26. US

"Apakah kita boleh melakukan ini?" tanya Asoka pada suaminya.

Byakta menatap dua tiket pesawat menuju Seoul dan reservasi di Silla Hotel, hadiah dari Masayu. "Entahlah..." ucapnya lalu mendapati sebuah kartu ucapan terjatuh dari amplop.

dia tak akan datang, karena itu kita harus menghampiri

dia tak akan pulang, karena itu kita yang harus pergi

dia akan selalu menutup diri, karena itu kita yang harus membuka hati

happy anniversary... may happiness starting and you can stop waiting.

Masayu Djezar

"Pascal pasti marah jika kita datang." kata Asoka, terharu dengan kartu ucapan dari menantunya.

Byakta meletakkan kartu dan amplop berisi hadiah itu di meja, "Pascal selalu marah melihatku bersamamu." ungkapnya lalu mendapati pintu ruang kerja terbuka.

Iris tersenyum dan Zhao mendorong kursi roda masuk, ada kado di pangkuan Iris.

"Happy anniversary..." ucap keduanya dan Asoka segera beralih memeluk putrinya.

Iris merasakan ibunya terisak pelan, ia segera membalas pelukan itu sebelum menguraikannya dan membiarkan pipi serta keningnya dikecup lembut. Iris selalu merasakan ada helaan penuh syukur saat sang ibu melakukan itu.

"Thank you, beautiful." kata Byakta saat berikutnya memeluk dan mencium kening Iris.

Zhao juga memeluk mertuanya sembari mengulang ucapan selamatnya. Lalu Iris menyerahkan hadiahnya, sepasang jam tangan mewah yang membuat Asoka geleng kepala.

"Wow... berhentilah melakukan pemborosan untuk kami." kata Asoka.

"Sama sekali tidak boros, kami akan senang kalau Papi dan Mami menyukainya." kata Zhao.

Byakta tersenyum, "Dan siapa yang tidak suka, ini bagus sekali."

"Ada ukiran di belakangnya." kata Iris saat Byakta mengambil jam tangannya.

Sepasang orangtua itu segera membaliknya, mendapati ukiran kata-kata di sana.

time only tell...
you never too old, or even too late for this love —ByAsoka

"Oh... this is so sweet." ucap Asoka lalu memandang Iris, terharu. "Thank you..."

"Ah, Mami... kan maunya dikasih senyum lebar, kenapa nangis." Iris pura-pura memprotes.

Byakta tertawa lalu mendekap Asoka, "Orang menangis karena terlalu bahagia."

"I love you two..." kata Iris lalu mendekatkan kursi rodanya, menggenggan tangan kedua orangtuanya. Asoka dan Byakta segera menekuk lutut agar bisa sejajar dengan Iris, mereka bertiga kemudian berpelukan. Zhao tersenyum, ia mendekat dan sekilas melihat hamparan tiket berserta kartu ucapan di meja.

"Pascal kirim kado untuk Papi dan Mami? ada dua tiket." ucap Zhao karena itu hal langka, biasanya Pascal hanya mengirimkan hadiahnya untuk Asoka.

"Really?" tanya Iris dan menatap sang Ibu.

"Pascal kirim kado untuk Mami, gelang dan bunga... itu dari Masayu." jawab Asoka.

"Dari Masayu? boleh aku lihat?" tanya Iris dan Byakta segera beranjak mengambilkannya.

Iris memperhatikan tanggal-tanggal di tiket dan lembaran bukti reservasi hotel, ia juga membaca kartu ucapan yang Masayu tulis. "Semuanya untuk hari ini, Mami dan Papi akan sampai sore kalau berangkat sesuai tiket ini."

Asoka angkat bahu, "Ya, tapi kita sudah punya rencana makan malam dan—"

"Papi dan Mami harus berangkat." kata Iris dan Byakta menatap tidak yakin. "Aku tahu Masayu berusaha agar Pascal tinggal di rumah, Masayu berusaha agar kalian juga berbaikan..."

"Kami tak ingin mendesak Pascal." kata Byakta lalu mengambil amplop dari tangan Iris, meletakkannya kembali ke meja. "Masayu mungkin bersimpati, tapi kita tahu harus memberi waktu pada Pascal."

