Chapter 6 - Emergency
Disclaimer: I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers. And I don't own the songs that I use as prompt, they're belongs to Paramore.
Prompt: Emergency by Paramore.
Warning: Contain spoiler from anime InuYasha episode #104 The Stealthy Poison Master: Mukotsu!
Author's note: Di ending chapter ada adegan yang terinspirasi dari Doujinshi SessKag buatan Youkai Yume yang berjudul 'Raindrops'. Doujinshi SesshouKago yang keren bgt bgt bgt, karena doujinshi itu juga gw jadi ngeship pairing ini. Kalian bisa liat Raindrops Doujinshi di DeviantArt. Selain lagu-lagu Paramore, fanfic ini juga dpt pengaruh besar dari AMV Sesshoumaru/Kagome/Inuyasha dengan lagu 'Just A Little Girl' lagu milik Trading Yesterday. Enough for the rants, hope you all enjoy it.
~.
~.
~.
Dua hari berlalu semenjak kedatangan Kouga, dua hari yang terlalu damai bagi Inuyasha dan Sesshoumaru yang tidak sabar untuk menghabisi Naraku. Gunung yang berdiri pongah menjadi batas pandang mereka, tarian burung Gorsachius goisagi yang sedang mencari makan di padang rumput terbuka memanjakan mata, waktu bagi burung nokturnal berwarna cokelat dengan bercak hitam dan putih itu berkembang biak.
Pemandangan itulah yang menjadi latar belakang Inuyasha dan rombongannya saat berjalan di tepi hutan. Sisi kiri mereka dipagari oleh pepohonan yang besar dengan dedaunan yang lebat, di sisi kanan mereka adalah lembah yang indah. Di kejauhan, penduduk terlihat bertebaran di hektaran sawah yang terbentang. Ketika mereka berada di persimpangan jalan, langkah mereka terhenti sejenak. Selain Sesshoumaru dan Inuyasha, anggota rombongan terpana melihat puluhan prajurit manusia yang dipimpin oleh seorang jenderal bersenjata lengkap melewati mereka.
Bermula dari pertanyaan tentang perang apa yang sedang berlangsung, percakapan Miroku juga Sango dengan ketiga petani yang mereka temui di jalan melebar. Entah bagaimana, cerita tentang perang beralih pada kisah tentang Sinchinintai yang dulu sangat ditakuti di desa itu, tujuh pembunuh bayaran yang menjadi momok penduduk sekitar. Kali ini, desas-desus yang mencekam tentang mereka kembali terdengar saat batu penanda makam ketujuh orang itu terbelah menjadi dua beberapa malam lalu saat wilayah itu dilanda badai. Semenjak itulah, keadaan desa kembali diselubungi aura ketakutan dan ancaman kabut kematian.
Inuyasha menoleh sekilas kepada Miroku, Sango, dan Kagome. Ia berdecak sebelum berkata kepada Sesshoumaru yang berada di depannya, "Oi, Sesshoumaru! Kami harus memeriksanya."
Tanpa menoleh, pria yang dimaksud menjawab, "Sesshoumaru ini akan berjalan lebih dulu," dengan itu, ia berjalan pergi diikuti oleh Jaken yang menarik Ah-Un.
Kagome menatap wajah Rin yang terlihat sedih, dengan berat hati ia melambaikan tangan dan setengah berteriak, "Jaga dirimu, Rin!" Gadis kecil itu mengangguk sambil balas melambai.
Perjalanan mereka berlanjut saat sosok Sesshoumaru dan Ah-Un menghilang di kejauhan. Sedikit memutar untuk mengawasi keadaan, rombongan itu mengambil arah yang berbeda dengan jalan yang diambil oleh kakak Inuyasha. Dengan terpisahnya ia dari Rin, Kagome jadi termenung, otomatis, percakapan antara ia dan Inuyasha beberapa malam yang lalu kembali terulang di kepalanya.
_____
"Aku mendengar apa yang kau katakan tadi pada Sesshoumaru," tidak seperti yang sebelumnya, Inuyasha berbicara dengan tenang dan dapat dengan mantap menatap mata Kagome walau kilat keraguan terpancar dari manik keemasan itu.
"A-aku ... " Kagome berusaha mengangkat wajah, ia mengumpulkan keberanian untuk menerima apapun yang akan dikatakan oleh Inuyasha.
"Maaf, bila aku tidak memikirkan perasaanmu," suara Inuyasha tidak terdengar kasar seperti biasanya.
"Aku mengerti Inuyasha, itu bukan salahmu," ucap Kagome setelah agak lama sang hanyou tidak melanjutkan kata-katanya.
Sesungguhnya, ia benar-benar mengerti posisi Inuyasha saat ini, sejak awal mereka hanyalah teman dan hingga saat ini merekapun hanya dua orang yang berteman sangat dekat. Kata'selingkuh' tidak dapat dimasukkan kedalam hubungan mereka walau Inuyasha pergi ribuan kali menemui Kikyo, cinta pertamanya. Dan kesadaran akan posisinya malah semakin menohok hati Kagome.
"Seharusnya aku mengatakannya sejak dulu kalau aku ..."
