PART 24

PART 24

_Yasmin_

Nada suara Jati saat bertanya tadi terasa sedikit meninggi disertai penekanan. Perasaan segan saat Yasmin tidak sengaja menyebutkan nama Bian saat berbicara di telepon semakin bertambah. Yasmin terkadang menyesali perasaannya yang kelewat sensitif. Nada suara yang berubah sedikit saja dari lawan bicara, radar sensitifnya langsung berbunyi. Dia bisa mengetahui perubahan mood seseorang hanya dari cara bicara. Dia pun cukup yakin raut wajah Jati saat itu juga sedang tidak bersahabat.

He isn't jealous, right?

"Boleh aja sih kalo Kak Jati mau ikut. Tadi aku mau nawarin, trus aku pikir Kak Jati kerja, makanya aku nggak jadi nanya. Tapi kalau Kak Jati mau nganterin, ayo deh."

"Saya hanya bertanya, bukan berarti nawarin diri buat nganter."

Basa-basi banget.

"Ya udah. Aku hubungi mama dulu buat minta tolong ke supirnya."

"Jadi kamu lebih senang diantar supir daripada saya?"

Eh? Ini maksudnya gimana sih?

Yasmin mengurungkan niat menghubungi mama. Nampaknya ada seseorang yang sedang dalam keadaan bad mood di mobil itu. Bukan dirinya, yang pasti.

"Kak Jati kenapa sih, ngomongnya jadi ketus gitu? Aku nggak masalah kalau nggak diijinin pergi, tapi nanyanya nggak nge-gas gitu, bisa?"

Yasmin mengelus dada. Kenapa malah sekarang dia jadi ikut-ikutan meninggikan nada suara sih?

"Maaf. Tiba-tiba aja gitu, tanpa disadari."

Yasmin bergeming. Kedua tangannya bersedekap. "Padahal baru juga baikan, malah balik jadi gini lagi. Tolong ya, Kak. Jangan ngomong ketus lagi. Aku nggak suka."

"Maaf, Yas. Maaf banget."

Yasmin melirik Jati sekilas dan menggumam. "Iya, dimaafin."

Masih menunggu balasan, Yasmin mengurai sedekap tangannya, menggeser tubuhnya sedikit hingga setengah menghadap Jati.

"Kenapa bisa gitu, Kak?"

"Apanya?"

"Waktu aku nanya tadi."

Helaan napas Jati terdengar berat.

"Jawabnya jangan marah lho ya?" Yasmin mengingatkan.

"Biasanya laki-laki bersikap begitu setiap dengar nama laki-laki lain disebut, kamu nyebutnya apa?"

"Cemburu. Jealous?"

Jantung Yasmin mulai berdebar-debar.

What if the answer is...Y...

"Yes. I'm jealous."

Y...es.

"I'm jealous over him, Yas. Setelah ngeliat sendiri sikap dia ke kamu yang seperti masih menaruh harapan. Dan kamu bilang mau jenguk dia sendiri. Actually, nggak sendiri karena ditemani supir. But i won't be there. Bukan berarti kamu datang buat ngasih dia harapan, tapi dia bakal mikir kamu masih ngasih perhatian ke dia. Saya nggak bisa ngelarang kamu pergi karena dia sahabat kamu. Tapi dalam hati kecil, saya nggak mau kamu ketemu sama dia, kalau saya nggak ada di sana."

Gosh.

Yasmin seharusnya tersenyum-senyum bahagia sekarang setelah mendengar pengakuan Jati. Tapi yang dirasakannya kini malah perasaan berdebar-debar. Jantungnya semakin bertalu-talu, irama napasnya jadi tidak beraturan.

Jadi seperti ini rasanya jika Jati cemburu kepadanya karena laki-laki lain? He just lost his chill.

Satu sisi, Yasmin senang karena cemburu berarti Jati memang mencintainya. Namun di sisi lain, dia mencemaskan jika Jati berubah menakutkan jika kadar kecemburuannya sampai berlebihan. Apalagi kepada Bian, sahabatnya sendiri. Dia tidak pernah mau, sahabat dan suaminya sendiri malah jadi seperti dua orang yang saling bermusuhan. Yasmin tidak tahu akan seperti apa reaksi Bian jika melihatnya datang bersama Jati. Dia berharap mereka bisa saling menghargai satu sama lain, karena untuk jadi teman sepertinya akan cukup sulit.

Tapi bukan berarti tidak mungkin. Siapa yang tahu?

