21. CHANCE
"Wrong number, Mr. Pasque." suara itu terdengar sedih sekaligus lemah.
Pascal langsung menarik ponsel dari saku jasnya, ia memakai headset dan terakhir kali berbicara dengan Natasha. Ah, sial! seribu sialan! Pascal mendapati nomor Masayu yang baru meneleponnya. Ia segera menelepon kembali dan tak diangkat.
Tentu saja! hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Pascal saat pulang nanti.
Natasha kembali menelepon, wanita itu sudah menangis, berkata mendapatkan tiket tapi masih satu jam penerbangan lagi. Pascal mengangguk-angguk lalu menjelaskan situasinya sesingkat mungkin dan terakhir ia meminta maaf tak bisa menunggu.
Berawal dari kesepakatan bersama Direktur NUS berjalan begitu baik hingga hanya butuh setengah hari bermain golf dan meneken kerja sama saat acara makan siang. Lalu Pascal berinisiatif pergi ke Young Leo Medical, ia hanya harus menemui Direktur pengembangan program pendidikan dan menyerahkan hadiah perkenalan berikut sepaket katalog terbaru Pasque Techno. Saat datang, ternyata ada perubahan struktur terbaru di Young Leo Medical, direktur baru yang Pascal temui adalah Victory Olimpia, ibu Natasha.
Vicky masih mengenalnya dan mereka mengobrol, memang lebih banyak membicarakan Natasha tapi Pascal mendapatkan tujuannya untuk menempatkan beberapa produk Pasque Techno di sana. Hal naas terjadi saat Vicky mengantar Pascal keluar ruangannya, tiba-tiba wanita lima puluh delapan tahun itu megap-megap seperti kehabisan napas dan memang itulah yang terjadi. Vicky punya asma, kambuh begitu saja di hadapan Pascal.
Selanjutnya berisi kesibukan di rumah sakit dan Pascal mengabari Natasha, jelas ucapannya saat mengangkat telepon Masayu tadi menimbulkan sebuah kesalahpahaman besar. Pascal menghela napas, ia kembali ke hotelnya untuk bersiap-siap pulang. Masayu jelas tak bisa diyakinkan jika hanya melalui telepon.
Mami: Masayu blm pulang, Mami telp. ponselnya mati.
Pascal mendapatkan chat tersebut saat memasuki taksi. Ia segera menelepon Edwin, ia meminta supirnya itu mengawasi Masayu.
"Yoshua ulang tahun, terus Masayu dan teman-temannya nonton bersama."
"Ohh... oke, pulanglah, Masayu pasti naik taksi nanti."
Pascal mematikan sambungan telepon itu lalu membalas chat ibunya.
Pascal Pasque: dia ada acara sama teman-temannya, aku pulang malam ini
Pascal Pasque: nanti Masayu pulang bersamaku
Setelah mengirimkan itu, Pascal mengurus kepulangannya ke Jakarta.
==]P — CONTRACT[==
Sudah pukul sepuluh saat Pascal turun dari pesawat, ia menyempatkan untuk tidur tapi tidak benar-benar mencukupi kebutuhannya. Pascal menyalakan ponsel, lagi-lagi mendapati chat dari sang ibu.
Mami: Masayu bilang ada acara sama teman2nya, tp jam sembilan sdh pulang.
Mami: Kami mau coba masker dari Iris
Mami: Ponsel Masayu masih mati, kamu bisa hubungi dia?
Pascal segera menelepon Masayu dan memang benar ponsel istrinya itu masih mati. Pascal mencegat taksi dan meminta bergegas ke apartemennya. Bisa jadi Masayu terlalu kalut hingga menolak bertemu sang ibu dan memilih mengurung diri di sana sebelum menghadapi Pascal.
Apartemennya masih segelap saat terakhir kali Pascal memasukinya, ia masuk ke kamar dan tak ada hal yang berubah.
Pascal mencoba tidak panik saat menelepon adiknya, Masayu mungkin mengadu lagi pada Iris. Iris langsung mengangkatnya dan bercerita bahwa terakhir menghubungi Masayu justru tadi pagi. Pascal mengakhiri teleponnya sebelum sang adik bisa mendeteksi ada masalah.
"Yoshua ulang tahun, terus Masayu dan teman-temannya nonton bersama."