"Hm?" hanya itu respons yang dapat gadis itu berikan, karena ia tahu kejujuran pahit dan kenyataan yang tidak menyenangkan sebentar lagi akan diumbar dalam bentuk kata-kata yang akan menghancurkan hati.
"K-kau, aku ..." Inuyasha menghela napas panjang sebelum berkata dengan suara rendah, "aku telah berjanji kepadanya, hidupku adalah miliknya. Setelah Naraku dikalahkan, aku akan ikut bersamanya."
Susah payah Kagome menelan ludah, memikirkan Inuyasha yang akan dengan rela ditarik ke neraka. "Aku tahu, sejak dulu. Salahku bila aku berpikir bisa berada ditengah-tengah kalian."
"A-" Mulut Inuyasha sudah terbuka untuk mengatakan sesuatu tapi diurungkannya.
"Aku mengerti, kau masih menyayanginya." Kagome memaksa kedua sudut bibirnya keatas agar tercipta sebuah senyum.
Kata-kata awal Inuyasha sedikit tersendat, "kau teman pertama yang kumiliki, kau menerimaku apa adanya. Karena kaulah Miroku, Shippou, Sango, dan yang lainnya mau menjadi temanku."
Bila saja kepalanya tidak dalam keadaan dingin ia pasti sudah teriak di depan wajah Inuyasha yang bodoh, rela pergi ke neraka bersama mayat hidup hanya karena sebuah janji?! Tapi kali ini berbeda, telah lama Kagome berpikir dan menyiapkan diri untuk waktu seperti ini. Inuyasha adalah pria yang sangat bertanggung jawab, ia adalah tipe pria sejati yang tidak akan menarik kata-kata yang telah diucapkannya walau dengan itu ia akan melepaskan hidupnya yang berharga dan memilih mati dengan wanita yang dicintainya.
Inuyasha sangat penuh tanggung jawab tapi menyedihkan dan bodoh disaat yang bersamaan.
Sekarang semuanya sejelas kristal bagi Kagome, ia tidak akan lagi tersiksa oleh harapan kosong. Walau sakit, kejujuran akan selalu lebih baik daripada kebohongan yang manis. Saat seperti inilah yang ia nanti, saat Inuyasha telah menetapkan hati dan memilih. Kagome tertawa kecil saat kata 'memilih' terlintas di pikirannya, ia merasa sangat bodoh, Inuyasha tidak akan pernah memilih karena ia hanya mencintai Kikyo. Inuyasha hanya menyayanginya sebagai teman, itulah penjelasan yang ia miliki untuk sifat protektif Inuyasha padanya terhadap Kouga dan untuk semua tindakan lainnya. Cinta yang berbalas hanyalah khayalannya, sebuah ilusi, bagian dari harapan terbesarnya, keinginan untuk merasa dicintai lebih dari sekedar cinta platonis.
"Tidak mengapa bila kau akan memilih untuk tetap berada di duniamu, kau akan lebih aman disana," suara Inuyasha terdengar lebih berat dari sebelumnya.
Inuyasha memalingkan wajahnya, Kagome tahu sahabatnya selalu seperti itu bila ia sedang menyembunyikan emosi yang sedang menaunginya. Bila dulu ia mendengar kalimat itu dari Inuyasha, Kagome pasti mengira bahwa inu hanyou itu lebih memilih untuk mencari sisa pecahan Shikon dengan Kikyo, bukan dengannya. Tidak sekarang, waktu yang berlalu membuatnya mengerti bahwa Inuyasha hanya mengkhawatirkan keselamatannya dan ingin ia bahagia dan aman di dunianya.
Secercah kesedihan dan takut kehilangan yang terbersit di wajah sang inu hanyou membuatnya berkata. "Seperti halnya dirimu, Inuyasha. Aku tidak lupa akan janji dan tanggung jawabku." Inuyasha menatapnya lekat. "Aku tidak akan pergi," tambah Kagome.
Hatinya terhujam setiap kali ia menatap safir emas milik cinta pertamanya, benaknya merintih namun, ia tidak menampakkannya. Gadis pemilik manik biru keabu-abuan itu mengangguk untuk memantapkan hati. "Masih banyak pecahan Shikon no tama tersebar yang menjadi tugasku, tanggung jawabku, karena akulah yang telah memecahkannya dan aku tidak akan bisa hidup tenang selama Naraku masih menebarkan jaring perangkap laba-labanya yang licik dan kejam pada orang yang tidak berdosa."
Walau aku tidak dapat berjanji setelah itu, bisik benak Kagome.
Pemuda itu menatap gadis yang menjadi sahabatnya, "Kagome..."
Untuk beberapa lamanya, mereka bertukar senyum sebelum Kagome bangkit dan menarik tangan Inuyasha. "Ayo cepat kita kembali, aku sudah berjanji membacakan dongeng pada Rin." Dengan keceriaan yang dibuat-buat Kagome mendorong punggung Inuyasha agar mereka kembali ke tempat kemah mereka.
_____
Seulas senyum terpatri di wajah Kagome, jauh berbeda dari apa yang selama ini dipikirkannya. Dua hari telah berlalu, kini hatinya terasa lebih ringan, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa di benaknya. Ia bersikap seperti biasanya. Tanpa beban, ia dapat menatap mata Inuyasha dan begitupun sebaliknya.
