Chapter 9 - Decoy
Disclaimer: I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers. And I don't own the songs that I use as prompt, they're belongs to Paramore.
Prompt: Decoy by Paramore.
Penjelasan ttg Dokko dan Bugutsu ada di animanga Inuyasha saat pertarungan Inuyasha melawan Bankostu di Pulau Hijiri.
Dokko: Alat yang terbuat dari besi di ajaran Budha, terkadang digunakan untuk pertarungan.
Bugutsu: Peralatan di altar persembahan yang digunakan untuk memusatkan kekuatan.
Ofuda: Kertas yang dituliskan mantra, biasa digunakan untuk membuat pelindung dan banyak hal lain.
.
.
.
"Apakah aku cantik?" tanya Rin. Sebagai jawaban dari gender yang ditanyakan, Kagome dan Shippou mengangguk secara serentak. Dengan itu, Rin mengajukan pertanyaan berikutnya, "Apakah aku pandai bertarung?"
Miko muda itu menjawab tanpa ragu, "Iya!"
"Taijiya-san!"
"Kau benar, Rin-chan!"
Pagi itu, setelah pelajaran untuk Rin selesai, mereka mengisi waktu luang di pagi hari dengan sebuah permainan. Mereka yang mendapat giliran harus memakai sebuah bando dan menebak kata apa yang tertera di kertas yang menempel di bando tersebut. Setelah Kagome, Rin, dan Shippou berhasil menebak nama-nama buah, kini mereka harus menebak nama dari salah satu anggota rombongan mereka.
Kertas yang telah dituliskan nama dipandangi oleh Rin sejenak. Shippou yang telah mendapat giliran pertama ikut melongok, seusai membaca kata yang tertoreh, ia pun tertawa kecil. "Ayo kita lanjutkan lagi permainannya, sekarang giliranmu, Kagome nee-chan."
Kejenakaan tidak sekalipun pudar dari kedua bocah itu. Kagome memandang Rin dan Shippou yang tersenyum geli ke arahnya. Si sulung Higurashi menyemangati diri, "Yosh!"
Kertas bertuliskan nama telah menempel tegak dikepalanya. Gadis itu menimbang-nimbang satu dari tiga pertanyaan yang akan ia ajukan. Nama Inuyasha yang gagal ditebak oleh Shippou tidak masuk hitungan, begitu juga dengan Sango yang baru saja ditebak oleh Rin. "Mm, apakah rambutku panjang?"
"Iya," sahut Rin diiringi anggukan mantap.
Berambut panjang; Miroku, Jaken, dan Ah-Un keluar dari hitungan. Berarti yang tersisa adalah Shippou, Rin, Sesshoumaru, dan dirinya sendiri. Pertanyaan berikutnya harus sedikit lebih spesifik. "Apakah aku tampan?"
Kedua bocah itu mengangguk.
Tampan, berambut panjang. Shippou atau Sesshoumaru? "Apakah aku kuat dan penyayang?"
"Itu dua pertanyaan Kagome." Protes Shippou.
Kagome tertawa renyah. "Gome, gome ...."
"Tidak apa-apa Shippou-kun," Rin menarik lengan haori temannya itu sambil memberikan pandangan penuh isyarat. "Apakah aku kuat dan penyayang? Jawabannya adalah iya. Berambut panjang, tampan, kuat dan penyayang."
"Sesshoumaru-sama!" jawab Kagome penuh antusias.
"Nee-chan benar!" seru Rin.
"Karena kali ini Shippou yang kalah ... " Kedua gadis itu bertukar tatapan jenaka sambil tersenyum usil. Tak lama, bedak tabur yang menempel di ujung jari-jari mereka berpindah ke wajah kitsune itu.
Hanya desiran angin yang dibawa oleh kedatangan Sesshoumaru yang entah dari mana. "Sesshoumaru-sama, anda telah kembali!" Dengan semangat yang berlebihan, Jaken menyambutnya.
Sang tuan mengacuhkan pelayan setianya. Untuk beberapa detik, Inuyasha dan Sesshoumaru bertukar pandangan. Raut wajah kakak tirinya itu memang terlihat sedatar biasanya tapi Inuyasha tahu ada sebersit kejengkelan di sorot mata laki-laki itu. Jelas, mereka sama-sama mendengar apa yang terlontar dari permainan yang Kagome mainkan bersama Shippou dan Rin. Oleh karena itulah, Inuyasha semakin ingin mengejek sang kakak. Saat Sesshoumaru menatapnya dengan pandangan tajam, mulut hanyou itu terbuka dan ia mengatakan kata 'penyayang' tanpa suara sebagai cemoohan.
Shippou yang wajahnya tercoreng oleh beberapa garis putih yang tebal bersungut-sungut, "Kalian beruntung mendapatkan nama yang mudah ditebak. Penggambaran tentang Sango memang benar seperti itu tapi tidak dengan Inuyasha," gerutu youkai rubah itu. "Ia jauh sekali dari kata baik dan bertanggung jawab."
