PART 26
PART 26
Ketika Jati berbalik, sosok pemilik suara lembut dan tidak asing di telinga, tersenyum kepadanya.
"Ada urusan apa?"
Jati memang tidak sedang ingin menyambut tamu yang datang tanpa diundang. Dia sudah mengabaikan setiap chat dan telepon, tapi mengapa perempuan itu masih juga datang menemuinya?
"Aku sudah bilang kan kalau ada hal penting yang ingin aku bicarakan?" Perkataan dan senyum terasa sama lembutnya.
Sudah sangat lama memorinya terhadap senyuman itu lenyap. Sejak hubungan mereka berakhir, tidak ada lagi yang ingin diingatnya dari perempuan itu selain rasa sakit karena dikhianati.
"Kenapa harus memaksa bertemu?" Jati sedang tidak ingin beramah-tamah. Dia mengabaikan senyuman dan membalasnya dengan memalingkan muka, enggan menatapnya berlama-lama.
"Kamu bilang kamu sudah ikhlas, tapi kenapa malah sekarang kelihatannya kamu menunjukkan sikap yang berbeda?" Reva mencoba menyentuhnya, tapi segera ditepis.
"Mau kamu apa?"
"Jati. Aku datang baik-baik tapi kenapa sikap kamu jadi seperti ini?"
"Katakan saja apa yang mau diomongin. Nggak usah berbelit-belit."
Reva menghela napas. "Oke. Bisa kita cari tempat untuk bicara? Aku butuh duduk."
Jati tidak langsung mengiyakan. Sebaliknya ia memilih balik badan, dan mulai berjalan melanjutkan aktivitasnya melihat lokasi pembangunan taman. Langkahnya terhenti di sebuah bangku kayu kasar yang sengaja dibuat pekerja sebagai tempat duduk-duduk.
"Big project. Tempat ini bakal jadi kawasan perumahan yang sangat nyaman. Harga per unitnya pasti sangat mahal."
"Langsung saja, mau ngomong apa." Jati menanggapi ucapan Reva yang terkesan mengulur-ulur waktu. Ia tidak ingin mengambil resiko menjadi bahan obrolan pekerja yang melihatnya menghabiskan waktu bersama seorang perempuan.
Helaan napas Reva kembali terdengar. "Sebelumnya, aku mau minta maaf untuk semua yang pernah terjadi di masa lalu. Aku tau itu nggak mudah buat kamu menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk seseorang yang justru mengkhianati kamu."
Jati mendengarkan tanpa berminat menanggapi.
"Aku datang menemui kamu bukan bermaksud mengganggu kehidupan kamu apalagi rumahtangga kamu." Reva berhenti sejenak. Rasanya bukan hal yang mudah pula baginya berbicara kepada seseorang yang pernah mengisi hari-harinya selama bertahun-tahun.
"Ada hal yang perlu aku jelaskan ke kamu. Terserah kamu mau percaya atau nggak."
Cara berbicara Reva masih seperti yang dulu, seingat Jati. Lembut, pelan dan penuh kehati-hatian. Reva yang dikenalnya sejak usianya masih belasan tahun, adalah salah satu perempuan paling santun dan baik hati. Tidak berlebihan jika dikatakan manis dan keibuan. Namun, waktu telah mengubahnya menjadi sosok berbeda. Sosok yang tidak lagi melakukan segala sesuatu penuh pertimbangan. Perselingkuhan adalah bukti bahwa Reva telah berubah dari seseorang yang sangat baik menjadi seseorang yang begitu tega menghancurkan kepercayaan yang diberikan Jati selama ini kepadanya.
"Sudah lama aku mengenal Dani. Mungkin bisa dibilang kami adalah sahabat masa kecil di Semarang. Kami terpisah sejak lulus SMA karena dia memilih kuliah di kota lain."
"Aku sudah lama menyukainya. Suka tapi aku nggak berani ngomong ke dia karena malu. Dia populer dan supel banget, selalu dikelilingi perempuan cantik. Bikin aku minder."
