Epilogue

Disclaimer: I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers. And I don't own the songs that I use as prompt, they're belongs to Paramore.

Prompt: Still Into You by Paramore.

Meito: Mate: Pasangan.

***

**

*

Hidup itu penuh misteri. Kadang kala, legamnya membuat manusia merasa terjebak dalam labirin yang penuh rintang di malam buta.

Namun, acap kali, alurnya menjelma teramat indah, membuat mereka yang menjalaninya merasa berada di tengah taman nirwana.

Akan tetapi, selain penderitaan maupun kesenangan, satu yang akan selalu dibawa serta oleh kehidupan adalah, kejutan.

Dan terkadang, kejutan yang dibawa oleh sang takdir menggiring manusia kepada satu akhir yang bahagia.

Sengoku Jidai ...

Kedewasaan dijunjung, dua belas bulan telah disanjung.

Secara adat para inu youkai, perhelatan dilaksanakan.

Sajak cinta berbalut janji telah bergaung.

Menaati tradisi, persembahan diberikan.

Di istana yang menjadi penanda wilayah kekuasan, pendamping hidup sang alfa diperkenalkan.

Di gua pinangan, sang Daiyoukai mengagungkan sang miko menjadi pasangan.

Kelembutan futon menopang Kagome, halus mokomoko mengelilinginya, kehangatan tubuh Sesshoumaru menyelimutinya. Berbekal kepercayaaan, gadis itu menampilkan sepenuhnya kepolosan. Tangan Kagome menjelajah, ia menyentuh ringan otot-otot yang terlapis kulit sehalus pualam di dada bidang dan lengan kekar itu dalam kekaguman. Terperangkap di antara tirai perak miko itu tertawa. Di bawah tatapan emas, ia tersenyum. Gadis itu melengkungkan tubuh, menyingkirkan jarak yang tersisa, meleburkan diri dalam rengkuh.

Sesshoumaru menyeret ujung hidung di bahu pasangannya, bergerak dengan teramat lambat naik ke leher. Ciuman dengan bibir terbuka menyapu sepanjang rahang sang pasangan. Tangan bercakar mengelus lekuk tubuh mungil itu dengan gerakan mengambang. Kedua mata pria itu terpejam, menikmati setiap detik kulit mereka bersentuhan, menyukai tiap kesiap, dan menyesap setiap esensi yang merebak. Erat genggam di surai silvernya semakin menguat. Rintih merdu sang miko meluncur lamat-lamat.

Sang pria memuliakan wanitanya dengan kecupan, juga menghormatinya dengan belaian. Setiap sentuhan penuh keajaibannya adalah bentuk penghargaan sepenuh hati terhadap sang pasangan.

Tubuh Sesshoumaru dan Kagome saling terkait. Pembuluh darah keduanya deras oleh antisipasi yang mengalir. Dunia yang ada di latar belakang buyar, fokus meruncing hanya pada bagaimana desah indah terlontar dan hangat yang terasa kala tubuh keduanya berbenturan. Mereka bergantian mendominasi dalam perlombaan untuk memberi keajaiban.

Segalanya, untuk sang pasangan.

Pada akhirnya, Sesshoumaru telah terlepas dari formalitas. Sisi predatornya mengambil alih. Sang Daiyoukai tunduk pada insting, patuh pada hasrat. Surai silver terombang-ambing oleh aura. Youki biru pucat memancar. Reiki merah muda menguar. Kedua aura saling lilit, mengikat kuat, menciptakan pusaran sensual yang mengalahkan penghalang. Kedua energi itu berpadu, menghasilkan cahaya baru yang memenuhi seisi ruang.

Bersamaan dengan penyatuan, timbulah keseimbangan.

Simbol sehidup semati yang menjadi penyambung nyawa telah tersemat.

Sepatutnya ungkapan cinta.

Sebagai pasangan seutuhnya.

Sebaik-baiknya tanda kepemilikan.

Pun, kelaikan bukti janji untuk bersama, selamanya.

Rintih sakit yang disenandungkan Kagome hanya mengalun dalam satu tarikan napas sebelum tergantikan oleh nada kenikmatan.

Semuanya, itu yang keduanya butuhkan kemudian: Tempo yang perlahan, juga kecepatan.

Disaat yang sama, mereka menginginkan segalanya: Ketegangan, juga pelepasan.

Nyanyian megah berisikan nama bertuah sang pasangan susul-menyusul dalam sebuah bisikkan.

Mereka telah tenggelam sepenuhnya. Bunyi entakan yang berkesinambungan menjadi komponen penting melodi indah yang dilantunkan. Waktu yang merangkak lambat bak madu yang dikecap. Keduanya melagukan kenikmatan dalam lenguh lirih dan erang tertahan. Geraman maskulin dan jerit manis feminin beresonansi menjadi satu musik megah, perlambang satu hal yang keduanya raih bersamaan: Kepuasan.

Tubuh telanjangnya masih terperangkap di bawah tubuh besar Sesshoumaru. Dengan jenaka, miko itu mengulang apa yang diucapkan putra sulung Inu no Taisho itu pada upacara peresmian sesuai adat inu youkai tadi siang, "Demi meraih keseimbangan sebagai pasangan seutuhnya hingga ajal menjelang, tak hanya dirinya, aku pun akan menyerahkan jiwaku padanya." Ia mengambil jeda, "Kau tahu, Sesshoumaru, apa yang kau ucapkan kemudian adalah hal paling indah yang pernah kudengar." Kagome menangkup wajah pria itu, lalu memberi sang pasangan senyum termanis miliknya.

Seraya menatap lekat safir biru pasangannya, secara sukarela, Sesshoumaru melakukan pengulangan, "Dengan ini, aku, Sesshoumaru, selamanya akan menjagamu dengan segenap raga."

Mata Kagome mulai tergenang oleh kebahagiaan yang membuncah, dengan suara rendah, ia melisankan isi hatinya yang terdalam, "Dan, aku, Kagome, akan senantiasa mencintaimu dengan seluruh jiwa." Sang Daiyoukai menjawabnya dengan satu lagi pertautan bibir lembut yang sarat makna.

Tak ada satu pun dari keduanya yang rela melepas pelukan hangat, tidak di malam pertama mereka bergelar resmi sebagai pasangan. Sesshoumaru dan Kagome terus mendekap hingga mereka direnggut oleh alam mimpi.

_____

Era modern ...

"Cepatlah!" Gerutu Inuyasha yang berdiri di ambang pintu kamar Kagome dengan tidak sabar.

Miko muda yang tengah sibuk memasukkan berbagai barang-barang mengambil jeda sejenak. "Tunggu sebentar Inuyasha, masih banyak yang harus kupersiapkan," protesnya sambil memasang wajah masam.

"Keh."

"Lolipop untuk Rin, Shippou, dan ... " Kagome menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan senyum selagi memasukkan sebuah botol teh beraroma bunga ke dalam tas. Dengan riang ia memproklamasikan kesediaannya, "aku sudah siap, Inuyasha!"

