Chapter 10 - I Caught Myself
Disclaimer: I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers. And I don't own the songs that I use as prompt, they're belongs to Paramore.
Prompt: I Caught Myself by Paramore.
~.
~.
~.
Setengah hari telah terlewati, jejak Naraku lagi-lagi menghilang begitu saja. Anggota rombongan itu lebih banyak diam, bahkan Shippou dan Jaken mengunci mulut mereka. Sampai akhirnya, Inuyasha mengusulkan hal yang biasanya ia tentang habis-habisan.
"Apakah kau yakin?" Kagome meneliti wajah Inuyasha, hanya ketulusan yang didapat saat sahabatnya itu mengangguk. "Ta-tapi ... " protes gadis itu mati di ujung lidah. Inuyasha benar, para manusia yang berada di rombongan mulai kelelahan, dan juga sudah terlalu lama ia menghabiskan waktu di sengoku jidai tanpa memikirkan kewajibannya di era modern.
"Aku tidak mau ibumu terlalu lama khawatir."
"Kau benar." Kalimat laki-laki itu membuat Kagome ingin menendang dirinya sendiri. Lagi-lagi sahabat hanyou-nya itu benar, mama pasti sangat mengkhawatirkannya. Lagipula, bukankah itu yang biasanya ia inginkan? Secepat mungkin pulang ke zamannya setiap ada kesempatan dan selama mungkin berada di sana. Tapi mengapa kali ini begitu berat baginya? Sederhana, sebab ada satu hal yang belum dituntaskan antara dirinya dan Sesshoumaru.
Seakan dapat membaca pikiran Kagome, Inu hanyou itu berkata. "Aku yang akan berbicara pada si keparat itu."
~.
Setelah dua jam perjalanan udara, pada akhirnya, Kagome dan rombongan itu tiba di desa nenek Kaede. Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada gadis penjelajah waktu itu, Sango, Miroku, juga Kirara yang kembali bertransformasi menjadi kucing kecil yang lucu segera masuk ke pondok kecil yang ditempati sang miko senior. Kagome turun dari punggung Inuyasha lalu mendekati Rin yang juga meluncur dari pelana Ah-Un.
"Berani-beraninya kalian membawa Sesshoumaru-sama ke desa manusia rendahan ini."
"Jaken!" Suara tegas milik tuannya sangat ampuh membuat Jaken tutup mulut.
Kedua lutut Kagome di atas tanah, ia memeluk Rin erat. Disaat miko muda dan gadis kecil periang itu saling merangkul, Inuyasha dan Sesshoumaru bertatapan.
Setelah beberapa saat, dengan enggan, Kagome menarik diri. "Aku akan membawakan sesuatu untukmu nanti," gadis masa depan itu melirik ke rubah kecil disamping Rin, "juga untukmu Shippou-chan."
"Cepatlah kembali, Nee-chan," bujuk Rin.
"Pasti Rin." Gadis itu bangkit, menepuk-nepuk lututnya sesaat sebelum menatap lurus pria yang berdiri di belakang Rin. Semu merah muda mulai menyebar setelah beberapa detik mereka bertukar pandang. "A-aku harus pergi." Karena respons yang ditunggu dari Sesshoumaru tak kunjung muncul pada akhirnya miko itu kembali naik ke punggung sahabatnya dan menghilang dibalik rerimbunan pohon dalam hitungan detik.
Rin hanya dapat melambaikan tangan sambil menatap punggung Kagome dan Inuyasha yang menghilang di kejauhan.
"Aku harap aku juga bisa ke dunia Kagome seperti Inuyasha," gerutu Shippou yang menatap kepergian gadis itu dengan wajah yang memelas.
'Dunia Kagome.' Dua kata itu tak dapat untuk tidak digubris Sesshoumaru. Rasa penasaran membuncah. Ia harus tahu.
Rin baru saja menurunkan tangan kanannya, saat ia mendengar tuan yang sangat dihormatinya berkata.
"Jaken."
"I-iya, Tuanku."
"Jaga Rin, bila tidak, akan kubunuh kau."
"Ba-ba-ba-baik, Tuanku."
"Sesshoumaru-sama juga hendak pergi? Berhati-hatilah, Sesshoumaru-sama!" seru Rin.
"Ayo Rin, kita masuk ke dalam," ajak Shippou.
Sesshoumaru terbang dengan cepat mengikuti jejak bau harum Kagome yang masih terasa hangat di hidungnya. Namun hanya Inuyashalah yang terlihat saat ia mencapai batas akhir jejak yang ditinggalkan. Kedua inu bersaudara itu saling bertukar pandang.
Hanyou itu berkata acuh tak acuh sambil duduk bersila di tanah dengan punggung bersandar di satu sisi sumur pemakan tulang, kedua tangannya terlipat di depan dada. "Ia sudah pergi."
Sesshoumaru mendekat, aroma khas yang diikutinya masih terasa tebal di udara. Jejak harum itu berhenti di sebuah sumur kering. Tidak salah lagi, di tempat inilah gadis itu terakhir berada. Satu tangan bercakarnya mendarat di tepi kayu yang sudah lapuk itu. Dengan satu tarikan nafas ia menyesap aroma khas Kagome yang terkumpul di mulut sumur.
"Sumur ini adalah penghubung ke tempat Kagome." Inuyasha menatap lurus kakaknya, sedikit menikmati keadaan bahwa ia memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dihadapan kakak tirinya, ia tahu sesuatu yang tidak Sesshoumaru ketahui tentang gadis itu.
Beragam spekulasi muncul tentang sumur dan asal-muasal Kagome, tapi Sesshoumaru lebih memilih menanyakan beberapa pertanyaan secara langsung kepada gadis itu. "Inuyasha," panggilnya. "Katakan pada Sesshoumaru ini tentangnya."
Kedua mata Inuyasha terpejam saat berkata, "Kagome ...."
"Hn."
Manik keemasan itu menatap sang kakak tiri dengan santai. "Apa yang ingin kau ketahui?"
"Ceritakan tentang masa lalunya."
Dengan kasual ia menyahut. "Keh, kita ini adalah masa lalunya."
~.
Seperti biasa, kepulangannya ke era modern menghasilkan pelukan hangat dari sang ibu. Rentetan pertanyaan dari Souta tentang petualangannya di sana terhenti setelah ia berjanji akan menceritakannya seusai makan malam. Cerita penuh kepahlawanan sang kakek tentang bagaimana ia terus memikirkan alasan yang bagus untuk diceritakan kepada pihak sekolah dan teman-temannya tentang ketidakhadirannya selama beberapa minggu berhasil ia bungkam dengan himono, makanan kering yang dibawanya sebagai oleh-oleh. Dengan penuh pengertian, ibu Kagome membantunya melepaskan diri dari kakek dan adiknya untuk menikmati mandi hangat yang teramat ia rindukan.
