23. TRUE HEIR
Masayu menatap pria yang pagi ini bersikeras bahwa mereka harus berangkat bersama ke kantor. Sejak kejadian di tangga bersama orangtuanya, Pascal memang tidak terlihat ingin membahasnya. Masayu juga tak ingin bertanya, karena jelas Pascal tak akan menjawab. Topik orangtua memang selalu sensitif bagi suaminya, selama lebih dari empat tahun bekerja, selain hal yang memang sudah terlihat, Masayu tak tahu apapun tentang keluarga Pasque.
"Kau masuk bersamaku, kalau teman-temanmu bertanya, katakan itu karena aku berusaha meminta maaf saat kejadian di rumah sakit." kata Pascal sebelum berbelok ke basement.
Masayu mengangguk, "Sebenarnya mereka tidak perlu dikhawatirkan, semua orang di Pasque Techno tahu bahwa kau sulit mentolerir kesalahan."
"Aku yakin teman-temanmu bertanya saat kau tidak masuk."
"Ya, tapi berkatmu sekarang mereka lebih tertarik tentang siapa big guy."
Pascal tersenyum, "Aku tak keberatan kalau kau ingin membocorkan identitasnya."
"Itu akan mengakhiri keseruan permainan ini, bukan begitu?" tanya Masayu sembari melepas kedua cincin di jari manisnya, mengeluarkan kalung dan mengatur cincin tersebut sebagai bandulnya.
Pascal memarkirkan mobil sembari memperhatikan Masayu memakai kalung lalu memasukkannya ke balik pakaian. "Kau yakin bahwa kau mencintaiku?" tanyanya.
Masayu menatap Pascal, memilih balik bertanya. "Sulit dipercaya bukan?"
"Karena kau bahkan tidak mau menunjukkannya." kata Pascal.
Tatapan Masayu melembut, tangannya terangkat menyentuh pipi Pascal, mengelus garis dagu dengan bulu halus yang dibiarkan tumbuh. "Atau kaulah yang tak bisa melihatnya..."
Pascal menjauhkan wajahnya, lalu melepas seatbelt dalam diam dan keluar mobil. Masayu mengikuti Pascal keluar, ia merapikan rambut dan tasnya sebelum melangkah ke lift. Pascal masih terdiam sampai beberapa pegawai terlihat dan mereka bertukar sapaan formal.
"Aku akan langsung conference meeting bersama Papi dan Isaac, tahan semua telepon sampai aku selesai." kata Pascal begitu sampai di depan ruang kerja.
"Oke." jawab Masayu lalu duduk di tempatnya. Ada hal berbeda di meja, sebuah keranjang di dekat layar komputer berisi berbagai macam coklat. Masayu mengambil post it yang tertempel; eat me, anytime. – big guy.
Masayu menatap ke dinding kaca, tapi Pascal sudah sibuk dengan obrolan di layar komputer. Hal-hal semacam ini yang membuat Masayu tak mengerti tentang perasaan Pascal. Tidak hanya tentang coklat kali ini, tapi juga saat pria itu begitu saja mengantarnya ke Bandung dulu, dan saat Pascal dengan raut cemas berlari membopongnya ke ruang gawat darurat.
Falling in love is like holding a candle, itu adalah sesuatu yang pernah Pascal ucapkan, raut wajahnya serius saat itu dan tidak ada sedikitpun keraguan bahwa pria itu hanya ingin memiliki Masayu secara fisik.
Masayu kembali menatap komputernya, ia mendapatkan pesan baru di email pribadinya, puluhan foto pernikahannya dari tim fotografer. Masayu menatap wajah Pascal yang tersenyum saat memasangkan mas kawin di lehernya.
"It's amazing how someone can break your heart... and you can still love him with all the little pieces." ucap Masayu lirih, itu salah satu kutipan favoritnya sejak menyadari ia jatuh cinta.
Masayu menyentuh wajah Pascal, telunjuknya mengelus lembut. "And loving you, it break me into very little pieces, but still I can't stop it..."
==]P — CONTRACT[==
Meine Frau changed profile picture.