Pascal buru-buru memeriksa kontak ponselnya, menggeram saat tak memiliki satupun kontak sekretaris-sekretaris itu. Ia berpura-pura beralasan pada Isaac Lewis, direktur bidang penjualan yang selama ini menjadi atasan langsung Yoshua.
Sebelas digit nomor itu langsung Pascal hubungi, sial, ia harus membuat alasan apa?
"Halo." suara itu menyahut, terdengar asal-asalan mengangkat.
"Halo, Yoshua, ini saya Pascal."
"Siapa?"
What? Siapa katanya?
"Pascal, Pascal Pasque." tegas Pascal.
"Oh! Boss! Ya, maaf, ada yang bisa saya bantu?" suara itu langsung sigap dan Pascal mendengar suara-suara perempuan, cukup riuh.
"Saya tidak terlalu mendengarmu, kau ada di tempat ramai?" tanya Pascal.
"Oh, saya sedang menemani Masayu." jawab Yoshua.
"Menemani Masayu?" tanya Pascal mencoba tidak menendang sesuatu saat ini.
"Ya, dia pingsan tadi waktu—"
"Dia pingsan?" seru Pascal, kali ini ia ingin menendang diri sendiri. Pikiran buruk berkelebat di benaknya, sampai-sampai jantungnya berdegub begitu kencang.
"Iya, kami tadi nonton dan—"
"Kau di rumah sakit? kirimkan alamatnya, sekarang!" tandas Pascal lalu menutup ponsel, ia mengambil kunci mobilnya dan segera berlalu ke garasi. Ini gila, apa yang terjadi pada Masayu. Kenapa pingsan, bagaimana bisa? Ya Tuhan!
==]P — CONTRACT[==
HW-Hospital
Yoshua memandangi ponselnya dengan ekspresi bingung dan gugup. Fanya yang duduk di sampingnya menatap iba. "Boss beneran?" tanya Fanya.
"Iya, eh gimana nih? ada apaan, gue ditelepon jam segini."
Lulu ikut gugup, "Emang kenapa, Yo? dia bilang apa?"
"Belum bilang apa-apa... tapi dia minta alamat rumah sakit ini."
"Hah serius? ngapain?" Fanya langsung menegakkan tubuh.
"Nggak tahu gue! aduh gila nih!" kata Yoshua tapi segera mengirimkan location ke nomor ponsel Pascal. "Eh anjir, gue punya nomor ponselnya Boss."
"Foto profilnya lihat!" kata Lulu menyentuh foto Pascal di sudut papan chat. "Ganteng ya."
"Suami orang, Lu." kata Fanya lalu beralih pada Yoshua. "Yo mending lo mikir deh, ada apaan sebelum Boss sampai sini beneran."
"Gue yakin nggak ada masalah, seharian ini..." tiba-tiba Yoshua menatap Lulu dan Fanya bergantian. "Ini nggak mungkin gara-gara gue kabur, nolak dilempar kerjaan Nyai kan?"
Lulu melongo, "Ih gila! nggak mungkin banget!"
Fanya geleng-geleng kepala. "Hah, masa beneran sih Nyai istrinya?"
"Gue panik astaga!" Yoshua langsung memijit-mijit kening.
Kemudian suster yang baru memeriksa Masayu keluar dari ruang rawat. "Temannya sudah bangun."
Mereka bertiga langsung bergegas masuk, itu adalah ruang rawat berisi empat pasien, jadi mereka bersempitan di ranjang paling pojok, langsung menyikap tirai dan Masayu tersenyum lemah. "Sorry guys..."
Lulu langsung duduk di kursi tunggu, "Ya ampuuun, bikin kita jantungan aja."
"Gila! Say, lemas banget tadi... nggak makan ya?"
"Ah, ya gitu deh... banyak nggak sempatnya." kata Masayu lalu tersenyum pada Fanya.
"Mbak Sera pulang duluan, dia titip salam, kata dokter juga tadi cuma butuh istirahat."
"Iya, rasanya juga gitu." kata Masayu tersenyum, sekilas ia menatap jam dinding, keningnya berkerut. "Jam sepuluh? bukannya kita nonton sekitar jam enam tadi."
"Iya, emang udah empat jam lewat." jawab Fanya
Astaga! Masayu langsung menegakkan tubuh dan seketika memejamkan mata, ia pusing sekali. "Tas! tas!" pinta Masayu dan Yoshua segera mengambilkannya. Ponsel Masayu terselip di bagian depan, ponsel itu retak dan mati. Oh tidak.