Kagome hampir dapat mendengar musik kolosal penuh kejayaan yang menjadi latar belakang bergema di satu sudut kepalanya saat ia pertama kali mencelupkan diri ke bath tub setelah menggosok tubuh. Ibunya benar, ia butuh ini. Ia menyandarkan dagunya di atas kedua lutut yang ditekuk, saat tangannya sibuk memainkan air. Mandi yang layak benar-benar sebuah penawar bagi otot-otot yang kaku walau bukan untuk otak yang terpaku pada Sesshoumaru. Nama itu lagi-lagi merajai benaknya. Kesendirian membuatnya tak mampu lagi untuk menghentikan dirinya sendiri untuk tidak memikirkan Pewaris Wilayah Barat itu.
Suara yang dalam itu terulang kembali dengan intonasi yang sama persis seperti yang ia dengar. 'Kagome, kau akan membuat Sesshoumaru ini mengikuti jejak sang ayah.'
Sel-sel kelabu Kagome seakan tak percaya dengan informasi yang baru saja ia dapatkan di malam sebelumnya. Benaknya terhimpit oleh pertanyaan-pertanyaan seperti; Apakah ia berhalusinasi dengan membayangkan apa yang ia ingin dengar? Mungkinkah ledakan misil yang diluncurkan oleh anggota kelompok Shincinintai saat pertarungan mereka membuat pendengarannya bermasalah? Ataukah, Sesshoumaru memang telah mengucapkan namanya untuk pertama kali dan mengungkapkan ketertarikan pada dirinya?
Ketertarikan? Dapatkah itu dikatakan sebagai ketertarikan? Apa yang pria itu maksud dengan mengikuti jejak sang ayah? Sudut hatinya berteriak bahwa yang laki-laki itu maksudkan tentu saja kesamaan tentang kecendurangan ayah Sesshoumaru yang tertarik pada manusia. Tapi, bukankah ayahnya memiliki dua pasangan? Apa itu artinya Sesshoumaru sudah memiliki pasangan youkai namun tertarik padanya? Rentetan pertanyaan membuat kepala Kagome mulai berdenyut.
Andai saja saat itu Inuyasha tidak datang dan mereka mempunyai waktu berduaan sedikit lebih lama lagi, betapa banyak yang ingin ia tanyakan pada pria itu. Nama sahabatnya yang terlintas membuat pikirannya terpecah, pertanyaan baru tentang dangkalnya perasaan yang ia miliki untuk Inuyasha hadir ke permukaan. Semudah itukah apa yang ia namakan cinta pada Inuyasha surut? Lalu, apa sebutan untuk perasaannya kepada Sesshoumaru kali ini? Apakah itu juga cinta? Mungkin perasaan yang dimilikinya untuk Inuyasha selama ini bukanlah cinta melainkan kasih sayang semata? Penyangkalan benaknya tiada guna. Kagome mengakui bahwa ia pernah mencintai Inuyasha.
Tapi mengapa? Mengapa ia bisa mencintai kedua kakak-beradik itu?
Tidak. Hati tidak akan dapat memilih tempat dimana ia kan berlabuh. Satu hal yang pasti, hatinya hanya dapat tertambat pada satu orang dalam satu waktu. Jika dulu hatinya hanya untuk Inuyasha, sekarang hatinya terpaku hanya pada Sesshoumaru.
Seakan dapat mengusir lusinan pertanyaan yang mulai memenuhi benak, Kagome menggelengkan kepalanya sebelum menghela napas berat. Yang ia tahu adalah, apa yang dirasakannya pada Sesshoumaru saat ini itu nyata, senyata udara yang diembusnya, dan air yang saat itu ditangkupnya.
Kedua inu itu membuatnya jatuh hati dengan cara yang berbeda.
Pada awalnya, ia sangat menyayangi Inuyasha sebagai teman seperjalanan, lalu menjadi sahabat, kemudian beranjak menjadi sesuatu yang lain.
Sedangkan perasaannya kepada Sesshoumaru terjadi begitu saja, menghantamnya secara tiba-tiba dan keras. Seperti dua kereta yang melaju cepat di arah yang berlawanan di satu jalur yang sama, tak terhindarkan.
Hatinya terjatuh untuk sang Dai youkai dengan cepat dan hebat.
Setelah tubuhnya bersih, dan ia telah berganti pakaian, keluarganya sudah menunggu untuk makan malam bersama. Sebuah tekad baru telah terbangun di dirinya, ia akan berusaha untuk tidak terlalu memikirkan mereka yang terpisah ratusan tahun dan fokus pada sekolah yang akan ia hadiri esok. Tekad baru Kagome dimulai dengan semangatnya menyantap hidangan malam itu, hampir semua lauk yang ada dilahapnya untuk menemani dua mangkuk nasi yang masuk ke perutnya.
Makan malam telah berakhir, Souta dan kakeknya sedang menonton acaraTV favorit mereka. Berkali-kali ibunya menolak bantuannya namun berkali-kali pula ia memaksa, pada akhirnya, wanita lembut itu menyerah, ia duduk dengan tenang sambil minum teh saat Kagome mencuci piring.
"Kau terlihat bersemangat sekali Kagome," sang ibu membuka percakapan.
"Hanya ingin mempersiapkan tenagaku, besok adalah hari pertama aku masuk sekolah setelah sekian lama."
Ibunya tersenyum, "Bagaimana keadaan disana?"
Kagome menceritakan tentang garis besar apa yang terjadi_tentu saja dengan memperhalus beberapa hal seperti ia yang diculik Mukotsu misalnya. Ibunya mendengarkan dengan saksama, dan berkomentar setelah sang anak sampai dibagian cerita tentang Sesshoumaru yang menyelamatkannya. "Bertambah satu orang lagi yang telah melindungimu." Kagome mengangguk, melanjutkan ceritanya tentang Naraku yang berhasil melarikan diri.
Setelah gadis itu sampai di penghujung cerita, Hitomi bertanya, "Apakah Sesshoumaru yang kau ceritakan ini adalah orang yang sama yang pernah kau temui di makam ayah Inuyasha?"
Tak mengerti maksud ibunya, Kagome hanya menjawab dengan gumaman, "um-hm."
Sang ibu mengangguk sebelum menyesap tehnya.