Pascal memang mengganti nama kontak Masayu di ponselnya, ia memeriksa foto yang Masayu pasang. Itu jelas foto lama, Masayu berdiri di depan dinding kaca dan puluhan kembang api meledak di belakangnya, warna-warni yang luar biasa cantik. Masayu juga cantik dan Pascal sadar bahwa foto itu diambil olehnya dulu, tiga tahun lalu sebelum terlalu mabuk.
Lalu Pascal melihat Masayu menambahkan foto di statusnya, keranjang berisi coklat. Masayu sama jarangnya dengan Pascal untuk melakukan pembaruan status atau mengganti foto profil.
stay as sweet as you are, hanya itu yang dituliskan Masayu dalam statusnya.
Pascal Pasque: so, you like it.
Pascal mengirimkan chat tersebut, Masayu terlihat memeriksa ponselnya dan menoleh ke arah Pascal, perempuan itu tersenyum lebar.
Meine Frau: can't wait to eat them.
Pascal Pasque: did you want to eat me instead
Pascal melihat pipi Masayu merona, menggemaskan. Masayu tak membalas pesan tersebut karena telepon meja berbunyi. Masayu kemudian tampak serius bekerja dan Pascal juga harus melakukan hal yang sama. Bagaimanapun, urusan makan memakan bisa diselesaikan nanti saat berada di rumah.
==]P — CONTRACT[==
"Uww... big guy." kata Lulu sembari meletakkan paket makan siang di meja Masayu.
Masayu tersenyum, "Hehe, thanks ya, pekerjaanku banyak jadi nggak sempat keluar."
"Makan coklat nggak kenyang ya, Mas?" goda Lulu menarik-narik alisnya.
"Nggak lah, gendut doang." jawab Masayu, mengulurkan uang untuk mengganti paket makan siangnya. Lulu menerima uang tersebut dan meletakkan kembalian.
"Siapa sih, Mas? kok Boss bisa kenal big guy?" tanya Lulu.
Gerakan Masayu mengeluarkan kotak makanan dari kreseknya terhenti. "Ya kenal aja mereka."
"Kita udah nebak-nebak sih dan emang belakangan kalian berdua kelihatan aneh..."
"Maksudnya?"
"Edwin kan orangnya? Big guy yang dimaksud?"
Hah? Masayu yakin jika Pascal mendengar ini, Edwin yang malang akan langsung dibebas tugaskan. "Hahaha... udah gila kalian." komentar Masayu meski tertawa membayangkan reaksi Pascal saat tahu pikiran teman-temannya ini.
"Ngaku aja udah." kata Lulu.
Masayu geleng kepala, "Nggak ada kewajiban mengakui apapun."
"Kalau bukan Edwin siapa dong?" tanya Lulu
"Doain aja langgeng, kan nanti kalian tahu sendiri juga." jawab Masayu.
Lulu menghela napas lalu memberi tatapan menyelidik, "Kalau nyonya Boss udah ketahuan belum? bukan Nyai sih yang jelas, orang dia ke Singapore tapi Boss malah pulang."
"Belum sih, tapi kayaknya malah perempuan biasa aja, makanya nggak show off."
"Malu kali ya, Boss?"
Masayu tahu itu pertanyaan standar dan ia sudah menyiapkan diri untuk semua komentar tersebut. "Who knows, tapi kalau menilik nggak ada flower order dan dia konsisten pakai cincin kawin, kelihatannya hubungan kali ini beneran berarti."
Lulu mengangguk-angguk, "Bisa jadi untuk lindungi pewaris selanjutnya juga sih, kan orang kaya biasanya gitu, ahli warisnya dijaga ketat." tebaknya lalu berjalan ke lift, melambaikan tangan. "Yaudah balik dulu ya, Mas..."
Masayu nyengir dan balas melambaikan tangan. Ahli waris? ia mendapatkan menstruasi pagi tadi dan sudah memberitahu Pascal. Reaksi pria itu melegakan karena merasa itu hal normal. Mereka baru beberapa hari menikah dan dengan kondisi pemulihan Masayu, jelas masih butuh waktu untuk program kehamilan.