"Saat ketemu di Amerika, dia masih pacaran dengan seorang mahasiswi asing. Waktu itu, aku sama kamu sudah resmi pacaran. Aku nggak pernah berharap banyak, karena aku cukup yakin Dani nggak akan melirikku. Dia seperti punya kehidupan yang sempurna banget."
"Suatu hari, kami nggak sengaja ketemu di dorm. Kami ngobrol dan dia bilang kalau saat itu dia sudah nggak punya pacar. Kamu ingat kan waktu itu kita lagi sama-sama sibuk menyelesaikan tesis? Jarang ketemu, teleponan pun jarang. Saat itulah, Dani pelan-pelan masuk ke kehidupanku."
"Keadaan semakin rumit setelah aku hamil. Aku nggak punya pilihan lain selain minta putus dari kamu."
Jati yang sejak tadi diam sebenarnya tidak sekadar diam. Ia mendengarkan semuanya dengan begitu jelas. Diam-diam Reva mengkhianatinya. Namun mereka tidak pernah terlalu jauh membahas hal ini. Bahkan baru kali ini Jati mendengar penjelasan selengkap ini dari Reva. Ia yakin, telah mempersiapkan dirinya dengan baik jika suatu saat Reva kembali datang, karena kini perasaannya tidak lagi iba kepada setiap penuturan Reva.
"Apa ada gunanya membahas hal ini sekarang?"
Apa gunanya membahas hal itu di saat mereka kini telah memiliki kehidupan masing-masing bersama orang lain.
Reva menunjukkan gelengan. "Nggak. Aku hanya ingin melepaskan beban yang selama ini aku rasakan. Aku bodoh banget melakukan ini sama kamu yang udah baik banget sama aku. Kamu nggak pantas dapat perlakuan seperti ini. Bertahun-tahun kamu selalu ada buat aku, dan yang bisa kulakukan hanya melukai perasaan kamu."
"Tuhan punya rencana lain buat saya. Buktinya, saya punya kesempatan untuk bersama perempuan yang sangat tulus mencintai saya."
"Ya, dia beruntung bisa mendapatkan laki-laki setia seperti kamu."
"Bukan dia yang beruntung. Tapi saya yang sangat beruntung."
Reva terlihat menganggukkan kepala.
"Kalian pasti sangat bahagia."
Nada suara Reva terdengar lebih lemah dan pelan.
"Berbeda dengan kehidupanku sekarang."
Jati tidak berniat bertanya, tetapi Reva nampaknya tidak ingin membuatnya merasa tenang.
"Apa boleh aku meminta bantuan? Aku tau aku nggak pantas meminta bantuan setelah apa yang kulakukan sama kamu. Tapi aku nggak punya pilihan lain."
Apa ini maksud lain kemunculan Reva? Untuk meminta bantuan kepadanya?
"Menjadi hak kamu untuk menolak membantuku. Tapi aku benar-benar kesulitan. Anakku sedang sakit keras dan butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit. Dani seperti lepas tangan dan dia bahkan meninggalkan kami setelah mengetahui kondisi David. I know he's such an asshole. Dan aku nggak bisa berharap banyak darinya lagi. Sedangkan kamu tau sendiri, keluargaku bukan keluarga kaya. Nggak banyak yang bisa papa dan mama perbuat lagi."
Jati menahan kalimat 'jadi saat senang kamu ninggalin saya, dan saat susah baru kamu ingat saya?' sebelum meluncur dari bibirnya. Sebaliknya, dia malah terdiam sejenak, sebelum menghela napas panjang dan bertanya.
"Apa saya bisa lihat kondisi David sekarang?"
"Bisa. Dia ada di rumah sakit."
***
"Udah lama banget kalian nggak ke sini. Mentang-mentang Jati sibuk, kamu juga ikut-ikutan sibuk, Yas."
Yasmin terkekeh mendengar curhatan setengah ngambek dari mama.
"Kan suami istri harus kompak, Maa?" Yasmin memeluk mama untuk menyenangkan perasaannya. Mama sebenarnya bercanda, tapi terselip perasaan kecewa akibat jarang dikunjungi. "Janji deh, abis ini aku bakal sering-sering datang kemari."