Sontak, sosok yang dibicarakan berteriak, "Oi, Bocah Tengik, aku bisa mendengarmu dengan jelas tahu!"
Baru saja laki-laki kecil itu hendak membuka mulut, Kagome sudah memberi tanda larangan dengan sebuah sentuhan lembut di punggung. "Shippou-chan," tegur Kagome dengan nada selembut ibu yang tengah menasihati sang anak tercinta.
Rin yang lugu berkomentar, "menurut Rin, Inuyasha-sama orang yang baik, persis seperti Sesshoumaru-sama."
"Lagi-lagi kau benar, Rin." Miko itu mengiyakan sambil mengusir ke samping poni gadis kecil itu yang sudah hampir mencapai mata.
Telinga segitiga di puncak kepala Inuyasha berkedut-kedut, bersamaan dengan salah satu alis Sesshoumaru yang sedikit terangkat. Meski terpaut jarak yang cukup jauh, namun di waktu yang sama, keduanya memasang wajah masam. Kedua inu bersaudara itu merasa iritasi karena disamakan dengan saudara tirinya.
"Keh," Inuyasha memalingkan wajahnya berpura-pura tidak mendengar. "Ayo kita cepat lanjutkan perjalanan!" katanya dengan nada sejengkel biasanya.
~.
Rombongan itu menyisir hutan. Hari telah mencapai puncaknya namun suasana tetap teduh. Hanya sedikit sinar matahari yang dapat menerobos celah yang ada diantara naungan cabang-cabang pohon pongah yang saling menjulurkan kerimbunan sejauh mungkin dari tempat mereka berdiri. Sango, Miroku, dan Inuyasha berada di barisan paling belakang. Dengan kaki pendeknya, Jaken berjalan cepat demi mengiring langkah tuan yang sangat dihormatinya. Rin dan Shippou yang duduk di atas naga milik Sesshoumaru sedang memainkan permainan lain lagi.
Dengan pikiran yang menerawang, Kagome berjalan disisi kedua bocah itu. Matanya terfokus pada putih dan merah juga perak dan emas milik sosok yang berjalan paling depan. Rambut panjang keperakan dan mokomoko itu berayun disetiap langkah yang diambil Sesshoumaru. Betapa ia ingin menyentuh keduanya, juntai silver dan bulu-bulu itu. Diam-diam, miko masa depan itu tersenyum memandangi objek yang baru-baru ini menjadi favoritnya.
Sesshoumaru adalah tipe pria yang hampir selalu terlihat tenang, percaya diri, dan penuh pemikiran. Semua gerakkan yang pria itu lakukan seakan tidak ada yang sia-sia, begitupun dengan ucapan yang dikeluarkannya.
Sebuah pikiran usil terlintas dibenaknya. 'Tidakkah youkai juga memiliki saraf bawaan dalam sistem saraf periferal seperti yang dimiliki manusia? Dalam kata lain, tidakkah ia terkadang merasa gatal di bagian tertentu tubuh, di hidung misalnya?' Tak tahan dengan pemikiran konyolnya, Kagome tertawa kecil.
Tak disangka-sangka, Sesshoumaru memperlambat langkah. Kini ia sejajar dengan Kagome.
Serta-merta, senyum miko modern itu menghilang. Dengan kikuk, gadis itu menyelipkan rambut ke belakang telinganya, kembali berjalan, sebelum menarik ujung bajunya dan melakukan beberapa hal kecil lain yang sebenarnya tidak perlu. "Cuaca hari ini sangat cerah," ujarnya dengan canggung.
Dia bukanlah gadis bodoh lagi, bodoh dalam arti terlalu polos. Perjalanannya di era feudal sedikit banyak membuatnya memasuki tahap pemikiran yang tergolong dewasa bagi remaja seusianya. Kagome paham dengan apa yang ia rasakan untuk sang inu youkai.
Hanya saja, ia tidak mengerti dengan apa yang ia inginkan atas apa yang ia rasakan. Karena Sesshoumaru, pria itu bagai bulan, menjulang sendirian di tengah permadani malam, indah, namun tak terjamah.
Tidak mungkin baginya berharap sosok seperti Sesshoumaru menyadari keberadaannya apalagi membalas perasaan yang dimilikinya. Sedikit banyak, cinta bertepuk sebelah tangan pada Inuyasha telah meninggalkan luka di hatinya dan mempertipis rasa percaya dirinya dalam hal romansa. Sebab itu jualah ia merasakan setetes rasa takut akan patah hati untuk kedua kalinya dan lebih memilih untuk mengagumi pria itu dari jauh tanpa berharap lebih.
Kegugupan gadis itu tertangkap oleh mata Sesshoumaru. "Miko," panggilnya.
Kagome menoleh, hanya sebuah gumaman yang dapat keluar dari mulutnya, "um?" Tangan gadis itu menggenggam erat busurnya, untuk menekan emosi yang siap meledak atau keadaan yang tidak menyenangkan.
