PART 25


PART 25


Yasmin dan Jati berjalan bersama-sama menyusuri lorong rumah sakit. Masing-masing membawa buah tangan yang lazimnya dibawakan ketika menjenguk orang sakit; Jati menenteng keranjang parsel buah-buahan sementara Yasmin memegang paper bag besar berisi kotak kue dan roti.

Semula, Yasmin hendak membawa buket bunga, yang kemudian segera diurungkannya. Kesannya terlalu berlebihan. Nanti saja akan dibawakannya ketika Bian sudah sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah.

Di depan ruang yang mereka tuju, Ana berdiri menyambut kedatangan mereka. Sebelum turun dari mobil, Yasmin telah meminta Ana untuk menunggu mereka di depan ruang tersebut. Rasanya segan jika mereka langsung masuk ke dalam.

"Rafael ada di dalam bareng Tante Nia," terang Ana. Wajahnya terlihat lesu, seperti kurang tidur semalaman. Yasmin sempat menanyakan soal itu, dan Ana mengatakan penyebabnya kopi yang diminumnya kemarin sore. Kalau tidak sedang mager, mungkin dia akan pulang dulu ke rumah menjelang tengah hari. Lumayan istirahat sampai sore sebelum kembali lagi ke rumah sakit.

"Papanya Bian nggak ada?"

"Semalam dateng, tapi katanya ada urusan pekerjaan pagi-pagi." Ana kembali menguap. "Tante Nia udah nungguin tuh di dalam. Langsung masuk aja."

Tante Nia adalah mama Bian. Beliau terkenal karena keramahan serta berjiwa sosial tinggi. Pekerjaannya sehari-hari selain mengawasi pabrik tekstil perusahaan keluarga juga mengurus yayasan sosial untuk anak kurang mampu.

"Lo nggak ikutan masuk?"

"Gue di luar aja, Yas. Biar lo sama Jati yang masuk ke dalam." Ana tidak bisa menahan kuapan lebarnya. Hal itu sesuai aturan rumah sakit yang membatasi jumlah penjaga dan pembesuk.

"Barengan aja?"

"Nanti aja lagi gue masuk. Bosen juga gue di dalam." Ana tergelak. "Ntar, gue gantian sama Rafael."

"Oke. Gue masuk dulu ya, Na?"

Yasmin melangkah lebih dulu masuk ke dalam ruang perawatan, disusul Jati yang mengikutinya sampai ke sebuah meja, lalu meletakkan barang-barang yang mereka bawa.

"Yasmin?"

"Tante," sapa Yasmin sebelum menyentuhkan pipi kiri dan kanan bergantian ke pipi Tante Nia.

"Ngapain sampai repot segala?" Pandangan Tante Nia tertuju kepadanya kemudian kepada paper bag di atas meja.

"Nggak repot kok, Tante." Yasmin memberi kesempatan kepada Jati untuk menyapa Tante Nia.

Tante Nia dan Jati kini sedang bersalaman. "Wah, ada suami kamu juga di sini. Maaf? Tante lupa. Siapa lagi namanya?"

"Jati."

"Jati? Oh, iya. Maaf. Maklumi saja, kalau udah tua, ingatan juga udah nggak begitu tajam." Keramahan yang ditunjukkan Tante Nia membuat Jati jadi cukup nyaman berada di sana.

"Nggak apa-apa, Tante."

"Nah, Bi. Ini Yasmin dateng jenguk kamu." Tante Nia menoleh sambil berbisik kepada Yasmin. "Dari tadi, serius banget nontonnya."

Bian mengalihkan pandang. Hanya seulas senyum tipis di raut wajahnya yang nampak datar. Melihat kedatangannya bersama Jati mungkin akan canggung. Yasmin masih was-was dengan kecemburuan Jati.

"Hei, Yas."

Yasmin langsung menghampiri ranjang tempat Bian tengah berbaring.

Dulunya, setiap Yasmin sakit, Bian akan setia menungguinya hingga sembuh. Baik di rumah atau di rumah sakit, Bian tidak pernah absen menemani. Kala itu, Bian jadi lebih sering menghabiskan waktu bersamanya ketimbang melakukan aktivitas lain yang menjadi kesukaannya, seperti nongkrong atau berolahraga. Tidak disangka, dari kebersamaan yang terjalin selama ini, ternyata Bian menaruh perasaan lain kepada Yasmin, lebih dari sekadar pandangan seorang sahabat.