Hatinya memang patah, tapi ia tidak akan membiarkan kesedihan menguasai karena ketidakpastian yang menyiksa telah tersapu bersih. Dengan itu, ia menjadi lebih kuat dan semakin bersemangat untuk melengkapi Shikon no tama dan menyelesaikan petualangannya di sengoku jidai untuk memulai hidup yang normal di masanya.
Lamunan Kagome buyar tatkala sebuah pecahan bola terkutuk itu terdeteksi. Setelah ia mengutarakan apa yang ia ketahui kepada teman-temannya, semua kejadian berlangsung begitu cepat. Sango yang curiga satu pecahan yang dirasakan temannya itu adalah milik Kohaku segera terbang bersama Kirara. Tak lama, Inuyasha mencium bau darah segar di kejauhan. Bau darah yang berasal dari puluhan orang.
Sebuah pembantaian besar-besaran.
Sontak, mereka bergegas ke tempat yang Inuyasha tunjuk. Disana mereka bertemu dengan Jakotsu, seorang pria yang mengenakan kimono wanita yang menyandang sebuah pedang besar yang tak biasa. Bila dilihat dari pecahan bola empat arwah yang berada di tubuhnya, ia adalah salah satu anggota Shincinintai.
Di awal pertempuran Inuyasha sedikit kewalahan menanganinya, serangan Jakotsu yang tak terlihat berhasil melukai sang hanyou walau dari jarak yang jauh. Beberapa waktu berselang, Inuyasha tertolong oleh kedatangan Sango. Dengan Hiraikotsu yang pembasmi siluman itu lemparkan, akhirnya bentuk asli pedang Jakotsu terkuak, keadaan segera berbalik.
Tapi keadaan itu harus dibayar mahal ketika sabetan pedang Jakotsu membuat Sango terluka. Ketika Jakotsu dapat disudutkan oleh Inuyasha, disaat itulah datang seorang lagi anggota Shincinintai. Mukotsu, sang ahli racun membuat pertarungan terhenti dengan semburan asap beracun yang dapat membuat kulit Inuyasha yang seorang hanyou pun dapat melepuh.
Kabut pekat racun menghalangi pandangan, detik-detik itulah Jakotsu dan Mukotsu melarikan diri. Setelah luka Sango dirawat, Inuyasha memutuskan untuk mengejar Mukotsu dan Jakotsu sendirian, ia tidak ingin membahayakan teman-temannya. Tinggalah Miroku, Sango yang terluka, Kagome, dan Shippou di tempat.
_____
Berniat mencari air untuk teman-temannya, Kagome pergi menggunakan sepeda dengan Shippou. Gadis itu langsung menyesali tindakannya ketika ia melihat mayat seorang wanita tergeletak di samping sumur yang ditujunya.
Lalu, dengan tiba-tiba, Mukotsu muncul di depannya, awan racun berwarna hitam keluar dari sebuah wadah terbuat dari bambu yang dibawanya. Asap pekat membumbung di sekelilingnya, racun itu membuat tubuh Kagome tidak dapat digerakkan, ia benar-benar tidak berdaya! Kesadaran yang masih dengan erat digenggam gadis itu hanya semakin membuatnya mengutuk keadaan. Shippou yang menolong dengan trik ilusi rubahnya tidak berdaya setelah terkena racun khusus youkai yang Mukotsu semprotkan dari mulutnya, Miroku dan Sango yang datang menolongpun di dorong mundur oleh racun Mukotsu. Alhasil, Kagome berhasil diculik.
"Kita dikelilingi oleh kekkai racun, tidak ada yang dapat mengganggu sekarang," kata ahli racun itu dengan suaranya yang pecah sesampainya mereka di dalam sebuah gubuk tak terpakai.
Laki-laki itu menyentuh dagu dan pipi Kagome. "Kecantikan yang langka, aku sangat beruntung akan menikahi gadis cantik sepertimu."
'Apa? Menikah?!' Jerit hati Kagome.
"Percaya atau tidak, ada beberapa orang yang menganggap wajahku tidak menarik," anggota Shincinintai itu melepaskan kain putih yang ia gunakan untuk menutupi mulut dan hidungnya. "Pertama, persiapannya, kemudian, kita gelar upacaranya," sambung laki-laki berwajah bulat itu.
'Upacara pernikahan!?' Benak gadis itu mulai histeris.
Sang ahli racun menutupi kepala Kagome dengan sebuah tudung putih, tudung yang selalu dikenakan di dalam upacara pernikahan tradisional. Kemudian, ia mendudukan Kagome dalam posisi bersimpuh, lalu menggerakan tubuh gadis itu untuk bersujud beberapa kali. "Aku tidak sempurna, tolong berbaik hati padaku," ujar laki-laki itu menirukan suara perempuan.
"Bagus, bagus!" Pria itu tertawa. "Nah, sekarang menari untukku di dalam perayaan." Mukotsu menggerakan tangan Kagome untuk membuatnya menari selagi mulutnya mendendangkan lagu pengiring pernikahan.