"Sorry if it sounds like i'm a overprotective man. Mungkin saya hanya butuh adaptasi lebih lama dengan sahabat kamu itu untuk bisa lebih mengontrol kecemburuan saya."

"I understand, Kak. Jealousy is a normal thing. Aku juga mungkin bakal cemburu kalau Kak Jati nyebut-nyebut nama perempuan lain, apalagi mantan."

Keadaan sekarang jadi berbeda dibandingkan sewaktu Yasmin bercerita tentang mantan-mantannya. Waktu itu, Jati cukup tenang mendengarkan penuturan Yasmin. Sekarang, malah terkesan defensif. Jangankan menceritakan riwayat persahabatan hingga Bian menyatakan cinta, mendengarkan nama Bian saja, Jati tidak suka. Mulai sekarang, dia harus lebih berhati-hati setiap mengobrol mengenai sahabatnya itu.

"Jadi, gimana besok? Saya saja yang nganter?" kata Jati ketika Yasmin belum berkata apa-apa lagi.

Kini suara Jati sudah terdengar lebih normal dan adem.

"Boleh banget. Jadi, mau bolos kerja lagi?" Yasmin sengaja bercanda untuk mencairkan suasana.

Jati menanggapi dengan tersenyum lebar. "Saya bukan karyawan yang bakal dimarahi bos kalau nggak masuk kerja. Yang penting komunikasi dengan rekanan lancar."

"Trus kenapa kemarin-kemarin ke lokasinya tiap hari?"

"Kalau nggak ke lokasi proyek, lalu saya ngapain?"

"Ngerjain apa gitu di rumah. Bikin desain, atau nganterin aku ke mana-mana. Liburan. Banyak yang bisa dilakuin selain ngabisin waktu di lokasi proyek."

"Proses persiapan kemarin butuh banyak waktu, sampai berkali-kali meeting. Jadi, bukan ingin terlihat sibuk, tapi memang saya benar-benar sibuk mengurus proyek."

Yasmin mengangguk. "Hmm, biar jadi menantu idaman ya, makanya rajin?"

Jati tertawa sambil menjawil hidungnya. "Kalau nggak rajin, mana mau papa ngasih tanggungjawab proyek ke saya, Yas. Kamu tau, gimana papa kamu kalau soal pekerjaan. Profesional, nggak mandang anak atau menantu, semua harus kerja keras biar setiap proyek sukses."

"Agak sombong ya kedengarannya?" ledek Yasmin.

"Bukan sombong. Tapi kalau soal kerjaan, harus ambisius kan?"

"Iya juga sih." Jati lantas memematikan mesin mobil.

Yasmin tadinya hendak bertanya mengapa mobil tiba-tiba berhenti saat melihat pintu pagar rumah mereka.

"Sudah sampai ya? Nggak nyadar." Yasmin lalu melepaskan seatbealt. Di depan mereka, belum nampak seseorang yang akan membukakan pagar. "Mbak Nena ke mana ya?"

"Saya saja yang buka," Jati membuka pintu di sampingnya.

Belum sempat Jati menggeser duduk, ART mereka itu keluar dari rumah dan membukakan pintu pagar.

"Saya kira masih mau jalan-jalan, Non. Pulangnya belum jam sepuluh," ujar Nena setelah mobil berhenti di depan garasi. Yasmin turun lebih dulu sebelum Jati memajukan mobil menuju garasi.

"Mau cepat-cepat istirahat karena Mas Jati pasti udah capek banget seharian di lokasi proyek." Yasmin melangkah bersama Nena menuju teras. Semua lampu taman telah menyala. Dia lalu berjalan memasuki rumah. "Mbak Nena udah makan?"

"Sudah, Non. Tadi saya coba masak ayam katsu sama sayur sup." Nena mengikuti menuju ruang tengah, tapi matanya melirik ke ruang tamu.

"Waah enak banget tuh."

"Iya, Non. Pake resepnya Non Yasmin, enak banget. Katsunya jadi garing di luar lembut di dalam. Sausnya juga enak, pedas manis. Saya makannya sampe nambah berapa kali." Nena pamit sebentar untuk menutup pintu depan, lalu kembali lagi ke ruang tengah. "Pagar sama pintunya sudah ditutup Den Jati."

Jati yang tengah melintas sempat singgah ke pantri, biasanya mengambil air putih hangat.

Yasmin senang mendengar Nena makan makanan yang disukainya dengan lahap.