"Masayu tidak bersimpati, dia sepenuhnya berusaha agar orang yang dia cintai bisa bahagia." kata Zhao, meletakkan kedua tangan di bahu Iris. "Kita semua menyadari bahwa bahagia adalah sesuatu yang menurut Pascal hanya berhubungan dengan kepemilikan, dia tidak percaya bahagia adalah perasaan yang ada karena cinta."

"Papi dan Mami harus pergi, memangnya kenapa kalau Pascal marah atau kesal? Dia memang bersikap menyebalkan dan kalian pun tetap mencintainya sebesar aku." ungkap Iris membuat Asoka meneteskan air mata.

"Bagaimana jika itu membuatnya tak mau menemui Mami sama sekali?" tanya Asoka.

"Kita akan datang sama-sama, berapa kalipun dia menghindar atau menjauh, kita akan berusaha tetap mendekat padanya." kata Zhao menatap Asoka dan Byakta bergantian.

"You have to be brave, Mami... he love us, this family... he just cover it with angry, sad, and lonely feeling... we must take the first step." tambah Iris berusaha meyakinkan.

"Pascal akan kesal dan marah, tapi itu masih lebih baik, dibanding melihatnya terus menghindar dan pergi dari rumah ini." kata Zhao menoleh pada foto keluarga terbaru, yang diambil saat pernikahan Pascal dan Masayu. "Masayu benar, sudah cukup menunggunya."

Iris meraih tangan sang ibu, "Aku akan bantu Mami packing, ya?"

Asoka menatap Byakta sekali lagi dan kali ini keduanya mengangguk bersamaan.

==]P — CONTRACT[==

Asoka Pasque: terima kasih untuk hadiahnya, untuk dukungan yang membuat kami ada di sini.

Asoka mengirimkan chat itu setelah check in bersama Byakta, mereka diantarkan ke honeymoon suite yang indah. Asoka tahu bahwa suitenya ini hanya berbeda satu lantai dari suite Masayu dan Pascal, mereka mungkin akan berpapasan saat menggunakan lift atau makan di restaurant.

Daughter – Masayu: terima kasih karena datang, kita akan makan malam bersama nanti, Pascal membuat reservasi di Resto, jam 20.00

Asoka Pasque: bagaimana jika sarapan bersama saja?

Daughter – Masayu: Iris berharap banyak tentang rencanaku dan memang tidak mungkin, membuat Pascal langsung berubah, tapi setidaknya dengan ini ia memahami usahaku

Asoka Pasque: bagaimana jika Pascal marah?

Daughter – Masayu: itu masih lebih baik, dibanding ia diam dan terus menahan diri

Asoka Pasque: bagaimana jika Pascal membencimu karena berusaha untuk kami?

Daughter – Masayu: itu sesuatu yang akan kuterima, karena ini pilihanku.

Asoka menatap balasan itu dan bisa merasakan keberanian dan ketulusan Masayu.

Daughter – Masayu: I do afraid about his anger, but I know that our love really stronger.

Daughter – Masayu: I believe in us.

Balasan terakhir Masayu membuat Asoka kembali meneteskan air mata. Byakta yang sedang membuka koper segera beralih ke sisi istrinya. "Shh... kita bisa pulang, jika ini membuatmu sedih." ucap Byakta dengan lembut.

Asoka menggeleng, "Aku hanya merasa bahwa mungkin Masayu lebih sedih dariku, memikirkan bahwa Pascal hanya tertarik memilikinya, tidak mencintainya..."

"Pascal tertarik memiliki banyak hal, tapi tentang perempuan, hanya Masayu yang membuatnya mengambil langkah pernikahan dan itu pasti berarti sesuatu."

"Aku berharap mereka akan baik-baik saja setelah ini."

Byakta merangkul istrinya, "Aku berharap kita semua akan baik-baik saja."

==]P — CONTRACT[==

Asoka dan Byakta tiba lima belas menit sebelum reservasi yang Pascal buat. Mereka sempat tertahan beberapa menit karena Pascal hanya membuat reservasi untuk dua orang, petugas menelepon suite dan beruntung Masayu yang mengangkat, membuat situasinya lebih mudah untuk mereka. Pelayan mengganti meja dan menambahkan kursi, Asoka melihat area yang dipilih putranya merupakan area terbaik untuk private dinner.

"Masayu jelas sesuatu." kata Byakta saat duduk di kursinya.

"Pascal memang pria romantis." kata Asoka.