'Apa yang dia lakukan? Jika saja aku dapat mengambil pecahan Shikon no tama yang ada di lehernya.' Batin Kagome.
Kala itu, tubuhnya terasa asing, otaknya kehilangan kemampuan untuk mengendalikan semua pergerakan. Ia hanya boneka yang memiliki kesadaran penuh dan kemampuan untuk berpikir. Gadis itu sangat membenci keadaannya sekarang, menangispun ia tak kuasa, yang ia dapat lakukan hanyalah menunggu pertolongan Inuyasha.
Selesai membuat Kagome menari, Mukotsu meletakannya di lantai dengan posisi tengkurap di depan sebuah perapian. "Sekarang saatnya untuk sake dan beras." Ujarnya penuh dengan kepuasan.
Tiba-tiba atap pondok itu rubuh oleh munculnya Sango dan Miroku yang menunggangi Kirara.
"KAGOME-CHAN!" Teriak Sango.
"KAGOME-SAMA!" Panggil Miroku.
"Jangan menyela upacaraku!" Anggota tujuh pembunuh bayaran itu setengah berteriak.
Sango yang mengenakan masker dan Miroku mengambil tempat di depan Kagome untuk melindunginya. "Serahkan padaku," ujar Sango pada Miroku.
Mukotsu mengeluarkan racun lain dari tabung bambunya, asap pekat berwarna hitam keabu-abuan menyelimuti seluruh pondok itu. "Masker yang kau gunakan itu tidak akan berfungsi karena racun itu juga masuk melalui mata dan hidung!" Pria itu tertawa jahat.
Sango menggunakan Hiraikotsu sebagai penghalang serangan racun, Miroku menutup hidung dan mulutnya menggunakan bagian lengan dari jubah biksunya tapi, usaha keduanya percuma. Sang biksu dan pembasmi youkai itu dapat dilumpuhkan oleh sang ahli racun. Kirara pun takluk oleh racun yang disemburkan dari mulut Mukotsu, kini ketiganya ikut terbaring lemah di dalam pondok reyot itu.
Setelah tawa kejinya terhenti, Mukotsu berkoar dengan angkuh, "aku tidak akan terpengaruh, tidak ada yang dapat melukaiku urgh~" Kata-kata Mukotsu terhenti ketika dua buah sumpit besi yang tertusuk di abu perapian kini telah menancap di lehernya, tepat di tempat Shikon no tama berada.
'Apakah aku mengenainya?' Tanya Kagome dalam hati.
"Beraninya kau?!" Suara Mukotsu bernada tinggi, dengan geram ia memukul pipi Kagome dengan tinjunya hingga gadis itu kembali tersungkur di lantai.
Seluruh kekuatan yang dikumpulkan Kagome karena khawatir dengan nyawa teman-temannya seakan menghilang dengan satu pukulan telak yang diterimanya. Kepalanya berdenyut kuat, telinganya berdengung hebat, pipi kirinya pun terasa sangat sakit.
Mukotsu mencabut benda yang tertancap di lehernya. "Katakan! Apakah wajahku yang membuatmu menolakku?" Kesedihan dan amarah seakan berebut tempat di suara pria buruk rupa itu.
"Apa yang kaukatakan? Aku membencimu bahkan sebelum aku melihat wajahmu." Sanggah Kagome, suaranya selemah tubuhnya.
Dengan dua tangan Mukotsu mencekik gadis bersurai hitam pekat itu. "DIAM KAU! Aku tidak ingin lagi kau menjadi istriku, aku hanya akan mengambil pecahan Shikon no tama yang kau miliki. SEKARANG, MATILAH!"
Kedua tangan itu semakin kuat mencekik, pasokan udara dan darah semakin berkurang. Kagome berada di ambang batas kesadaran namun ia tidak mau menyerah begitu saja, di detik-detik terakhir kekuatannya, ia masih bisa berpikir dan berharap. Terbersit satu nama di dalam relung hati, orang yang ia percayai, pria yang selalu datang menolongnya, pahlawannya.
'Inu... Yasha!' Nama itu dibisikannya dalam hati.
Mukotsu terdiam sesaat, ia merintih kesakitan sebelum jatuh tersungkur.
'Inuyasha?!' Benak Kagome, saat cekikan itu mengendur dan udara mulai masuk kembali ke paru-parunya.
Kagome mengerjapkan matanya beberapa kali, mengusir ribuan kunang-kunang yang menghalangi pandangannya. Penglihatannya mulai jelas, sosok itu berdiri dengan tegap. Tangannya yang berpendar kehijauan masih terangkat, jari-jarinya yang bercakar tajam tertekuk sedemikian rupa setelah mencabik musuh. Surai silver panjang membingkai wajah, youkai itu menatap tajam dengan amber miliknya.
'Sesshoumaru? Menyelamatkanku?!' Batinnya menolak.
"Apakah Inuyasha disini?" Tanya sang Dai youkai dengan suara baritone-nya.
"Siapa kau?" Mukotsu bertanya balik.
"Itu pertanyaanku," suara Sesshoumaru sedingin tatapannya.
"Kau tidak mengenalku namun kau mau membunuhku?" Mukotsu yang tidak benar-benar bertanya segera lari keluar pondok.