"Jatuhmu tadi serem banget, Say... astaga." ucap Yoshua
Masayu menyentuh sisi keningnya yang berdenyut, langsung mengaduh karena ada memar.
"Aku baru aja bilang, Say." kata Yoshua prihatin.
"Kenapa, Mas? harus telepon seseorang?" tanya Lulu.
"Ngabarin Nenek di Bandung?" tebak Fanya.
Masayu segera menggeleng, lalu ia mendengar suara di luar, menanyakan ruangan tempat pasien atas nama Masayu Djezar. "Suara itu..." Masayu mengenalinya.
Yoshua langsung panik, "Astaga! gimana nih!"
"Tenang, Yo! tenang, ditemui dulu." kata Lulu
"Gila, gue nyesel banget nolak lemparan tugasnya Nyai." kata Yoshua lalu menelan ludah saat menyingkap tirai dan berjalan menemui Pascal.
==]P — CONTRACT[==
Pascal kesal luar biasa, siapa yang berani menempatkan istrinya di bangsal umum seperti ini. Ia menghentikan seorang suster, "Ruangan Anggrek satu, atas nama Masayu Aria Djezar."
"Ini ruangan Anggrek dua, Pak... satu di sebelahnya, ada papan yang memuat nama pasien."
Pascal segera mengangguk dan bergegas menuju pintu yang dimaksud, ia menatap papan yang ada di dinding; Nn. Masayu Aria Djezar (bed D)
Pascal baru akan masuk saat mendapati Yoshua berjalan ke pintu.
"Malam, Pak." katanya dengan raut gugup.
"Dimana—"
"Mr. Pasque." panggilan itu terdengar dan Pascal melihat Masayu berjalan keluar dari balik tirai.
Rasanya ada palu tak kasat mata yang kemudian memukuli dada Pascal, Masayu pucat sekali, rambut panjangnya kusut dan ada memar di pelipisnya. Apa yang terjadi? Ya Tuhan!
Masayu segera membuat kode dengan gerakan mata, "Yoshua sudah mengirimkannya, tapi saya yang terlambat memasukkan update untuk katalog Young Leo Medical."
Pascal menajamkan mata, ia panik setengah mati dan istrinya masih bersikukuh menyembunyikan jati diri? Sialan! "Aku menyesal membatalkan surat pemecatan itu!"
Yoshua langsung maju, "Maaf, Pak... kalau ini terkait revisi katalog operating bed, saya memang mepet mengirimkannya."
"Ada deadline untuk semua pekerjaan." kata Pascal lalu menatap Yoshua. "Atau sekarang para sekretaris memang kompak bekerja seenaknya lalu saling melindungi saat ada masalah?"
"Tidak! ini benar-benar kesalahan saya! jangan pecat Masayu." kata Yoshua.
Masayu tersenyum, "Yo, bisa antar Lulu sama Fanya pulang... biar aku yang bicara sama Boss, pasti ada masalah sama Young Leo Medical, biar kami tangani."
"Hah? dokter bilang harus istirahat, Say." kata Yoshua tampak keberatan.
"Say katamu? aku kenal pacar Masayu, dia bisa salah paham dengan caramu memanggil." kata Pascal membuat Masayu mendelik dan Yoshua terkesiap.
"Masayu punya pacar?" seru Lulu dan Fanya kompak dari dalam.
Pasien lain langsung menggumamkan protes untuk tenang. Masayu balas menggumamkan maaf.
"Masayu nggak punya pacar, Pak." kata Yoshua, yakin.
"Masayu panggil pacarnya Big Guy." kata Pascal, lebih yakin.
Bagus sekali, Pascal Pasque! batin Masayu lalu memutuskan untuk mengembalikan fokus semua orang. "Boss, too much information." tegurnya pelan lalu menatap Yoshua. "Yo, please antar Lulu sama Fanya ya? aku nggak papa."
"Beneran punya pacar, Sa—yu." kata Yoshua kikuk.
"Aku punya pacar, tapi dia nggak kekanakan, panggil seperti biasa aja." kata Masayu.
Yoshua langsung mengangguk, "Oke! terus nanti pulangmu? aku jemput kemari lagi?"
"Aku bisa minta pacarku jemput." kata Masayu tersenyum.