Byakta menggeleng, "Dia pintar menggoda perempuan, tapi tidak romantis... dia bersikap jujur pada teman kencannya bahwa tidak ada harapan untuk pernikahan."

"Mas Bya tau darimana?"

"Masayu yang bercerita, sikap pertama Pascal selalu sama... pemesanan bunga, makan malam dan hadiah, kencan beberapa minggu lalu berakhir... begitu terus polanya."

Asoka terkesiap, "Sungguh?"

"Masayu mengurusi semua itu selama menjadi sekretaris Pascal, dia mungkin lebih mengenal kehidupan pribadi anak kita dibanding semua orang."

"Karena itu aku khawatir pada Masayu, dia bisa saja lebih terluka karena ini."

Byakta tersenyum, menggenggam tangan istrinya, "Kita semua benci terluka, karena itu menyakitkan, tapi kadang itu adalah jawaban... agar kita menemukan kekuatan."

Asoka balas tersenyum lalu mereka menatap pintu, seorang pelayan membuka pintu bagi pasangan yang menawan semua perhatian. Masayu sangat cantik dan Pascal juga terlihat tampan. Asoka melihat tatapan putranya berubah saat menyadari keberadaannya. Byakta juga melihat saat Pascal melepas tangan Masayu. Keduanya menyadari acara makan malam ini tentu akan cepat berakhir.

==]P — CONTRACT[==

Pascal menghela napas lalu membiarkan Masayu memberi ucapan selamat sekaligus pelukan untuk orangtuanya. Perempuan itu benar-benar memperdaya Pascal, untuk kesekian kalinya. Pascal tidak bisa lebih kesal lagi menghadapi situasi ini.

"Jelas ini kejutan untukmu..." kata Byakta.

"Ya, kejutan yang tidak menyenangkan." balas Pascal meski duduk di kursinya.

Masayu duduk di sebelah Pascal, berhadapan dengan Asoka. "Ini sangat menyenangkan untukku, terima kasih Papi dan Mami mau datang."

"Oh, karena mereka berdua memenuhi undanganmu, itu berarti aku bisa pergi."

"Tapi kau menjanjikan makan malam ini padaku."

Pascal berdecak, "Karena itu seharusnya hanya antara kau dan aku."

Asoka langsung menengahi, "Maafkan kami... jangan marah karena—"

"Kalau ada orang yang harus minta maaf, itu adalah Pascal karena bersikap tidak sopan kepada Papi dan Mami." sela Masayu membuat pasangan orangtua di hadapannya terkejut.

Selama ini tidak pernah ada yang berani terang-terangan menegur, bahkan Iris sekalipun berhati-hati agar Pascal tidak menarik diri. Tapi Masayu melakukannya begitu saja.

"Menjadi istriku bukan berarti bisa seenaknya ikut campur dalam urusanku." kata Pascal

"Apakah menurutmu aku begitu? aku hanya ingin makan malam bersama orangtuamu."

"Kau melakukannya selama tinggal di rumah."

"Ya, tapi ini momen istimewa mereka dan aku ingin merayakannya."

Pascal menatap kedua orangtuanya, "Kalian jelas merasa bahagia mendapatkan tambahan pendukung, tapi yang satu ini pun tidak akan mengubah banyak hal."

"Pascal... Masayu tidak seperti itu, dia hanya ingin kita makan bersama dan—"

"Dan apa? bertingkah seperti keluarga bahagia padahal aku muak melihat kalian bersama."

"Pascal!" seru Masayu lalu menatap suaminya tajam. "Kau tahu apa masalahmu? kau benci orangtuamu bukan karena mereka membuat masalah di masa lalu, tapi karena sekarang mereka bahagia dan kau tidak."

Pascal balas menatap Masayu, "Dan menurutmu, salah siapa itu?"

"Salahmu! karena keras kepala, bodoh dan tidak mau membuka hati." jawab Masayu lalu mendapati Pascal mengepalkan tangan, menahan diri. "Kau tahu bahwa mereka tidak mencoba membuatmu bertingkah sebagai keluarga bahagia, kau tahu bahwa mereka benar-benar bahagia dan berusaha menunjukkannya padamu... agar kau juga bisa melakukannya."