==]P — CONTRACT[==
Melewati hari dengan padatnya pekerjaan membuat waktu seakan tak terasa, seminggu berlalu sejak mulai tinggal di rumah Pasque dan Masayu sadar bahwa Pascal menghindari acara kumpul bersama. Pascal bersikap baik saat jam makan malam, menanggapi obrolan dan berkelakar untuk membuat mereka tertawa. Tapi ketika mereka tinggal di meja lebih lama, menikmati makanan penutup, atau memilih pindah ke ruang tengah untuk menonton bersama, Pascal beralasan.
Masayu sering mendapati Iris berusaha menahan dan setiap kali hal itu terjadi, Asoka menjadi sangat pendiam. Pascal tetap menolak, tapi dengan kelembutan yang meluluhkan Iris. Satu atau dua kali, Masayu ingin ikut menahan tapi belum sempat ia bicara, tatapan Pascal sudah cukup membuatnya lebih baik memilih diam.
Benar-benar ada jarak yang semakin terasa antara Pascal dengan keluarga ini, terutama orangtuanya, dan jarak tersebut menghadirkan ekspresi kesedihan yang semakin sulit Asoka tutupi. Bahkan memaksa pria itu tinggal tidak membuat situasinya menjadi lebih baik. Masayu harus mulai memikirkan cara lain agar Pascal benar-benar kembali ke rumah ini.
"Apa yang istriku pikirkan saat ini." gumam Pascal sembari mencium kepala Masayu.
Masayu berusaha agar tidak terkejut, ia tersenyum saat Pascal beralih mengayunnya pelan. Rumah keluarga Pasque sangat besar dan favoritnya adalah melewatkan keheningan di ayunan dekat kolam renang. "Suasananya hening." jawab Masayu sembari menoleh untuk menambahkan, "Sudah selesai bekerjanya?"
"Ya, aku membereskan beberapa laporan." kata Pascal menghentikan ayunan lalu berjalan untuk duduk di samping Masayu. "Setelah kita pulang dari Seoul, kita kembali ke Apartemen..."
Masayu terkejut dengan keputusan itu. "Kita, ke Seoul? Oh?"
Pascal mendekatkan wajah dan mengecup mulut Masayu yang sedikit terbuka. "Pasti menyenangkan bisa ke Seoul lagi."
Masayu menelan ludah, ia memang tak bisa mendeskripsikan perasaannya atas apa yang terjadi tiga tahun lalu, tapi patah hatinya hari itu terasa begitu nyata, hingga kini.
"Aku... aku yakin kau tidak membutuhkan bantuan sekretaris, dan lagi akan ada Nata—"
"Kau ikut sebagai istriku dan Nat akan kuminta dia pulang." sela Pascal.
"Tapi, aku tak bisa... aku tidak ingin ke sana." kata Masayu dan tatapan mata Pascal membuatnya gugup.
"Aku tahu kau tidak melupakan kejadian itu, aku tahu bahwa kejadian itu membekas dalam dirimu sebagaimana kejadian itu juga tak hilang dari benakku."
"Please..." Masayu tak ingin membicarakannya.
Pascal mengalihkan tatapannya dari Masayu, beralih duduk menghadap kolam yang tenang, memantulkan langit malam yang kelabu. "Aku pikir, kita tak pernah benar-benar membicarakan hari itu bukan?"
"Untuk apa? kita sudah menikah dan dulu sepakat untuk menganggapnya sebagai—"
"Kesalahan?" tanya Pascal, nada suaranya dingin dan saat pria itu memilih bersandar ada sedikit guncangan yang membuat kegugupan Masayu meningkat. "Karena itu, kita harus benar-benar membicarakannya, menganalisa kembali apakah itu kesalahan atau benar-benar hal yang kita berdua inginkan? karena soju sialan, kau pasti berpikir aku memaksamu."
"Tidak... aku tahu kau tidak begitu."
"Lalu, kenapa selama tiga tahun kau mengabaikanku, terus bersikap dingin dan bersedia mengurus semua permintaan tentang teman kencanku?"