Sesshoumaru mengikuti mangsanya dengan perlahan dan penuh ketenangan. "Kau telah terkena cakar beracunku tapi kau masih bisa bergerak?" Ucapnya santai.
Mukotsu tertawa, dia mengeluarkan dua wadah bambu dari tasnya kemudian menyemburkan racun yang ada di dalamnya untuk menyerang Sesshoumaru. Sekejap mata, sang Dai youkai dikelilingi oleh asap racun yang hitam pekat. Namun, ia tidak terpengaruh sama sekali, Sesshoumaru tetap berjalan mendekati Mukotsu.
"Tunggu! Kumohon tunggu ..." Kepanikan menguasai suara sang ahli racun. "Aku bersalah, ampuni aku, biarkan aku hidup," pintanya panik. Anggota Shincinintai itu menunduk, kepalanya masuk ke balik semak-semak yang ada di belakangnya.
"Jangan bunuh aku, sebagai tanda terima kasih ..." Dengan cepat, Mukotsu sudah bangkit dan berbalik, ia menghadap Sesshoumaru sambil memeluk sebuah tabung bambu yang sangat besar. Sedetik berselang, asap racun yang berwarna merah tebal kembali disemburkan persis di tempat Sesshoumaru berdiri.
Tawa salah satu anggota Shincinintai itu kembali menggelegar, suaranya terdengar kejam dan memuakkan. "Bahkan untuk youkai sepertimu pun akan takluk dengan ahli racun Mukotsu!" koarnya penuh percaya diri.
Untuk beberapa lama, asap merah itu terus menyembur, selama itu tidak ada gerakan yang terlihat di balik asap. Senyum kemenangan terpajang di wajah Mokutsu, tapi senyum itu tidak bertahan lama ketika asap racun miliknya telah pudar dan menghilang. Sesshoumaru masih berdiri dengan anggun dan penuh kejayaan, perlahan Tokijin ditarik dari obi-nya. Dengan satu tebasan ringan, raga itu berubah menjadi onggokan tulang-belulang, Mukotsu mati, untuk kedua kalinya, dan yang pasti, untuk terakhir kalinya.
Putra Inu no Taisho itu menggantungkan lagi pedangnya di tempat semula sambil berkata dengan nada dingin, "seolah-olah racun yang dibuat oleh manusia dapat melukai Sesshoumaru ini."
Beberapa detik kemudian Inuyasha datang, "KAGOME!" Teriaknya saat melihat gadis itu tergeletak.
"Mereka semua mati?!" Jerit Shippou.
"SESSHOUMARU!" Panggil Inuyasha dengan kasar. "Apa yang kau lakukan padanya brengsek?"
'Bodoh!' Hardik benaknya. Penguasa wilayah Barat itu menatap Inuyasha dengan pandangan menusuk, tangan kanannya sudah terkepal kuat siap untuk melayangkan tinju di wajah hanyou itu.
Dengan memaksakan diri, Kagome mengumpulkan seluruh tenaga yang tersisa dan berbisik lemah, "Sesshoumaru menyelamatkan kami."
"Aku tidak menyelamatkanmu, dia tidak mengatakan padaku apa yang perlu kutahu karena itu aku menyingkirkannya, itu saja," tuturnya datar. Tanpa kalimat lain, Sesshoumaru pun berjalan pergi.
_____
Malam harinya, Kagome terbangun. Dengan tubuh yang masih lemah, ia beranjak menuju sebuah sungai kecil yang tidak jauh dari tempat kemahnya. Kantuk tak lagi bergelayut ketika rasa tidak nyaman melingkupinya. Seragam sekolah yang ia gunakan menempel di tubuhnya oleh keringat, sehari penuh menjadi lumpuh karena racun membuatnya tidak dapat membersihkan tubuh seperti biasa, dan itu sangat menyiksanya.
Inuyasha yang beristirahat di pohon segera melompat turun melihat Kagome hendak pergi, "Kau mau pergi kemana?"
"Aku harus ke sungai."
Tanpa penjelasan panjang lebar Inuyasha mengerti arti kata 'harus' yang gadis itu ucapkan. "Mau kutemani?" Ia menawarkan diri.
Ia sangat menghargai niat baik sahabatnya oleh karena itu, "tidak, tapi terima kasih, Inuyasha," jawab Kagome sambil tersenyum kecil.
Inuyasha mengangguk, kemudian mendongak, lalu mengendus. Telinga anjing di puncak kepalanya berkedut kecil sebelum miring beberapa derajat ke kanan dan ke kiri sebelum kembali ke tempatnya semula. "Baiklah," ucap Inuyasha setelah dia yakin tidak ada bahaya yang dapat ia deteksi dan yakin bahwa Kagome akan aman dari musuh karena ada Sesshoumaru yang juga berada di dekat sungai.
