PART 5
PART 5
"Good move. Memang dalam hidup, kita harus berani mengambil keputusan besar entah itu sekedar nyoba atau nyari pengalaman. Daripada mundur sebelum berjuang, bukan?"
"Iya, benar," angguk Jati.
"Karena terkadang manusia menyesali ketika kesempatan yang pernah datang, telah berlalu. Dalam bisnis, orang-orang menyebutnya peluang. Opportunity."
Lagi-lagi, Jati harus setuju dengan perkataan Yasa.
Never waste the opportunities that come up, because the same opportunity will not come twice.
Jati pernah membaca quote tersebut entah di mana.
Opportunity is an occasion or situation that makes it possible to do something that you want or you have to do.
Dalam bisnis, opportunities itu sendiri merupakan hal eksternal yang mempengaruhi bisnis. Peluang dapat dimanfaatkan tetapi tidak dapat diubah.
It means, opportunity can be took or wasted, depends on what you need and you want.
"Proyek ini harus sukses, Jati. Kita harus bekerjasama. Jangan sungkan bertanya kalau ada hal yang nggak kamu mengerti. Kita satu sama lain juga akan saling mengingatkan jika ada kekeliruan."
"Baik, Mas. I'll try my best."
Gelas kopi di tangan Jati tanpa terasa sudah berkurang setengah. Obrolan seputar proyek selalu saja berhasil menyita perhatiannya, tidak peduli siapa lawan bicaranya. Di dalam benaknya sudah terbayang seperti apa wujud bangunan dan penataan lingkungan di sekitar perumahan setelah proyek selesai. Jika proyek itu sukses, hal itu akan menjadi pembuktian pada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjadi calon pebisnis real estate dengan memanfaatkan kesempatan yang telah datang kepadanya.
***
Lobbyn Sky Terrace
"Sensi amat lo ah! Gitu doang lo marah, sampe nggak mau ngangkat telepon gue!"
Yasmin hanya melirik Ana sebal sebelum duduk di salah satu kursi Lobbyn Sky Terrace. Mereka sama-sama menyukai kafe bertema rooftop dan bisa dibilang kafe yang terletak di lantai paling atas salah satu hotel di Kemang itu termasuk kafe yang sering mereka kunjungi. Ana lebih dulu datang ke kafe itu, mengabari kalau Rafael sedang berada di Kelapa Gading bersama keluarganya. Rafael punya unit apartemen di Kemang, tetapi rumah orangtuanya di Kelapa Gading. Sesekali kalau ingat rumah, dia akan datang ke sana.
"Abis lo tuh ya? Bisa-bisanya lo ngirim chat nggak jelas kayak gitu!" Yasmin tidak kalah ngotot.
"Itu namanya motivasi, Darlin. Sugesti positif. Gue tau, lo tuh udah pengen banget dimesumin sama laki lo, tapi yang ada, dia-nya selempeng itu sama lo. Kaya, lo kepanasan sendiri, dia-nya adem-adem aja. Bikin kesal, tau nggak?"
"Lo kesal sama gue?"
"Ya sama Jati-lah, Neng!"
Yasmin menopangkan tangan di dagu. "Capek juga ya jadi gue? One sided love sejak SMA sampai sekarang udah nikah."
Ana mengangguk. "Hmm, lo pantes dapet medali emas untuk kesetiaan lo, Yas. Gue sih nggak pengen nyebut sahabat gue sendiri dengan sebutan yang nggak mengenakkan. Tapi gimana lagi? Gemes gue sama lo. Coba lo nggak nurutin keinginan lo buat nostalgia sama halusinasi lo itu, lo nggak bakal secapek ini."
"Gue udah pernah berhasil ngelupain dia, Na. Tapi tau-tau aja dia muncul di acara ulangtahun papa, trus nyapa gue duluan dengan sopan. Ya gimana gue nggak baper?"