"Orang-orang terus berubah, Mama." Kagome mengelap tangannya hingga kering sebelum bergabung di meja makan, "Sesshoumaru tidak seperti dulu, ia bahkan merawat seorang gadis kecil yatim piatu."
Hitomi menatap anaknya dengan seberkas rasa penasaran, "Benarkah?"
Gadis muda itu menjawab mantap, matanya bersinar oleh kekaguman saat mengingat gadis kecil periang itu. "Rin sangat menghormatinya dan sangat menyayanginya, Sesshoumaru seperti malaikat baginya." Setelah jeda beberapa saat ia melanjutkan, "kakak Inuyasha memang bertampang serius dan terkesan dingin, tapi penampilan bisa menipu, ya kan?"
Setelah semua tumpukan piring kotor telah bersih dan berada di tempatnya, Kagome bergabung dengan ibunya di meja makan. "Banyak hal yang dapat dengan mudah dikagumi dari Sesshoumaru," timpalnya.
"Seperti?" ucap ibunya dengan nada menggoda.
"Mmm ... " ia berpikir sejenak, tak tahu harus mulai darimana. "Berada bersamanya terasa sangat aman." Pandangan Kagome menerawang, kedua penghujung bibirnya terangkat ke atas secara sukarela. Wajah jatuh cinta itu tak luput dari penglihatan ibunya. Miko muda itu mengerjapkan mata beberapa kali sebelum memfokuskan perhatian kepada wanita yang telah melahirkannya. "Pokoknya ia tipe yang bisa diandalkan," wajah penuh pengertian yang dibuat ibunya membuat Kagome cepat-cepat menambahkan, "sama seperti Inuyasha."
Hitomi tak dapat lagi menahan senyum saat ia kembali bertanya, "apakah ia juga mempunyai telinga segitiga yang imut itu?"
Kedua alis Kagome bertemu di tengah, bibirnya sedikit mengerucut saat ia menyahut, "tidak."
"Sayang sekali," ledek ibunya.
"Mama!" Protes Kagome setengah hati, ia sendiri tak dapat menahan senyum.
"Hm?" Wanita itu tertawa kecil.
"Apa rambutnya juga berwarna silver?"
"Mm-hm." Jawab Kagome ragu, ia sama sekali tidak memiliki ide tentang ke arah mana pembicaraan itu.
"Kalau begitu tidak apa-apa. Cucu-cucuku pasti akan tampan dan cantik dengan rambut berwarna silver."
"Mama!" Bertentangan dengan nada suaranya, wajah Kagome berubah sumringah. "Berhentilah menggodaku," ujarnya setengah hati.
"Kau membuatku penasaran dengan prince charming yang kau ceritakan itu."
"Ia memang putra Penguasa Wilayah Barat, tapi ia bukan pangeran yang menetap di balik tembok kastil." Tangan Kagome bergerak-gerak menambahkan efek dramatis saat menceritakan inu youkai yang dikenalnya, matanya berbinar oleh sesuatu yang tak dapat dijelaskan oleh kata-kata. "Sesshoumaru menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menyatu dengan alam. Mungkin, lebih tepat kalau ia disebut, Chamingu na-sama." Tuan yang menawan.
"Baiklah," Hitomi berdeham sekali, kemudian menyeruput tehnya. "Bagaimana sikap Chamingu na-sama itu terhadapmu?" Tanyanya setelah mendesah nikmat saat teh yang harum itu meluncur di kerongkongannya.
Wajah Kagome mulai panas, ia menunduk. "Di-dia ... baik padaku."
"Lalu?" Setelah tatapan gadis itu bersirobok dengannya, Hitomi menambahkan. "Inuyasha?"
"Aku tetap menyayanginya sebagai sahabat," sahutnya cepat.
Mereka berdua terdiam selama beberapa waktu.
Ibu Kagome menghela napas, menepis pikiran buruk yang menggodanya, sedetik kemudian wajahnya melembut, "dan aku menyayangimu Kagome. Aku akan bahagia bila kau bahagia, jangan lupakan itu."
Gadis kuil itu tersenyum manis. "Tidak akan, Mama."
~.
Keesokan harinya, Kagome berangkat sekolah dengan semangat yang membara. Namun bara itu padam tatkala ia melihat halaman sekolahnya penuh dengan para murid laki-laki yang bergotong-royong mengangkat berbagai jenis papan untuk membangun stand yang mewakilkan tiap kelas. Seluruh sekolah sibuk mempersiapkan bunkasai, festival tahunan. Menghadiri sekolah di waktu yang tidak terlalu penting membuatnya mengumpat dalam hati. Namun, Eri, Yuka, dan Ayumi sedikit berhasil menghiburnya. Merekapun berhasil meyakinkannya untuk ikut andil di paduan suara, pentas drama, dan menjadi koki di waktu yang sama.
Pulang sekolah, matahari sudah bersiap kembali ke pembaringannya. Seluruh tenaga Kagome bagai habis tak bersisa, ternyata persiapan bunkasai tak lebih mudah daripada bertarung melawan youkai di era feudal. Saat ia masuk ke rumah, ternyata Inuyasha sudah menantinya. Seperti biasa, hanyou itu ikut bergabung makan malam dan menghabiskan waktu bersama keluarganya.
Malam telah menyapa, sang bulan mulai merangkak ke posisi tertingginya di langit angkasa. Kagome berbaring di kasur, sedangkan Inuyasha bersandar di sisi ranjangnya.
Alam mimpi tak jua merenggutnya, oleh sebab itu, ia memutuskan tuk memulai perbincangan dengan sahabat hanyou-nya. "Ano, Inuyasha."
"Ada apa?" tanya Inuyasha tanpa membuka mata.
"Mengapa kau datang?"
"Tentu saja karena kita sudah harus mencari pecahan bola empat arwah yang tersisa."
"Menjemputku?"
Laki-laki itu mengangguk kecil.
"Hanya itu?"
"Rin dan yang lainnya menanyakan keadaanmu." Tanpa bersungguh-sungguh, Inuyasha menggerutu tentang hanya ia yang bisa datang ke dunia Kagome.
"Dan kau tidak?" Tanya Kagome dengan jenaka.
"Keh, tidak akan ada yang dapat menyakitimu disini."
Mendengar itu Kagome tersenyum, lalu berujar, "kau pasti sangat mengkhawatirkannya."
Paham dengan siapa yang dimaksud sahabatnya, Inuyasha menyahut. "Ia akan baik-baik saja. Kita akan segera menghabisi Naraku."