_____
Sinar pucat rembulan menerangi jalannya, suara gemericik air terdengar, hanya dalam beberapa puluh langkah ia telah tiba di tempat tujuan. Kagome meletakkan barang-barang yang dibawanya ke tepi sungai kecil itu. Ia mendesah pelan saat tangannya menyentuh air. Kehangatan matahari di musim panas siang tadi membuat suhu air pas, tidak dingin tapi terasa menyejukkan. Si sulung Higurashi menangkup air dengan kedua tangannya lalu, membasuh wajahnya, membasahi leher, dan tengkuknya kemudian, mengeringkannya dengan handuk kecil yang ia bawa. Baru beberapa menit ia berjalan, hendak kembali ke kemah, matanya menangkap sosok putih dan silver di kejauhan.
"Sesshoumaru ..."
Sesshoumaru sedang berdiri di tepi sungai tak jauh darinya, sedang menatap langit. Kagome mendekatinya tanpa berpikir, satu yang ia tahu, ia harus mengucapkan terima kasih atas apa yang telah Sesshoumaru lakukan untuk menyelamatkan nyawanya siang tadi. Sang inu youkai tidak menoleh sama sekali, tapi Kagome tahu bahwa Sesshoumaru pasti mengetahui kedatangannya.
Saat berjalan mendekati Sesshoumaru, dalam hati miko itu bertanya-tanya, ada apa dengan Sesshoumaru dan langit? Ia selalu terlihat memandangi langit malam dengan wajah serius bila tidak dengan tampang datar seperti biasanya. Bahkan, terkadang pria itu terlihat lebih dari sekadar menatap langit, Sesshoumaru seperti sedang 'berbincang' dengan langit dalam diam. Akan tetapi, mungkin saja anggapannya selama ini salah, bukan langit malam yang seringkali kakak Inuyasha itu pandangi tapi bulan? Bila iya, apa itu ada hubungannya dengan tanda di dahinya? Mungkinkah tanda itu berhubungan dengan kekuatan yang dimilikinya?
Pikiran Kagome yang semakin bergerak menjauh dari apa yang semula ia pikirkan terhenti karena jarak antara ia dan pria itu yang menipis. "A-ano..." Kagome ragu sejenak sebelum berkata dengan lancar. "Aku ingin berterima kasih karena kau telah menyelamatkan kami," ia tahu bahwa basa-basi bukanlah cara yang tepat berbicara dengan youkai irit kata seperti Sesshoumaru.
Pria itu memiringkan sedikit kepalanya. "Aku tidak menyelamatkanmu."
"Kau memang telah mengatakan itu tapi, aku akan tetap berterima kasih." Kagome membungkuk sebagai tanda hormat dan rasa terima kasih. "Aku berhutang banyak padamu, Sesshoumaru, kau datang tepat pada waktunya."
"Sebaiknya kau tidak terus menarik bahaya, Miko." Dai youkai itu kembali menatap langit.
Kagome mengacuhkan ucapan Sesshoumaru tentang ia sebagai pengundang bahaya, entah mengapa kali ini ia tidak marah. Setelah ia kembali menegakkan tubuhnya, Kagome tidak langsung beranjak, melainkan diam di sana dan mengikuti arah pandangan Sesshoumaru. Langit hitam yang pekat dihiasi konstelasi perbintangan yang berkerlip cantik dilengkapi dengan sinar syahdu sang lunar.
Gelap, indah, anggun, adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan lukisan alam penuh kemisteriusan yang megah karya Kami-sama saat itu. Dan bagi Kagome, itu juga sangat cocok untuk menggambarkan sosok Daiyoukai dingin yang berdiri tak jauh darinya. Keanggunan yang penuh dengan misteri ...
"Kau tidak tidur?" Tanya Kagome sedikit kikuk.
Lama tidak ada jawaban sebelum jawaban Sesshoumaru terdengar, "tidak seperti manusia, youkai tidak membutuhkan banyak waktu untuk tidur."
"Tidak butuh banyak waktu," ulang gadis itu. "Seperti apa rasanya ..." nadanya tidak seperti bertanya tapi rasa penasaran memenuhi di setiap kata. "Maksudku, apa yang kau lakukan untuk membunuh waktu yang tersisa di malam hari?"
'Membunuh waktu?' Sepanjang hidup, yang Sesshoumaru tahu adalah membunuh dalam arti harfiah. "Berpikir," jawabnya. "Tidakkah kau melakukan hal yang sama, Miko?" Sindirnya.
Tidak merasa tersinggung dengan kalimat yang terkesan merendahkan, ia malah tertawa kecil. "Tentu saja aku berpikir," ucap Kagome dengan santai. "Walau tidak sepanjang waktu sepertimu," tambahnya. Kagome menolehkan kepalanya, menatap pria pewaris Penguasa Wilayah Barat. "Tapi terkadang lebih menyenangkan untuk tidak memikirkan apapun dan hanya menikmati indahnya alam. Seperti sekarang ini," kedua tangannya membentang untuk menunjuk ke sekeliling sebelum kembali ke sisi tubuhnya.
Senyum manis terpahat di wajah sang miko penjelajah waktu. "Langit malam ini indah sekali," gumamnya sebelum menghela nafas berat. "Aku tidak dapat melihat keindahan ini di tempat asalku," nadanya sedikit sedih. "Kerlip bintang tenggelam oleh cahaya yang dibuat manusia, tidak terdengar nyanyian jangkrik yang menenangkan, udara penuh sesak oleh polusi, juga kebisingan."