Mama menaruh cangkir teh yang dipegangnya. "Jati, gimana perkembangan proyeknya?"
"Baik, Ma. Pembangunan pondasi sudah rampung, tinggal melanjutkannya saja menjadi bangunan utuh. Nanti menyusul pembangunan taman dan sports center seperti Gym dan lapangan olahraga."
"Kapan-kapan Mama mau lihat."
"Boleh, Ma. Nanti bareng sama Yasmin saja. Yasmin juga sudah penasaran sejak kemarin-kemarin."
"Iya nih, udah nggak sabar pengen lihat hasil jadinya." Yasmin menatapnya dengan tatapan riang seperti biasa.
Teh di dalam cangkirnya sudah hampir habis. Yasmin menawarkan diri menambahkan teh untuknya, tetapi Jati menolak. Yasmin beralih mengambilkan piring berisi puding tropical fruit hasil olahan tangannya.
"Mama suka sama desainnya. Terkesan alami karena memiliki konsep rustic. Suasananya sangat teduh dan tenang sekali. Itu konsep dari kamu kan?"
Jati agak sungkan untuk mengiyakan. "Bukan sepenuhnya konsep dari saya, Ma. Kemarin juga dibantu mikir sama Mas Yasa."
"Malah Yasa bilang, konsepnya dari kamu. Mana yang benar nih?"
Yasmin menepuk pelan paha Jati. "Memang dia nih suka gengsi mau ngakuin sesuatu."
Jati mengangkat alis. "Kok sepertinya mau bahas yang lain nih?"
Yasmin tertawa, dan memilih diam sambil menyendok puding hingga menjadi potongan kecil dan menyuapkan ke mulutnya sendiri.
"Jadi kapan kalian mau kerja bareng di satu proyek?" tanya mama.
"Sempat kepikiran sih, Ma. Tapi belum dibicarakan lagi. Mas Jati nih yang nggak mau."
"Lho kenapa?" tanya Mama penasaran.
"Nanti nggak bisa konsentrasi, Ma." Jati menjawab singkat.
"Maksudnya gimana?" Mama semakin ingin tahu alasannya.
"Soalnya Yasmin terlalu cantik. Bukannya nanti fokus sama pekerjaan, malah fokus melihat wajahnya terus."
Mama tertawa. "Bisa gitu ya?"
Yasmin cemberut. "Bisa banget bikin alasan. Bilang aja nggak percaya sama kemampuan istri sendiri."
"Serius, Sayang." Jati selalu tidak tahan untuk mencubit pipi Yasmin setiapkali wajahnya cemberut. "Nanti kalau beda pendapat, bisa-bisa saya ngalah terus sama kamu. Mengingat gimana persuasifnya kamu setiap menghadapi saya."
"Alasan ditolak."
"Kok ditolak?"
"Ya pengen aja nolak."
Yasmin lalu pamit sebentar untuk memeriksa keberadaan ponselnya yang terus berdering. Dia akhirnya menemukan ponsel itu berada di sisi tasnya yang diletakkan di salah satu sudut seven seater sofa di seberang tempat mereka duduk.
"Kalian istirahat aja dulu di kamar," ucap mama saat Yasmin kembali duduk setelah menerima telepon.
"Nanti aja, Ma."
"Kalau begitu, Mama tinggal dulu ya? Mau lanjutin melukis di patio."
"Oke, Ma." Jawaban mereka begitu kompak.
Setelah mama beralih ke patio yang melangkah melewati living room dan berbelok ke kanan, Yasmin mengatakan ingin jalan-jalan sebentar ke perpustakaan. Berkali-kali mereka ke rumah itu, mereka belum pernah lagi masuk ke perpustakaan keluarga.