Baritone itu berkata datar. "Kau takut."
"Takut?" Kagome tertawa kaku.
Sesshoumaru hanya menatapnya.
Cepat-cepat ia protes, "aku tidak takut padamu atau pada diriku sendiri." Disaat itu juga Kagome menyesali kata-katanya, mungkin Sesshoumaru memang dapat mengenali emosi seseorang dari baunya tapi, itu tidak berarti bahwa Daiyoukai itu dapat mengetahui sebab dari emosi itu sendiri.
Sesshoumaru menggerakan kepalanya sedikit, sebuah anggukan kecil itu dilakukannya sambil menatap Kagome dengan pandangan ... geli? Apa yang baru saja ia lihat benar adanya? Pria itu seperti menahan tawa.
Menutupi rasa malunya, gadis itu berkata dengan ketus, "berhentilah bersikap seakan kau mengetahui segalanya tentang diriku."
Pandangan pria itu kembali lurus ke jalan.
"Sebab itu terkesan curang."
'Curang?' Sesshoumaru kembali menolehkan kepala untuk menatap gadis itu
"Kau yang selalu diselimuti kemisteriusan dengan mudah membaca emosi orang lain, apa yang sedang kurasakan misalnya. Dan itu curang karena aku tidak tahu apa-apa tentangmu."
"Ini bukan permainan, Miko."
"Bisa saja jika kau menganggapnya seperti itu, sebuah permainan." Kagome tersenyum kecil, "dan akan lebih adil bila aku bisa mengetahui sedikit tentangmu."
"Kau ingin tahu tentang Sesshoumaru ini?"
"M-hm," Kagome mengangguk tanpa berpikir.
"Sebutkan alasannya," sebuah perintah.
Yang diucapkan oleh pemilik suara berat itu seakan menggaung di benaknya. 'Alasan?' Bagi miko muda itu, jawabannya tak semudah yang terbayang kala kebimbangan masih menggerogoti relung hatinya. Rona merah muda menyebar di pipinya, "Karena aku ... karena aku belum benar-benar mengenalmu?"
Nadanya setenang malam di musim dingin kala bertutur, "Kau diperkenankan untuk mengetahui lebih banyak tentang Sesshoumaru ini hanya bila ada pertukaran."
"Pertukaran?" pertanyaan Kagome belum sempat terselesaikan saat Sesshoumaru memotong.
"Rin, Jaken, mundurlah."
"Ba-ba-baik Sesshoumaru-sama." Jaken tergagap sambil menarik tali Ah-Un yang dinaiki oleh Shippou dan Rin untuk bersembunyi di tempat yang aman sebab sebuah episode pertempuran lain akan dimulai.
Suara deru bunyi besi yang saling bergesekan bergaung di senja itu. Rombongan Inuyasha sudah sangat siap kala para mayat hidup yang menamakan diri sebagai Shincinintai muncul di kejauhan. Renkotsu, Jakotsu, Suikotsu, dan Ginkotsu. Entah bagaimana yang terakhir disebut itu bisa kembali hidup dan berubah menjadi setengah manusia setengah mesin perang.
"OI! INUYASHA!" Panggil Jakotsu dengan amat sangat antusias sambil melambaikan tangan kirinya, hanyou yang namanya dipanggil hanya mendengus. Setelah mereka hanya berjarak beberapa kaki, pria feminin itu berkata dengan suara yang jenaka. "Aku sangat rindu pada telinga imut berbentuk segitiga milikmu itu."
Sebelum Jakotsu membeberkan lebih jauh lagi tentang kelainannya yang mengganggu, Renkotsu menyela pria itu. "Jakotsu, kau dan Suikotsu akan menghadapi youkai dan taijiya itu. Inuyasha adalah bagianku."
"Jangan bilang kau juga menyukai Inuyasha," rajuk laki-laki bergincu merah itu.
"Oi, hentikan racauan kalian dan cepat lawan aku!" sentak sang hanyou.
Laki-laki itu memuji dengan tatapan. "Aku suka ketidaksabaranmu itu, Inuyasha."
Miroku urung membuka penutup tangan terkutuknya. "Andai saja tidak ada pecahan bola empat arwah di dalam tubuhnya, aku pasti sudah mengisapnya."
Kalimat itu diartikan dengan makna sensual oleh pemilik pedang bernama Jakotsutou, mata pria itu berkilat dengan keriangan yang nyata. "Apa? Kau ingin mengisapku?" Inuyasha dan Miroku yang mendengar suaranya yang dibuat-buat agar terdengar seksi hanya dapat menahan mual yang tiba-tiba menyerang.
"Aku tidak pernah bermain-main dengan seorang biksu sebelumnya tapi, kurasa aku bisa membuat pengecualian untukmu, tampangmu lumayan menarik."
Semangat laki-laki itu melebar ke Jakotsutou miliknya. Jakotsutou diayunkan, puluhan bilah pedang yang saling terkait menjulur dengan cepat seperti ular yang berusaha mematuk mangsanya.
