meine Frau: aku tinggal sama Oma sementara

Pascal Pasque: aku akan langsung menjemputmu

Meine Frau: tidak, aku belum mau bertemu

Pascal Pasque: aku menyadari kesalahanku, oke? aku akan menjemputmu.

Tidak ada balasan lagi setelahnya dan saat menelepon, ponsel Masayu sudah dimatikan lagi. Pascal langsung bergegas ke kamar mandi, bersiap ke Bandung. Ia keluar kamar sembari menelepon beberapa direkturnya untuk mendelegasikan pekerjaan.

"Selamat pagi, Pak!" sapaan itu membuat Pascal nyaris melempar ponselnya.

Edwin mengangguk dari ruang tengah.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Pascal.

"Masayu bilang mulai hari ini saya akan dampingi Bapak, kemanapun."

"Aku tidak perlu itu."

"Masayu bilang saya hanya harus menjalankan tugas saya apapun yang terjadi."

Pascal menyipitkan mata, "Kukira sudah kukatakan kau harus mengubah panggilan—"

"Masayu bilang dia ingin dipanggil seperti biasanya."

Ck! "Yah, lakukan apapun perintahnya, tapi aku harus pergi."

"Berangkat ke Bandung sekarang, begitu tiba di sana Masayu sudah pergi dan hari ini Bapak ada jadwal pencairan anggaran belanja Pasque Seeding Centre, itu tidak bisa diwakilkan."

Pascal memeriksa jam tangannya, sialan. "Masayu mengirimkan pesan padamu?"

"Ya dan saya harus memastikan Bapak bekerja seperti biasa."

"Ck!" decak Pascal lalu masuk kembali ke kamar untuk berganti setelan kerja. Saat Pascal keluar lagi, Edwin sudah tidak ada. Begitu berjalan ke lobi apartemen, sopirnya itu sudah siap di samping mobil dan membukakan pintu untuk Pascal.

==]P — CONTRACT[==

Pascal nyaris frustasi saat menyadari ada keterlibatan Masayu dalam banyak hal di kantornya hari ini. Semua anak buahnya mendapatkan instruksi pengiriman laporan, mereka bergantian menyerahkan laporan itu dan langsung mencatat semua koreksi. Rasanya memang dimudahkan tapi Pascal kesal karena Masayu bicara pada semua orang dan masih menghindari teleponnya.

Pascal Pasque: biarkan aku menjemputmu, oke?

Meine Frau: tidak dan makan siangmu hari ini, di kantin saja.

Pascal Pasque: kau membalasku bukan? mau menyiksaku?

Meine Frau: selamat makan siang.

Pascal menghela napas lalu bangkit dari duduknya, ia menekan lift dan beranjak ke kantin kantor. Biasanya ia tinggal menelepon dan office boy akan membelikan pesanannya, tapi sudah lama ia tak berbaur dengan pegawainya yang lain.

"Siang, Pak." sapa setiap orang yang berpapasan dengannya.

Pascal hanya mengangguk dan tersenyum tipis, lalu mendekati petugas penerima pesanan.

"Lontong opor, es buah dan tambahkan kerupuk bawang." kata Pascal dan petugas segera mengangguk, menyampaikannya pada petugas lain yang harus menyiapkan makanan.

Pascal mengedarkan pandangan dan melihat kelompok sekretaris, teman-teman Masayu, ia melangkahkan kakinya ke sana. Yoshua langsung terkesiap dan berdiri.

"Siang, Pak." sapanya sigap.

"Siang, boleh gabung? tempat lain penuh." kata Pascal dan Lulu segera mengambil cardigannya dari kursi kosong di samping Yoshua. Pascal menempati kursi tersebut.

"Lama nggak lihat Bapak makan siang di kantin." kata Yoshua.

Rasanya sudah lebih dari tiga bulan Pascal tak menginjakkan kaki di sini, "Iya, sibuk." katanya dan menatap teman-teman istrinya ini, "Kalian dapat kabarnya Masayu?"

"Cuti kan, Pak?" tanya Lulu, mengemil kerupuk yang tersisa di mangkuk soto Yoshua.

"Bapak pasti lagi bahagia, Masayu sering dikasih cuti." ungkap Sera tersenyum-senyum.