"Gimana ceritanya bisa sampai kecelakaan gini?"

Bian tidak langsung menjawab pertanyaan Yasmin. Kedua alis Yasmin terangkat menunggu jawaban.

"Iseng aja, mau nyoba ngelewatin palang tinggi. Entah, kudanya lagi nggak mood kali, liar nggak terkendali. Dan begitulah sampai gue terjatuh dari kuda. Padahal biasanya juga aman-aman aja." Akhirnya Bian menjawab. Tadinya, Yasmin tidak berharap jawaban Bian akan sepanjang ini.

Bian menatap Yasmin. Kali ini, balik menunggu balasannya.

"Oh, gitu." Yasmin enggan membalas tatapan Bian. Dia harus bisa mengatur sikap sesantai mungkin seolah tidak pernah ada masalah.

Sementara Jati memilih duduk di sofa, mendengarkan obrolan antara Tante Nia dan Rafael tentang saham sambil memerhatikan interaksi Yasmin dengan Bian. Jati sempat berbicara saat Tante Nia berbicara dengannya, lalu kembali diam menyimak obrolan di depannya. Yasmin jadi merasa bersalah, khawatir Jati tidak nyaman berada di sana.

"Gue kira lo bakal dateng sendiri. Ana yang bilang ke gue."

"Hah?" Yasmin kini beralih melihat Bian. Bian hanya mengerutkan kening melihat respon Yasmin.

Yasmin buru-buru menjawab sebelum kerutan di kening Bian semakin banyak. "Tadinya sih begitu, tapi Kak Jati ternyata mau nganterin gue. Katanya masih bisa luangin waktu. Padahal pagi ini seharusnya dia ke lokasi proyek."

Yasmin tidak segan memberikan pujian kepada Jati. Sama sekali tidak ada maksud lain. dia merasa senang karena akhirnya Jati bisa menemaninya menjenguk Bian.

Bian tidak menunjukkan respon apa-apa. Masih dengan sikap yang sama, Bian menoleh ke arah TV, pada acara berita kriminal siang. Mereka sama-sama terdiam menyimak cuplikan kasus yang akan dibahas oleh pembawa acara. Sampai Yasmin merasakan sentuhan di lengannya.

Ternyata Jati.

"Eh, Kak Jati," gumam Yasmin.

Spontan Bian melihat ke arah mereka yang tengah berdiri berdampingan. Jati tersenyum kepadanya, kemudian balas menatap Bian. Selanjutnya berbasa-basi dengan pertanyaan-pertanyaan standar yang biasanya ditanyakan pembesuk kepada pasien. Bian menjawab seperlunya setiap pertanyaan. Kadang hanya menunjukkan anggukan, kata ya dan tidak, serta jawaban yang tidak pernah lebih dari lima kata. Yasmin yang berada di antara mereka hanya bisa tersenyum tipis melihat interaksi super kaku tersebut.

"Yas, saya nunggu di luar ya?"

"Oo...oke, Kak."

Jati menggenggam tangannya sebentar sebelum meninggalkan mereka berdua.

"Sepertinya dia sayang banget sama kamu," kata Bian setelah Jati tidak lagi berada di dalam ruangan itu.

Yasmin langsung mengangguk. "Iya, banget malah."

Bian membuang napas.

"Bukannya memang yang namanya suami harus sayang kan sama istri? Malah jadinya aneh, menikah tapi nggak bisa saling menyayangi." Bian seolah berbicara pada dirinya sendiri.

"Iya, bener."

"Ternyata begini ya rasanya? Berusaha merelakan seseorang yang dibayangin bisa dimiliki karena seseorang itu lebih milih orang lain."

Yasmin menahan napas.

Kenapa sih Bian harus mengungkit lagi soal itu? Maunya apa? Membuat Yasmin semakin dihantui perasaan bersalah?

"Seharusnya kamu nggak datang, Yas."

"Bi, kamu ngomong apa sih? Kamu lagi sakit. Jangan mikir yang macem-macem."

"Trus kenapa kamu harus datang bareng dia? Mau memamerkan kebahagiaan kamu sementara seharusnya kamu sadar kalau aku nggak pernah bisa ngelupain kamu."