"Kalau begitu, ayo!" ucap laki-laki setengah siluman itu sambil melengos pergi.

"Bila kau mau bergegas, setidaknya bantu aku bawa tas ini," keluh Kagome pada sahabatnya yang tahu-tahu sudah berada di anak tangga terbawah.

Inuyasha berkilah, "Kau tidak bilang!"

Kagome tak mau kalah, ia berkata dengan sengit. "Kau tidak menawarkan diri!" Gadis itu menuruni anak tangga dengan langkah mengentak.

"Berikan tas itu padaku!" Perintah Inuyasha.

"Terlambat!" Ucap gadis itu ketus ketika berjalan melewati sahabatnya.

"Cepat, berikan tas itu!"

Baru saja Kagome membuka mulut siap melontarkan penolakan lain ketika suara lembut memanggil namanya. "Iya, Mama," jawab siswi SMP itu sambil masuk ke dapur, tempat sang ibu beraktivitas.

Hanya dengan melihat barang bawaan putrinya yang tidak sedikit, ibu dua anak itu paham, anak gadisnya harus pergi lagi untuk waktu yang lama. "Tidakkah sebaiknya kau makan dulu, Kagome? Inuyasha-kun?" Tanya Hitomi. "Sebentar lagi makan malam akan siap," sambungnya dengan nada yang membujuk.

"Tadi kami sudah makan," terang sang anak. Kelengahan miko muda itu digunakan Inuyasha untuk melepaskan tas kuning besar dari punggungnya. Untuk beberapa detik mereka bertukar pandang, Kagome memandang sahabatnya pura-pura marah, dan Inuyasha balik menatapnya dengan wajah bosan. Kagome menoleh untuk kembali menatap wanita yang telah melahirkannya. "Mama, kami harus segera pergi."

Sang ibu tersenyum penuh pengertian, "baiklah kalau begitu. Hati-hati, Kagome!" Wanita paruh baya itu memandang punggung anak sulungnya yang menghilang dari ruangan.

Kemudian, mata Hitomi bersirobok dengan manik sang hanyou yang sedang berupaya menyandang tas kuning di bahunya. Ada rasa syukur dan kelegaan mendalam yang tertera di iris cokelat wanita itu. Seketika, udara berat dengan emosi. Inuyasha mengangguk penuh arti, sebagai tanda paham, juga tanda pamit sebelum memutar tumit. Meski ia sudah berada di lorong, Inuyasha dapat mendengar ibu Kagome membisikkan namanya bersamaan dengan ucapan terima kasih karena telah menjaga anaknya selama ini. Untuk sesaat, kaki Inuyasha terpaku di tempat.

Melihat sahabat karibnya menghentikan langkah, Kagome ikut berhenti, menoleh, lalu bertanya, "Apa kau sudah lapar lagi, Inuyasha? Tidak apa-apa jika kau mau makan malam di sini," imbuhnya.

Yang ditanya menggeleng dan menjawab ketus, "Jangan bilang kau yang sudah lapar lagi!"

Bila tidak ada Souta yang mendadak muncul, Kagome pasti sudah menyemburkan sanggahannya. "Nee-chan, kau sudah mau pergi lagi?" Sang kakak mengangguk, dengan itu Souta melanjutkan, "ada sesuatu yang harusku-"

Masih sedikit jengkel dengan sahabatnya, Kagome memotong perkataan sang adik, "Tidak sekarang, Souta. Itu jawabanku jika yang kau pinta adalah traktiran yang kujanjikan kemarin."

"Bukan itu," bocah laki-laki itu menghela napas dengan putus asa sebelum melanjutkan, "ada yang harus kusampaikan padamu."

Kagome membungkukkan tubuh agar matanya sejajar dengan mata adiknya. "Apa?" Tanya gadis itu tak sabar.

Souta melirik Inuyasha sekilas, lalu ke Kagome, kemudian bergumam dengan nada misterius, "aku menaruhnya di kamarku." Souta lantas menarik Kagome untuk ikut ke ruang yang dibicarakannya. "Inu no nii-chan, tunggu di sana sebentar!" teriak anak laki-laki itu dari tangga.

"Cepatlah, Bocah!" sahut Inuyasha setengah hati dengan nada yang gagal terdengar jengkel seperti biasanya.

Dengan sahabatnya yang kembali menghilang ke lantai atas bersama Souta, Inuyasha memilih masuk ke ruang keluarga lalu duduk berseberangan dengan kakek Kagome yang sedang membaca koran. Pria renta itu hanya memandang Inuyasha sekilas dari tepi atas koran sebelum kembali sibuk membaca sambil sesekali mengeluarkan komentar tentang konten berita yang ada. Karena benda berbentuk kotak aneh yang memiliki gambar bergerak sedang mati dan Buoyo tak terlihat di ruangan itu, mau tak mau Inuyasha hanya dapat melipat tangan di atas dada selagi memejamkan mata sambil mendengarkan ocehan pria tua itu.

Racauan sang kakek tentang kriminalitas berakhir. Tapi keheningan tak berlangsung lama ketika pria tua itu melihat satu halaman besar koran yang memuat berita duka tentang meninggalnya ibu dari petinggi salah satu perusahaan terbesar di Jepang. Wanita yang bernama Mika Taisho itu telah menutup mata di usia 103 tahun. Nama keluarga dari wanita itu terlalu dikenalnya dengan baik, karena keluarga itu pula yang secara turun temurun menjadi donatur permanen bagi kuil yang dijaganya. Secara tak langsung, keluarga kaya raya itu juga telah menyokong sisi finansial keluarga Higurashi selama ini.

Tak dapat dipungkiri, hasil penjualan jimat atau cendera mata tak selalu dapat mencukupi kebutuhan mereka hingga seperti sekarang ini. Walau begitu, bukan itu yang menjadi kekhawatiran terbesar kakek Kagome atas berita mengejutkan yang baru diketahuinya. Pria renta itu sibuk menggumamkan rencana dan peralatan yang akan digunakan untuk melakukan upacara doa secara personal esok pagi. Mengirimkan doa, setidaknya itu yang dapat ia persembahkan bagi mereka yang telah berjasa besar pada kuil tersayangnya.

Inu hanyou itu membuka mata, memperhatikan gerak-gerik sang kakek. Meski takkan pernah ia mau mengakui secara verbal, diam-diam Inuyasha telah lama menaruh hormat pada anggota keluarga Higurashi yang paling tua itu. Inuyasha baru saja bangkit dari duduknya dan hendak berjalan ke lorong ketika suara yang goyah oleh usia menghentikan langkahnya. "Berhati-hatilah di perjalananmu, Anak Muda!" Nasihat kakek Kagome. Dan, lagi-lagi, yang menjadi jawaban hanyou itu hanyalah sebuah anggukan.

Sedetik kemudian, Kagome yang memasang air muka paling ceria miliknya muncul dengan kedua tangan dibalik punggung. "Ayo, Inuyasha!" ajak gadis itu.