"Kau tidak tahu betapa mengerikan masa-masa yang harus kulalui tanpa mereka, kau tidak tahu betapa menderita Iris dan aku karena memiliki orangtua yang hanya mementingkan diri sendiri, kau tidak tahu betapa dulu, aku sangat membutuhkan dan mereka tidak pernah ada." seru Pascal, mendapati ibunya terisak seketika dan ia menambahkan ultimatumnya sekalian, "Jika aku memilih menahan diri, itu karena aku merasa semuanya sudah cukup, aku membiarkan mereka melanjutkan hidup dan akupun melanjutkan hidupku... kali ini aku akan melanjutkannya, sepenuhnya tanpa mereka dan jika kau tidak menjaga sikapmu, aku juga akan melanjutkan hidupku tanpamu."

Pascal begitu saja meninggalkan meja. Byakta langsung menenangkan Asoka yang menangis terisak-isak, ia sendiri merasa sangat bersalah juga sedih dengan apa yang Pascal ungkapkan. Semua itu memang kesalahannya sebagai ayah dan kepala keluarga yang tidak cakap.

"Maafkan aku." kata Masayu

Byakta menatap Masayu tapi menantunya itu tidak menangis atau terlihat sedih, sebaliknya Masayu terlihat begitu tenang sekaligus yakin. "Kami tahu ini tidak mudah untuk Pascal."

"Kita semua tahu ini tidak mudah, karena itu kita menanggungnya bersama... aku akan menyusul Pascal dan semoga semuanya bisa lebih baik saat sarapan besok." kata Masayu, sejenak menggenggam tangan Asoka sebelum beranjak menyusul suaminya.

==]P — CONTRACT[==

Masayu tahu ia akan mendapati pintu kamarnya terkunci, karena itu ia sudah meminta kunci cadangan sebelum kembali ke suite. Masayu tahu ia akan mendapati Pascal memegang minuman keras dan pria itu jelas tak senang melihatnya memasuki kamar.

"Aku kira kau punya tata krama yang cukup untuk bersikap sopan terhadap orangtua, sebelum meninggalkan meja makan." kata Masayu sembari meletakkan kunci dan melepas perhiasan di meja rias. Ia juga melepaskan sepatunya.

"Jika Ayahmu hidup, apa kau akan bersikap sopan padanya? dia menghanguskan rumahmu, memanggang ibumu." balas Pascal kembali menuang minumannya ke gelas.

Sejenak tangan Masayu mengelus kalung berlian yang ditanggalkannya, "Aku akan memaafkannya dan dia tidak memanggang ibuku, ibuku yang memilih memeluknya."

Pascal batal mengangkat gelasnya ke mulut, mendapati Masayu tampak begitu tegar.

"Aku membenci ayahku atas tindakannya, itu sangat tidak bertanggung jawab, itu juga memalukan dan menyedihkan... tapi psikologku berkata bahwa selain sebagai ayah, dia mungkin hanya pria putus asa, pria yang terlalu kecewa dan kasih semua orang tak bisa menjangkaunya."

Masayu berjalan dan memilih duduk di samping Pascal, ia membiarkan saat Pascal langsung bergeser, menciptakan ruang kosong diantara mereka. "Ayahku pekerja keras, tapi ia juga pria kesepian... dia menikmati hari-hari di perkebunan, tapi saat Madja berkembang dia lebih banyak berada di belakang meja dan itulah yang membuatnya berubah... tentu saja, tindakannya tak pernah bisa dibenarkan tapi aku sudah memaafkan."

"Kau seharusnya membencinya."

"Aku melakukannya, aku berteriak, cukup histeris saat berada di makamnya, tapi kemudian aku sadar bahwa tak ada keuntungan yang kudapatkan dari membenci... sebaliknya, saat aku mulai memaafkan, saat aku belajar dan mencoba mengerti bahwa tidak ada orangtua sempurna di dunia, itu melegakan." kata Masayu lalu menarik napas perlahan, ia memandang Pascal dengan kesungguhan. "Memang tidak ada cinta yang aman di dunia ini, Pascal... bahkan antara anak dan orangtua, antara sepasang suami-istri, pria dan wanita... tidak ada cinta yang aman."

Pascal mendapati Masayu kemudian menundukkan kepala, "Kau benar, bahwa aku tidak tahu seberat apa hari-hari yang dulu kau lalui sendiri, tanpa orangtuamu... aku juga tidak bisa mengukur sejauh apa kau telah berusaha, untuk orangtuamu dan kemudian kecewa."