Hening.
Bosan bermonolog, Kagome ikut terdiam dalam kesunyian yang menenangkan. Sejujurnya, ia pun menikmati ketenangan itu. Setelah puas menatap langit, gadis itu menoleh kepada pria yang ada disamping kanannya, tinggi, berkharisma, sosok cemerlang di malam kelam yang memiliki wajah tampan.
Tampan? Kagome hampir tidak percaya dengan apa yang ia pikirkan saat itu, ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menarik paksa kepalanya ke arah lain, ia menunduk. Sialnya, pandangan Kagome lagi-lagi terpaku di tempat yang seharusnya lengan kiri Sesshoumaru berada.
"Miko, aku tidak akan memperingatkanmu untuk yang kedua kalinya," suaranya yang dalam terdengar mengancam.
Secara spontan, Kagome mendongak untuk menatap lawan bicaranya, kedua alis berkumpul di tengah. "Maaf, aku tidak bermaksud seperti itu," jawabnya.
Sang Daiyoukai kini menatap langsung, "tidak ada dendam karena kehilangan akibat pertarungan." Ucap Sesshoumaru dengan nada dinginnya.
"Aku tahu itu dari Inuyasha," untuk sekilas, ia dapat melihat pandangan yang meremehkan terpancar dari wajah penguasa wilayah Barat itu.
"Kau tidak tahu apapun," sahut Sesshoumaru pendek.
"Sebaliknya Sesshoumaru, aku tahu, aku telah belajar banyak," ujarnya menantang. "Tentang kehidupan di sini, tentangmu. Kalian selalu berusaha menutupi sisi lembut yang kalian miliki," raut wajah Sesshoumaru berubah masam.
'Kalian?' Kedua pangkal alisnya bertemu, Sesshoumaru mengerti arti kalimat Kagome dengan 'kalian' dan itu membuatnya meradang. "Jangan kau samakan Sesshoumaru ini dengan hanyou bodoh itu!" Nadanya memerintah.
"Kalian memang serupa dalam hal tertentu," suara Kagome mulai meletup oleh semangat. "Walau kau tidak mengakuinya sebagai adik, kau tidak membenci Inuyasha seperti yang kau ucapkan. Dan kau menyayangi Rin. Hari ini kau telah menyelamatkanku, Miroku, Sango, dan Kirara walau kau menyangkalnya!"
Ia menarik nafas, suaranya merendah saat melanjutkan, "kata-kata tidak berperasaan yang kau keluarkan tidak akan merubah kebaikan yang telah kau lakukan, Sesshoumaru!"
Lebih cepat dari satu tarikan napas, Kagome terkesiap saat tangan besar Sesshoumaru sudah berada di lehernya, tubuh mereka hanya berjarak sejengkal. Wajah keduanya sangat dekat, hidung mereka hampir bersentuhan, oleh sebab itulah Kagome memejamkan matanya. Cakar-cakar tajam Sesshoumaru bertemu di tengkuknya, secara refleks kedua tangan sang miko menggengam pergelangan tangan sang Daiyoukai.
Sesshoumaru hanya menggertak, tidak ada penekanan atau cekikan. Namun, bila Sesshoumaru bersungguh-sunggguh dengan tindakannya, hanya dengan satu gerakan yang tidak membutuhkan banyak tenaga pasti leher Kagome sudah terpisah dari badannya.
"Diam!" Suara Sesshoumaru terdengar lebih berat dari biasanya.
Adrenalinnya meningkat, napasnya mulai cepat. Namun, Kagome patuh, ia menutup mulutnya.
"Apakah kau ingin aku membunuh Inuyasha?" Suaranya penuh intrik, hangat nafas Sesshoumaru menyapu wajah Kagome.
Mendengar kalimat itu, sang gadis panik, ia tidak menjawab sepatah katapun. Walau ia tetap mengganggap apa yang telah diucapkannya itu sebagai kebenaran, tapi tetap saja, ia sedikit menyesal bila dengan itu nyawa sahabatnya terancam. Bagaimana bila Sesshoumaru terpancing lalu ingin membuktikan bahwa ia adalah youkai yang sangat kejam lalu membunuh Inuyasha? Ia tidak ingin melihat perkelahian sia-sia kedua kakak-beradik itu lagi.
Bau yang familiar terendus oleh Sesshoumaru. Bau yang dipancarkan oleh para musuh dan mangsanya, bau yang mengangkat harga dirinya dan bau yang dinikmati oleh egonya. Rasa takut.
"Kau takut," bukan sebuah pertanyaan. "Bagus. Sudah seharusnya kau takut pada Sesshoumaru ini," imbuhnya dengan nada puas dan penuh penekanan. Tangan Sesshoumaru mundur secara amat perlahan hanya untuk menyusuri leher bagian depan Kagome. Ujung cakar-cakarnya menyusuri kulit halus itu dengan gerakan lambat.