Tak tertarik dengan benda berbau manis yang disembunyikan sahabatnya, secara acuh tak acuh Inuyasha melontarkan satu kata yang menjadi jawaban khasnya.

Selagi berjalan santai menuju sumur keramat, Kagome memasukkan sesuatu ke dalam tas kuning yang ada di punggung sahabatnya. Berusaha mengabaikan harum menyenangkan yang terendus dari arah belakang, Inuyasha hanya diam. Laki-laki itu terlanjur tenggelam dalam lamunan. Entah mengapa, tiba-tiba, ia merasa berat hati meninggalkan tempat itu. Keluarga Kagome adalah keluarga manusia yang pertama kali mengabaikan segala perbedaan dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Tak perlu dipertanyakan, hal itu teramat sangat berarti baginya.

Keluarga Higurashi telah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.

Renungan laki-laki pemilik Tessaiga itu terputus kala suara dedaunan kering terinjak terdengar bersamaan dengan suara isak. Langkah Inuyasha tak bertambah, sedangkan sahabatnya terus berjalan menjauh. Inuyasha menoleh ke belakang, telinga segitiga menggemaskan milik pria itu berputar lima belas derajat ke arah kanan dan berkedut beberapa kali sebelum kembali ke tempatnya semula. Ketika tak mendapati satu hal pun yang mencurigakan, putra Izayoi itu menyusul sang sahabat ke dalam kuil kecil tempat sumur pemakan tulang berada. Laki-laki itu menutup pintu geser, lalu mendekati Kagome yang tengah menatap mulut sumur dengan antusias.

"Aku lega bunkasai telah usai," kata Kagome dengan kedua tangan terangkat ke udara dengan keriangan yang menyamai Rin dan Shippou ketika memenangkan suatu permainan. Karena tak ada tanggapan dari sahabatnya, gadis itu bertanya, "Ada apa, Inuyasha?"

Muka Inuyasha sangat serius saat itu. "Kupikir tadi aku mendengar sesuatu."

Untuk sejenak, gurat kekhawatiran mewarnai wajah gadis itu. Tapi itu tak lama, dalam waktu singkat, keceriaan sudah mewarnai suara Kagome. "Mungkin hanya tupai. Karena ini di zamanku, sudah pasti bukan mononoke. Kau 'kan pernah berkata bahwa tidak ada satupun mononoke di sini, ya 'kan?"

Inuyasha mengendus, hasilnya nihil. Tidak ada keanehan sama sekali, hanya bunyi deru mesin dan bau pahit yang berasal dari puluhan kendaraan besi yang berlalu-lalang di kejauhan. Tidak ada youkai maupun yang sejenisnya di zaman modern ini. Ia yakin akan hal itu. Sudah ia pastikan sejak awal. Mungkin kekhawatirannya kali ini sedikit berlebihan karena tiga mononoke lemah yang ia hadapi di tengah-tengah acara bunkasai sekolah Kagome siang tadi.

"Kau benar, ayo! Aku tidak tenang meninggalkan si brengsek itu lama-lama di desa." Mendengar ungkapan afeksi terselubung Inuyasha pada Sesshoumaru, shikon miko itu tertawa kecil.

Dalam satu lompatan, Inuyasha dan Kagome masuk ke dalam portal penghubung dua masa.

Cahaya biru indah yang menerangi ruang kecil itu hanya bertahan sesaat sebelum meredup lalu lenyap.

_____

Bersamaan dengan memudarnya sinar biru itu, munculah dua sosok di balik deretan pepohonan. Seorang laki-laki dan seorang wanita berdiri bersandingan, menatap kuil kecil tempat Inuyasha dan Kagome yang berumur enam belas tahun menghilang.

Sang wanita memutar kepala ke kanan tuk memandang pasangannya dengan mata yang basah. "Aku merindukan Inuyasha," suaranya bergetar, namun ia berusaha tersenyum sambil menyeka cairan bening di ekor mata.

Laki-laki tegap berwajah serius itu menarik kepalanya ke bawah sekali, dengan menggunakan kedua telapak ibu jari, secara lembut ia menghapus jejak air mata di pipi pasangannya. Karena sedu-sedan tertahan wanitanya tak jua pudar. Sang pria merengkuh tubuh mungil itu, kemudian, mengusap lembut punggung pasangannya dengan gerakan naik-turun yang menenangkan.

Beberapa menit terlewati, setelah sedu-sedan sang wanita mereda, si pria melerai pelukan. Laki-laki yang saat itu mengenakan celana panjang berwarna khaki dan sweater lengan panjang berkerah 'V' warna putih gading bertanya, "Kau siap?"

Pertanyaan sederhana itu membawa gemuruh ke dalam dada sang wanita. Menatap atap bangunan sederhana yang menjadi tempat berlindungnya sejak lahir saja sudah menambah kegugupan. Miko cantik itu meletakkan kedua tangannya di atas dada, berusaha menenangkan dentaman kuat di dadanya. Wanita itu menghirup udara dalam-dalam, berharap dapat mengusir semua kerisauan bersamaan dengan karbondioksida yang diembuskannya. Akan tetapi, semua usahanya sia-sia. Dadanya masih penuh sesak oleh berbagai macam perasaan yang melingkupi; Bahagia, takut, haru, senang, antusias, juga sedih.

Dengan tangan kirinya, sang Daiyoukai meraih tangan kanan wanitanya, menggenggam dengan erat, selagi tangan kanannya menangkup wajah manis itu. Tanpa satu patah kata pun, pria itu menawarkan semua kenyamanan yang dibutuhkan. Lewat tatap, ia menentramkan hati sang pasangan.

Walau dengan rambut hitam sebatas telinga dan iris cokelat, wanita itu masih dapat melihat ketenangan yang dibawa iris emas pria yang dicintainya. Mantra penyamaran sang inu youkai tak berlaku padanya, bukan karena gelar yang Kagome sandang sebagai miko, tapi karena ia adalah pasangan hidupnya. Pasangan yang telah menemaninya ratusan tahun.

Iya, benar. Kagome telah menjadi pendamping Sesshoumaru selama ratusan tahun.

Kagome melingkarkan tangan kanannya di lengan kiri Sesshoumaru, mengaitkan tangan kanannya dengan tangan kiri pria itu, lalu menyandarkan sisi tubuhnya pada sang pasangan seraya tersenyum. "Selama kau di sisiku, Meito."

Tak lama seusai menandaskan kebatilan yang dibawa Naraku ratusan tahun lalu, tubuh juga roh Sesshoumaru dan Kagome telah terikat satu sama lain. Apa yang Sesshoumaru katakan kala ia terperangkap di dalam shikon no tama benar adanya, mereka akan bersama selamanya.