Pascal mengalihkan tatapannya, "Kau pasti sudah begitu percaya diri dengan rencanamu, tapi harus kukatakan, aku tak akan terpengaruh dengan drama apapun yang kau main—"

"Tapi aku tahu, sebesar apa perasaan yang kau sembunyikan untuk mereka... aku telah melihat, serapi apa kau menutupi semua itu, dengan amarah, dengan sikap dingin dan pengabaian." sela Masayu lalu mengambil gelas dan botol minuman dari Pascal, meletakkannya di nakas. Ia ganti menggenggam tangan suaminya itu. "Dalam hal mencintaimu, aku tidak bermain drama dan orangtuamu pun tak sedang berpura-pura, kami bersungguh-sungguh dengan perasaan ini."

Pascal melepaskan tangannya dari Masayu, "Aku suka kalimatmu tentang menghitung berkat tadi, seharusnya kau beritahu orangtuaku untuk menghitung itu."

"Aku yakin mereka menghitungnya, dimulai dari setiap kali kau memanggil Papi dan Mami, kemudian pada setiap saat mereka melihatmu tersenyum, pada setiap hari yang mereka lalui dengan keberadaanmu di rumah, pada setiap kesempatan—"

Pascal menggertakkan giginya, "Diam!" tukasnya cepat.

"Aku tidak akan diam." ucap Masayu sungguh-sungguh. "Aku akan terus melakukan ini, aku akan berusaha menunjukkan padamu, dalam setiap cinta yang tidak aman ini, tetap ada kebahagiaan yang bisa kau dapatkan."

"Maka aku akan meninggalkanmu." kata Pascal, suaranya mengandung peringatan.

"Dan aku sudah mengatakannya padamu, bahwa aku akan tetap bersyukur karena mencintaimu..." kata Masayu dan Pascal menatapnya dengan raut terkejut. "Aku tahu pada detik memutuskan meminta Papi dan Mami datang, kau mungkin akan melakukan ini."

Pascal memilih tak menanggapi apapun, Masayu sadar suaminya berusaha mendiamkannya.

"Aku melakukan ini karena aku tahu, pria yang kucintai layak bahagia, layak atas semua cinta yang bisa kami berikan..." ungkap Masayu dan kembali meraih tangan Pascal. "Kau bisa meninggalkanku, meninggalkan orangtuamu, meninggalkan rumah dan keluargamu... tapi kami tak akan menyerah untuk selalu datang, mendekat dan mencoba meraihmu kembali."

"Hentikan ini." ucap Pascal, berusaha melepaskan tangannya tapi Masayu tak membiarkan.

"Kau tak akan bisa berpura-pura atau menghindari kami selamanya, sebagaimana aku tak bisa terus mengabaikanmu, menjaga jarak untuk hatiku... cinta yang tidak aman dan rapuh ini, layak untuk kita perjuangkan."

"Masayu!" seru Pascal memaksa tangannya hingga lepas, lalu berdiri. "Sudah kukatakan, jika kau terus-terusan memaksaku... aku bisa melanjutkan hidupku, tanpamu."

Masayu menatap Pascal, "Tidak, kau tak akan bisa melakukan itu." katanya yakin.

Pascal menyipitkan mata dan akhirnya memilih beranjak ke koper mereka. Masayu ikut berdiri dan mendekat, ia tahu apa yang dicari suaminya itu.

"Aku akan memberikan paspormu setelah sarapan bersama orangtuamu besok."

Pascal langsung menoleh, "Berikan padaku sekarang!"

"Tidak akan." kata Masayu lalu mendapati Pascal mencoba menebaknya. "Kau bisa membongkar semua koper, kau juga bisa mengeluarkan seluruh isi tasku, tapi tak akan menemukan paspor itu, aku juga mengambil dompetmu sehingga kau tak bisa pergi kemanapun."

Pascal langsung mencekal tangan Masayu, "Jangan kira aku tak bisa—"

"Kau memang tak bisa." sela Masayu lalu mendekat, menengadahkan kepala hingga benar-benar menatap Pascal. "Kau tak bisa melukaiku... karena kau mencintaiku, kau bahkan mencintai kedua orangtuamu, kau hanya takut terluka lagi, kau takut percaya bahwa—"

"Jika jadi kau, aku akan menutup mulut." desis Pascal sembari menajamkan mata, cekalan di tangan Masayu juga menguat. Tapi alih-alih membuat istrinya kalut seperti sebelumnya, Masayu justru tersenyum, bahkan begitu saja meletakkan kepala di dada Pascal, bernapas di sana.