Mata pedang yang tajam hampir saja menyentuh tubuh Sesshoumaru walau matanya tak pernah lepas dari Inuyasha.
Pertempuran sengit seketika dimulai. Tapi Naraku telah menyiapkan trik licik lainnya. Para pembunuh bayaran itu dibekali dengan satu benda yang membuat Tessaiga dan Tokijin milik kedua inu bersaudara itu menjadi tidak berguna.
"Apakah kau merasakannya juga, Kagome-sama?" tanya Miroku kepada Kagome, "ada energi kuat yang memurnikan. Aku tidak tahu apa itu tapi, sesuatu itu terasa dekat."
Miko muda itu mengangguk. "Aku akan mencari benda itu."
Sesshoumaru melawan Jakotsu, pertarungan diantara keduanya tidak berakhir cepat seperti seharusnya namun, kekuatan Sesshoumaru sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan satu mayat hidup mesum seperti Jakotsu tanpa Tokijin.
Dengan Hiraikotsu-nya, Sango dapat mengimbangi cakar besi Suikotsu. Inuyasha dan Miroku sibuk menangani semburan api Renkotsu dan ledakan misil yang keluar dari tubuh Ginkotsu. Yang tersisa di pinggir pertarungan hanyalah Kagome.
Miko itu sudah menyiapkan busur dan anak panah tapi, pertempuran yang terjadi begitu cepat dan dinamis sehingga tidak menyisakan waktu baginya untuk benar-benar mengikuti apa yang terjadi. Dibandingkan dengan melepaskan panah secara sembarang dan beresiko melukai kawannya sendiri, Kagome memilih hal yang paling bijaksana yang dapat dilakukannya saat itu: Gadis itu diam di tempat dan terus siaga selagi melacak benda yang menekan youki teman-temannya, dan bersiap untuk melepaskan anak panah sewaktu-waktu bila ada kesempatan yang menghampirinya.
"Bila dilihat-lihat, kau tidak kalah tampan dari Inuyasha," ujar pria gemulai itu dengan santai.
Tokijin yang tak lebih dari pedang biasa dan komentar lawan yang membanding-bandingkannya dengan Inuyasha membuat Sesshoumaru naik pitam. Dengan itu, dia melipatgandakan serangannya. Jakotsu cepat, tapi Sesshoumaru lebih cepat lagi. Pedang Jakotsu yang seperti ular itu tidak dapat menyentuh sang inu youkai, Sesshoumaru dengan mudah menghindarinya dengan gerakan zig-zag. Dalam hitungan detik, pria bersurai silver itu mempersempit jarak dan dengan mudah tangannya sudah menerobos dada pria itu. Jakotsu terdiam sesaat sebelum tertawa histeris kala kematian kedua tidak menyambutnya.
Setelah lima menit yang terasa seperti selamanya, pertarungan tak jua mereda. Luka fatal yang di derita sang lawan tak mengurangi serangan mereka yang beringas. Itu semua berkat Shikon no tama yang tertanam di dalam tubuh mereka. Dan itu pula satu-satunya yang dapat menghentikan mereka. Sayangnya, Kagome tidak dapat melihat dengan jelas dimana letak serpihan Shikon dari tempatnya berlindung, karena itulah ...
Gadis itu berlari mendekat ke tempat pertempuran berlangsung, dengan mata yang memicing, ia memfokuskan diri untuk mencari pecahan itu satu-persatu. 'Ketemu! Sama seperti ahli racun itu, semua pecahan berada di tempat yang sama.'
"Inuyasha! Sesshoumaru! Minna! Pecahan itu ada di leher mereka!"
Saat ia berada cukup dekat dengan Ginkotsu, disaat itu pula Kagome dapat merasakan pusat kekkai. Sebuah kubah cahaya terang berwana biru merak terlihat di atas tanah, di dalamnya terdapat sebuah benda yang terbuat dari besi sepanjang tiga puluh sentimeter dengan ujung yang meruncing seperti tombak.
Energi kuat terpancar dari benda itu. Dengan ujung anak panah, Kagome menusuk bagian atas kubah itu tanpa ragu. Panahnya menembus kubah cahaya, anak panahnya mengenai benda yang berada di dalamnya, kemudian, kekkai menghilang seketika. Secepat kekkai itu menghilang, secepat itu pula keadaan berbalik. Kini anggota shincinintai itu berada di tepi jurang kematian.
"Dokko!" Ucap sang biksu saat menyadari benda yang kini ada di tangan Kagome. "Dokko itu mereka gunakan sebagai Bugutsu, dari benda itulah kekkai tercipta."
"Gadis sundal!" Rutuk Renkotsu sebelum menyemburkan api ke arah Kagome.
Gelombang tinggi api itu bergerak cepat ke arah sang miko. Benda itu terjatuh dari genggaman Kagome, tidak ada waktu untuk menghindar, apalagi waktu untuk Inuyasha berlari dan menyelamatkannya. Teriakan Kagome hanya terdengar sekejap sebelum menghilang.