Dalam satu upacara sakral, janji tertinggi yang tak akan pernah usang telah diteguhkan dengan kesungguhan hati. Tanda cinta dan kepemilikan tidak hanya terukir di salah satu bagian tubuh Kagome, tapi juga Sesshoumaru. Youki dan reiki besar milik sang Daiyoukai dan sang Shikon miko berkelindan. Masa hidup gadis manusia itu serta-merta terentang, laju waktu tak dapat menyentuh fisiknya, selamanya, raga dan jiwanya menyamai sang pasangan.

Kekuatan hati dan spiritual membentuk satu ikatan kuat di antara mereka. Ikatan yang takkan padam maupun lekang didera goda dan dikikis masa. Ikatan yang tercipta karena janji yang dilisankan Sesshoumaru adalah janji langka yang jarang para pejantan ikrarkan. Sesshoumaru dan Kagome terpaut oleh janji puncak sebagai pasangan dalam adat para inu. Tak peduli siapa yang lebih dulu meregang nyawa di antara keduanya, secara pasti, ajal akan menjemput mereka bersama. Keduanya tak lagi terpisahkan.

"Ayo!" ajak Sesshoumaru.

Dengan itu, keduanya mulai melangkah berdampingan. Pada setiap tapak yang dijejak Kagome, memori yang telah lama terekam kembali terputar ulang. Betapa ia mendambakan saat ini. Sudah satu abad ini ia hidup jauh dari muka publik sebagai salah satu anggota keluarga Taisho. Pada akhirnya, perannya sebagai Mika Taisho telah berakhir kemarin malam. Berita kematian telah tersebar, ucapan belasungkawa dari pelbagai pihak pun berdatangan.

Walau hidup dengan identitas lain tidak menyenangkan, tak dapat dipungkiri, seratus tahun terakhir yang berlalu juga menjadi masa yang sangat berarti bagi Kagome. Ia dapat mengamati sang kakek, nenek yang tak pernah dikenalnya, ayah, dan juga ibunya sedari mereka kecil. Walau itu dilakukannya secara diam-diam dari kejauhan, itu sudah cukup baginya. Bagaimanapun juga, ia berkewajiban menjaga masa lalu berjalan seperti seharusnya.

Namun, kini, mulai hari ini, ia dapat kembali menemui keluarganya dan kembali ke jati dirinya sebagai Higurashi Kagome!

Hari ini adalah saat terakhir kali ia seharusnya menghilang di masa depan. Selain itu, tepat di hari ini, lima ratus tahun yang lalu, juga menjadi hari yang bersejarah bagi hubungannya dan pria yang menjadi pasangannya. Di hari itulah ia dan Sesshoumaru saling menyuarakan rasa tanpa kata cinta, kali pertama mereka berciuman, dan saat pertama kali inu youkai itu membawanya terbang melayang. Lalu, beberapa hari setelah itu juga tak kalah penting baginya, Naraku terkalahkan, dan shikon no tama lenyap demi kebaikan setelah mengabulkan permohonannya.

Apa yang Kagome yakini di detik-detik terakhir ia terperangkap di dalam shikon ternyata benar adanya. Bola itu tidak hanya membawa keburukan.

Shikon no tama telah menghilang demi kebaikan setelah mengabulkan permintaan yang tepat. Dan, permintaan yang tepat itu adalah permintaannya. Bola empat arwah tidak memuntir permintaan yang diajukannya menjadi sesuatu yang buruk karena ia melisankan permohonan yang tak pernah diucapkan oleh para pemilik shikon terdahulu. Permintaan yang tepat itu ternyata sangatlah sederhana: Shikon no tama akan mengabulkan segala permintaan selama permintaan itu tidak bersifat egois.

Dan itulah yang dilakukan Kagome. Ia memohon sesuatu pada shikon demi kebahagiaan orang lain. Untuk sahabatnya tercinta, Inuyasha.

Kebaikan yang dibawa bola empat arwah amatlah berarti bagi dirinya, juga bagi Sesshoumaru, walau pria itu tak akan mau mengakuinya. Berkat shikon no tama, kata kesepian jauh dari sang adik ipar. Inuyasha bisa menikmati puluhan tahun bahagianya bersama istri yang raganya tak lagi terbuat dari tanah kuburan dan campuran herbal. Bahkan di akhir usianya beberapa tahun lalu, sang inu hanyou selalu berada dalam lingkaran keriangan yang dibawa oleh cucu dari cicit-cicitnya.

Betapa Kagome merindukan mendiang sang sahabat tersayang.

Kaki keduanya menjejak mantap saat menyusuri halaman kuil yang luas. Tangan kiri Kagome meremas lembut lengan kiri pasangannya ketika mereka melewati Goshinboku dan kuil kecil tempat sumur pemakan tulang berada, sumur keramat yang sempat menghilang dan muncul bersamaan dengan kepulangannya ke era feodal setelah bola empat arwah musnah.

Dua hal itu membuat miko itu lagi-lagi teringat akan adik ipar yang juga sahabatnya. Mengenang Inuyasha hanya membuat memori akan awal petualangan mereka kembali berkelebatan. Hanya ada kekaguman dalam senyum yang terukir di wajahnya bila mengingat laki-laki setengah siluman pemberani yang menutup mata di usianya yang ke 701 tahun.

Betapa banyak jawaban yang dimiliki Kagome saat era modern yang pernah dilaluinya menjadi masa lampau.

Di awal petualangannya, Inuyasha mengatakan bahwa tidak ada youkai sama sekali yang terendus di zaman modern, kini Kagome tahu, tidak adanya youkai yang terdeteksi karena Sesshoumaru dan dirinya telah mempersiapkan kekkai khusus di sekitar lingkungan kuil yang menjadi rumahnya. Perpaduan youki Sesshoumaru dengan reiki-nya menghasilkan kekkai yang bersifat murni. Tidak ada youkai asing yang dapat memasukinya. Kecuali sang pemilik, kekkai itu juga takkan dapat dilacak oleh manusia. Dan, demi menjaga masa lalu berjalan seperti yang seharusnya, beberapa kali Sesshoumaru telah memperluas kekkai itu ketika Inuyasha mengantar dirinya yang berusia belasan tahun ke sekolah.

Tak sedikit peristiwa yang dahulu tak Kagome mengerti kini sepenuhnya ia pahami.

Ratusan tahun membawa perubahan yang besar. Mononoke-mononoke yang tak lebih pintar dari hewan buas telah punah seluruhnya karena pembantaian besar-besaran oleh manusia yang telah menemukan berbagai macam senjata api. Yang tersisa hanyalah para Daiyoukai dan youkai kelas menengah yang sanggup menyamarkan diri dalam wujud manusia.

Penyamaran yang dilakukan tidaklah berarti sebagai pengakuan kekalahan. Malah sebaliknya, dengan memutuskan hidup sebagai manusia, banyak dari Daiyoukai penguasa wilayah yang juga mengambil peran penting di tampuk kekuasaan tertinggi di banyak daerah. Para Daimyo dari kalangan manusia dengan senang hati bersekutu dengan para Daiyoukai 'tuk memperkuat klan, memperluas wilayah, memenangkan Pertempuran Sekigahara hingga jadilah Jepang yang seperti sekarang. Jepang yang terdiri dari banyak wilayah dan prefektur.

