Chapter 8 - Stop This Song (Lovesick Melody)
Disclaimer: I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers. And I don't own the songs that I use as prompt, they're belongs to Paramore.
Prompt: Stop This Song (Lovesick Melody) belongs to Paramore.
Peter Pan belongs to J.M. Barrie.
Tnm's note: Lagu yang jadi prompt chapter ini keren bgt, once you hear it, I bet you'll love it!
Mononoke :Low class youkai
.
.
.
Ditengah hari yang cerah, rombongan itu beristirahat di padang rumput yang berada di mulut hutan. Bersembunyi dari sinar sang mentari, kain digelar di bawah bayang-bayang pohon, makanan dan minuman masa depan tersebar di sengoku jidai. Sesshoumaru beserta dua pengikut setianya berteduh beberapa meter jauhnya dari rombongan Inuyasha.
Telinga segitiga yang berada di puncak kepala sang hanyou berkedut saat mendengar Sesshoumaru berbicara dengan Rin di kejauhan. Tak ada yang terlepas dari perhatian Inuyasha, sejak semalam, pergerakan kakaknya seakan menjadi pusat atensinya. Sebesar apapun putra bungsu Inu no Taisho itu berharap dapat melupakan percakapan terakhirnya dengan Sesshoumaru, sebesar itu pula kekecewaan harus diterimanya. Suara dingin kakaknya yang congkak itu terus-menerus berputar di kepalanya.
.
"Kau, kau menginginkannya ... "
Suara Sesshoumaru dingin, "itu bukan urusanmu."
"Tentu saja itu jadi urusanku brengsek, karena Kagome, dia ... "
"Dia berada di ambang kematian karena kau hanyalah seorang hanyou."
Tangan Inuyasha terkepal erat saat kalimat yang mengandung kebenaran itu mengecilkan hatinya. "Aku tidak akan menempatkannya dalam bahaya seperti itu lagi."
"Baru sekarang kau menyadari betapa lemahnya dirimu, Inuyasha?"
"Keh, bila dia tidak selamat, aku akan merebut Tenseiga milikmu!"
"Seperti kau mampu menguasai Tenseiga. Kau hampir tidak bisa mengurus dirimu sendiri tapi kau memegang Tessaiga yang ditempa untuk melindungi orang lain."
"Aku akan tetap melindunginya."
Wajah dan nadanya datar, tapi tetap saja apa yang Sesshoumaru ucapkan menyakitkan, "Pada akhirnya kau hanya akan menyakitinya, Inuyasha."
"Tidak terkecuali dirimu, Brengsek!"
"Hn."
"Aku tidak akan mengizinkanmu mendekatinya."
"Sesshoumaru ini tidak memerlukan izin darimu."
"Jika kau berani menyentuhnya dengan tangan sialmu itu, maka, aku akan membunuhmu!"
Mereka saling bertukar pandang.
"Berjanjilah!" Desak Inuyasha.
Inu youkai itu terlihat berpikir sejenak, "aku tidak akan menyentuhnya dengan tangan ini," matanya berkilat saat menambahkan, "tidak tanpa persetujuannya."
"Jangan berpikir kau bisa memilikinya, Sesshoumaru. Dia tidak berasal dari sini, tidak dari zaman ini."
.
Inuyasha menyumpal banyak-banyak ramen itu ke mulutnya. Tidak seperti biasanya, ia tidak bisa menikmati makanan favoritnya. Hatinya dongkol, pikirannya penuh dengan cercaan yang tertuju pada kakak tirinya. 'Sial! Mengapa si brengsek itu dengan mudah menyetujuinya? Semudah itu ia mengucapkan janji untuk tidak menyentuh Kagome. Dan mengapa matanya saat itu bersinar dengan aneh, seperti menertawakan apa yang akan dirinya ucapkan.' Diam-diam inu hanyou itu melirik ke gadis yang duduk disamping kanannya, sebelum kembali mematut pandangan pada isi cup ramen-nya.
Gadis yang dilirik sedang makan dalam diam, dua hari telah berlalu sejak ia dan dua sahabat lainnya berada di garis hidup dan mati. Sekarang keadaan sudah kembali seperti semula, dan mungkin lebih dari sebelumnya bagi sang houshi dan taijiya. Di dukung suasana alam yang sangat bersahabat, mereka bercengkrama dalam keriangan. Angin berdesir, lembut membelai kulit. Suara burung pelatuk yang sedang membuat sarang menjadi pengiring tawa renyah Sango dan Miroku yang sesekali membelai pendengaran. Tidak ada lagi kecanggungan di antara keduanya, mungkin dengan berpikir ajal yang bisa datang kapan saja membuat mereka lebih terbuka pada satu sama lain? Siapa yang tahu?
Sayangnya, keadaan tenang itu tak bertahan lama.
Suara tangan yang menyambar pipi sang biksu dengan cepat dan keras telah memecah perhatian semuanya. Dengan langkah menghentak, Sango menjauh dari pria yang akan membuat semua biksu malu dengan sikap mesumnya itu. Taijiya itu memilih tempat yang cukup jauh hingga tidak dapat mendengar apa yang Miroku gumamkan. Kagome yang baru saja menyelesaikan makan siangnya hanya dapat menghela napas diam-diam saat Miroku menggeser bokong untuk duduk berdekatan dengannya. Kagome tahu bahwa ini adalah waktu dimana Miroku akan bertanya padanya, tapi ia tahu, maksud sebenarnya sang biksu adalah mengutarakan pernyataan yang dapat membenarkan tindakannya, yang tentu saja pria itu harap akan Kagome sampaikan pada Sango.
Tapi saat itu tidaklah tepat, gadis yang berasal dari zaman modern itu sudah sangat jengkel dengan tingkah hanyou di sebelah kirinya setelah kedatangan Kouga pagi tadi. Pada awal kedatangan sang ookami, mereka hanya bertukar informasi tentang mayat hidup bernama Kyokotsu, salah satu anggota pembunuh bayaran yang baru-baru ini serigala itu kalahkan. Semua yang ada setuju dengan komentar Kouga, Shincinintai dapat dipastikan boneka baru Naraku, bila dilihat dari Shaimyosho yang mengambil pecahan Shikon dari gundukan tulang milik Kyokotsu.
Kedamaian dalam persekutuan lenyap ketika Inuyasha menarik tangan serigala itu yang terus menggenggam tangan Kagome, perkelahian hampir dimulai tapi segera berakhir kala Kouga berkoar tentang 'seorang anjing kampung yang tidak bisa melindungi kawanannya dan menyebabkan tangan wanitanya yang hangat menjadi dingin dan bibir yang merekah merah muda itu menjadi pucat seperti perut ikan.' Keluar dari tabiatnya yang tak kalah sombong dari sang kakak bila ia berada di hadapan Kouga, Inuyasha mengakui kelengahannya. Setelah ookami dan dua pengikutnya itu pergi, pria bertelinga anjing itu tidak pernah melepaskan sahabatnya dari pandangan.
Lamunan Kagome terputus ketika tangan kiri Miroku melintang di punggung lalu hinggap di bahu kirinya. Miroku memulai, "Aku percaya bahwa kepercayaan di dalam suatu hubungan itu melibatkan sentuhan, menurutmu juga seperti itu kan, Kagome-sama?"
Kagome baru saja hendak menggeser tubuh agar tangan itu terlepas dari bahunya ketika tangan Inuyasha dengan cepat menepis tangan sang biksu. Gadis itu menutup mata sekejap sebelum memandang si biksu pemilik otak pintar yang berubah dangkal bila menyangkut wanita, sambil memperluas kesabaran yang ia miliki, gadis itu membalas, "Tapi, bukankah kepercayaan itu juga berarti menghormati dan menghargai jarak yang dibutuhkan oleh pasangannya?"