"Brengsek! Kau tidak akan bisa lari lagi dariku, Bajingan!" Sebuah luka angin dilepaskan Inuyasha untuk sang lawan, api yang disemburkan Renkotsu dari mulutnya tertelan oleh aliran youki Tetsusaiga. Pembunuh bayaran berkepala plontos itu melompat dari atas tubuh Ginkotsu tepat waktu. Manusia besi itu meledak berkeping-keping saat Kaze no kizu membelai tubuhnya. Namun, di saat-saat terakhirnya, ia berhasil melontarkan satu misil terakhir ke arah sang biksu.
Ledakan yang terjadi menarik perhatian semua yang ada untuk sesaat.
Mengabaikan Suikotsu yang bisa kapan saja menyerang, Sango melemparkan boomerang miliknya sambil berteriak histeris, "HOSHI-SAMA!"
Keberuntungan masih berpihak pada pasangan itu, senjata milik sang taijiya berhasil, misil yang diarahkan pada Miroku itu terpental ke udara lalu meledak dengan bunyi dentuman yang hebat. Saat sango membalikkan badan untuk kembali menghadapi sang lawan, pria itu sudah menghilang.
"Kau tidak akan bisa lari lagi dariku, Bedebah Busuk!" Renkotsu sudah memanggul canon di bahu kanannya tapi, Inuyasha tidak mundur, ia harus menghabisi pria itu sebelum memeriksa keadaan sahabatnya. "KAZE NO KIZU!" Ledakan youki berwarna keemasan khas milik Inuyasha mendorong bom itu sebelum berbalik ke pemilik, luka angin yang berpadu dengan bom itu melahap habis tubuh Renkotsu dalam sekejap mata.
Kagome meringkuk, kedua telapak tangannya menutupi telinga, matanya terpejam kuat. 'Apakah aku sudah mati?' Bukan panas semburan api yang ia rasakan namun dekapan hangat. Secara perlahan ia membuka mata. Yang pertama-tama dilihatnya adalah armour, mokomoko, surai keperakan, rahang yang mengeras, dan selapis tipis youki berwarna biru pucat yang mengelilingi tubuh mereka.
"Sesshoumaru" bisiknya. Sisa bonggol tangan kiri pria itu semakin menarik Kagome erat ke tubuhnya.
"KAGOME!" Kepanikan Inuyasha segera lenyap ketika kekkai Tenseiga telah memudar. Dadanya mengempis setelah ia bernafas lega. "Syukurlah kau tidak apa-apa."
Sango dan Miroku segera bergabung dengan ketiganya. Sango berkata, "dua dari mereka kabur dan ...."
Kagome yang menyadari tatapan aneh sahabat-sahabatnya itu menarik diri lalu berdiri tegak. Dengan wajah merah ia berbisik, "a-arigatou, Sesshoumaru."
Sesshoumaru menurunkan tangan kanannya yang terjulur sambil menggenggam Tenseiga. Pelindung yang terpancang dari warisan Inu no Taisho itulah yang telah melindungi mereka.
"Saimyosho telah membawa serta pecahan Shikon no tama," imbuh Miroku.
Tenseiga telah tersangkut rapi di obi-nya, kepala Sesshoumaru menoleh dengan cepat, matanya memicing kala menatap kedalaman hutan. Dengan segera, Sango, Miroku, Kagome, dan Inuyasha menyadari ada masalah lain yang menanti mereka. Dan masalah itu adalah, "Rin." Suara Sesshoumaru terdengar semakin berat dan berbahaya.
"Rin?" Ulang Kagome.
Tanpa berkata apapun lagi sang Daiyoukai melesat terbang meninggalkan mereka.
~.
Gunung Hakurei. Gunung misterius yang memancarkan kekkai yang sangat besar dan kuat. Di gunung itu pula Sesshoumaru mencari Rin yang diculik. Rombongan mereka telah terberai, Miroku dan Sango memutuskan untuk menyelidiki tempat itu sekaligus mencari pusat kekkai, dan Inuyasha menyusul mereka. Tinggalah Kagome di sebuah gua kecil di kaki gunung dengan semua teman youkai-nya yang kepayahan efek kekkai, Shippou, Jaken, dan Kirara yang ditemani Ah-Un hanya dapat bergelung tak berdaya.
Kekhawatiran Kagome akan keadaan teman-temannya kian memuncak tatkala ia melihat Hakkaku dan Ginta membopong Kouga yang tak sadarkan diri. Kagome meneliti luka-luka fatal yang ookami itu derita setelah bertarung dengan Bankotsu, ketua Shincinintai. Kouga terbujur lemah oleh pertempuran dengan satu manusia. Kekkai Hakurei memperburuk keadaan.
Bila Kouga saja yang baru memasuki tepi kawasan kekkai sudah seperti itu bagaimana dengan Sesshoumaru dan Inuyasha? Belum lagi ketiga anggota Shincinintai yang tersisa. Kagome memang tidak memandang remeh kekuatan keduanya tapi, kecemasannya sudah semakin menjadi-jadi. Ia tidak bisa tinggal diam begitu saja. Oleh karena itulah, dia memasang ofuda di mulut gua.