"Harusnya dari dulu Bapak menikah, biar Masayu bisa napas." tambah Fanya membuat teman-temannya yang lain tertawa menyetujui.

"Dia masih di Bandung?" tanya Pascal, berharap mendapat informasi.

"Masih, tadi kirim foto sama Omanya." jawab Fanya lalu menunjukkan layar ponselnya.

Pascal melihat Masayu duduk bersama Ellen di teras, keduanya tersenyum dan Masayu tampak cantik. Pascal bisa melihat betapa nyaman suasana dalam foto tersebut.

"Cantiknya..." komentar Yoshua, "Lucky Big guy."

"Eh iya, Pak... soal Big guy, kita kayaknya tahu siapa dia." kata Fanya.

Pascal menarik sebelah alisnya, "Oh ya?"

"Edwin kan, Pak." seru Lulu dan Pascal menahan diri agar tidak menggebrak meja.

"Mana mungkin dia." kata Pascal nyaris ikut berseru.

"Tuhkan bukan!" kata Fanya, mengangguk-angguk. "Gue malah curiga sama Isaac sih."

Kini Pascal nyaris terperanjat, "Isaac?"

"Isaac udah dari tahun kapan ditolak." kata Yoshua menandaskan air mineralnya.

"Isaac pernah menyatakan cinta pada Masayu?" tanya Pascal, ia tak menyangka.

Yoshua mengangguk, agak heran karena Pascal kaget. "Kan banyak yang suka Masayu..."

"Rafael kalau nggak dikasih peringatan bisa patah hati dini." kata Sera lalu tertawa.

"Tapi gemes ya Raf kalau ngajak ngobrol Masayu." kata Lulu terkekeh-kekeh.

Pascal mengerjapkan matanya, "Masayu pernah pacaran sama siapa aja di Pasque Techno?"

"Sama saya, Pak." kata Yoshua percaya diri.

"Idih! pura-pura doang kali." sembur Sera dan membuat Pascal urung menancapkan garpu ke tenggorokan Yoshua.

Yoshua nyengir, "Pura-pura sampai terbiasa." katanya terkekeh-kekeh.

Pascal mengabaikan itu, "Kenapa kalian harus pura-pura pacaran?"

Keempat sekretaris itu langsung saling pandang, Sera yang berdeham untuk menjelaskan. "Kejadiannya udah lama sih, Pak... dan oknumnya sudah keluar semua, jadi Masayu dijadikan taruhan, Masayu tahu dan minta bantuan Yoshua supaya ikut taruhan itu, sengaja supaya bisa dapat bukti-bukti pelecehan dan pencemaran gitu, saya yang serahkan semua berkas itu ke HRD untuk diproses secara diam-diam..."

"Siapa orangnya? saya kenal?"

Sera melirik Yoshua, "Mantan asistennya Pak Byakta terus tiga sisanya anak marketing lama, yang waktu itu langsung dipecat semua sama Pak Byakta."

Pascal ingat kejadian pemecatan itu, ia sedang sibuk mengurus Iris saat itu dan mengabaikan banyak hal di Pasque Techno. "Mereka tidak berbuat lebih jauh kan?" tanyanya.

"Karena itu saya pura-pura jadi pacarnya Masayu, siapa yang rela sih kalau pacarnya dijadikan ajang taruhan gitu, jadi masuk akal kalau saya ikut melaporkan dan Masayu aman." kata Yoshua.

Untuk alasan itu, Pascal memaafkan Yoshua. "Hmm... itu bagus."

"Emang sebenarnya bagusan saya dibanding Big guy, iya kan, Pak?" tanya Yoshua.

Pascal segera menggeleng, "Tanpa seksi jawline dan satu juta dollar, mustahil masuk radar Masayu." katanya lalu menerima pesanan makanan yang diantarkan.

Tiga wanita di meja mereka tertawa seketika, meledek-ledek Yoshua.

"Eh! berarti Big guy-nya Masayu, ganteng, kaya?" tanya Lulu.

"Teman Bapak memang masih ada yang jomblo ya?" tanya Fanya menatap Pascal.

"Kenapa jadi teman saya?" tanya balik Pascal, kesal juga lama-lama.

"Ya siapa dong, yang ganteng, kaya, terus kenal Bapak juga?" selidik Lulu.

"Masayu jawab apa memangnya?" tanya Pascal, penasaran bagaimana istrinya berkilah.