"Baiklah, kurasa pendapatmu ada benarnya." Miroku mengangguk, "Terima kasih, Kagome-sama, aku tahu apa yang harus aku lakukan sekarang." Dengan bantuan tongkatnya, Miroku bangun dan lantas mendekati sang pembasmi siluman yang sedang membelai Kirara.
Tak lama, Kagome ikut berdiri, karena tindak-tanduk Inuyasha yang membuatnya meradang, ia pergi tanpa kata. Matahari bersinar dengan terik di hari itu, hawa panas membuatnya selalu haus. Dan kini, setelah beberapa botol air mineral yang ia konsumsi, kandung kemihnya sudah terasa penuh hingga hampir sakit. Setelah Kagome sampai di tempat yang ia yakin cukup aman, ia lantas menaikan ujung roknya ke dada. Tangannya sudah menyangkut di kedua sudut segitiga pakaian dalamnya yang berwarna merah muda tatkala ia menyadari sepasang amber menatapnya dari atas pohon.
"KYAAA!" Tangannya bergerak cepat menutup rok yang tersingkap. "INUYASHA!" Pria yang dipanggil menelan ludah ketika mendengar nada yang selalu Kagome gunakan sebelum kata 'itu' terlontar.
"OSUWARI!"
Inuyasha jatuh tertelungkup di tanah dari cabang pohon tempatnya bersembunyi dengan bunyi dentuman yang keras. Belum sempat sang hanyou mengangkat kepala, Kagome sudah berlutut di hadapannya, kedua tangan terkepal, semua desakan yang ia rasakan telah pergi entah kemana. Dengan lantang ia berteriak, "Osuwari, osuwari! Inuyasha no baka, OSUWARIII!"
"Hentikaaan," teriak sang hanyou penuh penderitaan.
Gadis itu bangkit, ia menepuk-nepuk lututnya yang kotor lalu beranjak pergi ke tempat aman untuk menjawab panggilan alam. Di sepanjang perjalanan, Kagome menggerutu dalam hati; Inuyasha mengalah pada Kouga adalah hal yang aneh, tapi apa yang terjadi hari ini jauh dari batas keanehan bila hanyou yang selama ini terkesan menjaga jarak kini malah terus menempel padanya. Mungkin ia akan merasa sangat tersanjung bila itu terjadi beberapa bulan yang lalu, saat ia haus akan perhatian Inuyasha tapi tidak sekarang, yang ia rasakan kini hanyalah ketidaknyamanan. Miko penjelajah waktu itu tahu ada yang salah, sesuatu untuk diutarakan, masalah baru yang butuh segera diselesaikan. Tapi itu bisa dilakukan nanti, bila kepala Inuyasha dan miliknya sudah lebih dingin, tentu saja.
Ketika Kagome kembali ke tempat teman-temannya, Inuyasha tidak terlihat dimanapun. Sango dan Miroku duduk bersandingan dengan Kirara dipangkuan sang pembasmi siluman. Tidak ingin mengganggu temannya yang entah bagaimana sudah berbaikan lagi dengan instan, Kagome memutar langkah. Dalam hati ia berharap agar kedua teman manusianya tidak mengetahui kejadiannya dengan Inuyasha barusan agar tidak ada komentar menyerempet mesum yang dapat Miroku luncurkan. Akan tetapi, ia melupakan bahwa ada inu youkai yang memiliki pendengaran dan penciuman super sensitif yang tidak mungkin tidak tahu insiden kecil yang baru saja terjadi.
.
'Bodoh!'
Posisi duduknya yang menyandar di pohon terlihat sangat santai, kedua mata sang Daiyoukai terpejam, tapi yang mengenalnya dengan baik seperti Jaken tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggunya. Rahangnya mengeras, tangan kanannya yang bertumpu di lutut yang setengah tertekuk ke atas terkepal dengan kuat hingga cakarnya hampir menembus ke dalam daging.
"Kagome!" Teriak Shippou yang duduk disamping Rin ketika gadis pemilik sepasang manik biru kelabu itu terjamah oleh mata.
Rin yang melihat Kagome berjalan mendekat tersenyum antusias dan tangannya menepuk-nepuk tempat disisinya. Keriangan Rin yang menular membuat insiden dengan Inuyasha terlupakan. Kagome mempercepat langkah tapi, saat sosok yang didominasi warna putih memasuki area pandangannya, kaki Kagome melambat. Permata emas yang menyorot hangat, lengan kokoh yang melingkari tubuhnya, ingatan kala senja pada hari sebelumnya membuat desir aneh kembali menjalar di dadanya.
"Sebaiknya kau tidak disini manusia rendahan, karena Sesshoumaru-sama sedang tidak ingin diganggu." Kagome menoleh ke asal suara, Jaken bersedekap, menatapnya dengan wajah serius dan peringatan yang jelas. "Mungkin ia terlihat tenang di luar tapi darahnya mendidih di dalam, keributan yang setiap saat kalian timbulkan, pengejaran yang belum juga membuahkan hasil setelah Naraku menginjak-injak harga dirinya membuat-"
Dalam sekejap tubuh Jaken sudah tersungkur memeluk bumi, mulutnya yang meruncing tertancap di tanah. Sebuah batu besar tergeletak disampingnya, Kagome menatap Jaken, lalu batu, Sesshoumaru, kemudian kembali menatap makhluk hijau itu sebelum kembali ke sosok inu youkai yang masih memasang wajah dingin.
"Jaken-sama terlalu banyak bicara," Rin mengutarakan pendapatnya dengan amat polos.
'Apakah Sesshoumaru yang baru saja melempar batu? Tentu saja dia, tapi ...' Akan terkesan jahat memang, mengabaikan kesengsaraan Jaken. Namun, ia tidak dapat menahan mikro ekspresi yang diperintahkan otaknya secara spontan, senyum kecil merayap ke wajah Kagome. Satu kepingan kecil enigma pribadinya, sedikit tentang Sesshoumaru, yang baru terkumpul telah tercatat rapi di benaknya.
"Ia berhak mendapatkan itu," tukas Shippou.
Kagome mengalihkan pandangannya ke Rin lalu mengambil tempat duduk yang ditunjuk oleh gadis kecil itu. "Apakah kau menyukainya, Rin-chan?" Ramen instan yang ia bawa kali ini tidak berkuah, selain bumbu dan sayuran, ditambahkan pula mayonaise dan mustard, menjadikan teksturnya lebih creamy dan rasanya lebih gurih.
Sekilas, gadis yatim piatu itu melirik cup yang dipegangnya sebelum menatap miko muda itu. "Aku sangat menyukainya, Kagome nee-chan." Rin tersenyum hingga matanya hampir terlihat seperti terpejam.
"Syukurlah," ia tersenyum lembut. "Yang ini adalah kesukaan Souta," imbuh Kagome.
"Souta adalah adik laki-laki Kagome, Rin," terang Shippou.
"Benarkah?" tanya Rin, yang ditanya menjawab dengan sebuah anggukan.
Dengan sedikit terbata-bata, Rin menyebutkan nama merk yang cukup panjang. "Ini tidak kalah lezat dari Oishi!"
"Aku sangat bangga padamu, Rin-chan. Kau telah menguasai banyak kata yang tergolong sukar." Shippou mengangguk, mengamini perkataan Kagome sambil terus memutar lolipop yang ada di dalam mulutnya.