"Lagian cuma nyapa doang kan? Lo-nya aja yang terlalu baper. Huh. Padahal dengan latar belakang keluarga lo dan lo yang se-perfect ini, mestinya lo bisa dapet yang lebih dari dia. Cowok yang bakal jatuh cinta sama lo banyak, Yas. Lo-nya aja yang nggak bisa ngeliat cowok lain, karena lo terlalu cinta sama Jati."
"Lo udah ceramahin gue berkali-kali soal ini, Na."
"Ya gue ulang-ulang aja biar lo nyesel."
"Ih, lo jahat banget, sumpah!" Yasmin menyarangkan cubitan beruntun ke lengan Ana yang dibalas Ana dengan jeritan kecil.
"Ya udah. Mending sekarang, lo tingkatkan agresivitas lo. Nanti gue bantu dengan doa biar Jati bisa jatuh cinta secepatnya sama lo."
Yasmin tidak tahu apakah Ana serius dengan ucapannya atau hanya berniat menghibur.
"Serius ini," kata Ana seolah membaca pikirannya.
Setelah pelayan selesai meletakkan pesanan mereka, Ana menjelaskan jika sikapnya ini mungkin terasa keras bagi Yasmin. Ana tidak memiliki maksud apa-apa selain menginginkan yang terbaik untuk Yasmin.
Hal ini mungkin ada kaitannya dengan Bian. Sahabatnya itu yang kini hilang entah ke mana setelah Yasmin menolak pernyataan cintanya. Ana jadi salah satu orang yang mendukung hubungan Yasmin dan Bian. Makanya, begitu mengetahui pilihan Yasmin adalah Jati, Ana mengakui jika dia cukup terkejut tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain memberi dukungan. Belakangan, Ana justru jadi pihak yang cukup antipati dengan pilihan Yasmin. Bukan berarti Ana membenci Jati, tapi menurut Ana, Yasmin tidak perlu mengejar laki-laki yang belum tentu bisa balas mencintainya. Yasmin selalu menceritakan keluh kesahnya setelah menikah kepada Ana, dan Ana selalu menunjukkan respon tegas.
"Gue nggak mau menyesali keputusan gue, Na. Gue juga nggak pernah terlalu muluk dalam setiap harapan gue. Gue hanya ingin dicintai sama suami gue sendiri."
"Yang gue takutin, gimana kalau orangtua lo sampai tau sikap Jati ke lo seperti itu. Keluarga lo terpandang, Yas. Siapa yang nggak kenal keluarga Hartadi? Keluarga lo keluarga berpengaruh. Ingat kan gimana mewah dan megahnya pesta pernikahan lo sama Jati? Sangat kontras dengan kondisi pernikahan kalian yang statis kaya gini."
"Money can't buy love." Yasmin berucap pelan.
Keluarganya boleh jadi lebih kaya daripada keluarga Jati, tetapi dia tidak bisa begitu saja memaksakan keadaan. Kalau Jati berniat mencintainya, itu harus berasal dari keinginannya sendiri. Mereka memang menikah karena perjodohan, tetapi bukan berarti mereka harus memaksakan untuk menjadi pasangan suami istri yang saling mencintai. Masih banyak waktu untuk membangun rumahtangga yang bahagia. Seharusnya dia bisa menikmati perjalanan ini tanpa terlalu dikejar target. Apalagi tidak ada tuntutan dari orangtuanya. Memiliki anak, misalnya. Semua keputusan diserahkan kepadanya.
"Jaman sudah berubah, Yas. Sekarang, semua bisa dibeli dengan uang. Perhatian, kasih sayang, cinta...," Ana berhenti untuk menyesap latte. "Tapi untuk kasus Jati, lo tau alasan kenapa sampai saat ini, dia belum mencintai lo?"
Yasmin menggeleng. "Yaa karena dia mau lebih fokus sama kerjaan?"
Kali ini Ana balas menggeleng. "Salah nggak sih, kalo gue bilang alasannya bukan itu?"
"Lo ngomong gini padahal lo nggak kenal sama Jati?"