Masayu menatap Pascal, "Apa kau sengaja melakukan itu untuk menyakitiku?"
"Apakah berhasil?"
"Apa kau sengaja melakukan itu untuk menyakitiku?" tanya Masayu lagi, ia ingin jawaban.
Pascal sejenak terdiam lalu menggeleng, "Aku menyukai teman kencanku, tapi aku selalu merasa ada hal yang tidak tepat, yang membuatku tak bisa mempertahankan hubungan itu... lalu aku semakin menyadari keberadaanmu dan tak lepas dari peristiwa tiga tahun lalu."
Jawaban itu juga membuat Masayu terdiam, ia tak ingin membicarakan itu karena akan menelanjangi seluruh perasaan yang dimilikinya terhadap Pascal. Masayu ikut menatap bayangan langit kelabu di air kolam. "Tentang tiga tahun yang lalu, aku tak ingin membicarakannya lagi, karena aku tahu itu bukan kesalahanmu atau kesalahanku, itu sesuatu yang terjadi begitu saja tapi membuatku merasa berbeda." Masayu mencoba menahan suaranya agar tak gemetar. "Aku bersama pria yang kuinginkan, aku memeluk pria yang kucintai... tapi aku tak bahagia."
Pascal bisa melihat bayangan air mata setelah pengakuan itu. Dengan jenis perasaan seperti itu, jelas Masayu bertahan dengan baik. Ini mendekati tahap yang Pascal inginkan, memiliki Masayu, sepenuhnya. Tak hanya secara fisik, tapi jiwa dan perasaan perempuan itu juga.
Masayu kembali menatap Pascal, ada setetes air mata yang jatuh di pipinya. "Aku tahu ini bodoh, tapi dibalik setiap pertahanan diriku, dibalik setiap kerelaan untuk bantuan kencanmu... aku hanya berharap kau bahagia... bersama orang lain yang lebih layak dan menjaga hubungan kita agar tetap aman... aku berharap kau bisa bahagia."
"Harapanmu sungguh murah hati." kata Pascal lalu beralih memberi pelukan pada Masayu, mengelus punggung gemetar karena pemiliknya terisak. "Kau bisa terus menahannya..."
==]P — CONTRACT[==
Masayu terbangun dini hari, berada di tempat tidur dan Pascal terlelap memeluknya. Kedua mata Masayu terasa sedikit perih namun ia lega karena bisa tertidur setelah pembicaraan semalam. Entah bagaimana ia merasa lega bisa bersikap jujur, meski ternyata bagi Pascal itu tidak juga mengubah apapun. Masayu memilih melepaskan diri, mengambil pelapis piama tidurnya dan keluar kamar untuk mengambil air minum.
Masayu mendengar suara televisi masih menyala saat menuruni tangga, ia memilih memeriksanya, mendapati Byakta masih terjaga melihat berita tengah malam bervolume rendah.
"Papi... ini jam—"
Suara Masayu terhenti karena Byakta meletakkan telunjuk di depan bibir, Masayu mendekat dan menyadari bahwa ada Iris tertidur di sofa panjang. Zhao memang mendapatkan shift malam sejak kemarin tapi Masayu baru tahu, Iris tetap menunggunya.
"Papi juga tadinya mau ke dapur untuk minum, tapi ternyata Iris masih bangun dan menonton sendirian." kata Byakta memperhatikan wajah nyenyak putri bungsunya.
"Masih sekitar setengah jam sampai saatnya Zhao pulang."
Byakta mengangguk, "Iya, makanya Papi ikut tunggu, takut kalau Iris jatuh."
"Masayu aja yang tunggu, Papi istirahat." kata Masayu dan Byakta menatapnya dengan senyum.
"Tidak apa-apa, Papi sempat tidur."
Masayu tersenyum, ia beralih ke dapur untuk minum lalu membuatkan teh hangat dan membawanya kembali ke ruang menonton. "Masayu buat teh supaya Papi ada teman."
"Terima kasih." ucap Byakta menerima cangkir tersebut, menyesap pelan. "Ini enak, tidak terlalu tawar tapi juga tidak manis."