"Tumben ngajakin ke perpustakaan," kata Jati setelah melintasi pintu masuk yang terbuat dari bahan kayu mahoni yang berhias ukiran berbentuk bunga. Di balik pintu, suasana khas perpustakaan yang dipenuhi beragam buku tebal yang ditata dalam lemari kaca dan rak-rak tinggi menyambut mereka. Aroma apek khas buku tua tersamarkan dengan aroma pengharum ruangan.
"Lagi pengen aja."
Yasmin menarik tangannya melihat-lihat deretan buku.
Entah apa istrinya ini memang niat membaca buku atau niat kepada aktivitas yang lain.
Tapi apa yang bisa dikerjakan di sana selain membaca buku?
Terdapat sebuah sebuah sofa 3 seater berbahan kulit berwarna coklat serta sebuah sofa tunggal putih sebagai tempat duduk. Sebuah meja kayu berukuran cukup luas, diletakkan di depan sofa 3 seater. Masih ditambah lagi sebuah sofa linen di dekat jendela berdaun lebar. Dua buah table lamp antik mengapit sofa 3 seater yang menjadi center dari perpustakaan itu.
"Siapa yang paling suka baca?" tanya Jati, sambil iseng mengambil sebuah buku ensiklopedi edisi bahasa latin.
"Semuanya suka." Yasmin nampaknya tidak begitu berminat mengambil salah satu buku, jadi yang dilakukan Jati kemudian adalah meletakkan buku ensiklopedi tadi kembali ke tempat semula dan menghampiri Yasmin sembari merangkul pinggangnya dari belakang.
"Kamu sukanya baca apa?" tanya Jati, kali ini sambil mengecup bahu kanan Yasmin. Yasmin menyambut tangan Jati yang memeluk pinggangnya dan menjalinkan jemari mereka hingga terasa semakin hangat.
"Macam-macam sih, tapi sukanya bacaan fiksi."
Yasmin memutar tubuh ke arahnya, balik menyelipkan tangan di pinggang Jati, kemudian mendongak dan menatapnya dalam. Gestur yang sangat dipahami Jati sebagai sebuah "undangan" untuk menyentuhnya lebih jauh.
Mereka mulai berciuman, perlahan dan santai sambil berpindah hingga tubuh Yasmin terdesak ke sebuah rak yang didepannya terdapat space untuk diduduki. Jati dengan mudah mengangkat tubuh Yasmin hingga terduduk bersandar pada rak buku masih sambil terus memagut bibirnya yang semakin lembab.
Yasmin tertawa saat ciuman mereka terlepas.
"Kok tau-tau udah sampe sini aja."
Jati ikut tertawa. "Siapa suruh ngasih sinyal."
"Ih, bilang aja kan kalo Kak Jati juga mau."
Jati tidak ingin menyangkal, karena jelas penyangkalan tidak dibutuhkan di saat seperti ini. Tanpa banyak bicara, kedua tangannya mulai terangkat, bekerjasama melepaskan kancing-kancing blus satin putih yang dikenakan Yasmin.
"Makin nakal ya, Mas?"
"Siapa suruh cantik."
Jati memandangnya kagum setelah menyingkirkan bra yang melindungi sepasang benda mungil namun kenyal favoritnya. Yasmin mengikuti tatapan mata Jati hingga salah satu ujung yang menegak begitu cepat hanya dengan sentuhan telunjuk dan jempol, kini terbenam sepenuhnya dalam mulut suaminya.
This is just so good and heavenly.
Yasmin benar-benar menikmatinya saat Jati melakukannya secara bergantian di keduanya.
"Why do you like to torturing me like this, Kak?"
Yasmin menengadahkan kepala sambil terus mengeluarkan suara-suara lirih dari bibirnya. Kedua tangannya mencengkeram kuat di tepi rak. Sampai akhirnya ia tidak tahan hingga menjambak dan meremas rambut serta punggung Jati yang masih mengenakan kemeja yang juga berwarna putih.
Yasmin terkesiap ketika Jati melepaskannya secara tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Yasmin resah.
"Pintunya, Sayang. Sepertinya belum dikunci tadi."
"Oh."
Jati mengecup ringan bibirnya sebelum beranjak. "I'll be right back."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top