"Wah, besok cerita ya, pajak jadian juga." kata Yoshua lalu memanggil Fanya dan Lulu.
Mereka bertiga kompak mengangguk formal pada Pascal, sedangkan pada Masayu, kedua perempuan itu langsung memberi kode untuk segera mengecek group chat. Masayu mengangguk-angguk, memastikan mereka hilang dari pandangan.
"Jangan peluk, jangan berbuat apapun sampai rumah." kata Masayu saat Pascal bergerak.
"Aku bisa gila, Masayu." kata Pascal tapi Masayu benar-benar menatapnya dengan penolakan.
Masayu mengambil tasnya, tapi saat akan berganti pakaian, keningnya berdenyut dan pandangannya menjadi kabur. "Pascal..." panggil Masayu lirih.
Pascal menyibak tirai, langsung masuk saat Masayu kembali duduk di pinggir tempat tidur.
"Kamu masih sakit..." katanya menangkup pipi lembut istrinya.
"Pusing." kata Masayu sebelum kembali terlelap.
==]P — CONTRACT[==
Pascal dua kali berlari-lari di lorong rumah sakit, pertama saat adiknya kecelakaan dan sekarang saat istrinya benar-benar lemah, terkulai begitu saja dalam gendongannya. Pascal membawanya ke UGD, suster yang melihatnya langsung mengarahkan ke bed kosong terdekat.
"Saya Pascal Pasque, ini istri saya, Masayu... kami ada di daftar prioritas HW-Hospital." kata Pascal lalu mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya, warna kartunya keperakan dengan logo HW-Hospital. Salah satu keuntungan karena adiknya menikahi pewaris rumah sakit ini, otomatis menjadikan seluruh keluarga Pasque berada dalam daftar prioritas. Melihat kartu Pascal, suster langsung membawanya dan menelepon.
"Saya akan melakukan pemeriksaan awal sementara menunggu dokter." kata suster dan Pascal mengangguk, memberikan tempat di sisi Masayu. "Istri anda sudah mengenakan pakaian pasien." katanya sembari mengecek suhu dan bagian leher Masayu.
"Ya, dia dibawa kemari karena pingsan... dia tidak sadarkan diri sebelum aku datang dan kemudian pingsan lagi saat akan keluar, aku begitu saja membawanya kemari." kata Pascal.
Suster memahami jenis kepanikan itu lalu dokter datang, segera memeriksa Masayu. Setelah hampir lima belas menit yang menegangkan, dokter perempuan yang ramah itu menatap Pascal.
"Istri Bapak lemah sekali, harus diinfus dan tinggal setidaknya satu malam ini."
"Apa yang terjadi."
"Saya mengambil sample darahnya untuk dianalisis lebih lanjut, tapi sementara tampaknya beliau kelelahan, apakah istri Bapak bekerja?"
"Ya, dia sekretarisku."
Dokter mengangguk-angguk, "Kami akan menyiapkan ruang rawatnya, lalu kita pindahkan."
==]P — CONTRACT[==
Asoka Pasque langsung datang setelah Pascal memberi kabar, begitu juga Byakta Pasque setelah mendarat segera ke rumah sakit. Masayu belum sadar, benar-benar tertidur sejak terakhir dokter memeriksa. Ada infus dipasang dan baru beberapa menit lalu suster menyuntikkan obat.
Pascal merasa sangat lelah juga bersalah, ia tak sanggup menghadapi Masayu yang seperti ini, begitu diam dan tenang. Ia ingin istrinya itu bicara, menyalahkannya, berteriak, atau bahkan mengancam dengan sesuatu. Rasanya benar-benar buruk saat ini.
"Kamu harus makan." kata Asoka, sejak ia datang Pascal hanya duduk di sisi tempat tidur.
"Hmm...nanti." kata Pascal, memainkan jemari Masayu, berharap segera bergerak.
"Ini sudah lima kali ibumu menawari makan, dan lima kali pula kamu menjawab nanti." kata Byakta dari tempat duduknya.
Pascal diam saja, ia hampir menelepon Iris tadi, lalu sadar adiknya berada di suatu tempat di Negeri gajah putih. Pascal mengabari sang ibu dan jelas kemudian Asoka memutuskan mengabari Byakta. Komunikasi Pascal dengan Ayahnya selalu hanya seputar Pasque Techno, kecuali harus membicarakannya, Pascal tak pernah mengungkap hal pribadinya pada orangtua.