Sedangkan, bagi Sesshoumaru pribadi, selain apa yang telah disebutkan tadi, menyamar menjadi manusia hanyalah bagian dari privasi. Agar ia dapat hidup tenang dengan pasangannya sambil mengatur berbagai hal dari balik layar.

Berlatar belakang langit senja yang dihiasi oleh segerombolan burung yang melintas, Sesshoumaru dan Kagome berdiri tepat di depan pintu kediaman Higurashi. Tangan kiri miko itu sudah terangkat, namun terhenti di udara. Setelah bergeming selama beberapa detik, tangannya kembali ke sisi tubuhnya. Sesshoumaru meremas lembut tangan kanan Kagome yang ada dalam genggamannya, wanita itu mendongak, keduanya bertukar pandang sejenak. Lagi-lagi, dengan genggaman lembut dan tatapan teduhnya, pria itu menepis semua keraguan yang ada di dada sang miko.

Sesshoumaru mengalihkan pandangan ke arah pintu. Secara perlahan, ia melepaskan pertautan tangan mereka, dan meletakkan tangan kirinya di punggung sang pasangan, sebagai bentuk dorongan 'tuk menyambut pertemuan yang sebentar lagi akan terjadi. Dengan tangan kanannya, inu youkai itu membuat tiga ketukan di pintu dengan mantap. Selang beberapa saat, telinga manusia Kagome dapat menangkap langkah kaki halus dan sahutan dari dalam rumah. Dada miko itu seakan tersumpal, kerongkongannya tercekat saat pintu di hadapannya mendadak terbuka.

Kagome hanya dapat membeku ketika bertatap muka dengan sosok yang paling dirindunya selama ini.

Iris cokelat hangat milik Hitomi bergantian menatap kedua tamunya sebelum matanya terfokus hanya pada salah satunya. Remaja perempuan yang ada di hadapannya memang Kagomenya. Namun, seragam sekolah yang dikenakan anak gadisnya berganti menjadi gaun terusan berbahan sifon berwarna biru muda sepanjang lutut. Mahkota hitam milik sang anak kini hampir mencapai pinggang. Selain perbedaan besar itu, ada satu perbedaan mendasar tapi penting yang tak luput dari penglihatannya sebagai seorang ibu: Di wajah khas remaja Kagome yang berdiri selangkah darinya, terpancar aura kedewasaan yang baru dilihatnya.

Kedua alis wanita paruh baya itu bertemu di tengah, dengan sedikit tersendat, ia menyebut nama putrinya, "Ka-kagome?"

Kebahagiaan membuncah, kelopak merah muda milik Kagome bergetar ketika sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Dengan suara serak yang tercekat, gadis itu memekik, "Mama!" Di detik berikutnya, Kagome sudah menghambur ke dalam rengkuhan sang ibunda tercinta. Tangannya merenggut kuat baju di punggung ibunya. Bagai merapal mantra, beberapa kali satu kata indah itu terulang di mulutnya, "Mama ... Mama ...." Rasa haru yang terurai dalam bentuk kristal cair membasahi baju di bagian bahu wanita yang telah melahirkannya. Dihiasi derai air mata, Kagome tertawa. Untuk beberapa menit kemudian, ia sepenuhnya tenggelam dalam tangis bahagia.

Hitomi memang tidak mengerti apa yang terjadi dengan anaknya. Tapi, jika dilihat dari perilaku sang anak, ia dapat menerka bahwa Kagome yang ia peluk sekarang bukanlah Kagome yang sama yang keluar dari rumahnya sepuluh menit lalu. Meski benaknya diserbu ratusan pertanyaan, Hitomi bertindak sebagai ibu lembut yang amat penyayang seperti biasanya. Wanita bijak itu mengelus punggung dan membelai kepala sang anak dengan penuh kasih.

Setelah pelukan ibu dan anak itu terlepas, mereka saling pandang dan mengamati. "Tadaima," ucap Kagome susah payah disela-sela sesengukkannya.

Dengan lembut, Hitomi meremas lengan sang anak. Biru sendu yang basah itu menatapnya. Suaranya sehalus sutra ketika melafalkan kepulangan anak gadisnya, "Okaeri, Kagome."

Selama berusaha menenangkan sang anak, ibu dua anak itu juga sesekali bertukar tatap dengan pria tanpa ekspresi yang datang bersama putrinya. Dan kini, secara tiba-tiba, perbincangan dengan Kagome beberapa waktu lalu menyembul dari ingatan. Titik-titik pengetahuan menyatu di tempatnya. Wanita paruh baya itu menatap pria yang menjadi tamunya. "Chaminguna-sama?" suara Hitomi penuh keraguan.

Gadis itu tertawa, pertama kecil, lama-lama lantang lalu berakhir dengan isak tangis tertahan. "Gomen," ucap Kagome seraya menghapus sisa air mata di wajah dan mundur agar kembali sejajar dengan pasangannya. Kemudian, gadis itu bertutur, "seharusnya aku memperkenalkan kalian lebih dulu."

Kagome menoleh, wajah Sesshoumaru tak lagi datar, kedua alis pria itu sedikit terangkat. Miko itu mengikik kecil kala mendapati kilat di mata pasangannya yang penuh tanya. Sudah pasti itu karena panggilan yang di alamatkan sang ibu padanya. Tentu saja ia harus menjelaskan panggilan yang ia buat ketika masih menjadi remaja kasmaran pada Sesshoumaru tapi, itu bisa nanti. Karena sekarang, ada hal yang jauh lebih penting yang harus ia lakukan. "Mama, perkenalkan, dia adalah Sesshoumaru, kakak Inuyasha. Dan, Sesshoumaru ... " kata-kata gadis itu menghilang di akhir kalimat.

Hitomi mengangguk sambil memberikan sang tamu senyum terhangat miliknya. Tanpa senyum, Daiyoukai itu meniru gerakan sang ibu mertua, menarik kepala ke bawah. Dan, untuk pertama kalinya, Kagome melihat Sesshoumaru sedikit membungkukkan tubuhnya. Ibunya pun balas membungkuk sebagai tanda penghormatan. Lalu, Hitomi berujar ramah, "Lebih baik kita masuk dulu ke dalam!"

Wanita itu memandu, Sesshoumaru dan Kagome mengikuti. Baru saja mereka berjalan hendak menuju ruang keluarga ketika Souta keluar dari ambang pintu dapur. Setengah berlari, Kagome mendekati bocah itu. Dengan kedua lutut yang menempel lantai, gadis itu memeluk adiknya.

"Kau kembali lagi, Nee-" kalimatnya terpotong ketika mata bocah kecil itu terpaku pada sosok Sesshoumaru. Souta menyuarakan keheranannya dengan nyaring, "Onii-san yang di bunkasai?" Mendengar itu, Kagome melerai pelukan dan memandang sang adik. "Bunga pemberianmu sudah kusampaikan pada nee-chan. Tapi ... " Kebingungan jelas tergambar di wajah laki-laki kecil itu saat beradu tatap dengan kakaknya.