"Hai! Itu berkat Kagome nee-chan,"
Bayangan Rin dan Shippou berada di rumahnya, di zaman modern tergambar jelas di kepalanya. Miko itu tidak dapat menahan diri untuk tidak merangkul Rin, tanpa berpikir lagi, ia berkata, "andai kau bisa ikut ke rumahku, Rin-chan. Dan tentu saja kau juga, Shippou-chan," tambahnya sambil menarik kitsune kecil itu dalam pelukan. Ia yakin, hal yang akan menarik perhatian ibunya saat bertemu dengan Shippou pertama kali pasti ekor dan kaki mungil rubahnya itu. Kagome mengikik geli, menertawakan ekspresi takjub sang ibu dalam imajinasinya.
Dengan keluguannya, lagi-lagi Rin bertanya, "Memangnya, dimana rumah Kagome nee-chan?"
Gadis masa depan itu melepas pelukan, tawanya mereda. Kagome menggigit bibir bawahnya, sesaat ia bertukar pandang dengan Shippou yang kembali duduk di tempatnya semula, keraguan menguasainya. Kedekatannya dengan Rin memang membuat Kagome merasa bahwa gadis kecil itu berhak untuk mengetahui asalnya, tapi tidak sekarang. Mungkin suatu saat nanti bila Naraku telah terkalahkan.
Melihat perubahan di wajah gadis yang lebih tua darinya itu ,Rin bangun dari duduknya. Dengan lututnya, ia bergerak mendekati Kagome sambil tersenyum lebar. Setelah berhadap-hadapan, kedua tangan mungilnya ia letakkan di kedua bahu sang miko, kemudian, ia mendekatkan wajahnya. Kagome memejamkan mata saat pipi kanan mereka bersentuhan. Dengan ujung hidungnya, Rin membelai pipi Kagome, dengan lambat, naik, lalu turun, terus seperti itu untuk beberapa kali. Tidak dalam tempo lama, tawa kecil kembali meluncur dari bibir Shikon miko itu.
Tanpa sepengetahuan Kagome dan Rin, kepala Sesshoumaru berputar untuk menatap keduanya. Tak lagi ia mencuri pandang melalui sudut mata saat Rin menggunakan cara memohon sekaligus simbol kedekatan sebagai keluarga: Sebuah bahasa tubuh yang para inu lakukan, dan cara yang tanpa sengaja ia ajarkan.
Disela tawa kecilnya, gadis bersurai kelam itu bertanya, "Rin? Apa yang sedang kau lakukan?" Pada waktu itu, keduanya tidak menyadari perhatian sang Daiyoukai yang tertuju hanya pada mereka.
"Itu adalah bahasa primal para inu," sahut Shippou yang langsung menyumpal mulut mungilnya dengan lolipop ketika menyadari sosok Sesshoumaru yang tak jauh darinya memandang mereka dengan tatapan yang tak dapat digolongkan ke dalam tatapan mengerikan maupun terpana.
"Hm," gadis kecil itu menyahut, lantas melancarkan bujukan dengan bentuk lain. "Ceritakan keadaan disana, kumohon." Rin menarik diri, sorot mata bulatnya yang besar tepat mengenai titik lemah sang miko.
Sesshoumaru pun berpaling.
"Eto ... " gadis itu menggaruk pipinya yang tidak gatal, pancaran kepolosan dari mata Rin tak jua berkurang. Pada akhirnya, Kagome yang telah luluh pun menyerah, "baiklah." Kata mereka, akan lebih baik mengutarakan kebohongan dengan setengah kejujuran, ya kan? Dan itulah yang ia lakukan, "tempat tinggalku sangat jauh dari sini." Tentu saja jauh dalam hal waktu.
Diam-diam, Sesshoumaru menyimak perkataan Kagome. Dibenaknya, kata-kata Inuyasha kembali terngiang. 'Jangan berpikir kau bisa memilikinya. Dia tidak berasal dari sini, tidak dari zaman ini.'
Kagome menimbang-nimbang sebentar sebelum kembali menerangkan, "Penduduknya padat, jadi sedikit terasa sesak, tidak seperti disini."
"Yang mana yang lebih kau sukai, Nee-chan?"
"Hm, itu pertanyaan sulit, Rin-chan," ia berhenti sejenak. "Disana tempat aku dilahirkan, dibesarkan, tempat ibu, adik, dan kakekku berada, juga teman-temanku. Sedangkan ditempat yang luar biasa indah ini, ada kewajiban yang harus kupenuhi dan keluarga kedua yang tak bisa kulepaskan." Nada suaranya berubah sedikit sendu, "aku harap aku akan bisa terus berada di sini, Rin-chan, karena aku yakin aku tidak akan bisa memilih."
Pemilik Tenseiga itu tertegun. Perbedaan era, tempat yang jauh, pakaian aneh yang ia kenakan, bahasa dan kata-kata yang sesekali terdengar asing membuat keberadaan gadis itu seperti salah tempat. 'Darimanakah ia berasal?' Terlepas dari pertanyaan dibenaknya, Sesshoumaru berkata datar, "maka tetaplah disini."
Suara baritone itu memecah perhatiannya, Kagome menatap si pemilik suara dengan heran, tak menyangka bahwa Sesshoumaru mendengarkan, dan tentu saja ia tidak menduga apa yang Daiyoukai itu ucapkan dapat membesarkan hatinya. Entah mengapa, dadanya terasa penuh oleh buih-buih perasaan yang hangat. Yang ditatap tak lama menoleh untuk menatap balik. Bagai menatap langsung matahari, safir keemasan Sesshoumaru terasa menyengat. Tak kuasa menahan lebih lama lagi, gadis kuil itu menurunkan pandangan pada Rin yang sekarang sudah berada di pangkuannya.
Kala itu, samar dan terkesan jauh, sebuah senandung merdu di antara irama detak jantung pun terdengar.
~.
Perjalanan mereka berlanjut. Beberapa jam telah berlalu, berlatar belakang jingga langit senja. Aura memurnikan semakin terasa kuat, tanda bahwa mereka semakin dekat ke gunung Hakurei; sebuah tempat yang sangat suci, tempat yang dapat membersihkan dosa para penjahat terkejam sekalipun. Semua petunjuk yang mereka miliki tentang Naraku mengarah ke area gunung itu. Dan mereka yakin, entah dengan cara apa, hanyou laba-laba itu ada hubungannya dengan kekkai yang terpasang. Terdengar mustahil memang, tapi itulah kesimpulan yang dibawa oleh rangkaian fakta yang telah mereka dapatkan.
Kewaspadaan kembali terpancang tatkala Inuyasha dan Sesshoumaru mencium bau tulang dan tanah kuburan, anggota shincinintai!
Dengan mantap Kagome mengumumkan, "aku dapat merasakan pecahan Shikon no tama!"
"Kohaku kah?" Sango bertanya.
Kagome menggeleng, "um, tidak, yang ini terasa berbeda."
Kirara meraung, tubuhnya sudah berubah puluhan kali lipat dari aslinya, Sango dan Miroku beserta Shippou naik ke atas punggungnya.
"Rin." Hanya dengan satu kata dan nada yang hampir terdengar tanpa emosi, Jaken dan gadis yang disebut segera paham dengan maksud Sesshoumaru. Mereka mundur ke barisan paling belakang, ditempat yang aman dari apapun yang akan terjadi.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Inuyasha berlutut, "ayo kita kejar para bajingan Shincinintai, dengan itu kita akan semakin dekat dengan Naraku."