"Ya misterius-misterius gitu sih." kata Lulu dan geleng kepala. "Masayu ikut-ikutan Bapak, sok misterius soal pasangan."

"Wah iya, kapan Pak dikenalkan istrinya?" tanya Sera lalu tersenyum. "Bu Inggrid juga penasaran banget lho, Pak..."

"Saya malah penasaran sama tebak-tebakan kalian, siapa kira-kira..." kata Pascal sembari makan. Ke empat sekretaris di sekitarnya langsung serius berpikir.

"Kami takut soal ini, tapi bukan Natasha Olimpia kan, Pak?" tanya Fanya.

Pascal tertawa, "Bukan, tentu saja bukan."

Jawaban itu membuat keempatnya lega. "Asal bukan Natasha kami terima aja sih."

"Masayu juga sih, sama siapa aja, asal dia bahagia, gue juga bahagia." ungkap Yoshua dengan ekspresi penuh pengertian dan ketabahan.

"Tapi lucu juga ya panggilnya Big guy, Bapak kok tahu sih?" tanya Sera.

"Oh! ng... ya lihat aja sih, emm... yah, they're sweet." komentar Pascal sekenanya.

"Iya sih, sekeranjang coklat astaga, manis banget." ungkap Lulu dengan ekspresi gemas.

"Notesnya lebih manis sih, eat me anytime, jadi Masayu... si Big guy yang gue makan." kata Fanya membuat Pascal nyaris tersedak.

"Masayu sih pasti main aman, Fan..." Lulu cekikikan.

"Kecuali si Big guy aslinya mini, makanya Masayu nggak selera nyicip duluan." kata Yoshua

Kali ini Pascal benar-benar tersedak, semua orang langsung sibuk mengulurkan tissue. "Sorry... sorry..." kata Pascal mengambil tissue dari Yoshua dan mengelap mulutnya.

"Eh maaf, Pak... kalau kami agak-agak..." Fanya kikuk menjelaskan.

"It's oke, aku tahu kalian sering bercanda sama Masayu." kata Pascal mengangguk-angguk.

"Minimal Masayu tuh dapat yang kayak gue gini sih, jelas membangkitkan selera." kata Yoshua dan Lulu melemparnya dengan gumpalan tissue kotor. Sera ikut melempar.

"Selera pengin ngubur lo hidup-hidup." ejek Lulu.

"Masayu nggak sebuta itu sih! Big guy pasti keren." tambah Fanya.

"Saya tahu siapa Big guy dan jelas bahwa Masayu tidak salah menjatuhkan hati." kata Pascal merasa konyol atas kebanggaan dalam suaranya. Karena jelas, Masayu sekarang mungkin sedang berusaha menarik kembali hatinya agar tak jatuh untuk Pascal.

==]P — CONTRACT[==

Niat Pascal begitu lolos dari pengawasan Edwin adalah menyelinap pergi ke Bandung, tapi begitu memasuki apartemen, ia mencium wangi masakan dan mendengar suara obrolan. Itu jelas suara Iris dan orangtuanya, Pascal segera melangkah ke dapur.

"Ah, udah pulang." kata Iris sembari menata potongan puding di piring.

Pascal mengerjapkan mata melihat ibunya dengan apron memasak dan ayahnya sedang menuang jus ke masing-masing gelas. "Apa yang kalian lakukan di sini? bagaimana bisa masuk?"

"Masayu yang memberitahu kodenya, kami tinggal di sini sampai dia kembali." kata Asoka.

"What?" seru Pascal, shock.

"Sebentar lagi Zhao datang, dia membawa Jenna, jadi sebaiknya kamu mandi." Byakta memberi saran dan Pascal segera beralih memasuki kamarnya.

Pascal Pasque: setelah Edwin, sekarang keluargaku mengawasiku.

Meine Frau: mereka ingin bersamamu, beri mereka kesempatan.

Pascal Pasque: beri aku kesempatan juga, biarkan aku menjemputmu.

Pascal Pasque: aku harus meminta maaf dan mengatakan banyak hal, secara langsung.

Pascal belum pernah mengiba-iba seperti ini pada perempuan, istrinya benar-benar pengecualian dalam semua hal dan Masayu memang layak dengan setiap pengecualian tersebut. Pascal sudah menyadari perasaannya, ia bisa yakin terhadap hal itu dan ingin segera mengungkapkannya.