Masayu menjauhkan kepala sebelum Pascal menyentaknya. Perempuan itu beralih mengambil ponsel dan berjalan menuju pintu. "Aku akan memberimu waktu berpikir dan selama aku tak ada... jaga dirimu baik-baik." ucapnya lalu keluar, meninggalkan Pascal.

==]P — CONTRACT[==

Masayu benar, setelah semua isi koper dan tas dikeluarkan, paspor dan dompetnya tak ada. Bahkan Pascal tak bisa menghubungi koleganya di Seoul karena Masayu mengambil ponselnya. Sialan! Pascal meraih gelas dan memutuskan menghabiskan semua persedian minuman keras di kamarnya. Besok pagi, setelah mendapatkan semua barang-barangnya, ia akan pulang dan membalas Masayu. Ia akan membuktikan, ia bisa hidup tanpa perempuan itu.

Pagi harinya, Pascal bangun dengan rasa pusing hebat, begitu menegakkan tubuh ia langsung berlari ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya. Setelah itu Pascal bersandar di dinding, mencoba mendapatkan kesadaran. Tapi, Pascal masih muntah hingga beberapa kali lagi, tubuhnya lemas dan harus berjuang kembali ke tempat tidur. Ia butuh air, Pascal mengerjapkan mata saat mendapati seteko air, gelas, dan satu strip obat pereda pengar di nakas.

Pascal memperhatikan kondisi kamarnya, seluruh isi koper yang semalam dikeluarkannya, seluruh isi tas yang dihamparkannya di lantai, semuanya lenyap. Hanya tersisa kopernya di dekat meja rias, lalu setelan jeans, sweater dan mantel disiapkan di atasnya. Tak perlu memeriksa keluar untuk memastikan, Pascal tahu Masayu pergi lebih dulu.

Ada catatan yang ditinggalkan saat Pascal mengangkat gelas, catatan itu dibuat di balik foto keluarga saat pernikahan mereka.

I just love this picture...

I wish you could see, how much love we share, how beautiful smile of everyone.

I wish you could erase, every pain and sadness, because you deserve to be happy.

I wish you could find, the meaning of silent midnight, lonely morning, and empty day
without me...

Pascal meremas foto tersebut lalu membuangnya ke lantai, segera minum obatnya dan berbaring untuk mengumpulkan kesadaran. Satu jam berikutnya, Pascal sudah bisa memfokuskan diri, ia segera mandi, berpakaian lalu mengurus kopernya. Isi kopernya terlipat rapi, tertata seperti saat Masayu menyiapkannya ketika mereka pergi. Pascal mendesakkan jas dan celananya. Ada semacam rasa asing saat ia siap pergi dari kamar. Pascal menoleh foto yang dicampakkannya, ia mengambil foto tersebut, meluruskan kembali tekstur yang teremas. Pascal memandang wajah Masayu yang tersenyum. Perempuan yang tidak bisa ditundukkan. Perempuan yang terlalu jauh membaca kedalaman hatinya dan mengungkapkannya begitu saja.

"Pascal..." suara Asoka terdengar memanggil sebelum pintu kamar terbuka.

Pascal segera mendesakkan foto tersebut ke sakunya, ia berbalik menatap sang ibu. Asoka masih terlihat rapuh, tapi mengulas senyum saat membawakan teh.

"Masayu pulang duluan." kata Asoka lalu mengulurkan cangkir tehnya. "Minum dulu, setelah itu Mami berikan paspornya dan kamu bisa mengejar Ma—"

"Aku tidak akan mengejarnya." sela Pascal dengan raut gusar, ia berlalu ke pintu.

"Kamu yakin tidak akan menyesal?" tanya Asoka dan menghentikan langkah Pascal.

Pascal kembali menatap ibunya, "Aku tahu apa yang kulakukan, aku merencanakan semuanya dan aku memang tidak berharap banyak pada hubunganku bersama Masayu."