"Gula merah setengah ruas jari." kata Masayu membocorkan resep tehnya.
"Sekretarisku bercerita kau yang mengatur menu coffee break saat diadakan RUPS, aku selalu terkesan karena jenis kopi dan tehnya benar-benar memanjakan lidah, hidangan kuenya juga."
Masayu mengangguk, "Saya mendapatkan referensi yang cukup meyakinkan."
"Aku tahu kau selalu memastikan banyak hal tentang menu-menu tersebut."
"Sebenarnya itu karena Pascal dan Ibu Asoka punya selera yang cukup unik, tapi membedakan menu coffee break mereka dengan yang lain bisa menimbulkan sosial gap, sehingga saya memilih mencari menu-menu yang lebih sesuai untuk semuanya."
"Anak-anak memang mirip ibunya, terutama Pascal."
"Tapi soal pekerjaan, Pascal sepenuhnya mirip Papi."
Byakta tersenyum dan dari senyuman itu Masayu sadar, orangtua di hadapannya ini sama menahan diri seperti Asoka. "Pascal tidak suka jika disamakan denganku."
"Itu sesuatu yang seharusnya tak bisa dihindari, karena dia anak Papi dan hampir mewarisi segalanya dari Papi."
Byakta meletakkan cangkirnya di meja, menatap Masayu dan menggeleng, "Dia tidak mewarisi apapun dariku, karena seperti yang ia katakan, aku ada untuk menjaga Pasque Techno hingga Pascal cukup dewasa untuk mewarisinya... he's true heir for everything I have."
Masayu sejenak terdiam, "Kenapa Papi mengatakan itu seolah—"
"Aku tidak akan menjadi Pasque jika bukan karena menikahi Asoka." sela Byakta membuat menantunya terkesiap. "Aku juga pegawai biasa di Pasque Techno dulu, Kakek Pascal yang memintaku menikahi pewarisnya, Asoka Pasque... itu salah satu alasan mengapa hubungan pernikahan kami merenggang, karena aku merasa tidak mampu mengatasi perbedaan ini, karena ada bagian dalam diriku yang merasa terbeli hanya untuk Pasque Techno dan menghadirkan anak-anak yang bisa melanjutkan nama Pasque."
"Papi jelas mencintai Mami."
"Berkat Iris kami bisa saling mengakui perasaan itu, tapi terlambat untuk Pascal menerimanya."
Masayu tahu betapa menyedihkan keadaan itu, tapi Byakta tersenyum memandang Iris yang begitu nyenyak tertidur. Di balik sikap keras dan kakunya, Byakta punya kasih sayang.
"Terima kasih, karena membuat Pascal tinggal..." kata Byakta kembali menatap Masayu. "Anak itu mungkin membuat jarak dari kami tapi aku senang merasakan rumah ini hidup."
"Pascal sudah membuat keputusan, bahwa kami akan kembali ke Apartemen."
Byakta mengangguk, "Dia tak pernah bertahan lebih dari dua hari sebelumnya, kali ini seminggu sudah sangat bagus dan Iris juga, aku tahu dia merindukan Jenna tapi demi kami, memilih ikut tinggal... aku dan Asoka senang."
"Saat acara ulang tahun pernikahan, apakah ada perayaan tertentu?"
"Kami makan malam bersama."
"Apakah Pascal..."
"Tidak, Pascal tidak pernah ikut, tapi dia mengirimkan hadiah untuk ibunya."
Masayu benar-benar merasa sedih dengan keadaan itu, "Setiap tahun, Pascal mengosongkan tiga tanggal di kalendernya, saat Iris ulang tahun, Mami ulang tahun dan ulang tahun pernikahan."
"Setidaknya dia mengosongkan hari itu ." kata Byakta lalu tampak mengingat, "Kurasa kalian akan berangkat ke Seoul bersama, itu bagus juga, mengingat kalian belum berbulan madu."
"Saya akan berusaha tentang Pascal, agar dia bisa—"
"Jangan berusaha tentang Pascal untuk orang selain dirimu sendiri." pinta Byakta, meraih kembali cangkir tehnya, menyesap pelan. "Aku pantas menerima setiap hukuman yang Pascal berikan dan bersama Asoka, kami akan menebusnya..."