"Bunga? Bunkasai?" Tanya Kagome.

Anak bungsu Higurashi itu mengangguk. "Onii-san itu yang memberikanmu bunga," jari telunjuk bocah itu mengarah pada Sesshoumaru.

Gadis itu bangkit dari lantai lalu berdiri bersandingan dengan pasangannya. "Jadi, ternyata kau yang menitipkan bunga untukku setelah pertunjukkan drama di sekolah?"

"Hn," gumam Sesshoumaru datar, sedatar ekspresinya yang terpampang.

Tangan kanan Kagome meraih tangan kiri pria itu, lalu gadis itu mengaitkan jari-jemari mereka. Senyum manis terpahat di wajah sang miko. "Itu sangat manis, Meito."

Bibir bocah itu mengerucut. "Sepertinya kalian berdua sudah saling mengenal," gerutu Souta. Dengan lembut, sang ibu mendekati putranya, dan menerangkan sedikit informasi yang baru didapatnya bahwa, pria yang menjadi tamu mereka adalah kakak Inuyasha.

"Lalu, dimana inu no nii-chan?" Pertanyaan polos Souta berhasil menarik perhatian semuanya. "Nee-chan, bukankah kalian baru saja pergi bersama?" Sambungnya.

Kagome tergagap, "I-inuyasha ..., ia ... "

Suara renta terdengar dari balik punggung Sesshoumaru dan Kagome, "Oh, sepertinya kita kedatangan tamu?"

"Jii-chan!" Lagi-lagi Kagome membenamkan diri dalam pelukan orang-orang yang ia sayangi.

Setelah rangkulan mereka terlepas, sang kakek bertanya, "Ada apa denganmu, Wanita Muda?" Kagome hanya tersenyum lebar sambil menggeleng. Betapa ia merindukan panggilan itu, betapa ia merindukan keluarganya, betapa ia merindukan segala sesuatu yang ada di tempat ini.

Setelah pengakuan Souta tentang bunga, lagi-lagi Kagome mendapat kejutan. Kali ini kejutan itu berasal dari pernyataan kakeknya. "Suatu kehormatan Anda mau berkunjung ke sini lagi, Tuan Muda Taisho." Nadanya terdengar sangat formal. Bagaimana sang kakek tidak mengenali pemuda yang sudah sepuluh tahun belakangan ini selalu berkunjung ke kuilnya setiap enam bulan sekali, pria yang menjadi penerus salah satu perusaahan terbesar di Jepang, pria yang baru saja kehilangan sang nenek tercinta.

Sebagai respons, Sesshoumaru mengangguk hormat pada pendeta Shinto itu.

Kagome tahu bahwa Sesshoumaru ikut andil dalam finansial kuil dan keluarganya. Tapi, ia tak pernah menyangka sama sekali bahwa Daiyoukai penyendiri itu mau bersusah payah mengenal sang kakek secara personal. Tangan kanan Kagome melingkar di lengan kiri Sesshoumaru, dengan penuh afeksi wanita itu meremas lembut lengan kekar pasangannya. Fokus Sesshoumaru tercuri, cokelatnya berbenturan dengan biru kelabu milik Kagome. Pria itu memang menatap pasangannya dengan ketenangan yang tak terbantahkan, namun tak dapat disangkal, matanya berbinar oleh kebahagiaan Kagome yang menular.

Rasa simpati yang mengalir di suara parau sang kakek memecah keheningan dan merenggut pasangan itu dari dunia mereka. "Aku turut berduka atas kepergian nenekmu, Tuan Muda Taisho."

Kagome menyela, "Itu tidak perlu, Jii-chan." Ketiga pasang mata menatap miko itu secara bersamaan, lantas saja, senyumnya memudar. Dengan wajah merona, Kagome menjelaskan, "ceritanya akan teramat, sangat, panjang." Kagome mengalihkan pandangan pada Sesshoumaru. Sontak, seluruh perhatian Higurashi yang ada dikuasai pria itu.

"Berkenaan dengan itu, banyak hal yang ingin Sesshoumaru ini terangkan." Saat bertutur kata, air muka Sesshoumaru terlihat kalem, suara baritone-nya terkesan tenang namun serius.

Setelah Sesshoumaru menyelesaikan kalimatnya, sang ibu yang bijak berseru dengan lembut. "Aku yakin banyak yang harus dijelaskan. Tapi, selagi aku mengambil teh, kalian sebaiknya duduk dulu."

Kata-kata Hitomi bagai komando yang entah bagaimana tak menyisakan celah untuk bantahan. Kakek dan Souta segera masuk ke ruang keluarga tempat keluarga Higurashi biasa berkumpul, diikuti oleh Kagome dan Sesshoumaru. Tak berselang lama, Hitomi sudah kembali dengan lima cangkir teh panas di nampan.

Kagome berdeham sekali sebelum mulai menceritakan kisahnya yang serupa dongeng-menjadi-nyata. "Semuanya berawal di akhir hidup Naraku dan shikon no tama~"

_____

Bayang senja telah beralih rupa menjadi permadani malam bertabur dengan ratusan kerlip bintang yang mempesona. Desir angin mempermainkan rimbunnya dedaunan, perpaduan keduanya menciptakan lantunan nada indah. Sesshoumaru dan Kagome duduk dengan nyaman di bangku kecil di bawah Goshinboku. Tempat bermulanya petualangan yang membawa mereka menemukan keajaiban. Keajaiban dalam bentuk cinta dari seorang pasangan.

Sambil bersandar di sisi kiri tubuh sang pasangan, gadis itu memulai percakapan dengan riang. "Hari ini adalah hari yang luar biasa, dan malam ini adalah malam yang indah!" Si sulung Higurashi tersenyum lebar. "Aku tidak menyangka bahwa bunga itu adalah pemberian darimu. Sekarang aku yakin, orang yang aku lihat dari panggung juga benar dirimu, bukan ilusi yang aku ciptakan saat menjadi remaja yang dimabuk cinta."

Baritone itu terdengar acuh tak acuh, "Kau kecewa?"

Kagome menyandarkan dagunya di bahu kiri sang pasangan. "Kecewa?" kemanya. "Aku malah tersanjung, ternyata penggemar rahasiaku adalah pasanganku sendiri." Jari-jari wanita itu sibuk mengelus dua garis di pipi kiri Sesshoumaru yang tak lagi tertutupi oleh mantra penyamaran.

"Kau tahu, Meito," setelah pria itu menoleh, Kagome baru melanjutkan. "Aku senang pada akhirnya kau menemui keluargaku." Kagome menegakkan duduknya, sebagai penegasan kebahagiaannya di setiap kata, tangannya sibuk membuat gerakan kecil di udara. "Mereka menyukaimu. Sebentar lagi Souta akan memintamu bermain games dengannya, jii-chan akan mengajakmu berbicara panjang lebar tentang bonsai-bonsainya." Gadis itu tertawa di akhir kalimat.