"Setidaknya minum sesuatu? Mami akan minta coklat panas." kata Asoka.
"Mami pulang aja, Pascal tunggu Masayu sendiri." kata Pascal
Asoka menggeleng, "Mami akan duduk di sofa, kalau kamu nggak mau diganggu." katanya lalu mundur kembali ke sisi suaminya.
"Papi bawa pulang Mami aja." pinta Pascal lalu menoleh ke tempat orangtuanya.
"Katakan alasan kenapa kami harus pulang, sementara anak dan menantu kami tertahan di sini?" tanya Byakta lalu menatap putra sulungnya. "Masayu berhak menerima perhatian kami."
"Aku akan menelepon besok pagi, dokternya bilang dia hanya harus diistirahatkan."
"Kamu juga butuh istirahat, jadi kita bisa gantian menunggu." ucap Asoka lirih. "Kamu bahkan belum mandi, ganti baju, Mami pikir Masayu akan langsung cemas saat dia bangun melihatmu."
"Kita buat kesepakatan saja." kata Byakta lalu sekilas mengecup kening istrinya, berdiri dan memindahkan keperluan menginap yang dibawa Asoka. "Kamu bisa mandi sementara kami memesankan makan malam, lalu setelah makan, kami akan meninggalkanmu."
"Aku bukan anak berumur—"
"Ya, kau dewasa, terlalu dewasa sampai kadang terdengar kurang ajar menyindirku." sela Byakta lalu meletakkan tas itu di dekat kaki Pascal. "Kecuali kau ingin melibatkan adikmu yang kesekian kali, membuatnya terbang terlalu pagi hanya untuk memberimu nasehat yang sama?"
Pascal berdiri meraih tas dari ayahnya dan beranjak ke kamar mandi.
"Kami akan pesan makanan." ulang Byakta lalu menelepon restoran hotel favorit putranya.
"Nasi liwet dan sate akan praktis, tambahkan teh jahe juga, supaya perutnya hangat." pinta Asoka saat Byakta bingung memilih menu. "Aku mau menu yang sama."
"Oke." kata Byakta menyebut semua pesanan itu.
Pascal sudah selesai mandi saat Edwin mengantar pesanan makan malam. Ia benar-benar tak punya pilihan saat ditarik duduk bersama sang ibu. Pascal lapar tapi malas makan.
"Minum tehnya dulu, kami minta diseduh hangat jadi jahenya nggak begitu terasa." kata Asoka mengulurkan tumbler sederhana dengan logo restoran hotel.
Pascal mengendus sejenak, ia benci sayur dan selektif dengan rempah. Pascal mencoba satu sesap, rasa tehnya cukup enak dan hangat. Ia masih minum saat sang ibu membuka kotak-kotak makanan, memisahkan bagian Pascal, yang tidak dituang acar. Dulu, ibunya tak akan seteliti ini, bahkan tahun lalu Asoka masih menawarinya roti bakar dengan selai nanas.
"Mami simpan beberapa air mineral di lemari es, ada buah potong juga, dan termos isi teh jahe... kata Elina, itu bagus untuk pemulihan dari kelelahan." kata Asoka saat Pascal mulai makan.
Elina yang dimaksud adalah ibu Zhao, satu-satunya sosok ibu sempurna yang Pascal kenal. Sejak pernikahan Iris memang Asoka banyak belajar dari mengamati Elina, cara merawat, memperhatikan, juga mengurus rumah tangga. Dan Pascal mengabaikan semua perubahan ibunya itu, juga niat baik ayahnya menciptakan keluarga bahagia sebenarnya. Pascal masih memandang dingin setiap kali mendapati ayah dan ibunya keluar dari kamar yang sama.
Dulu, sebelum Iris kecelakaan, Asoka dan Byakta seolah bersaing menciptakan skandal. Terlihat dengan berbagai usia lawan jenis, bersikap mencurigakan dan jadi bahan gunjingan semua orang. Belakangan diketahui bahwa skandal tersebut hanya bualan untuk menarik perhatian satu sama lain. Salah paham, buruknya komunikasi antar kedua orangtuanya membuat persoalan itu benar-benar terasa seperti omong kosong. Pascal melalui hari-hari menyebalkan, selama bertahun-tahun! Lalu tiba-tiba orangtuanya memutuskan berbaikan, begitu saja.