Kagome mengamini pernyataan sahabatnya, "mm-hm, aku yakin itu. Kikyo adalah wanita yang tangguh." Biru kelabu melirik ke sosok di kanannya dan jalan pikirannya berbelok dengan mudah. 'Silver, betapa surai keduanya terlihat serupa ...'
Otot sebesar kepalan tangan milik Kagome yang berada di dalam dadanya sontak berdetak cepat dan kuat. "Inuyasha ... " gadis itu berhenti beberapa saat lamanya, ragu-ragu ia menambahkan, "ada beberapa hal yang membuatku bertanya-tanya."
"Cepat katakan!" perintah Inuyasha. Nadanya tak lagi kasar, malah terdengar hampir datar.
"Ng, sudahlah, lupakan saja," tepis Kagome.
Tanpa menengok pun Inuyasha dapat melihat rasa malu di kata-kata Kagome barusan. "Keh, dasar!"
Sesaat keduanya tertelan pikiran masing-masing. Kini, giliran Inuyasha yang berganti menjadi pemecah keheningan. "Jadi ..."
"Jadi?" gema Kagome dalam heran.
"Sesshoumaru?" Nada tak percaya Inuyasha saat bertanya seperti melihat bulan dan matahari bersandingan.
Wajah Kagome memanas, ia menarik selimut hingga menutupi setengah kepalanya.
"Apa yang si brengsek itu lakukan padamu dua malam yang lalu?" rasa penasaran memenuhi suara laki-laki itu.
"Tidak ada."
"Tidak ada?" ledeknya.
Gadis itu mengangguk walau temannya tak dapat melihat, berharap setengah kebohongannya tak terdeteksi ketika ia berkata, "ia hanya mengatakan sesuatu yang membuatku bingung." Kesadaran akan hal lain tiba-tiba menghentaknya, "dan jangan panggil Sesshoumaru seperti itu karena ia tidak brengsek!" Kagome merengut, "ia bahkan ... tidak berani menyentuhku." Tidak secara langsung.
"Keh, si bajingan itu ternyata menepati janjinya."
Lagi-lagi, kata itu! "Janji? Janji apa maksudmu, Inuyasha?"
Inuyasha mendengus, "aku membuat si- tch, aku membuat dia berjanji untuk tidak menyentuhmu."
Dengan cepat Kagome membuka selimut dan menoleh ke sahabatnya. "Kenapa?"
"Kenapa?" Laki-laki itu berbalik untuk menatap sahabatnya dengan wajah meradang. "Tentu saja karena aku takut ia menyakitimu lagi seperti waktu itu."
"A-aku ..."
"Gadis bodoh! Kau pikir aku tidak tahu bahwa dia yang melukai lehermu, hah?"
"Ia tidak bermaksud seperti itu," sanggah Kagome. "Ia bertindak seperti itu hanya karena aku memprovokasinya."
Bukan karena ia mempersulit hubungan keduanya, hanya saja Inuyasha sangat jauh dari tipe pria yang amat terampil mengolah kata bila harus menjelaskan tentang adat para inu secara terperinci. Karena itu ia hanya mendengus, kembali memunggungi Kagome, dan menjawab pendek, "mungkin."
"Tapi, terima kasih telah mengkhawatirkanku, Inuyasha."
"Keh!" Hanya itu respons yang keluar dari sang inu hanyou.
"Inuyasha?" Sebagai jawaban, laki-laki yang dipanggil itu bergumam tanda mendengarkan, dengan itu Kagome melanjutkan. "Dua malam yang lalu, ia mengatakan sesuatu padaku." Inuyasha menoleh, emas yang mirip dengan milik seseorang itu sempat membuat Kagome terpana sesaat sebelum kembali berbicara. "Kata-kata mengganggu yang selama ini Sesshoumaru lontarkan ternyata ..., i-ia..." entah mengapa sulit baginya untuk mengulangi kalimat yang sehari ini terus terngiang di kepalanya. "I-ia berkata..., a-aku..."
"Aku mengerti."
"Benarkah?" Kedua matanya melebar, Kagome berguling, ia kini telungkup di tepi kasur dengan bertumpu pada kedua siku untuk menghadap sahabatnya itu. "Kau juga mendengarnya?"
Inuyasha mengangguk.
Sikap gadis itu kelewat antusias saat bertanya lagi. "Lalu?" Kedua alis hanyou itu berkerut di tengah, ia tak mengerti saat pemilik iris biru kelabu itu bertanya, "Apa yang harus aku lakukan?"
Ingin rasanya Inuyasha tertawa terbahak-bahak dan teriak disaat yang sama. Bagaimana mungkin ia tahu apa yang harus gadis itu lakukan? Tanyakan padanya cara untuk bertahan hidup sendirian di alam bebas, itu lebih mudah baginya dibandingkan dengan pertanyaan tentang segala macam hal menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan di luar cinta platonik.
Inuyasha menjawab dengan iritasi yang dibuat-buat. "Yang harus kau lakukan adalah cepat selesaikan urusan bunkasai di sekolahmu itu lalu segera ikut bersamaku, menemui si pangeran es itu lalu tanyakan sendiri padanya, kemudian kita bisa memulai lagi pencarian Shikon no tama."
Sebagai bentuk protes, Kagome mengerucutkan bibirnya. Melihat ekspresi temannya itu, Inuyasha susah payah membunuh senyum yang mulai merangkak. Pemilik Tessaiga itu memalingkan wajah dan memerintah dengan nada yang sengaja dibuat kasar. "Sekarang cepatlah tidur!"
"Baiklah," jawab Kagome dengan malas selagi mengempaskan tubuhnya kembali berbaring di ranjang dan menarik selimut.
Ketika gadis itu sudah memejamkan mata, Inuyasha melepaskan senyum yang ditahannya. Awalnya memang ia merasa sakit melihat kedekatan Kagome dengan kakak tirinya, tapi kini berbeda, ia pun tak mengerti. Rasanya aneh, tapi apa yang dirasakannya itu benar adanya. Kebahagiaan Kagome menular. Persahabatannya bersama gadis itu saja sudah membuatnya bahagia.
Satu pelajaran lagi yang didapatnya dari gadis itu, berbahagia untuk orang lain ternyata mudah. Mungkin ia akan sedikit membantu Sesshoumaru nanti. Dalam sekejap ia berubah pikiran, melihat youkai sombong itu sedikit kewalahan pasti akan sangat menyenangkan.
~.
Kaki Sesshoumaru melangkah perlahan tanpa suara. Setiap langkah yang diambilnya, semakin banyak bimbang di dalam benaknya. Tidak pernah ia merasa sebingung ini. Terang-terangan ia melihat kepergian Inuyasha dikala senja. Tanpa setetespun keraguan, adik tirinya itu melompat masuk ke dalam sumur dan menghilang begitu saja disertai cahaya asing yang tak dikenalnya. Cahaya yang bukan berasal dari energi youki maupun reiki.