"Itu juga yang ada dalam pikiranku saat menikahi Ayahmu, aku tahu apa yang kulakukan, aku merencanakanmu, merencanakan masa depan karirku dan tidak berharap bahwa kami akan menua bersama." kata Asoka lalu meletakkan cangkir tehnya di meja. "Kamu selalu tahu tentang apa yang kamu lakukan, kamu hanya tidak menyadari bahwa ada seseorang yang bisa mempengaruhi hidupmu melebihi batas yang kamu rencanakan."

"Kukira dulu Mami berharap aku mendapatkan seseorang lebih dari Masayu."

"Ya, dan pada detik dia menemuiku untuk membicarakanmu, aku langsung tahu Masayu adalah orang yang tepat untukmu, she wants nothing but your happiness."

Pascal menghela napas, "Jika dia ingin aku bahagia, dia tidak akan berani melawanku, atau menempatkan situasi rapuh yang hanya membawa kekesalan dan kesedihan dalam diriku."

"Karena itulah caranya, kau harus melalui situasi rapuh, melepaskan kekesalan, mengungkapkan kesedihan... dan kemudian memaafkan, dengan begitu kau akan benar-benar bahagia." kata Asoka lalu mendekat. "Ini juga masih sulit untukku memaafkan diri sendiri, atas setiap pengabaian yang dulu kulakukan padamu dan Iris, atas setiap luka batin, atas setiap kesalahpahaman, juga sikap egois yang kuambil dan ternyata lebih menyakitimu."

Pascal benci situasi ini, karena sejak kecil ia terbiasa dengan sikap diam orangtuanya. Asoka meletakkan tangannya di dada Pascal, menghela napas agar tangisnya tak membuat Pascal semakin kesal. "Masayu bilang aku harus berhenti menunggu, Iris juga mengatakan bahwa ini adalah langkah pertama yang harus kuambil, karena itu aku datang kemari dan berusaha..."

"Aku benci situasi yang hanya membuat kita berada dalam perasaan yang menyedihkan."

"Ini menyedihkan, tapi jika aku harus melaluinya berkali-kali untuk membuatmu bisa mengucapkan sayang lagi padaku, aku akan melakukannya." ucap Asoka dan Pascal sedikit terkesiap. "Aku bisa melalui seribu lagi kesedihan semacam ini, untukmu."

Pascal mundur menjauhi ibunya, ia melanjutkan langkah ke pintu. "Aku harus pergi."

Byakta berdiri di ruang duduk saat Pascal keluar dari kamarnya, karena masa kecilnya dipenuhi tuntutan menjadi pewaris Pasque Techno, Byakta lebih seperti mentor dibandingkan Ayah baginya. Hubungan ayah dan anak diantara mereka setipis lapisan es pada akhir musim dingin.

"Kurasa memang tidak ada gunanya mencoba menyadarkanmu menggunakan perasaan."

"Seharusnya Papi memberi nasehat itu pada Mami atau Masa—"

Plakk, tangan kanan Byakta baru saja membuat wajah Pascal berpaling dengan keterkejutan yang teramat sangat. Pascal langsung menoleh kembali dan menajamkan matanya. Tapi alih-alih Byakta menahan diri, justru meraih kerah kemeja Pascal dan menarik putranya itu.

"Aku menyesal hanya mendidikmu menjadi pewaris kompeten dan bukannya pria sejati, atau putra yang seharusnya berbakti." ucap Byakta dan sebelum Pascal bisa menanggapi sudah mendesis tajam. "Mulai sekarang, aku benar-benar tak akan membiarkanmu dan jangan kira, selama ini aku masih malu atau takut karena hidup menyandang nama keluarga ibumu... anak kurang ajar sepertimu, harus diberi pelajaran."

"Kau pikir, kau bisa—"

"Aku bisa! aku bisa menjadi ayahmu dan akan menunjukkannya." kata Byakta lalu melepas Pascal hingga putranya itu terkesiap mundur beberapa langkah. "Masayu benar, adanya kesedihan dalam dirimu adalah salahmu, karena kau keras kepala, bodoh dan tidak mau membuka hati."

"Astaga! Mas Bya!" seru Asoka saat melihat penampilan Pascal, tahu bahwa suami dan anaknya melewati hal yang melebihi perdebatan. Asoka langsung memeriksa pipi Pascal.

Byakta meletakkan paspor, dompet dan ponsel Pascal di meja. "Biarkan Pascal berpikir dan jika dia tak menyadari kesalahannya, pukulanku berikutnya akan jauh lebih menyakitkan."

[ to be continued ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top