Sang miko mengangguk sebelum naik ke punggung sahabatnya, dalam hitungan detik, alam di sekeliling gadis itu sudah berubah menjadi kelebatan warna yang buram karena kecepatan yang ditempuh pemuda bersurai putih itu. Saat mereka melesat diantara rimbunnya cabang-cabang yang menjuntai, Kagome berkata, "Inuyasha, ada yang aneh."
"Ada apa?" Nadanya tak sabar.
"Pecahan Shikon no tama itu, terasa murni."
Mereka berhenti tepat di depan seorang pria yang sedang berlutut dan memetik beberapa tumbuhan dibantu oleh dua anak lelaki kecil. Tidak ada baju besi maupun senjata di tubuhnya, ia berpakaian layaknya warga desa biasa. Dari wajahnya pun pria itu terkesan tidak terbiasa dengan kekerasan.
"Pria itu," gumam Kagome.
"Baunya, tidak salah lagi." Tanpa basa-basi, Inuyasha melabraknya sedetik setelah kaki Kagome menjejak tanah; tangan penuh cakar itu merenggut bagian leher haori pria yang dicurigai sebagai anggota shincinintai, sedangkan tangan yang lainnya sudah menggenggam Tessaiga yang sudah bertransformasi. "Cepat katakan dimana persembunyian Naraku berada, bila tidak, kubunuh kau!" ancamnya.
Pria itu pucat pasi, ia menoleh pada dua anak kecil yang menemaninya dan berteriak panik, "Cepat pergi dari sini!" Kemudian, dengan jantan ia kembali memandang si pengancam bersurai silver. "A-aku tidak tahu apa yang kau maksud," jawabnya dengan tergagap.
"Jangan pura-pura bodoh!" Sebuah tinju yang Inuyasha layangkan membuat pria itu terjerembab ke tanah dengan bunyi bedebam yang cukup keras.
Hanya berselang beberapa menit, munculah dua orang pria paruh baya dan seorang kakek tua, ketiganya memanggul tas anyaman yang berisi tanaman yang dapat digunakan sebagai obat. Dengan mulut yang menganga mereka berlari untuk menolong pria itu, "Suikotsu-sama!?"
Salah satu pria itu bertanya dengan kecemasan yang tulus, "Sensei, apakah kau tidak apa-apa?" Suikotsu menggumamkan jawaban menenangkan sambil bangkit berdiri.
"Mononoke," ucap sang kakek dengan suara yang goyah.
"Keh."
Sedangkan yang lain tanpa takut memposisikan diri di depan pria yang disebut sebagai sensei atau dokter itu lalu bertanya dengan galak, "Apa yang kalian lakukan padanya?" tanya pria paruh baya sambil mengacungkan sebuah pisau kecil yang hanya dapat digunakan untuk memotong akar tanaman.
Suaranya penuh desakan tatkala Inuyasha setengah berteriak, "Kagome, cepat katakan dimana letak pecahan Shikon no Tama yang ada di tubuhnya!"
"Inuyasha, jangan sakiti pria itu!" nada Kagome tegas.
Walau pelik, Sango dan Miroku berusaha keras untuk memahami apa yang terjadi, Kagome mendeteksi pecahan bola empat arwah di tubuh pria itu, pecahan yang tak ternodai. Dan Inuyasha pun dapat mencium bau yang sama dari pria itu dengan mereka yang menamakan diri Shincinintai, bau tak mengenakan tulang dan tanah kuburan. Itu berarti, sudah dapat dipastikan bahwa pria itu adalah mayat hidup yang dibangkitkan dengan pecahan bola empat arwah. Namun, bila benar seperti itu, tidakkah pecahan Shikon no tama akan ternodai? Karena, amat sangat mustahil pecahan bola sial itu dapat tetap murni tanpa setitik pun noda bila digunakan, tak peduli itu oleh youkai maupun seorang manusia.
"Inuyasha, sepertinya ia bukan salah satu dari mereka. Kepingan Shikon yang ada di tubuhnya benar-benar murni." Kali ini, nada Kagome mendesak.
Suara Sesshoumaru terdengar acuh tak acuh ketika menengahi, "manusia itu tidak berbohong. Dia tidak mengetahui keberadaan Naraku."
Tesssaiga telah kembali ke sarungnya namun tangan Inuyasha terangkat, cakar-cakar tajamnya yang terlihat mematikan sudah terarah pada sang dokter. "Keh, tetap saja pecahan itu harus kuambil darinya."
Melihat ancaman yang lagi-lagi datang, Suikotsu bergerak ke depan, menghalangi agar tidak ada pukulan yang menghantam ketiga pria yang berusaha melindunginya. Inuyasha sudah kembali melangkah, tangan terkepal, siap menyarangkan tinju yang kedua ketika ...
"Inuyasha! Osuwari!"
Bunyi benturan terdengar kuat. Lagi-lagi, di hari itu Inuyasha dipaksa untuk memakan tanah.
"Kumohon, cepat pergilah," pinta Kagome.
Pria bernama Suikotsu itu mengangguk sekilas, lantas dengan susah payah mengajak warga desa yang membelanya untuk meninggalkan seorang hanyou yang murka.
Nadanya jauh dari kata lembut saat Inuyasha bertanya, "Apa yang kau lakukan?!"
"Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan." Gadis modern itu menghela napas, diam-diam membenci diri sendiri, betapa banyak 'osuwari' yang telah diucapkannya di hari itu. "Tidak mungkin aku membiarkanmu membunuhnya begitu saja!"
Inuyasha meresponsnya dengan geraman. Bila ada satu yang tak ia sukai dari bergabungnya Sesshoumaru dengan gerombolan mereka adalah saat-saat seperti ini, saat ia tunduk oleh Kagome karena mantra menyebalkan yang disematkan padanya di depan youkai dingin sombong seperti kakaknya yang sekarang sudah melengos pergi.
"Sial, kau membuat salah satu bajingan Shincinintai itu kabur!" gerutu Inuyasha. Setelah efek mantra itu mereda sang hanyou dengan cepat berdiri di atas kedua kakinya, "dasar pengkhianat!"
Bila mungkin terjadi, pasti kepala Kagome sudah mengeluarkan asap panas karena amarahnya yang mulai menebal. "Sudah kubilang berhenti memanggilku seperti itu!"
"Maka berhenti menggunakan mantra itu!" Teriak Inuyasha.
Tak mau kalah, Kagome meninggikan suara, "kata itu tidak akan keluar dari mulutku bila kau mau berhenti menjadi hanyou keras kepala setiap saat!"
Frustasi karena posisinya yang selalu terlihat salah, Inuyasha berkata tanpa berpikir panjang, "aku hanya ingin segera membalas perbuatan mereka setelah salah satu dari mereka membuat kau dan yang lainnya hampir saja ... " kata-katanya tak terselesaikan.
Apa yang meluncur dari mulut sang hanyou bukan hanya alasan, tapi kebenaran, ada ketulusan dibalik sikap kasarnya. Dan itu membuat Kagome merendahkan suara juga emosinya saat berucap, "tidak mungkin orang-orang itu membelanya bila ia adalah anggota Shincinintai, Inuyasha."
"Apa kau bodoh, hah? Pria itu mayat hidup! Bila tidak karena pecahan Shikon no tama ia hanyalah tulang-belulang. Tidak ada yang lain selain kelicikan Naraku yang mau menghidupkan bangkai demi memuluskan tujuan. Lagipula, bagaimana mungkin aku membunuh orang yang memang sudah mati!?"