Safir emas itu menyorot tajam diantara kelopak mata yang memicing. Sesshoumaru tak menggubris semua umpatan di sudut terdalam pikiran yang menggerus harga dirinya ketika tangannya menelusuri kayu yang masih membawa semburat tipis harum Kagome. Gemerisik dedaunan kering yang tertiup angin membuatnya menarik tangan ke sisinya. Kepalanya tak menoleh tapi indera pendengaran dan penciumannya waspada. Setelah ia yakin tidak ada mahluk lain selain dirinya di padang rumput, ia kembali memusatkan diri pada sumur keramat itu.
Tepat saat ia berdiri di sisi sumur, ia merasa konyol.
Ketika ia melompat ke dalam sumur, ia merasa bodoh.
Tatkala tak terjadi apapun, ia merasa sial.
Masih dengan penuh keanggunan, ia melompat keluar dan menatap lekat sumur tua itu. Sebuah desakan membuatnya merasa harus menemui Bokuseno saat itu juga walaupun ia ragu youkai pohon yang tuanya hampir setara dengan bumi yang dijejaknya itu mengetahui apa yang diidam oleh rasa ingin tahunya saat ini.
~.
Tiga hari telah berlalu, hari keempat ia berada di zaman modern adalah hari festival itu diadakan. Festival itu adalah festival yang paling kacau yang pernah dialaminya, himono yang ia bawa ternyata terbuat dari daging youkai sejenis jamur yang akan kembali hidup bila terkena air panas maupun api. Beruntungnya, ada Inuyasha yang ikut menghadiri festival itu bersama keluarganya. Berkat kaze no kizu milik Inuyasha, satu pentas drama diakhiri dengan aksi yang memukau, dua mononoke lemah berhasil dilenyapkan. Dan berkat cakar mematikan miliknya, youkai ketiga yang berwujud ikan berubah menjadi hidangan tereksotis yang ada di festival tahunan itu.
Setelah berpamitan dengan keluarga Kagome, keduanya sudah berdiri di sisi sumur lengkap dengan tas kuning yang penuh dengan barang, dan empat plastik besar yang tergeletak di kanan-kiri mereka.
"Kau sudah siap?" tanya Inuyasha.
Kagome mengangguk. Merasa itu cukup sebagai tanda, Inuyasha meraih keempat plastik lalu melompat ke dalam sumur keramat itu. Serta-merta gadis itu mengikuti. Sinar biru pucat menyeruak tatkala keduanya menerobos portal penghubung waktu.
Udara yang bersih khas era feudal menyambut Inuyasha dan Kagome, atap kuil kecil di atas sumur berubah menjadi langit senja kemerahan dihiasi oleh segerombolan burung yang melintas, desir angin menggantikan deru mesin. Tapi ada sensasi lain yang menyambut kedatangan gadis zaman modern itu.
Apa yang ia rasakan samar namun jelas, bagai embusan angin yang menerpa kulit, lembut namun kuat disaat yang sama.
Gadis itu sedikit terbata-bata, "i-ini..." Sesshoumaru?! Satu-satunya respon saat itu dari Inuyasha adalah suara dengusan yang bercampur dengan gelak tawa yang tertahan.
Desa itu sedamai sebelumnya, satu yang membedakan adalah aura youki tipis milik Sesshoumaru yang menyelimuti keseluruhan tempat itu, termasuk hutan yang dinamakan hutan Inuyasha. Sebuah deklarasi tak terbantahkan bahwa tempat itu kini berada di dalam perlindungan sang Daiyoukai. Tidak akan ada mononoke, youkai maupun apapun juga yang berani mendekat. Bahkan para penjahat manusia pun gentar oleh aura yang mengintimidasi itu.
"Si bajingan itu bergerak cepat," gumam Inuyasha di bawah napasnya.
"Hah?" Kagome menoleh kepada sahabatnya dengan pandangan bertanya, tapi ia diabaikan, Inuyasha masih sibuk dengan plastik-plastik belanjaan di tangannya. Kata yang terdengar dari laki-laki itu seperti umpatan namun, wajahnya mengungkapkan hal yang sebaliknya, Inuyasha berjalan sambil menyeringai.
"Apa kau mau berdiri disana seharian heh?" Tegur laki-laki separuh siluman itu.
"Gome." Kagome mulai melangkahkan kaki.
Baru saja atap pondok nenek Kaede terlihat, ia sudah disambut oleh seorang kitsune dan gadis kecil yang hampir selalu penuh semangat, keduanya berlari ke arahnya sambil meneriakkan namanya dengan sangat antusias. Rin menghambur ke pelukannya, sedangkan Shippou berhenti ketika sudah di hadapannya.
"Kau lama sekali Kagome," celetuk Shippou.
"Syukurlah kau sudah kembali, Nee-chan."
"Inuyasha membawakan sesuatu untuk kalian." Tak sabar untuk menerima makanan ninja yang dibawa oleh Kagome, kedua bocah yang kegirangan itu segera mengikuti hanyou yang ditunjuk masuk ke dalam pondok.
Sang miko modern itu sudah menyingkap tirai bambu pengganti pintu, kepalanya menoleh, iris biru kelabu itu mengedarkan pandangan, menjelajahi bukit diseberang sungai, deretan pohon di kejauhan, mencari-cari sosok Daiyoukai yang dirindukannya, namun nihil.
Semua sudah menerima bagiannya masing-masing, tambahan persediaan obat dan selimut untuk Kaede baa-chan, Inuyasha mendapat satu bungkus besar keripik kentang, satu kaleng soda untuk Miroku, Sango mendapatkan satu bungkus marshmallow, bahkan Jaken kebagian satu bungkus permen kenyal berbentuk potongan semangka. Shippou dan Rin mendapatkan holder lollipop, sebuah alat kecil yang bisa membuat lollipop berputar di mulut bila tombol kecil yang ada di badan alat itu ditekan.
Kagome kembali meletakkan sesuatu di dalam tasnya karena inu youkai yang menjadi calon pemilik tak terlihat dimanapun. Dengan berkumpulnya mereka, percakapan ringan bergulir, lambat-laun perbincangan itu berubah serius tentang pecahan mereka yang berhasil direbut oleh Naraku. Tapi itu tak berlangsung lama sebelum kembali menjadi derai canda tawa yang diakhiri dengan makan malam sederhana bersama.