Masayu terdiam tapi akhirnya mengangguk-angguk, lalu terdengar suara pintu depan terbuka dan langkah-langkah pelan mendekati ruang tengah. Zhao muncul dengan senyum dan raut senang.
"Loh, masih pada bangun?" tanya Zhao dan meletakkan tasnya di kursi roda Iris.
"Papi takut Iris jatuh." kata Byakta.
Zhao segera beralih ke kursi sofa panjang, mengelus pipi Iris dan memposisikan istrinya itu agar aman saat digendong. Iris terbangun, bergumam sedikit lalu kembali berpegangan di leher Zhao.
"Aku akan bawa kursi rodanya naik." kata Masayu.
"Thanks ya." kata Zhao dan berlalu bersama Byakta ke lift.
Pascal sedang keluar dari kamar saat Masayu meletakkan kursi roda Iris di dekat pintu. Pascal menatap pintu kamar Byakta yang baru tertutup lalu menatap pintu kamar adiknya terbuka dan Zhao keluar untuk memasukkan kursi roda.
"Bro." sapa Zhao.
"Yo." balas Pascal dan Masayu segera kembali ke kamarnya sendiri.
Pascal menutup pintu, mengamati Masayu melepas pelapis piama dan berjalan ke kamar mandi.
"Aku yakin kau cukup memahami bahwa aku tak ingin kau merasa dekat dengan orangtuaku." ucap Pascal sembari mengikuti Masayu ke kamar mandi.
"Aku hanya merasa betapa sia-sia seluruh cinta yang coba mereka berikan." kata Masayu.
"Terlambat hampir dua dekade untuk—"
"Bagaimana jika selama dua dekade itu mereka juga memendam cinta sepertimu?"
Pascal geleng kepala, "Aku tidak melakukan hal-hal semacam itu."
"Yes, you did." kata Masayu yakin. "Kau memendam cinta untuk mereka, karena itu kau marah dan merasa sakit, karena itu kau membalas, mencoba membuat mereka menderita... tanpa menyadari kaupun merasakan penderitaan yang sama."
"Hmm... beruntung aku punya seseorang untuk mengalihkan penderitaanku." kata Pascal berjalan untuk menyudutkan Masayu di wastafel. Pascal tahu Masayu sudah sangat defensif, ia menyentuh pipi lembab istrinya. "Aku sudah mengingatkanmu untuk tidak memancing terlalu dalam, tapi jika kau memilih mengabaikannya..."
"Karena saat mencintai, aku tak bisa memilih." ucap Masayu menatap Pascal sungguh-sungguh. "Aku tak bisa memilihmu yang hanya tampak menawan, cerdas, atau menyenangkan... aku harus menerimamu dengan semua sikap gila, pemaksa, brengsek, manipulatif dan penuh amarah tertahan ini... aku juga harus menerima setiap kesedihan dan kesepian yang ada dalam—"
"Shut up!" desis Pascal balas menatap Masayu dengan dingin.
"Dulu aku menahan diriku karena aku takut bahwa cintaku akan sia-sia, bahwa perasaanku hanya akan melemahkanku... but I'm wrong, it gift me strength, to love you even more."
Pascal tampaknya tak mau mendengar apapun lagi, menarik Masayu kembali ke tempat tidur, mendorong perempuan itu. "Nah, sekarang saat yang tepat untuk menunjukkan cintamu."
Masayu tahu Pascal berusaha menghinanya, tapi jika itu yang dia inginkan untuk menyelesaikan perdebatan ini, Masayu tak akan mundur. Menunggu hingga Pascal melonggarkan pertahanan, Masayu balas mendorong, lalu sebelum pria itu bisa beralih, Masayu berpindah ke atas tubuh Pascal. Sebagai pria yang senang menguasai, ini posisi yang sangat Pascal benci.
Masayu tersenyum, "I miss you too, Big Guy..." ucapnya sebelum membungkuk untuk mencium.
[ to be continued ]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top