"Bi, udah. Nggak usah diomongin lagi soal itu."

Bian mengunci mulutnya bersamaan dengan gerakan tangannya menyingkirkan remote TV.

Yasmin menarik napas dalam-dalam.

"Aku hanya pengen tau alasan kamu nggak bisa ngelupain perasaan kamu ke aku." Yasmin menekan nada suaranya. "Kita sahabat, Bi. Dan seterusnya akan seperti itu."

Bian bergeming. Lalu pelan-pelan wajahnya dihadapkan kepada Yasmin. Raut wajahnya nampak muram.

"You are my ideal type, Yas. Semua sifat yang gue suka dari seorang perempuan, ada di diri lo. But, that lucky bastard got you."

"Kamu harus berhenti dengan pikiran kamu ini, Bi. Aku mohon. Demi ketenangan bersama. Kamu bisa mencoba mencari perempuan yang bisa menyayangi kamu dengan tulus seperti perasaan seorang perempuan kepada laki-laki yang dia sayangi."

"Maksud kamu, move on?"

Bian terdiam, kemudian menarik selimut. Wajahnya kembali dipalingkan menghadap TV.

"Jangan nyuruh gue move on, Yas. Karena ngebayanginnya aja, gue nggak bisa." Kini Bian pun mengganti kata sapaan di antara mereka kembali seperti biasa.

"Tapi, Bi."

"You can leave now, Yas. Gue mau istirahat."

***

Jati mengarahkan mobil mereka ke sebuah restoran. Dia sudah menanyakan kepada Yasmin di mana Yasmin ingin makan siang.

"Di restoran Sunda, mau?"

"Boleh, Kak."

Jati berhasil menahan dirinya untuk tidak bertanya tentang penyebab raut wajah Yasmin yang mendadak murung saat mereka berpamitan pulang.

Dia tidak ingin menduga-duga, adakah sesuatu dari obrolan Yasmin dan Bian yang berpotensi melukai perasaan Yasmin.

Sampai di rumah pun dia tidak pernah memberanikan diri untuk bertanya. Jati menggunakan kesempatan untuk beristirahat di kamar. Sementara Yasmin singgah sejenak di pantri sebelum menyusul berbaring di sampingnya.

Jati membuka mata, mengamati gerak-gerik Yasmin yang berbaring sambil menatap layar ponsel.

"Mata kamu bisa rusak nanti."

"Kak? Aku kira kamu tidur."

"Nunggu kamu."

"Kenapa harus nunggu?"

"Kamu nggak mau cerita sesuatu?"

Yasmin menggeleng. Ponselnya diletakkan di nakas, kemudian dia kembali berbaring menghadap Jati. Mereka masih cukup berjarak, tapi Jati masih dapat melihat jelas wajah Yasmin dan kedua matanya yang kini sudah kembali seperti biasanya.

"Kamu tiba-tiba sedih tadi."

"Sedih kan hal yang biasa, Kak." Yasmin membalikkan badan hingga menghadap Jati, lalu menjawil hidungnya. "Kenapa sih tiba-tiba jadi pengen tau?"

"Karena saya nggak suka ngeliat kamu murung." Jati kemudian meralat ucapannya. "Bukan berarti kamu nggak boleh murung atau sedih. Cuma, karena kamu ketemu Bian, mengobrol lumayan lama sama dia, trus keluar dari kamar dengan ekspresi seperti itu, saya jadi mikir kalau ada sesuatu yang udah membuat kamu sedih."

"Nggak apa-apa kok, beneran."

Jati mengangkat telapak tangannya untuk mengelus pipi Yasmin. "Kalau ada apa-apa, kamu cerita ya sama saya? Jangan disimpan sendiri."

"Iya," angguk Yasmin. "Udah tidur aja. Katanya mau istirahat?"

Jati malah menggeleng. "Kamu kapan terapi lagi?"

"Besok."

"Saya nggak bisa nemenin kalo besok."

"Nggak apa-apa. Kak Jati kerja aja. Lagian, kalo aku terapi nggak harus selalu ditemani."

"Oke." Jati melepaskan sentuhannya, kemudian mencoba memejamkan mata kembali.

***

"Jati."

Suara seorang perempuan menyapa Jati yang saat itu sedang berdiri mengamati lahan yang nantinya akan dijadikan taman. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top