Perut yang terisi penuh membuat, Jaken, Rin, dan Shippou bahkan nenek Kaede cepat terlelap. Namun, malam cerah itu terlalu berharga untuk tidak dinikmati oleh Sango, Miroku, Inuyasha, dan Kagome. Mereka menghabiskan waktu di sebuah bukit kecil yang menyanjikan hamparan langit malam bertahtakan crescendo keperakan, dan bertabur bintang di atas bentangan lembah yang luas.
Kesederhanaan yang menyajikan kemewahan alam itu memukau siapapun yang ada namun, tidak miko muda itu. Duduknya tak tenang, sesering matanya berkedip sesering itulah ia menolehkan kepala ke berbagai arah. Penglihatannya menjelajah kejauhan hanya untuk menangkap sosok silver yang tak nampak dimanapun.
Waktu merangkak perlahan, suhu kian turun. Sango dan Miroku memutuskan untuk beristirahat lebih dulu. Kekhawatiran Inuyasha padanya tak membuat gadis itu beringsut, Kagome tetap bertahan disana dengan alasan piyama panjang yang dikenakan tetap membuatnya hangat. Di luar protesnya, Inuyasha tetap menemaninya hingga tiba-tiba ia beranjak pergi tanpa kata. Pada awalnya, Kagome menganggap Inuyasha marah padanya. Tapi, kemunculan sosok silver yang menyita sebagian besar mimpi siangnya beberapa puluh detik kemudian menggeser persepsinya tentang sahabatnya itu. Inuyasha memberi waktu untuknya dan Sesshoumaru. Seakan memiliki kehendak sendiri, tubuhnya menegak sebelum bangkit berdiri.
Perjalanan Sesshoumaru ke hutan di kaki gunung Fuji tuk menemui Bokuseno sia-sia, tapi rasa tak menyenangkan itu terlupakan begitu saja kala miko itu terjangkau penglihatannya. Semesta miliknya tak lagi berpusat pada dirinya sendiri melainkan kepada gadis berpakaian aneh yang berdiri di kejauhan. Kepergian Kagome selama beberapa hari telah membuatnya tersadar bahwa, gadis itu mendorongnya secara paksa ke lingkaran perasaan menyiksa yang baru dikenalnya: Rasa yang bernama rindu.
Namun, rasa tak mengenakan yang menggerogotinya mulai menipis ketika ia menghirup wangi yang ia idamkan. Matanya puas dengan apa yang ditangkapnya, wajah merona gadis itu, mata yang berbinar ketika menatapnya, bibir yang bersinar tatkala tersenyum untuknya. Kagome bahagia melihat kedatangannya.
"Hai," sapa Kagome sambil melambaikan tangannya.
Sesshoumaru mengangguk. Sebuah sapaan santai sudah membuat degup di dadanya bertalu-talu, 'bodoh!'
Kini mereka berdiri berhadap-hadapan. Sesshoumaru meneliti pakaian yang dikenakan gadis itu, ada kelegaan dan sedikit kekecewaan kala ia melihat baju lengan panjang bergambar kucing dan celana panjang berwarna biru muda itu. "Apa yang kau lakukan sendirian di tempat ini?"
"Mm, menunggumu?" nada Kagome seperti bertanya. Secara tak acuh, bahunya terangkat ke atas untuk sedetik lamanya. "Lagipula tadi aku tidak sendiri, Inuyasha menemaniku." Mulutnya tak diam untuk waktu lama, "bagaimana harimu?" tanyanya riang.
Pertanyaan simpel, tapi itu cukup membuat Sesshoumaru untuk tertegun sekerjap mata. Tidak pernah ada seseorang yang berbasa-basi dengan menanyakan harinya sejak ia menginjak usia youkai dewasa.
Miko muda yang seakan tak pernah kehabisan bahan pembicaraan itu menghadapi diamnya sang Dai youkai dengan mulai menceritakan dirinya. "Tiga hari yang lalu mungkin adalah hari-hari tersibuk untukku di bulan ini, pengejaran Naraku di gunung Hakurei tak dapat dibandingkan dengan kekacauan di sekolahku. Um, di tempatku belajar maksudku." Kagome tertawa kecil mengingat ia sempat mengira bahwa ia melihat seseorang yang mirip dengan Sesshoumaru menyaksikan pentas dramanya dari bangku penonton.
"Teman-temanku terus menyeretku untuk mengikuti ini dan itu. Menyenangkan memang, tapi tetap saja, aku merindukan tempat ini." Kedua tangannya terbentang sebelum jari-jemarinya kembali terkait di depan tubuhnya. "Mm, sekarang, ceritakan padaku tentang hari-harimu," pintanya.
"Sesshoumaru ini tidak memiliki sesuatu untuk diceritakan."
"Sayang sekali kalau begitu," suara gadis itu sedikit murung sebelum kembali antusias. "Tapi, kau memiliki jawaban dari hal yang ingin aku tanyakan."
Sesshoumaru berkata dengan nada monotonnya, "sebuah permainan lagi."
Kagome melepaskan bibir bawah yang digigitnya, kebiasaan buruk kala ia gugup. "Aku lebih suka menyebutnya sebagai simbol pertemanan, persahabatan terjalin dengan cara berbagi cerita bahkan terkadang rahasia. Dengan cara itu, kita bisa lebih mengenal satu sama lain."
Terlepas dari apa yang mereka bicarakan, Sesshoumaru berucap, "Mereka memperhatikanmu."
Kagome menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada siapapun yang terlihat. "Siapa dengan mereka yang kau maksud?"
Sesshoumaru menolehkan kepala ke arah pondok lantas berkata, "biksu dan tunangannya."
Gadis itu mengikuti arah pandangan sang Dai youkai. 'Oh, tentu saja, pendengaran para inu, bagaimana aku bisa lupa? '
"Sango dan Miroku," gumam Kagome.
"Mereka berdebat tentang apa yang akan terjadi di antara Sesshoumaru ini dan dirimu."
Kedua alis miko muda itu terangkat ke atas, mulutnya sedikit terbuka sesaat sebelum kembali tertutup. Teman-temannya memang peka, tapi ia tidak mengira mereka sepeka itu. "Aku sama sekali tidak terganggu dengan itu namun," gadis itu memiringkan kepalanya, "apa ... kau merasa terganggu?"
Sesshoumaru kembali menatap lurus Kagome.
"Sesshoumaru ini tidak terpaku pada pendapat orang lain tentangnya." Jeda beberapa saat, "pertukaran diadakan." Fokus gadis itu kembali tersedot, ia hanya dapat mengerjapkan mata dua kali ketika inu youkai itu tiba-tiba bertanya, "berapa usiamu?"