Sebagai bentuk perlindungan akan adanya bahaya, reiki Kagome yang berwarna merah muda menguar, dengan reiki itu ia bisa saja melukai Sesshoumaru untuk mempertahankan diri. Tapi tidak, ia menekan mundur kekuatan spiritual yang dimilikinya. Apa yang Kagome lakukan adalah bentuk usahanya untuk meyakinkan Sesshoumaru bahwa ia tidak menganggap kakak Inuyasha itu sebagai musuh melainkan kawanan bahkan teman dalam hubungan manusia.
Beberapa kali sang gadis penjelajah waktu itu menarik nafas dalam dan menghembuskannya pelan-pelan untuk mengumpulkan nyali. "Aku tidak takut padamu, Sesshoumaru," sangkalnya.
Kagome membuka mata, menunjukkan kesungguhan di dalam kata-katanya. Sesshoumaru sedikit menarik tubuhnya sehingga wajahnya tidak lagi terlalu dekat dengan sang miko, tapi ia tidak menarik mundur tangannya yang menyebarkan ancaman. Hembusan napas sang Daiyoukai tidak lagi membelai wajah sang gadis modern. Sunyi. Hanya terdengar tarikan dan hembusan napas keduanya, seakan denyut kehidupan malam ikut tertahan dengan ketegangan yang ada diantara youkai dan miko, musuh alami. Permusuhan abadi.
Kehangatan sinar pagi bertemu dengan biru keabu-abuan samudera, dengan cara yang tak dapat dijelaskan mereka saling bertatapan lekat. Cakar Sesshoumaru terus bergerak, bergerayang, tidak menekan, hanya sedikit menyentuh sehingga membuat seluruh rambut kecil di tubuh Kagome berdiri. Pandangan tajam Sesshoumaru menarik Kagome dalam kebekuan. Tatapan Sesshoumaru selaras dengan gerakan cakarnya yang mengancam, berbahaya, dan menghipnotis.
Apa yang Kagome rasakan saat itu adalah, aneh. Perasaan yang tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh dirinya. Ia tahu dengan pasti kalau bukan rasa takutlah yang membuat jantungnya bertalu dengan kuat walau ia tidak tahu apa itu. Dia tidak dapat menarik pandangannya untuk tidak menatap mata Sesshoumar. Selain itu, kedua tangannya yang memegang pergelangan tangan kanan Sesshoumaru terasa panas dan berdenyut. Berada dalam jarak terdekat dengan Sesshoumaru membuatnya tidak dapat berpikir dan merasa seperti biasa.
Satu sudut bibir Sesshoumaru terangkat untuk sepersekian detik sebelum kembali menghilang. Tangan Sesshoumaru berhenti menyusuri leher halus gadis itu, ibu jarinya tepat berada di daerah bertemunya dua tulang selangka, sedangkan keempat cakar yang lain kembali ke tengkuk Kagome.
"Kau begitu yakin, Miko." Cakar runcing di ibu jari Sesshoumaru sedikit menekan kulit.
Kagome menahan nafas dengan kentara, tubuhnya semakin menegang. "Sesshou... maru..." Ia kembali memejamkan matanya.
Suara rendah Kagome yang hanya sebatas bisikan membuat dua pikiran yang bertentangan bergelut hebat memperebutkan tempat utama di dalam kepala sang Daiyoukai. Pandangan Sesshoumaru mengikuti ujung cakarnya yang menembus kulit tipis di leher Kagome. Luka itu hanya menggores bagian kulit terluar, tidak dalam tapi cukup untuk mengalirkan darah. Perlahan, cakar itu ditarik ke samping sehingga membuat luka gores berbentuk horizontal sepanjang tiga sentimeter.
Bulir cairan merah, hangat, dan berbau karat tapi manis muncul.
Tetes darah mengalir turun dengan amat lambat diantara lekuk tulang selangka bertemu.
Wajahnya tidak berkerut tanda sakit saat cakar itu menggoresnya, Kagome membuka mata saat ia mendengar Sesshoumaru berbicara.
"Hanya dengan setitik racun yang kualirkan di cakarku ke lukamu, kau tidak akan dapat bernapas, dan dalam hitungan detik, kau pasti mati," baritone datar Sesshoumaru menyelusup diantara suara gemericik air sungai yang terdengar.
Titik pandangan Kagome bertumpu pada bibir sang Daiyoukai, entah mengapa gerakan perlahan bibir Sesshoumaru ketika berbicara terlihat begitu... memukau? Kagome mengutuk dirinya sendiri dalam hati atas apa yang dipikirkannya dan berusaha memfokuskan diri pada apa yang sedang terjadi.
"Kau bisa membunuhku, tapi kau tidak akan melakukan itu, Sesshoumaru," ucap gadis itu dengan yakin.
Sesshoumaru mengalihkan pandangan dari tangan kanannya ke iris biru keabu-abuan Kagome, rahangnya mengeras, wajah terlihat kesal sesaat sebelum kembali ke wajah stoic-nya. "Kau benar-benar sebuah gangguan," secepat kedipan mata, pria itu sudah menarik tangannya dan berdiri beberapa langkah jauhnya dengan punggung menghadap Kagome.
Dengan itu, Kagome beranjak pergi meninggalkannya.
~ To be continued~
Minna saiko arigatou, utk semua yg udah vote, vomment, dan nambahin Paramour ke reading listnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top