Meine Frau: aku belum mau bertemu, tapi kau dapat kesempatan, suatu saat nanti.

Argh! Pascal meremas-remas ponselnya kesal, tapi kemudian Masayu mengirimkan sebuah video. Ellen ada di video tersebut bercerita tentang Pascal yang sering menelepon. Sejak menandatangani berkas jual-beli Madja memang Pascal sering menelepon Ellen, kadang siang hari, kadang saat perjalanan pulang, ia begitu saja melakukannya meski tak tahu harus mengobrol apa dan seringnya Ellen yang bercerita banyak hal.

Pascal Pasque: katakan pada Oma, aku akan berkunjung sebentar lagi

Meine Frau: Oma belum pernah sesenang ini membicarakan seseorang

Pascal Pasque: aku harap cucunya juga senang saat membicarakanku

Meine Frau: Hahaha, selamat makan malam.

Pascal meletakkan ponselnya dan beranjak untuk mandi, ia nyaris terkesiap mendapati ibunya meletakkan baju ganti di tempat tidur. "Astaga, Mami... aku kan bisa sendiri."

"Iya, tapi Mami tahu Masayu mengurusmu dan tiba-tiba ingin melakukan yang sama." kata Asoka lalu tersenyum dan keluar kamar.

Pascal bergegas berpakaian, begitu keluar kamar ada gadis cantik yang mengangkat sebuah kotak berisi lima pot-pot kecil. "Hallo, Uncle Pascal." sapa Jenna.

"Hallo... wah apa ini?" tanya Pascal menerima kotak kayu yang diulurkan padanya.

"Hadiah buat di rumah, kata Aunty Ayu dia mau buat kebun kecil, katanya sudah punya anggrek, kamboja sama mawar." kata Jenna, senyumnya begitu tulus.

Pascal mengerjapkan mata, ia tidak tahu Masayu punya rencana seperti itu. "Oh, terima kasih... Aunty pasti suka."

"Aunty Ayu katanya lagi pergi ya? Makanya Jenna sama yang lain nginap sini, buat temani Uncle Pascal." kata Jenna lalu menggandeng Pascal ke ruang makan.

"Wah... pasti seru." kata Pascal, ia tidak rikuh menghadapi anak-anak dan keponakan Zhao ini luar biasa cerdas, juga menyenangkan. Pascal tidak keberatan jika harus ikut mengasuh.

Mereka makan malam bersama dan sekalipun situasinya terasa aneh bagi Pascal, ia bisa lebih tenang melihat orangtuanya bersama, mereka juga mulai mengobrol meski tidak jauh-jauh dari pembicaraan bisnis. Selesai makan malam, ia mencuci piring bersama sang ayah dan untuk pertama kalinya, Pascal tidak sinis menghadapinya.

"Tadinya kami berencana memasak, tapi itu lebih sulit dari yang kami duga." cerita Byakta.

"Kalian sudah lama berada di sini?" tanya Pascal, sejujurnya tak habis pikir.

"Ya, sejak jam lima, seharusnya sejak jam empat tapi Ibumu terus berpikir ulang sampai akhirnya yakin untuk masuk." jawab Byakta sembari mengelap pinggiran bak cuci.

"Ini ide Iris?" tebak Pascal, menyelesaikan pekerjaan mereka.

"Ideku, karena aku ingin keluargaku utuh." kata Byakta bersungguh-sungguh. Ia selesai membersihkan area cuci piring. "Iris memberi hadiah jam tangan dan dibaliknya ada ukiran, bahwa tidak ada kata terlambat atau terlalu tua untuk mencintai... aku tahu, mungkin bagimu... aku memalukan, sebagai pria aku merelakan harga diriku dibeli."

"Aku tidak—"

"Dengarkan dulu..." pinta Byakta dan Pascal kembali diam. "Aku berulang kali berpikir sebelum menyetujui perjanjian dengan Kakekmu, tapi begitu aku melihat Asoka, aku tak ingin melakukan hal selain merasa layak berada di sisinya."