"Erm, beberapa bulan lagi aku akan berusia 16 tahun." Pertukaran inikah yang ia maksud? Sesshoumaru pun ingin tahu tentang diriku?
Kagome mengerti bahwa kini adalah gilirannya. Ia berdeham, menelan kegugupan, dan mengumpulkan nyali tuk menanyakan hal yang akhir-akhir ini mencekik otaknya dan membayangi setiap detik yang dimilikinya. "Sesshoumaru, apa yang kau maksudkan dengan kalimat terakhirmu padaku beberapa hari yang lalu?"
Kagome menunggu. Wajah datar itu tak berubah.
Baritone-nya kian dalam saat balik bertanya. "Kau tidak menangkap makna yang Sesshoumaru ini coba jelaskan?" Tidakkah itu lebih dari cukup membeberkan kehendaknya? umpat benak pria itu. Keinginan terdalamnya adalah menjadikan gadis itu sebagai pasangan!
Geraman halus keluar dari dada Sesshoumaru. Ia mengingatkan diri sendiri bahwa sang miko berpikir dengan cara yang sangat manusiawi. Bagaimanapun juga, gadis itu adalah manusia. Ia butuh jaminan dalam bentuk kata-kata yang umum digunakan.
Sentimentalitas khas manusia.
"Tidak sepenuhnya," sahut Kagome. Perasaan bodoh telah dikesampingkan, ada hal yang lebih mendesak, ia butuh kejelasan, ia butuh jaminan dalam bentuk kata. "Aku anggap itu sebagai pertanyaan lainnya. Dan sekarang giliranku bertanya lagi."
Sang Daiyoukai menatapnya seakan kepala lain muncul dari salah satu bahu gadis itu. Apa yang baru saja ia ucapkan bukanlah pertanyaan. Ia takkan menyerahkan kesempatannya untuk balik bertanya. Oleh karena itu ...
Keduanya bertanya dalam waktu yang bersamaan.
Emosi berkecamuk pada manik biru kelabu gadis itu. "Apa yang kau rasakan saat ini?"
Amber milik pria itu bersinar oleh tekad. "Apa tujuanmu kesini?"
Niatan keduanya untuk mengenal satu sama lain telah bulat. Kagome kembali menggulirkan pertanyaan.
"Apakah kau marah?" suara feminin itu bertanya.
Intonasi pria itu tetap datar, "Dari zaman apa kau berasal?"
Pertanyaan itu hanya dibalas dengan pertanyaan lainnya.
Nada Kagome merendah, "Apakah kau pernah merasakan ... cemburu?"
"Dari mana asalmu?" desak Sesshoumaru penuh penekanan.
Jeda.
Suara miko itu hanya sebatas bisikan. "Dan, pernahkah kau ... merasakan cinta?"
Hening.
"Kau pasti pernah merasakannya, baik itu kepada sesuatu, atau seseorang," imbuh gadis itu dengan polos.
"Cinta?" ulang Sesshoumaru. Jika saja pertanyaan itu diberikan padanya sepuluh tahun lalu, ia akan menjawab, 'mendengar kata itu saja sudah sangat menggangguku.' Tapi, tentu saja, tidak sekarang.
Kagome menatap pria itu, garis rahang yang tegas, wajah penuh ketenangan. Untuk gadis itu pribadi, definisi cinta telah berubah menjadi uraian warna silver, putih, dan emas. Emas yang hangat. "Iya, cinta," gaung Kagome.
Cinta. Apa yang dulu selalu dikejar Sesshoumaru adalah kekuatan. Saudara tirinya menuduhnya mencintai kekuatan.
Hingga saat ini pun ia tetap mengejar kekuatan, tapi dalam bentuk wanita muda yang berdiri selangkah darinya; kekuatan untuk menyentuh bibir merah muda itu, kekuatan untuk membelai kulit halus di wajah manis itu, kekuatan untuk menguraikan rangkaian kata penuh makna untuk sang calon pasangan.
Kekuatan yang sekarang dicintainya adalah ... balasan cinta dari Kagome.
Ditatapnya miko muda itu lekat-lekat. Tatapan mata yang malu namun penuh harap membuat insting Sesshoumaru siap untuk melakukan sebuah pengejaran bila diperlukan. Harum manis kebahagiaan yang menguar bagaikan sebuah undangan. Semua yang ia lihat, dengar, dan rasakan adalah tentang gadis itu, Kagomenya.
Jarak antara ia dan miko muda itu menyempit. Tangannya melingkari pinggang gadis itu. Reaksi Kagome membesarkan hatinya, kedua mata gadis itu terpejam, kepala bersurai hitam pekat itu menengadah, sedikit miring ke kiri.
Apa yang Kagome lakukan hanyalah mengikuti naluri. Tapi itu memiliki makna yang berbeda dan sangat kuat bagi Sesshoumaru.
Miko itu memamerkan lehernya, membuat posisinya rentan, dan itu adalah cara penyerahan diri paling klasik bagi semua jenis canine. Tak terkecuali bagi sang inu youkai seperti Sesshoumaru.
Tak salah lagi.
Gadis itu pun menginginkannya.
Sudut bibir Sesshoumaru berkedut ke atas, ia telah mendapatkan kekuatan yang didambakannya.
Sebuah permohonan dilakukan Sesshoumaru dengan bahasa primal para inu, pipi kanan mereka saling bergesekan beberapa detik sebelum bibir sang DaiYoukai menempel di bibir miko itu. Kecupan lembut itu menjelma menjadi ciuman yang manis dan terkesan polos. Tangan Kagome bergerak naik, satu tangan meraut mokomoko halus di bahu kanan Sesshoumaru, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat kimono di bagian punggung pria itu. Ketika bibir Kagome terbuka, ciuman itu terhenti.
Kagome membuka mata dengan cepat, kepanikan yang mulai mendera gadis itu sontak luruh ketika ia menyadari bahwa Sesshoumaru yang sudah menarik diri sedang menatapnya dalam-dalam, bagai hendak mengukir wajahnya di tempat khusus dalam benak.
Suara pria itu semakin berat. "Cinta," bisik Sesshoumaru dalam nada merdu yang menyatakan sebuah ungkapan rasa untuk calon pasangan yang ada di hadapannya, teruntuk gadis yang telah memintal serabut kasih menjadi sayang, menjalin rasa yang menjelma menjadi cinta.
Mutlak baginya, gadis itu sendiri adalah perwujudan dari satu kata yang baru saja ia dengungkan. Kagome adalah cintanya.