"Dilepas dulu dasinya, biar nggak kena sambal kacangnya." kata Asoka dan menguraikan dasi di leher suaminya. Byakta tersenyum seperti pemuda dua puluh tahun yang kasmaran.
Pascal menatap dingin, ia siap beranjak saat sang ibu sudah buru-buru menjauhkan tangannya.
"Mami cuma bantu supaya nggak kotor." kata Asoka segera kembali ke sendoknya.
"Aku benar-benar sudah cukup punya Iris sebagai adik." kata Pascal mengingatkan.
Pipi Asoka langsung merona, "Ya, Mami juga sudah tua, kamu ini!"
"Karena itu kendalikan diri, dalam hal ini aku yang pengantin baru."
"Rasa-rasanya dulu kamu yang penasaran apakah aku dan ibumu masih tidur bersama, saat kami memberi jawabannya, kamu justru kesal." komentar Byakta membuat Pascal menatapnya jengah.
"Karena aku masih berpikir bercerai adalah tindakan terbaik untuk kalian."
"Itu akan membuat kami tampak tak bertanggung jawab, bercerai tapi tidur ber—"
"Maksudku bercerai adalah benar-benar memisahkan diri." sela Pascal lalu menatap sang ibu yang hanya menunduk. "Mami hampir nggak dikenal lagi di televisi, perannya juga mundur drastis, berada di rumah membuatnya kehilangan banyak hal."
"Satu-satunya kehilangan yang ibumu sesali adalah kamu yang menolak kembali." kata Byakta.
"Dan salah siapa semua itu?" tanya Pascal menatap kedua orangtuanya sengit.
Asoka memejamkan mata, "Sudah." pintanya pelan lalu menatap Pascal. "Mami yang salah, oke? dan setiap hari, sepanjang sisa hidup ini Mami akan berusaha menebusnya."
"Semua orang melanjutkan hidup, dan aku pun begitu saat meninggalkan rumah." kata Pascal.
"Mami tahu, karena itu Mami berusaha menerimanya." suara Asoka terdengar tegar. "Mami tahu kamu benci bertingkah seolah seperti keluarga bahagia, tapi sejak Iris pulih, Mami benar-benar merasakan kebahagiaaan, meski itu berarti karir televisi meredup, peran remeh tak seberapa, terus berada di rumah hanya menunggu... tapi ada bahagia yang Mami rasakan."
"Jika itu dialog terbaru untuk—"
"Jangan kira aku tak bisa menamparmu." sela Byakta dengan peringatan serius.
Pascal menatap sisa makan malamnya, ia memilih menghabiskan dua tusuk sate yang tersisa lalu berdiri. "I'm done..." katanya sembari berjalan pergi.
Asoka langsung menahan lengan suaminya, benar-benar tak bisa membiarkan jika ada tindakan melebihi perdebatan. "Aku selesai makan sebentar lagi, kita bereskan terus pulang."
Byakta diam saja, menahan diri hingga istrinya selesai makan, membereskan semua sisa makanan lalu mencuci tangan sebelum mendekati Pascal.
"Besok, Mami datang jam tujuh, cobalah untuk ikut beristirahat." pinta Asoka lalu senejak memeluk Pascal yang duduk diam memandang Masayu. "She's gonna be oke."
"I know." kata Pascal, ia membiarkan ibunya berlalu.
Byakta diam saja saat digandeng keluar ruang rawat. Mereka terus diam hingga Edwin membawa mobilnya keluar basement rumah sakit. "Kadang, Pascal benar-benar harus diberi pelajaran, dia selalu meremehkan ketulusanmu."
"Jangan begitu, Iris akan sedih kalau tahu, aku juga nggak tahan... biarkan, nanti Pascal pasti luluh." ucap Asoka lalu bersandar di pelukan suaminya. "Mas Bya cuma capek, Pascal juga tertekan, makanya cepat marah... aku nggak papa."
"Tapi Pascal selalu—"
"Dia sayang padaku, aku tahu itu." sela Asoka berusaha tidak menangis. "Dia sayang padaku."
Byakta menarik napas panjang lalu mendekap istrinya, "Entah kapan anak bodoh itu bisa leluasa mengucapkannya, benar-benar..." gerutunya lalu mengusap pundak Asoka untuk menenangkan.
| to be continued |
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top