Byakta menghela napas, "Dia bukan sekadar putri kesayangan, atau pewaris tunggal seluruh kekayaan Pasque, bagiku dia luar biasa... dia begitu berani, berbicara pada Kakekmu bahwa untuk impiannya berakting, Asoka bahkan rela membuang nama Pasque, dia tak peduli pada semua hal yang bisa dengan mudah didapatnya." ceritanya dengan mengingat kenangan akan masa perkenalan yang singkat dulu. "Kakekmu tak bisa membiarkan itu, karena Pasque Techno sangat penting, begitu pula dengan keturunan yang tetap menyandang namanya."

"Aku suka menjadi Pasque." kata Pascal.

"Aku juga." kata Byakta dan tersenyum kecil, "Walau terkadang aku masih merasa diriku adalah Byakta Hardi, nothing person yang beruntung... sering kali pula aku merasa khawatir, tentang seperti apa orang akan menganggapku, saat tahu latar belakangku yang sebenarnya."

Pascal tidak menanggapi apapun, kali ini ia akan mendengarkan, berusaha mengerti.

"Aku merasa keputusanku benar ketika melihatmu." cerita Byakta dan mengaku lirih. "Sepertimulah seorang Pasque seharusnya... hebat, brillian, kompeten dan percaya diri."

"Papi yang terus menekanku, tentang bagaimana menjadi Pasque seharusnya."

"Karena membuatmu menjadi selain itu tidak pernah terbayangkan bagiku, atau bagimu."

Pascal menoleh dan mereka bertatapan dalam keheningan. Pascal yang lebih dulu memutuskan kontak mata tersebut, "Membesarkanku sebagai anak Pasque adalah pilihan yang bagus."

"Ya, dan sekarang aku ingin menua denganmu sebagai anakku yang sebenarnya." ucap Byakta

Ucapan itu membuat Pascal kembali terpaku, "Apa maksudnya itu..."

"Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, aku memutuskan untuk menerima semua protes dan kekesalanmu secara langsung, kita juga akan membicarakannya... keinginan atau rencana masa depan yang ada dalam benakmu."

Biasanya Pascal menanggapi pembicaraan ini dengan sikap sinis, menyindir tentang masa lalu menyedihkan mereka. Tapi kali ini, entah kenapa Pascal ingin mempercayai.

"Aku tahu akan terdengar menggelikan mengucapkan bahwa aku menyayangimu." kata Byakta, tertawa saat putranya bergidig. "Sulit untuk dipercaya, tapi aku bersungguh-sungguh, Son."

"Tidakkah itu terasa aneh untuk Papi, mengucapkannya?" tanya Pascal heran.

"Tidak, kata Masayu dan Iris, karena kamu menutup diri, kamilah yang harus lebih terbuka."

"Argh! Masayu." Pascal langsung dilanda rasa sesal yang teramat besar.

Byakta tertawa, "Dia berjanji akan kembali setelah memberimu pelajaran berharga ini."

"Berapa lama dia berencana pergi?"

"Dia bilang selama yang dibutuhkan."

Pascal memejamkan matanya sejenak, berusaha bersabar. "Dan kalian, berapa lama menginap?"

"Memangnya kenapa kalau kami lama menginap?"

"Ya, menganggu." gerutu Pascal, gantian mencuci tangannya.

"Bagus, seharusnya sejak dulu kami menganggumu." kata Byakta, kembali tertawa dan merangkul Pascal, menepuk pundak kukuh putranya. "Aku juga tidak suka bertingkah seperti keluarga bahagia, aku ingin kita bertingkah seperti keluarga sebenarnya... dimana marah, kesal, canda, tawa biasa terjadi... aku yakin kita bisa melakukannya, perlahan-lahan..."

Pascal tidak menanggapi apapun dan Byakta melepas rangkulannya, "Tentu saja, kami akan selalu memberimu waktu memutuskan..." ucap Byakta sebelum beranjak pergi, bergabung dengan keriuhan di ruang tengah.

Pascal menyusul beberapa menit kemudian, melihat semua orang berusaha membantu Jenna menyelesaikan puzzle seribu keping. Gadis itu sebenarnya bisa menyelesaikannya sendiri, tapi membiarkan semua orang membantu. Pascal tahu, tak akan ada yang memprotes jika ia menghindar... beralasan memeriksa pekerjaan, tapi kali ini ia ikut duduk di karpet dan mulai menempatkan keping puzzle pertama di samping bagian yang dikerjakan sang Ayah.

[ to be continued ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top