Pernyataan dan tatapan pria itu sarat makna, dan Kagome mengerti, kristal buah dari perasaan indah lantas menggenang di kedua permata miliknya.
Suara halus gadis itu sedikit parau saat dua kata yang menjadi jawaban sekaligus melambangkan arti Sesshoumaru bagi dirinya terucap, "Masa depan."
Seiring waktu, semakin dalam Kagome terjatuh, semakin hatinya meninggikan Sesshoumaru. Baginya, pria itu tak lagi hanya sebuah enigma, tapi kekasih, calon belahan jiwa di hidupnya. Sesshoumaru adalah masa depannya.
Pipi gadis itu basah oleh dua tetes air mata. Tangan kanan Sesshoumaru sudah terangkat, tapi terhenti di tengah jalan. Tatkala ia hendak meminta izin, di saat itulah suara lembut Kagome memecah kesunyian.
"Kau boleh menyentuhku."
Pria itu memendam pertanyaan, ia menghapus jejak basah di bawah mata kanan Kagome dengan punggung jarinya. Berhati-hati dengan cakar yang dimilikinya, Sesshoumaru mengusap pipi kiri gadis itu dengan ibu jari tangan kanannya.
Apa yang semakin membesarkan hati dan meninggikan ego Sesshoumaru adalah, tidak ada lagi sengatan yang sedikit menyakitkan. Reiki gadis itu pun takluk olehnya.
Raut wajah gadis itu dipermanis dengan semburat indah. Sosok Kagome saat itu hanya dapat diwakilkan satu kata, kelembutan. Pandangan Sesshoumaru beralih dari wajah ke bibir yang merekah. Tanpa diperintah, jari-jarinya menelusuri kulit halus itu tak lama sebelum menyusuri bagian yang menjadi titik fokusnya saat itu: sepasang kelopak merah muda. Dengan gerakan lambat, buku ibu jari Sesshoumaru membelai bibir bawah Kagome, dari satu sisi ke sisi lainnya. Sesuai bayangannya, halus.
Otomatis kedua jendela jiwa Kagome kembali tertutup, dia membiarkan indera perasa lainnya mengambil alih. Ini bukan pertama kali Sesshoumaru menyentuhnya tapi, semuanya terasa berbeda ketika mereka telah saling mendeklarasikan cinta. Sentuhan lembut pria itu kini merupakan sebuah kemewahan yang mencuri napasnya dan mengguncang bumi yang dipijaknya.
Seakan patuh oleh jari-jemari Sesshoumaru, bibir gadis itu terbuka: Sebuah undangan. Alam yang terbentang di sekelilingnya menjadi latar belakang yang buram, yang ada di penglihatannya hanyalah wajah manis dan sepasang bibir Kagome yang terlihat menggoda.
Tangan Sesshoumaru bergerak turun ke leher, lalu menangkup bagian belakang kepala Kagome. Ia mendekatkan wajahnya perlahan, ujung hidungnya membelai rahang gadis itu sebelum digantikan dengan bibirnya yang kemudian turun ke leher sang miko. Setiap belaiannya seringan bulu. Ketika tangannya turun ke pinggang Kagome, bibir Sesshoumaru beranjak naik ke telinga gadis itu.
Pria itu semakin kuat memeluknya. Napas hangat Sesshoumaru menyapu daun telinganya, rambut halus di tangan dan kakinya berdiri kala Sesshoumaru berbisik pelan, "Apapun yang terjadi, jangan lepaskan!"
Kagome tak mengerti dan tak memiliki waktu cukup untuk berusaha mengerti sebab sedetik kemudian, bibir Sesshoumaru sudah menyentuh bibirnya. Pria itu menekan bibirnya perlahan, sebelum bergerak pelan, penuh perasaan. Di ciuman pertama, Kagome lebih mengeratkan pelukan, tidak menyisakan satu inci pun ruang yang memisahkannya dari pria yang mencuri hatinya.
Dengan tulus, bibir miko itu ikut menari dalam pertautan cinta. Keduanya berpisah hanya untuk mengambil udara. Di kali kedua, ciuman itu berubah panas dan semakin dalam, Kagome dapat melihat ledakan bintang di angkasa meskipun kedua matanya terpejam. Ada sedikit keliaran yang terasa kala Sesshoumaru menggigit kecil bibir bawah Kagome di ciuman ketiga.
Sebuah kecupan ringan penuh cinta yang mendarat di bibir dan kening gadis itu menjadi akhir ciuman mereka. Sesshoumaru menempelkan keningnya di kening Kagome. Masih memejamkan mata, miko muda itu tersenyum.
Efek dari pertautan bibir itu amatlah dahsyat bagi Kagome, hingga kini pun lututnya lemah, dan tubuhnya masih terasa melayang. Panas di wajah menyebar ke lehernya, ia tahu pasti Sesshoumaru dapat mendengar detak jantungnya yang menggila dengan lantang.
Rasa malu tak dapat mengurungkan niat Kagome tuk menatap wajah pria yang dicintainya. Memberanikan diri, gadis itu membuka mata. Ketika menyadari keberadaannya, ia terkesiap lalu memekik kecil sebelum membenamkan wajahnya di leher Sesshoumaru.
Sebuah tawa kecil yang tertahan di dada pria itu terdengar.
Tangan Kagome semakin erat memeluk Sesshoumaru, perlahan ia mengangkat kepalanya untuk memandang sekitar. Bulan sabit terasa dekat. Cahaya bintang seakan mengerling nakal disampingnya. Angin berembus kencang. Puncak pohon terlihat jauh dibawah mereka. Saat itu, mereka melayang!
Ciuman dari inu youkai itu bak pengganti debu peri, dongeng yang disukainya tak dapat dibandingkan dengan apa yang dirasakannya pada detik itu: Sesshoumaru menghadirkan kebahagiaan yang tak tertandingi tatkala membawanya menentang gravitasi.
Senyum tak lepas dari gadis penjelajah waktu itu.
"Aku terbang," gumam Kagome lebih kepada diri sendiri.
"Secara harfiah," sahut Sesshoumaru lembut.
Sepasang kekasih bertukar tatapan penuh arti.
Keegoisan yang menerpa Sesshoumaru tak pernah terpikirkan. Tapi pria itu paham bahwa ia tak lagi mempunyai pilihan.
Dengan nada serius, ia mengutarakan harapannya, "Jadilah milikku, Kagome."
~To Be Continued~
Terima kasih untuk semua yang udah vote, comment, dan menambahkan Paramour ke dalam reading list-nya *deepbow.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top