Setelah tawanya menghilang, sebuah senyum hangat menggantikan. "Sedangkan mama?" Semburat warna merah muda tiba-tiba menyebar ke wajah wanita itu. "Ia murni mengagumimu." Kagome kembali menyandarkan kepalanya di lengan kiri sang pasangan. "Sepertinya, esok hanya akan menjadi lebih dan lebih baik lagi."

Selurus wajahnya, selurus itu pula nada Sesshoumaru ketika ia memberi pernyataan, "termasuk sekolah."

Kagome tertawa renyah. "Berhentilah menggodaku," pintanya. "Aku yakin dengan hal itu." Dengan penuh percaya diri ia berkata, "kurasa sekolah tidaklah buruk. Mungkin aku adalah peserta ujian masuk SMU yang paling siap di seluruh Jepang. Bertahun-tahun aku telah mempersiapkan diri untuk itu. Lagipula, Seien dan Senri pun sudah setuju." Ketika nama anak kembar mereka ia sebutkan, detik berikutnya, wanita berwajah manis itu tergelak. "Aku tidak sabar melihat ekspresi mama, Souta, juga jii-chan ketika bertemu mereka besok," kata wanita itu setelah tawanya mereda.

Setelah diam beberapa tempo, Sesshoumaru bertutur dengan nada monoton yang entah bagaimana dapat memancarkan keberatannya, "Kau benar, Seien dan Senri memang menyetujui idemu. Tapi, tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar." Faktanya, hidupnya sendiri sudah menyentuh sepuluh abad, bahkan lebih. Namun, tetap saja, tiga tahun adalah waktu yang sangat lama bila ia harus terpisah lagi dari pasangannya di siang hari.

Wanita itu kembali membenarkan posisi duduknya, bibirnya kini membentuk satu garis horizontal. "Aku tahu itu." Suara Kagome merendah, namun tekadnya tetap kukuh. Gadis itu kembali mengangkat wajah, dan menatap pasangannya tanpa setitik ragu. "Tapi aku merasa harus menunaikan kewajibanku sebagai seorang anak di keluargaku." Sesshoumaru dapat mendengar penekanan di beberapa kata yang menunjukkan keseriusan sang pasangan.

Kagome menyelipkan tangan kanannya di bawah lengan pria itu, lalu ia memeluk lengan kiri pasangannya, dan menatap dalam-dalam Sesshoumaru. "Meski keluargaku menyerahkan keputusan itu padaku, akan tetapi, aku tahu, jauh di dasar hati, mereka ingin menghadiri acara kelulusanku." Suara sang miko melembut saat melanjutkan, "hal seperti itu memang terkesan remeh bagimu, tapi ini berarti besar bagiku. Waktu mereka terbatas, Meito. Dan aku ingin berbagi setiap kebahagiaan kecil yang kumiliki bersama mereka."

"Dan, setelah itu ..., setelah aku lulus," dengan suara goyah dan sedikit terbata-bata, wanita itu menyambung kalimatnya, "aku ingin mewujudkan impian yang dimiliki oleh semua orang tua di dunia ini. Aku ingin mama merasakan kebahagiaan menjadi orang tua dari mempelai wanita."

Tangan Sesshoumaru membelai pipi Kagome dengan halus, entah sejak kapan duduknya tak lagi lurus ke depan, kini tubuhnya sudah menghadap wanita yang menjadi pasangannya. Tangan kirinya merayap ke lekuk di pinggang belakang miko yang menjadi pendampingnya. Perlahan ia menarik tubuh mungil itu ke arahnya. Ujung hidungnya menyapu lembut dan bergerak pelan di leher, rahang, dan pipi Kagome.

Kagome hanya pasrah, inti pembicaraan terlupakan ketika ia semakin dilingkupi oleh sentuhan dan bau harum khas Sesshoumaru. Hidup bersama ratusan tahun membuatnya mencintai segala hal tentang pasangannya. Tak terkecuali aroma alami sang pasangan. Aroma familiar yang menyenangkan yang Sesshoumaru miliki selalu berhasil membawanya pada titik tertinggi kenyamanan secara mental. Harum Sesshoumaru didominasi oleh wewangian yang menyerupai kayu-kayuan yang wangi, berpadu dengan kesegaran tipis akuatik, dan hangat matahari. Elegan, karismatik, terkadang sensual, dan yang pasti ... sangat maskulin.

Invasi Sesshoumaru membuat degup jantung wanita itu meningkat, munculnya aroma kebangkitan, dan juga berhasil membuat rona merah muda menyebar hingga ke leher dan telinga pasangannya. Lima ratus tahun tak membuat pria itu kehilangan reaksi yang ia sukai dari Kagomenya. Setelah puas menggoda, Sesshoumaru melepas pelukan, menarik tubuh, meluruskan punggung, kemudian melisankan persetujuannya, "Kau telah mendapatkan izin dariku."

Sedikit kecewa karena kedekatan fisik itu berakhir, Kagome membungkukkan tubuh ke depan, sehingga wajahnya hanya berjarak tiga puluh sentimeter dari wajah Sesshoumaru. Senyum nakal tersungging di wajahnya. "Tenang saja, Meito. Aku tidak akan melirik pria yang jauh lebih muda dariku di sekolah nanti. Jika itu yang kau khawatirkan," imbuhnya bercanda. Sang miko kembali berusaha meyakinkan pasangannya dengan suara halus, "Kau bahkan bisa menyuruh Shippou untuk sekolah bersamaku bila perlu."

Sebuah tawa pendek tertahan yang berasal dari dada Sesshoumaru terdengar. Sebuah tawa yang bisa saja terdengar mengerikan di situasi berbeda.

Kemudian, sunyi.

Beberapa menit berlalu dalam hening yang menyamankan. Wajah Kagome kembali diisi oleh rasa keharuan. Binar-binar kebahagiaan terlukis jelas di matanya yang tersenyum. "Apa yang kaulakukan sangat berarti untukku dan keluargaku," ungkapnya sepenuh hati.

"Mereka penting bagimu, karena itu, mereka juga penting bagiku," sahut Sesshoumaru.

Dengan kedua tangan, ia menggenggam tangan kiri pria itu. "Tidak hanya warna matamu yang emas, tapi juga hatimu. Kau harus tahu itu."

Kagome menatap sang pasangan lekat-lekat, mantra telah lama terberai, Sesshoumaru yang ada di hadapannya menampilkan semua ketampanan dan kebesarannya sebagai seorang Daiyoukai. Bulan biru keunguan yang mempesona. Garis magenta nan menawan. Silver yang indah. Emas yang berharga. Walaupun tanpa menyandang Bakusaiga dan Tenseiga. Pun, kimono sutra, baju besi, dan mokomoko telah tergantikan pakaian modern, pria yang ada di sampingnya tetaplah pria yang sama yang ia cintai sejak lima ratus tahun yang lalu.