"Begitupun Kohaku," timpal Sango.
Inuyasha mendengus, "itu berbeda."
"Sama seperti pria itu, Kohaku juga mayat hidup."
"Keh," Inuyasha mengerti pertanyaan Sango yang tak terucapkan, 'apakah kau juga akan langsung mengambil pecahan Shikon yang memperpanjang hidup Kohaku?'
Dengan segala ketenangan yang dimiliki, Miroku menyela ketiganya, "Kupikir, bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan?" Semua sorot mata tertuju padanya, "aku yakin, bila pria itu adalah salah satu dari mereka yang menamakan diri Shincinintai maka, kita pasti akan bertemu lagi dengannya. Dan kuharap, saat itu tiba, kita sudah tahu apa yang harus kita lakukan padanya."
Karena tidak ada solusi yang terdengar lebih masuk akal dari itu, tanpa banyak perdebatan mereka kembali menelusuri isi hutan.
Sialnya, apa yang Miroku ucapkan menjadi kenyataan. Beberapa puluh menit kemudian, rombongan itu tahu persis apa yang harus mereka lakukan nanti, saat berhadapan lagi dengan Suikotsu.
Mereka tiba di desa yang telah porak poranda karena bau asap dan darah yang dicium oleh Inuyasha. Potongan tangan menyambut mereka di pelataran desa, napas para manusia yang berada di rombongan tercekat dan perut mereka diaduk-aduk oleh rasa mual yang hebat tatkala satu-persatu kekejian terkuak. Kagome bersyukur Rin yang menunggu di pembukaan hutan tidak menyaksikan pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya, kepala yang terpenggal, isi perut yang berhamburan, juga darah yang bergelimpangan tentu saja bukan pemandangan yang bagus untuk mental seorang anak kecil.
"Dilihat dari luka, kemungkinan besar bentuk senjata yang digunakan sama, sepertinya hanya ada satu orang pelaku," ucap Miroku dengan penuh pemikiran.
Yang lainnya terdiam mengiyakan, tak terkecuali Sesshoumaru, semuanya setuju dengan pendapat sang biksu. Rombongan itu menelusuri sisa apa yang tadinya disebut sebagai desa. Rintih kesengsaraan membuat langkah mereka berhenti sejenak untuk mendekati asal suara. Suara itu berasal dari salah satu warga yang telungkup di sisi jalan. Secara perlahan dan hati-hati tubuh itu dibalik, suara terkesiap keluar dari kedua wanita kala mereka mengenali pria sekarat itu. Orang itu adalah satu dari dua pria yang beberapa waktu lalu mencoba membela Suikotsu di hutan!
Lengan baju Kagome dicengkram kuat oleh tangan yang penuh darah, mata hitam pria itu terlihat penuh rasa takut dan keputusasaan. Mulut Kagome sudah terbuka tapi tak ada suara yang terselip keluar, otaknya tak dapat diajak berpikir saat apa yang ada dihadapannya membuat hatinya remuk-redam, pertanyaan 'apakah anda tidak apa-apa?' sangatlah tidak pantas diajukan pada ia yang di ambang maut, karena itulah ia bungkam.
"Siapa yang melakukan ini?" sang Daiyoukai membuka suara.
"Do-dokter Suikotsu." Napas orang itu pendek-pendek, ada perjuangan sekuat tenaga disetiap kata yang dikeluarkannya. "Bersama seorang Shincinintai, i-ia, seluruh de ... sa." Pada akhirnya, napas terakhir telah terhembus di akhir kalimat. Pria itu meregang nyawa dihadapan mereka.
Tak pelak lagi, pembantaian besar-besaran di tempat itu membuat satu miko tertentu tertelan gelombang pasang penyesalan. Lebih dari sekedar terpukul akan kenyataan, ia merasa ikut bersalah atas kemalangan yang menimpa para penduduk desa.
_____
Malam kian larut, sang gadis penembus lorong waktu dan inu hanyou duduk bersebelahan, di depan mereka api unggun meliukkan tarian kehangatan di tengah embusan angin malam yang dingin. Tak jauh dari mereka, Sango dan Miroku sudah berada di posisi tidur nyaman masing-masing, begitupun Rin, Shippou, dan Kirara.
Ragu-ragu Inuyasha memulai, "Kagome."
"Inuyasha, maafkan aku."
Lagi-lagi nama gadis itu digumamkan oleh sang hanyou yang terkejut, "Ka-go..." permintaan maaf yang sudah ia persiapkan kembali tenggelam. Dan itu berarti baik dan buruk disaat yang bersamaan. Baik, karena ia bukanlah tipe laki-laki yang pintar dengan kata-kata, dan buruk sebab ia merasa menjadi pecundang.
Iris biru keabu-abuan itu menatap lurus emas milik Inuyasha. Bagaimanapun juga, ia masih sangat menyayangi laki-laki itu, walau tidak lagi sebagai calon pasangan, ikatan persahabatan kuat diantara mereka tidak akan dapat terputus begitu saja. Kagome masih ingin melihat Inuyasha sering tersenyum. Kebahagiaan laki-laki itu tetap menjadi harapannya. "Aku tahu niat kau baik, dan tidak seharusnya aku ... "
Inuyasha memotong kata-katanya, "keh, aku memang pantas mendapatkannya."
Kecanggungan yang tertera di wajah sahabatnya itu membuat Kagome tersenyum, "kejadian siang tadi kau memang pantas mendapatkannya, tapi tidak saat kita mengejar Suikotsu, maaf."
"Dia tidak akan dapat melarikan diri untuk kedua kalinya saat kita bertemu dengannya lagi," koarnya dengan kepercayaan diri penuh, tipikal Inuyasha.
Senyum Kagome melebar, terlepas dari masa lalunya yang menyayat hati, Inuyasha tumbuh menjadi pribadi yang selalu optimis saat berhadapan dengan musuh. Bahkan saat keadaan terburuk sekalipun, ia selalu membuat semangat orang di sekelilingnya melambung tinggi. Bila bersama pemuda itu, rasanya, tidak ada aral yang terlalu melintang atau rintangan yang terlalu tinggi menghadang. "Arigatou , Inuyasha," ucap Kagome sepenuh hati. Mereka bertukar pandang untuk sekejap sebelum kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Agak lama mereka duduk berdampingan dalam kesunyian, hanya bunyi ranting kayu yang berkeretak dilahap api dan nyanyian jangkriklah yang melantun di udara. Diam-diam, dengan sudut mata Inuyasha memandang Kagome yang memaku pandangan pada api unggun. Gadis itu memiliki tempat tersendiri di hatinya, tempat yang bahkan tak dapat diisi oleh Kikyo. Kagome mengajarkannya untuk menjalin persahabatan dan banyak hal lainnya. Entah apa artinya itu ia tak mengerti, yang ia tahu adalah, ia sangat menyayangi gadis itu dan tidak mau hal buruk terjadi padanya.
Keinginan Inuyasha untuk sahabatnya itu sangat sederhana, hidup normal dan bahagia. Karena itu ia berusaha keras menjauhkan Sesshoumaru dari Kagome, walau Inuyasha tahu persis seorang inu youkai yang menjejak di titik kedewasaan tidak akan dapat mundur begitu saja dari jalang betina yang ia pilih untuk ditundukkan. Seperti apa yang pernah Myoga-jiji katakan, tidak penolakan maupun hal apapun yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mundur, ego para inu yang tinggi dan adat yang berkaitanlah yang membuat aturan itu berlaku. Lagipula, ia juga tahu bila si brengsek itu sudah menentukan sesuatu untuk diincar, hingga ke ujung dunia pun hal itu akan terus dikejarnya. Si wajah tembok itu tidak akan berhenti, tidak sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan.