"Ya ngira-ngira aja. Bisa jadi, sikap dia kaya gitu karena di hatinya masih ada orang lain. Sepertinya nggak beralasan aja, dia nggak cinta sama lo. Lo kurang apalagi, Yasmin? Lo salah satu perempuan nyaris tanpa cela yang pernah gue kenal. Lo ingat kan gue pernah bilang? Andai gue punya kakak laki-laki, gue nggak bakal mikir dua kali buat jodohin dia sama lo. Jadi, kayak non sense aja deh kalo Jati nggak suka sama lo."
Yasmin merasa perasaannya campur aduk mendengar kalimat panjang Ana barusan. Ya, dia tidak mungkin lupa ucapan Ana. Ana juga pernah mengatakan hal itu kepada orangtuanya saat mereka makan siang bersama di rumah Ana di sebuah kesempatan. Ana adalah sahabat terbaiknya, yang dia tahu selalu berkata jujur, meski terkadang kurang sabar dan paling gemar mengomelinya.
"He's straight. Sebelum lo menduga-duga." Yasmin tidak mau jika Ana sampai mengatakan hal itu, jadi biarlah dia mendahuluinya.
"Apa buktinya?"
"Feeling aja sih, Na."
Ana mengerutkan kening dan ketika bibirnya membentuk seulas senyum, Yasmin sudah menduga apa yang sedang dipikirkan Ana.
"Nggak valid sampai ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan."
"Gue nggak mau ngomongin yang ginian. Males." Yasmin menyambar air mineral dingin yang tadi dituangkan ke dalam gelas.
"Berani buktiin nggak?" tantang Ana sambil tertawa ringan.
"Astaga, Na. Lo ngomong apa sih?"
Yasmin tidak mau membuktikannya. Terima kasih deh.
***
Pemandangan Jati yang tengah duduk di ruang kerja lengkap dengan laptop di atas meja, mengurungkan niat Yasmin untuk melangkah masuk ke dalam ruangan tersebut. Belum sempat menutup pintu, Jati menyapanya.
"Aku nggak tau kamu cepet balik," ucap Yasmin setelah berdiri di samping kursi kerja yang diduduki Jati.
"Tadi saya sama Mas Yasa hanya meeting sambil lihat-lihat tahap persiapan. Saya nggak ada tujuan lain. Dari lokasi proyek, saya langsung pulang ke rumah."
"Kamu lagi sibuk?" tanya Yasmin. Dipandanginya monitor laptop yang memunculkan desain fasad unit townhouse. Dari desainnya, unit rumah mengusung konsep minimalis dan sedikit sentuhan rustic.
"Nggak, hanya lihat-lihat saja."
Yasmin melirik kedua paha Jati yang sepertinya cukup nyaman untuk dijadikan alas duduk. Ya, saat ini dia tengah berkhayal duduk di pangkuan Jati, bersama-sama memandangi monitor laptop, dengan dirinya yang mendengarkan Jati menjelaskan tentang proyek tersebut dan sesekali mereka berbagi ciuman kecil dan mungkin mereka akan berakhir di atas sofa krem yang diletakkan di dekat jendela, tidak hanya sekadar berciuman, tentunya. Sambil membuktikan salah satu kecurigaan Ana tentang orientasi seksual Jati.
Suasana seketika hening ketika pandangan mereka bertemu.
Apakah...
Apakah Jati bisa merasakan keinginannya?
Yasmin meringis dalam hati.
Nggak mungkin deh.
Yasmin menarik napas dan menahannya sejenak. Dia harus segera pergi dari situ sebelum pikirannya semakin melantur ke mana-mana.
"Ng...aku ke dapur dulu."
"Yasmin," panggil Jati saat Yasmin baru melangkah sekali.
Yasmin berbalik. Lehernya terasa begitu kaku.
"Saya ingin makan di luar."
Yasmin tersenyum. "Apa aku boleh ikut?"
"Saya nggak mungkin pergi sendiri."
"Makan di mana?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top