Biru langit yang kelabu merengkuh kehangatan matahari. Berat oleh emosi. Senja indah terlukis di kanvas cinta abadi. Penuh arti.

Tiba-tiba, Kagome kembali teringat akan jawaban yang pria itu lontarkan ketika ia bertanya maukah Sesshoumaru menunggu ratusan tahun demi dirinya; 'Aku tidak akan menunggu. Sesshoumaru ini akan membawamu pulang dan meresmikanmu sebagai pasangan. Tidak ada yang perlu kau takutkan, kita akan bersama selamanya.' Tiga kalimat yang Sesshoumaru ungkapkan kala mereka berada di dalam bola empat arwah itu memang benar adanya. Pria itu membawanya pulang ke era feodal, meminangnya, dan menjadi pendamping hidupnya.

Mengingat hal yang terjadi di masa lampau selagi menatap sang pasangan membuat Kagome tersapu gelombang pasang rasa syukur. Tanpa Sesshoumaru, ia hanyalah malam di musim panas dan bintang yang mengejar sinar pagi hari; Masanya takkan lama, dan kerlip sinarnya akan hilang tanpa bisa menjamah yang didamba.

Bertemu dengan pria itu adalah hal terbaik yang dihantarkan takdir kepadanya. Mencintai dan dicintai oleh Daiyoukai itu adalah sebuah keajaiban di hidupnya. Dan, mengukur waktu dengan Sesshoumaru adalah anugerah terbesar untuknya.

Berdua, mereka bisa menenangkan bengisnya lautan dengan sebuah bisikkan.

Bersama, mereka bisa menjinakkan badai hanya dengan sebuah sentuhan.

Selapis tipis cairan haru mulai menggenangi bola mata Kagome kala ia mengutarakan isi benaknya, "Selama bersamamu, tidak ada kemustahilan untukku." Kerut-kerut yang dibawa senyum mulai muncul di sekitar matanya. "Arigatou, Meito."

Atas apa yang disuarakan pasangannya, dada Sesshoumaru menggembung secara tak kasatmata oleh kebahagiaan. Mata emasnya memandang biru sendu milik wanita yang telah menghembuskan napas cinta ke dalam inti jiwanya dengan lekat. Sesshoumaru mendekatkan wajah, menutup mata, lalu menempelkan keningnya di kening sang pasangan. Inu youkai itu menangkup pipi kiri Kagome. Secara lemah-lembut, hati-hati, dan penuh kasih, telapak jarinya membelai perlahan.

Angin bertiup semilir, helaian-helaian kontras sutra kelam dan terang yang menjadi tirai di wajah sepasang pecinta itu berterbangan. Mata Kagome ikut terpejam, merasakan hangat napas pria itu menyapu wajahnya. Secara otomatis, wanita itu memiringkan kepala saat hidung mereka bersentuhan. Tanpa diperintah, tangannya sudah beranjak naik dan bersemayam di dada pria itu.

Dengan segenap hati dan suara yang halus, Kagome berkata, "aku hanya akan mencintai kau seorang, Meito. Aku mencintaimu sejak lima ratus tahun yang lalu, sekarang, dan selamanya ...."

Kesempatan Kagome 'tuk berbicara lebih jauh terenggut kala bibirnya terbungkam. Bibir hangat Sesshoumaru melekat di bibirnya untuk sesaat sebelum mulai bergerak. Ciuman pria itu teramat halus dan sarat makna. Kelembutan yang pasangannya berikan membuatnya melayang di antara mega-mega. Kehangatan yang ditawarkan berat dengan perasaan terdalam. Hati Kagome semakin bergetar kala ia merasakan senyum pria itu di akhir kecupan.

Kelopak bibir mereka memang telah terlerai, namun tidak dengan pertunjukkan afeksi mendalam dalam bahasa inu di antara keduanya. Dengan jendela jiwa yang masih tertutup, kening Sesshoumaru dan Kagome masih saling bersentuhan. Keheningan berikutnya hanya menambah momen yang ada semakin berharga.

Bagi Sesshoumaru, arti kehadiran wanita itu di hidupnya tidaklah terhingga. Bagaikan indahnya gugusan bintang yang diatur sedemikian rupa khusus untuk dirinya. Bak susunan menakjubkan tata surya yang tercipta hanya untuk keberadaannya seorang. Umpama luas bumi yang dibangun hanya sebagai tempat kedua kakinya berpijak. Ibarat keindahan semesta yang hanya tercipta untuk memanjakan penglihatannya. Sebesar itulah makna Kagome untuknya.

Bibir mereka bergesekan ketika untuk pertama kalinya, Sesshoumaru mengurai rasa terdalamnya menjadi kata, "Kau adalah semesta hidupku, Kagome."

_____

Sang Daiyoukai dan sang miko.

Sesshoumaru dan Kagome.

Mereka ibarat bulan dan matahari.

Sesshoumaru layaknya bulan: Dingin, tapi melindungi orang-orang yang mengikutinya. Cahaya bagi mereka yang membutuhkan arah.

Kagome laksana matahari: Hangat, tapi meletup-letup. Sinar yang berasal dari hati besarnya mencerahkan semua yang ada di sekitarnya.

Mereka seumpama dua hal yang sangat berlawanan namun sejatinya saling melengkapi. Perbedaan tabiat, era, maupun elemen dasar spiritual tak dapat menghalangi. Cinta keduanya menembus dinding waktu dan melampaui segalanya.

Dan kini, keduanya telah tersimpul oleh ikrar tersakral dalam tradisi para inu youkai.

Mereka akan selamanya bersama, bukan dalam keabadian.

Tapi dalam kehidupan.

Pun, dalam kematian.

~Fin~

Lagu 'Sun' juga lagu 'Moon' milik Sleeping At Last nemenin saat nulis epilog ini, that's why I inserted Moon's video in this chapter.

Notes: Mungkin akan sedikit ngebingungin beberapa reader karena ada dua Kagome di sini, gomene kudasai. Here's the explanation, Kagome yang bersama Inuyasha itu adalah Kagome yang berusia 16 tahun, Kagome yang baru saja selesai pentas di bunkasai (chapter 10 Paramour). Dan Kagome yang bersama Sesshou adalah Kagome yang sudah berumur 516 tahun. Semoga itu menjawab pertanyaan yang ada :)

Tentang bunga yg Kagome terima ada di chapter 11.

P.s. my collab SesshouKago one-shot fic bersama Emma Griselda yang berjudul GG BE: BUBBLE dah diposting hari ini! Tapi_bahkan sejak prolog_fic itu memuat konten dewasa yang hanya cocok dibaca oleh mereka yang cukup umur (so, no younger in mature please)

Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua yang udah bersedia meluangkan waktu membaca Paramour, vote, comment, juga menambahkan Paramour ke reading list-nya *deepbow.

For all reader, I'd like to say, minna saiko arigatou^^

With love,

Ame to Ai.

Reupload 15 Oktober 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top