Kepalanya sibuk mengulas ulang kejadian di satu hari yang lalu, pertanyaan 'apakah yang dilakukannya itu salah?' tak terhindarkan. Mengapa ia tidak membiarkan semua berjalan sebagaimana adanya? Sebab, diluar semua sifat buruk Sesshoumaru, Inuyasha pun tahu dengan pasti bahwa youkai paling angkuh yang ia kenal itu juga sangat protektif pada apa yang ia miliki. Bila suatu saat ia harus merelakan Kagome pada seseorang, tidakkah kandidat yang paling dapat dipercayai itu kakaknya? Sebab, dari semua pria yang dikenalnya, hanya Sesshoumaru yang pasti sanggup melindungi Kagome.
Hanya dengan memikirkan hal seperti itu membuat kepalanya berdenyut hebat, hal-hal yang berbau hubungan romansa memang tidak pernah menjadi keahliannya. Tapi sakit di kepalanya itu bukan tanpa hasil, ia sudah menetapkan keputusan. Ia akan melakukan apa yang pernah Kagome lakukan untuknya, tetap berada di sisinya sebagai sahabat tanpa berusaha menentukan mana yang baik maupun buruk untuknya. Ia akan membiarkan Sesshoumaru mendekatinya, tapi ia akan selalu ada untuk Kagome, menjaganya. Terlebih lagi bila gadis itu butuh orang untuk menghajar si keparat sombong itu, dengan senang hati ia akan melakukannya.
Pertanyaan lain muncul dibenaknya, perlukah Kagome mengetahui fakta tentang Sesshoumaru yang baru ia ketahui kemarin malam dari dirinya? Belum sempat jawaban diraihnya, sang hanyou menyadari bahwa Kagome sedang menatapnya dengan seulas senyum, tipe senyum manis sepenuh hati yang selalu Kagome gunakan saat berterima kasih. "Ada apa?" tanyanya galak untuk menutupi wajahnya yang pasti sudah merona.
Masih dengan senyum yang mengembang, gadis itu hanya menggeleng kecil.
"Cepat pergi tidur sana!" Perintahnya dengan kasar, seperti biasa. Inuyasha memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan satu sudut bibirnya yang terangkat. "Manusia lemah yang kurang istirahat tidak akan berguna dalam pertempuran besok."
Kagome tertawa, menyadari pola yang terulang untuk ratusan kalinya, Inuyasha selalu menutupi kepeduliannya pada orang lain dengan kata-kata dan sifatnya yang 'tidak biasa'.
Setelah tawanya terhenti, gadis itu mengangguk. "Aku ingin menikmati langit malam sebentar lagi."
Kedua telinga berbentuk segitiga di puncak kepalanya berkedut-kedut dan miring ke arah kanan diikuti dengan gerakan bola matanya sebentar sebelum kembali ke tempat semula. 'Si breng-, tch, Sesshoumaru.' Inuyasha mengangguk menggumamkan kata yang tak terdengar jelas, lantas beranjak pergi ke cabang pohon ternyaman yang ia temui diluar jangkauan penglihatan Kagome.
Senyum kecil si sulung Higurashi hanya bertahan sejenak sebelum memudar. Masalah dengan teman hanyou-nya memang telah terselesaikan, tidak ada lagi kesalahpahaman, mereka saling memaafkan, dan hatinya menjadi sedikit lebih ringan. Namun celakanya, kelegaan itu tak jua menghapus perasaan kelam yang memberatkan hatinya saat ini.
Setelah beberapa menit berlalu, Kagome bangkit dari duduknya. Hanya berjalan beberapa langkah, kini ia sudah berlutut di samping kantong tidur tempat kitsune dan gadis kecil be-kimono jingga itu terlelap dengan nyaman. Tangan Rin yang terjulur keluar dari kantong tidur masih menggenggam buku dongeng yang ia berikan. Sang miko mengambil buku itu, kemudian, ia duduk di atas akar pohon besar yang menyembul dari tanah. Akar yang memanjang itu cukup besar sehingga memuat tiga orang dewasa duduk berjejer di atasnya dengan cukup nyaman.
Dari auranya, Kagome menyadari kedatangan Sesshoumaru. Tanpa perlu mengangkat kepala, ia tahu sang Daiyoukai berdiri tak jauh darinya. Tak lama, gadis itu bermonolog sambil membolak-balik halaman buku tanpa membacanya, ia sudah sangat hafal dengan urutan kisah yang ada dan isinya. "Rin sangat menyukai buku ini, khususnya cerita tentang seorang putri duyung," katanya dengan suara pelan.
Sesshoumaru yang sudah duduk disampingnya mendengarkan, tanpa Kagome sadari ia mengerti apa yang diceritakan oleh gadis itu. Selain karena rasa penasarannya, pendengaran inu-nya terlalu hebat untuk tidak menangkap cerita yang dibacakan untuk Rin oleh suara lembut yang baru-baru ini menjadi musik di telinganya.
"Walau beberapa dari cerita yang ada berakhir tragis," kedua alis gadis itu berkerut pada kata terakhir yang ia ucapkan. Menukar sirip dengan kaki, mengorbankan kemampuan berbicara agar dapat berdekatan dengan sang pangeran. Pada akhirnya, semua pengorbanan gadis cantik itu sia-sia dan ia hanya menjadi buih di lautan.
"Mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain," nada pria itu tidak mencemooh, tapi dingin.
"Kau mengetahui cerita itu!" suara Kagome saat itu campuran antara kagum dan terkejut.
"Seperti yang kau katakan, Rin sangat menyukainya," jawab pria itu datar. "Dan kau, Miko, memposisikan dirimu seperti wanita yang ada di cerita itu." Pernyataan itu membuat kepala Kagome berputar untuk menatapnya tepat di mata tapi, Sesshoumaru sedang menjatuhkan pandangan pada Rin yang meringkuk.
Bukan kali pertama Sesshoumaru menyinggung hubungan antara ia, Inuyasha, dan Kikyo. Gadis itu tertawa kikuk. Setelah tawanya lenyap, ia yang menatap bara sisa api unggun lantas berkata, "Entahlah," Kagome mengangkat bahunya sebagai tanda ketidakpastian. "Mungkin saja aku akan melakukan hal yang sama, berkorban demi kebahagiaannya. Ia sudah terlalu banyak menderita, Inuyasha pantas untuk bahagia." Ia mengatakannya dengan santai, seperti halnya sedang mengomentari cuaca yang indah.
Sebuah emosi asing kini menguasai celah di hati Sesshoumaru. Namun, seluruh Wilayah Barat yang dikuasainya akan terbelah menjadi dua dan terbenam ke samudra paling dalam bila ia mau mengakui bahwa ia iri pada hanyou seperti Inuyasha.
Agak lama mereka membisu dan membiarkan malam melantangkan simfoninya.
Buku kumpulan dongeng itu hampir saja jatuh dari pangkuannya, dalam waktu yang tepat, Kagome menangkapnya. Sebuah gambar yang sangat ia sukai terlihat di halaman yang terbentang, seulas senyum terpahat di wajahnya. Lima sosok yang tertangkap di gambar itu hanya siluet, berlatar belakang sinar keperakan bulan penuh di malam hari, seorang anak laki-laki, seorang gadis, dan dua anak laki-laki yang lebih kecil terbang melayang diiringi oleh peri mungil.