Kertas bertuliskan mantra itu sudah cukup untuk melindungi teman-temannya, keberadaan mereka tidak akan terdeteksi oleh para musuh.
Hakkaku dan Ginta hanya dapat mengangguk saat Kagome berpamitan dan meminta agar mereka menjaga yang lainnya. Setelah cukup lama berlari menembus kabut yang mempersempit jarak pandang, Kagome dapat melihat tiga siluet samar di kejauhan. Mengacuhkan tungkainya yang mulai goyah ia memaksa diri untuk memacu kaki lebih cepat. Kekhawatiran sedikit berkurang kala ia melihat Sesshoumaru dan Rin, tapi itu tak lama sebelum ia melihat apa yang terjadi secara keseluruhan.
Napasnya tertahan kala melihat pertarungan antara Sesshoumaru dan dua pembunuh bayaran itu. Sambil terus bergerak maju, Sesshoumaru sibuk menghindari pedang ular Jakotsu. Disaat yang sama, Suikotsu sudah menempelkan senjatanya di leher Rin namun, tiba-tiba gerakannya terhenti oleh Tokijin Sesshoumaru yang menancap di dadanya. Begitupun dengan Jakotsu, serangannya terhenti tatkala Sesshoumaru menangkis pedang itu dengan tinjunya sebelum membelah dadanya dengan cakar beracun miliknya.
Tapi tentu saja, pertarungan belum berakhir selama pecahan sial itu masih bersemayam di tubuh mereka. Dengan tubuh yang sudah terkoyak-koyak sedemikian rupa, Jakotsu masih bisa berlari dan Suikotsu sudah melayangkan senjatanya di atas kepala Rin.
Bergegas Kagome menarik anak panah, busur telah terentang, namun sebuah panah berwarna merah muda sudah melesat dari sisi kanannya. Ia menoleh dan mendapati Kikyou. Panah miko yang lebih tua itu tertancap tepat di leher Suikotsu, dan di waktu itu juga kekkai menghilang. Dalam sekejap mata, Sesshoumaru sudah menarik Tokijin miliknya yang tertancap di tubuh Suikotsu dan membalik badan untuk menghadapi musuh lainnya, aliran youki berwarna biru terang melahap habis tubuh Jakotsu yang berusaha melarikan diri.
Setelah Kagome sampai di tempat mereka berada, Suikotsu telah kembali menjadi tulang belulang, dan pecahan Shikon dipegang oleh Kikyou.
"Rin!?" Panggil Kagome dengan lantang. Lalu, gadis kecil itu menghambur ke pelukannya.
~.
Bintang gemintang bertebaran mengerlingkan cahaya harapan di atas langit malam indah yang terbentang, tempat bernaung semua mahluk diurnal di pembaringan, termasuk mereka yang telah mati-matian melawan Naraku. Miroku dan Sango berhasil meluluhkan kekkai. Rin berhasil diselamatkan, Kouga pun sudah kembali seperti semula dan berpisah dari rombongan untuk memulai pengejarannya bersama dua anak buahnya.
Walau Gunung Hakurei telah runtuh, hanyou laba-laba hina yang semakin kuat itu berhasil melarikan diri lagi, tetap saja usaha mereka tak sepenuhnya sia-sia. Setidaknya, Shincinintai tak lagi menjadi aral karena anggota terakhirnya, Bankotsu, telah menemui ajal untuk kali kedua lewat tangan Inuyasha.
Kala itu, pria itu sedang menemui Kikyou dan membujuknya untuk bergabung dengan rombongan mereka agar ia dapat melindunginya dari Naraku. Selama ketiadaan Inuyasha, Kagome tidak lagi merasakan kesedihan yang tak pantas atau yang semacamnya. Teramat banyak yang harus ia syukuri di hari itu seperti minimnya korban yang jatuh dan tentu saja, keselamatan atas dirinya dan Rin.
Miroku dan Sango baru saja meniti garis batas antara kesadaran dan alam mimpi. Kagome baru saja selesai menjadi pendongeng, Rin dan Shippou telah lama terlelap. Ia mengecup kening kedua anak kecil itu sebelum beranjak kemudian duduk di depan perapian disamping sang inu youkai yang pendiam.
Ragu dan takut membuat Kagome tidak berani menatap lawan bicaranya saat ia membuka percakapan. "Terima kasih telah menyelamatkan aku dan Rin," ucapnya tulus.
Waktu bergulir lambat tapi, tidak ada jawaban.
Kagome sama sekali tidak mengerti apa yang salah, mungkinkah caranya berterima kasih atau ada hal yang lain?
Setelah berpikir selama beberapa saat, ia menyingkirkan segala kemungkinan baru yang muncul dan mengambil kemungkinan pertama. Walaupun youkai, Sesshoumaru tetaplah seorang aristokrat yang hidup di zaman feodal.
Saat pria itu berdiri dan hendak pergi, barulah Kagome mengangkat kepalanya. "Tunggu, Sesshoumaru!" Gadis itu ikut bangkit dari duduknya; Ia membungkuk, sebagai penghormatan dan rasa terima kasih dengan kesungguhan hati.
'Tidak akan dapat dikatakan sentuhan karena terhalang oleh pakaian yang ia kenakan.' Sesshoumaru berbalik, ia menarik lengan Kagome agar bangkit. Suaranya terdengar lebih berat dan dalam, "Bodoh! Aku tidak butuh penghormatan seperti yang manusia butuhkan."
Gadis itu terkesiap, tangan pria itu sangat kuat mencengkramnya, tidak menyakitkan, hanya sedikit tidak nyaman. "Gomenasai."
Kepalanya yang hanya sejajar dengan bahu sang Daiyoukai membuat miko itu mendongak untuk menatap pria itu. Untuk beberapa detik, Kagome tahu persis apa yang dirasakan rusa saat hewan itu berhadapan dengan singa: Rasa takut yang dirasakan oleh mangsa saat bertatap muka dengan predator.
"Sudah seharusnya Sesshoumaru ini memastikan keselamatan kawanannya."
Niat gadis itu tetap kukuh, "Dan sudah sepatutnya aku berterima kasih."
Tidak ada pendirian yang tanggal di antara keduanya. Sorot emas Sesshoumaru tetap tajam walau cengkraman di lengan gadis itu mengendur. Begitupun sebaliknya, tidak ada tanda Kagome hendak mengurungkan niatnya.
Kata-kata sang Daiyoukai terngiang, 'Penghormatan seperti yang manusia butuhkan.' Tiba-tiba, terbayang kejadian sehari sebelumnya, apa yang Rin lakukan, bahasa primal yang dilakukan para inu. "Biarkan aku menunjukkan rasa terima kasihku dengan selayaknya," nadanya memohon.
"Keras kepala." Suara Sesshoumaru netral, tidak menunjukkan sedikit pun dua kata itu sebagai ejekan maupun pujian.
Tak menyerah, Kagome mencetuskan, "Tunjukkan aku caranya, sebagai kawanan. Kumohon, Sesshoumaru."
Cara Kagome menyebutkan namanya telah meruntuhkan pertahanan terakhir yang dimiliki putra Inukimi itu. penilaian sang Daiyoukai kembali berkabut oleh nada manis bertajuk cinta. Tangan kanannya yang mencengkram lengan miko itu merayap ke bahu, lalu tengkuk, sebelum menangkup bagian belakang kepala gadis itu. Surai silvernya berjatuhan, helaian-helaian halus itu membingkai wajahnya saat Sesshoumaru menunduk.
"Kau akan membuat Sesshoumaru ini melanggar janjinya."
Pertanyaan baru yang muncul tentang satu kata yang tak ia mengerti musnah begitu saja ketika lengan kekar itu menopang punggungnya. Kemudian, tangan hangat itu menopang kepalanya. Refleks alami membuat kedua mata Kagome terpejam ketika semua kekacauan di dalam dirinya dimulai.
Gadis itu dapat merasakan pipi mereka menempel, bergerak naik turun selama beberapa saat. Aliran listrik seakan menjalar dengan cepat dari kulit mereka yang bersentuhan. "Permohonan." Hangat nafas Sesshoumaru menggelitik daun telinga kanannya.
"Permintaan maaf," ucap sang Daiyoukai sebelum turun ke leher sang miko. Sengatan reiki diabaikan pria itu. Dengan ujung hidungnya, Sesshoumaru membuat pola naik-turun yang sama seperti yang ia lakukan sebelumnya dengan gerakan lambat yang terkesan malas yang sudah tentu membuat Kagome menahan napas.
Sepasang bibir hangat itu bergerak ke kanan, menyusuri leher gadis itu sebelum naik secara perlahan, lalu berhenti di telinga Kagome yang satunya untuk berbisik, "rasa terima kasih." Dengan ujung hidungnya, pria itu menelusuri rahang miko itu dengan amat sangat lambat, seakan ingin mengingat garis ditiap inci kulit dan menyesap harum yang menguar dari sang miko masa depan.
Ia berhenti tepat di dagu gadis itu. 'Sebagai pasangan!' Relung hati terdalamnya meraung ketika dengan sengaja bibirnya menyentuh milik Kagome yang setengah terbuka sebelum ia bergerak ke atas dan menempelkan keningnya di kening miko itu.
Napas hangat Sesshoumaru menyapu wajah Kagome saat ia berucap, "Kawanan."
Hanya sepintas lalu, sekerjap mata, satu tarikan napas, dan satu degup jantung tatkala bibirnya bersentuhan dengan Sesshoumaru namun, Kagome dapat bersumpah demi semua Kami di Takamagahara bahwa saat itu kakinya tak lagi menjejak tanah.