Mengesampingkan petualangannya sendiri yang layaknya sebuah dongeng-jadi-nyata, Kagome bertutur, "Seluruh cerita itu menakjubkan, tapi yang paling aku suka adalah kisah ini." Sesshoumaru menggerakan sedikit kepalanya untuk melihat halaman yang dimaksud.
"Cerita ini tentang seorang anak bernama Peter Pan yang bersahabat dengan peri kecil dan anak-anak yang hilang. Dengan sedikit debu peri dan kepercayaan di dalam hati, mereka terbang melayang di pulau mistis indah yang bernama Neverland, sebuah tempat yang menjadikan mereka anak kecil selamanya, tidak pernah tua!" ketakjuban mengisi suara halusnya.
Senyum mengembang di wajah manis Kagome, "Dulu aku sering berkhayal menjadi Wendy di cerita itu, gadis dari dunia nyata yang di ajak Peter Pan ke Neverland. Bermain sepanjang hari dan bisa terbang pasti menyenangkan, walau sesekali mereka harus bertarung dengan bajak laut yang menyebalkan."
Matanya terus tertuju pada buku itu, sudut-sudut bibir Kagome masih tertarik keatas saat ia menambahkan. "Tetapi, bila sekarang kupikirkan lagi ... " Suaranya berubah murung di akhir kalimat. "Ketika petualangan mereka usai dan keduanya kembali ke kehidupan masing-masing, Peter Pan pasti sangat kesepian." Secara mendadak kepiluan menyergapnya, gadis dari masa depan itu mendongakkan kepalanya, memandang cahaya keperakan sang lunar yang indah.
Perhatian Sesshoumaru kembali tertuju ke gambar yang ada di buku itu sebelum beralih ke wajah Kagome yang menengadah menatap rembulan. Dongeng-dongeng yang gadis itu ceritakan memang asing di telinganya tapi, bukan baru kali ini ia mendengar cerita semacam itu. Dahulu, ia pernah mendengarkan kisah yang dibacakan sambil memeluk mokomoko sang ibu yang lembut, bergelung di futon besar yang nyaman, menunggu sang ayah pulang dari pertempuran. Masa kecilnya.
Dan saat ini, pemandangan yang terpampang di sampingnya membawanya ke masa-masa itu; Seorang gadis yang salah tempat. Miko dari era lain. Putri dan bulan. Seorang wanita yang menatap bulan dengan pandangan sedih. Dia menghitung hari. Dia hendak pergi!
Rasa berdosa itu mulai menjalar lagi di hati Kagome, benang-benang mimpi buruk akan rasa bersalah mulai terajut kuat lalu mengikatnya. Ikatan itu melilit erat, membuat napasnya tersedak oleh tangis yang mendesak. Pertengkarannya yang telah tuntas dengan Inuyasha dan perbincangan ringannya dengan Sesshoumaru hanya membuatnya lupa sementara namun, sesak itu masih ada. Kagome menghela napas dan memandang wajah lelap Rin dan Shippou yang terlihat bak malaikat kecil penawar duka.
"Wajah mereka terlihat begitu damai," ia tersenyum, tapi tak lama sudut-sudut bibirnya tertarik ke bawah saat tiga kata yang kan terucap menohok hatinya. "Murni, tanpa dosa."
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Miko," nada Sesshoumaru tidak bertanya.
Kagome menggelengkan kepalanya kuat-kuat sebelum tertawa. "Eto, tidak, itu ... bukan apa-apa," tawa kecilnya terkesan kaku, canggung, dan palsu.
"Tidak ada yang perlu kau sesali."
"Ba-bagaimana ... " Kedua alis miko muda itu bertautan.
"Sesshoumaru ini mengetahuinya?" pria itu malah balik bertanya.
Berbagai macam perasaan yang berbaur membuat gadis itu meledak. "Aku tidak peduli bagaimana kau mengetahuinya, bila kau berkata tidak ada yang perlu kusesali kau salah, Sesshoumaru. Tentu saja ada yang hal yang disesali oleh semua makhluk yang memiliki akal." Protesnya sambil bangkit berdiri. Kalimat Kagome berikutnya terdengar persis seperti yang sebelumnya, perpaduan antara amarah dan kesedihan. "Karena aku, mereka ... "
Serentetan bayangan akan mayat anak kecil yang mengenaskan silih berganti di benaknya, wajahnya meringis seperti menahan sakit, tangan kirinya menggenggam erat buku itu hingga buku-buku jarinya memutih. "Andai saja aku tidak menghalangi Inuyasha, anak-anak itu, para penduduk itu, semuanya pasti masih hidup saat ini."
Sebuah kenyataan pahit, merasa turut andil dalam pembantaian mereka yang tak berdosa sudah tentu menyiksa Kagome. "Aku membunuh mereka ... " Tapi lebih menyakitkan lagi mengungkapkannya secara verbal, rongga hidungnya mulai tersengat, dan matanya mulai tergenang air mata.
'Bagaimana mungkin ia menyalahkan dirinya sendiri?' Dengan gerakan anggun, Sesshoumaru ikut bangkit dari duduknya, kini mereka berdiri berhadapan. Dengan seluruh ketenangan dan kewibawaan yang dimilikinya, ia berujar, "bila ada yang patut disalahkan, itu adalah Inuyasha." Ia menatap lurus dua manik biru sendu itu, dengan bijaksana, ia berkata lagi. "Jika ia dapat menggunakan otaknya sebelum bertindak, sudah dapat dipastikan anggota Shincinintai itu dapat diajak berbicara secara baik-baik."
Berbagai macam penyangkalan yang bermunculan dibenak gadis itu sudah berada di penghujung lidah, tapi tertunda, apa yang Sesshoumaru katakan sangat terdengar masuk akal untuknya, tapi tetap saja ia menolak dengan tegas. "Tidak! Inuyasha sama sekali tidak bersalah. Bisa saja pembantaian itu masih akan terjadi meski Inuyasha ... "
'Lalu, apa yang akan mencegah hal itu terjadi? Mungkin tidak ada. Mungkin itu sudah takdir yang tersurat.' Selain itu, Kagome juga sadar bahwa ia takkan mampu untuk membiarkan Inuyasha merenggut paksa hidup kedua Suikotsu, tidak saat pecahan Shikon no tama yang tertanam di tubuh pria itu terasa murni, dan tidak pula saat ia memandang seluruh kehidupan itu sebagai sesuatu yang sakral.
"Hnn." Sang Daiyoukai mengangguk. "Pada akhirnya kau mengerti bahwa tidak ada yang dapat dipersalahkan."
Butuh waktu beberapa detik lamanya bagi Kagome untuk mengerti bahwa kalimat Sesshoumaru tentang Inuyasha sebelumnya hanyalah pancingan. Kini ia mengerti maksud sebenarnya putra tertua Inu no Taisho itu. Rasa bersalah, berdosa, kengerian, dan segala beban yang menghantui hatinya secara perlahan namun pasti terus berkurang walau belum sepenuhnya menghilang. Sepertinya, kata terima kasih saja tak cukup untuk membalas apa yang telah Sesshoumaru lakukan.
Pria itu melanjutkan, "Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk membebani diri sendiri dengan sesuatu yang tidak perlu, musuh baru telah muncul."
Keluar dari lamunannya, Kagome memperhatikan benar-benar apa yang Sesshoumaru utarakan,"Shincinintai hanyalah rintangan kecil yang disediakan Naraku untuk menyambut kedatangan kita agar ia memiliki waktu untuk memulihkan kekuatan di tempat persembunyiannya. Belum lagi kekkai yang menyelimuti Gunung Hakurei, pelindung yang digunakan kedua anggota pembunuh bayaran itu untuk melarikan diri pun sangat mencurigakan."
Kendati demikian, perhatian gadis itu tak lama sebelum teralihkan pada hal lainnya.
'Kita?' Bila Sesshoumaru yang menyebutkannya, kata itu berubah menjadi spesial dan terdengar menyenangkan untuk Kagome.
Iya, ia kagum pada sang Daiyoukai.
Entah sejak kapan? Itu tak terlalu ia pedulikan.
Makna dari kata-kata Sesshoumaru terdengar kabur, apa yang menjadi titik fokusnya sekarang adalah suara baritone pria bersurai silver itu. Suara beratnya yang hampir selalu terdengar tenang itu terkesan gelap, misterius, dan sangat maskulin.
Dari suara, perhatian sang miko beralih sepenuhnya ke rupa Sesshoumaru. Helaian putih bersih yang membingkai wajahnya berayun-ayun dipermainkan angin malam. Wajah inu youkai yang dingin itu seakan melembut saat tertimpa selapis sinar bulan yang keperakan. Elok.
Sesshoumaru adalah perpaduan yang sangat kontras antara keindahan dan bahaya. Ia sangat menakutkan dan memukau di saat yang bersamaan. Ketenangannya adalah ketajaman otak yang tersembunyi. Diamnya hanya menyembunyikan teknik berkelahi yang efektif dan mematikan.
Lalu, apa yang ada dibalik sikap dinginnya? Pria macam apa sebenarnya Sesshoumaru? Satu yang pasti, sosok yang hanya setapak jauh darinya itu penuh kontradiksi. Sebuah kontradiksi yang begitu mudah membuat jatuh hati.
Bunyi rangkaian denting berubah bentuk menjadi melodi yang indah, melenakan.
'Hentikan!' Kagome memohon dalam putus asa.
Denting yang memancarkan perasaan bahagia itu berbaur dengan senandung merdu yang tadi pagi ia dengar.
'Tidak mungkin.' Elak gadis itu percuma.
Hatinya mengenali alunan itu, alunan yang mengantarkan perasaan bahagia yang dapat membuatnya melayang di angkasa.
'Kumohon, siapapun, hentikan!' pinta benaknya.
Nyanyian sang dewa-dewi cinta merasuk hati Kagome, menembus sukmanya, kemudian bersemayam di inti jiwanya. Lagu cinta itu menggemakan satu kata, yaitu, nama pria yang ada di hadapannya, Sesshoumaru.
'Oh, Kami-sama. A-aku, aku ... aku menyayangi Sesshoumaru!'
"Miko!" panggil Sesshoumaru.
Gadis yang dipanggil akhirnya keluar dari pergolakan batin, ia menatap pria itu dengan mata yang melebar. Rasa takut adalah emosi yang pertama menyergap Kagome. Pertanyaan demi pertanyaan bergiliran memenuhi kepalanya. Tidak cukupkah ia merana karena cintanya pada Inuyasha sehingga ia membutuhkan penderitaan lain? Apa yang Sesshoumaru tuduhkan terbukti benar, ia hanyalah gadis manusia pengundang bahaya yang suka menyakiti dirinya sendiri. Dengan menaruh hati pada sang Daiyoukai adalah bukti kuat bahwa ia masokis sejati. Penglihatannya mulai kabur karena genangan air yang mendadak muncul.
"A-ano, aku harus, istirahat," ucap Kagome terbata-bata sambil membalik badan, dengan punggung tangan, ia mengelap kedua sudut matanya yang basah. Belum sempat kakinya melangkah, pria itu berkata ...
"Harummu."
Kagome terpaku di tempat, ucapan Sesshoumaru yang penuh teka-teki hanya membuat kepalanya terasa hendak pecah.
Tidak ada suara pergerakan, tiba-tiba Sesshoumaru sudah berbisik di telinganya. "Itu adalah jawaban atas pertanyaanmu yang sebelumnya."
Kagome terkesiap tatkala punggungnya dapat merasakan dinginnya armour yang Sesshoumaru kenakan. Hangat napas sang Daiyoukai menggelitik telinganya, membuat jantungnya melonjak ke tingkat kekacauan tertinggi dan tungkai kakinya menjadi lemah. Yang ia lakukan berikutnya adalah memejamkan mata dan menunggu ...
Secara aneh, suara pria itu terdengar lembut, "Biasanya, Sesshoumaru ini hampir bisa mengecap manisnya aroma yang menyeruak dari tubuhmu." Bibirnya yang hangat menyentuh daun telinga Kagome.
Sebagai reaksi berantai atas masuknya sang inu youkai ke gelembung pribadinya, seluruh rambut kecil di tengkuk, tangan, dan kaki gadis itu berdiri tegak. Reiki milik Kagome yang tak terkontrol pun membalur ke seluruh tubuhnya. Tapi, miko ki itu hanya membentuk selapis tipis perlindungan yang tak berarti untuk mencegah putra sang Penguasa Wilayah Barat. Melalui kulit yang bersentuhan, youki dan reiki berbenturan. Meski begitu, kejutan rasa sakit tipis yang menyengat Sesshoumaru tidak membuatnya mundur, tidak setapak pun.
Dengan gerakan lambat, ujung hidungnya menyusuri pipi gadis itu sebelum berhenti di sudut bibir Kagome. Rasa sakit yang seperti lecutan itu tak ia indahkan. Sesshoumaru berkata lagi, "Beberapa saat yang lalu, bau khasmu yang lembut itu ternodai oleh rasa kelat penyesalan dan getir rasa bersalah."
Mulut Kagome sedikit terbuka saat bibir Sesshoumaru bergerak-gerak dengan berbahaya di sudut kanan bibirnya. "Tapi tidak sekarang, harum yang menguar darimu saat ini ... "
Ketika Sesshoumaru berhenti berbicara dan menarik diri, dada Kagome mengempis dengan gerakan yang drastis. Ia sendiri tidak tahu sejak kapan ia menahan napas. Perlahan, ia memutar tubuhnya untuk memandang Sesshoumaru, sorot mata pangeran es itu telah berubah menjadi tatapan lapar sang dewa api, membara dengan sesuatu yang lain selain hasrat membunuh. Mengikuti insting, kaki miko itu melangkah mundur tapi, tangan kanan sang inu youkai yang kokoh melingkari pinggangnya, mencegah ia bergerak lebih jauh lagi.
Walau sekilas, Kagome dapat melihat rahang Sesshoumaru mengeras. Sedetik kemudian, satu-satunya tangan pria itu terlerai dari pinggangnya. "Kau berbahaya, Miko," tuturnya dengan suara yang semakin berat dan dalam. Sebelum ia beranjak pergi, Sesshoumaru berucap, "Dan Sesshoumaru ini jarang berada di dalam bahaya."
Kagome mengakar di tempatnya, dadanya naik-turun dengan sangat kentara, matanya terus menatap lekat hingga punggung pria itu menghilang ditelan kegelapan malam.
~.
Punggungnya kembali bersandar di batang pohon, matanya pun terpejam seperti semula. Tangan bercakar itu menggenggam erat pegangan Tessaiga dengan sangat kuat, sedangkan satu tangan yang lain bersemayam di dadanya yang entah terasa sakit. Sakit yang tak terlihat, sakit yang baru pertama kali ia rasakan di ratusan tahun hidupnya.
'Sial!'
_____
Minna saiko arigatou, maycha13, Fanfic-Inuyasha dan semua reader.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top