Secara perlahan, Sesshoumaru melepaskan tangannya dari kepala gadis itu, dan ia menarik diri.
Pikiran gadis itu tak seperti tubuhnya yang kembali tegak seperti semula, isi kepalanya bercabang oleh apa yang dilakukan pria itu. Tanpa sadar, tangan Kagome bergerak naik, menyentuh bibirnya sendiri. Setengah percaya tapi ia tahu yang tadi itu jelas terjadi; hangatnya bak melekat, sensasi aneh itu tak jua sirna, bibir mereka benar-benar telah bersentuhan.
Sesshoumaru membawanya ke tingkat kegilaan yang lebih tinggi.
Pria itu membuatnya berharap sesuatu yang mustahil.
Youkai itu memaksanya menginginkan hal yang terlarang!
Kagome seakan tenggelam, udara tak tergapai kala ia menyadari gaung di dalam hatinya. Kini ia tahu apa yang ia inginkan. Sesuatu yang tak seharusnya ia inginkan: Ia ingin selalu berada di dekat pria itu.
Kagome ingin memperlihatkan dunia baru yang penuh warna pada Sesshoumaru. Ia ingin melihatnya tersenyum, tertawa, ia ingin pria itu mengecap rasa manis kebahagiaan. Semua yang ia inginkan adalah tentang Sesshoumaru seorang.
Jauh didasar hati, miko itu membenci apa yang ia pikirkan. Kedua tangannya yang terkepal telah berada dikedua sisi tubuhnya. Dengan enggan, Kagome membuka mata. "Mengapa kau lakukan itu?" Suaranya ditekan agar terdengar sedatar mungkin. "Mengapa kau ... " Kata-katanya terhenti kala hidungnya mulai tersengat dan matanya mulai perih.
Kedua alis sang Daiyoukai bertautan.
"Kau anggap aku manusia lemah yang suka menyakiti diri sendiri, selalu menarik masalah, sebuah gangguan, dan berbahaya?" Kagome menggeleng kecil. "Aku ingin sekali tidak memperdulikan itu tapi, kenyataannya aku peduli. Apa sebenarnya maksudmu? Semua yang kau katakan bagai bercabang, membuatku berpikir keras tentang apa yang sebenarnya kau maksudkan. Belum lagi apa yang baru saja kau lakukan, mungkin itu tidak berarti untukmu, Sesshoumaru, tapi itu sangat berarti untukku," suaranya mulai goyah.
Tindak-tanduk inu youkai yang terkadang tidak sinkron itu membuatnya membulatkan tekad, bila ia harus tersiksa lagi oleh cinta yang bertepuk sebelah tangan, sebaiknya ia mempersiapkan diri dan berani mengkonfrontasi.
"Aku sama sekali tidak mengerti dirimu." Ia berhenti untuk menarik napas panjang, "tapi aku bersungguh-sungguh saat mengatakan bahwa aku ingin mengenalmu lebih baik Sesshoumaru, dan aku bersedia dengan pertukaran apapun yang kau butuhkan."
Terkejut adalah kata yang meremehkan untuk menggambarkan perasaan pemilik Tenseiga, ia sudah berpikir jauh tentang datangnya saat-saat seperti itu, saat ia harus mengungkapkan kebenaran, mengutarakan sebuah rasa.
Putra penguasa wilayah Barat itu kini resmi takluk akan emosi manusia, kelemahan yang sama persis seperti yang ayahnya miliki. Sesshoumaru merasa harus membuat gadis itu mengerti.
"Kau suka menyakiti dirimu sendiri bila kau terus bertahan di sisi hanyou bodoh itu." Setitik cemburu tak dapat dipungkiri dari nada suaranya.
Hangatnya matahari berpadu dengan laut biru senja.
"Harum khas yang kau miliki hanya mengundang masalah bagi youkai pejantan."
Youkai itu setapak lebih dekat, satu detak jantung melonjak.
"Bagi Sesshoumaru ini, kau sebuah gangguan karena kau mengalihkannya dari pertempuran yang seharusnya ia pikirkan."
'Apakah itu sebuah pujian?' Mulut Kagome terbuka tapi tak dapat mengucap kata.
Suara pria itu semakin dalam, "Bahaya yang kau bentangkan adalah dengan membuatku melanggar janji yang telah diucapkan."
Sebuah senyum kecil diberikan Sesshoumaru, satu serangan jantung yang didapatkan oleh gadis itu.
Tanpa menyentuh kulit, ujung jarinya mengusir sejumput tirai hitam yang menempel di sisi wajah sang miko. Lagi-lagi, ia menempelkan keningnya pada kening Kagome.
Kalimat berikutnya yang dikeluarkan Sesshoumaru mengunci takdir mereka berdua.
"Kagome, kau akan membuat Sesshoumaru ini mengikuti jejak sang ayah."
_____
Thanks utk maycha13, Fanfic-Inuyasha, dan semua reader yang udah vote, comment, dan menambahkan 'Paramour' ke reading list-nya^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top