"Nanti deh kita bikin acara makan siang di rumah dengan hidangan makanan Jepang. Udah lumayan lama kan nggak makan sama-sama. Mbak Nena sih, nggak mau diajak makan di luar."

"Malu, Non. Lebih nyaman makan di rumah."

Yasmin enggan menanyakan lebih jauh alasan Nena enggan makan setiap dia dan Jati mengajak. Mungkin merasa sungkan. Atau jangan-jangan, tidak mau jadi obat nyamuk.

"Nanti aku ajarin bikin sushi. Tapi mesti belanja dulu nih bahan-bahannya."

"Baik, Non. Kapan saja saya siap."

"Kalau gitu, aku ke kamar dulu ya?"

"Iya, Non. Selamat istirahat."

"Makasih, Mbak."

Jati sudah lebih dulu berjalan menuju kamar. Sementara Yasmin singgah sejenak di pantri untuk mengambil air putih.

Sesampai di dalam kamar, Jati langsung menuju kamar mandi. Yasmin menunggu giliran sambil duduk-duduk di sofa yang berada tidak jauh dari tempat tidur. Menyalakan TV, dan mengambil posisi santai. Sofa panjang berwarna krem itu sangat nyaman dipakai untuk duduk hingga berbaring.

Deringan ponsel terdengar dari arah tempat tidur. Sudah pasti ponsel yang tengah memperdengarkan nada khas template berasal dari ponsel Fold Jati. Karena iphone Yasmin juga memiliki dering khas khusus iphone.

Yasmin mengabaikan karena deringannya hanya bertahan sebanyak dua kali. Dia tidak sekepo itu untuk bangun memeriksa nomor yang menghubungi ponsel Jati.

"Bersih-bersih dulu, ntar ketiduran," bisik Jati di dekat telinganya.

Yasmin mencium perpaduan aroma mouthwash dan facial foam yang terasa segar.

"Iya, bentar lagi."

"Ibadah bersama, Yas. Saya tunggu ya?"

"Ibadah yang mana dulu, Kak?" ledek Yasmin setelah duduk. Diambilnya karet untuk mengikat rambutnya.

"Mau yang mana saja terserah kamu." Jati menyeka wajahnya yang masih basah seraya berjalan menuju tempat tidur.

Yasmin menyusulnya hanya untuk mencolek kulit lengannya. Setelah itu, cepat-cepat dia berlari menuju kamar mandi.

"Yas, jadi batal kan wudhunya?"

Yasmin tertawa-tawa di depan cermin sebelum mengambil sikat gigi dan pasta gigi. Matanya tertumbuk pada cincin di dekat peralatan sanitary milik Jati.

"Cincinnya kelupaan lagi."

***

_Jati_

"Cincinnya ketinggalan."

Setelah menyodorkan cincin tanpa bersentuhan kulit, Yasmin segera beralih untuk mengambil mukena.

"Tadi baru keingat waktu kamu nyolek." Jati mengucapkannya sambil kembali memasang cincin tersebut di jari manisnya.

"Maaf jadi iseng nyolek tadi." Senyum Yasmin mengembang. Istrinya itu memang kadang suka kumat usilnya.

"Kalau saya balas nyolek, nggak impas juga."

"Ya, kan mesti ngambil wudhu lagi, Mas?" Yasmin menggodanya lagi.

Mereka selalu menyempatkan beribadah bersama setiap berada di rumah. Kebiasaan itu diterapkan atas kesepakatan bersama. Di saat-saat seperti ini, mereka bisa menggunakan kesempatan untuk meminta semua hal-hal baik untuk keluarga kecil mereka. Jati tidak pernah berhenti meminta kesembuhan Yasmin termasuk meminta Tuhan mengabulkan keinginan mereka untuk segera memiliki anak.

Selesai shalat dan membereskan semua perlengkapan, Jati merebahkan tubuh lelahnya di tempat tidur. Yasmin menyusulnya, katanya mau menagih "ibadah" lainnya. Jati sudah siap memeluk Yasmin, namun malah ponsel yang disodorkan padanya.

"Tadi ponsel kamu bunyi, Kak."

Kening Jati mengerut. Nomor telepon Reva kembali tertera di sana.

Sejauh ini, Jati belum berpikir untuk memblok nomor Reva. Jati hanya sebatas menghapus semua chat dan SMS lalu mendiamkannya. Tetapi sekarang, malah semakin menjadi-jadi.

"Kak?" panggil Yasmin yang kini telah berbaring di sampingnya. Tapi Jati malah memilih duduk.

"Jadi apa nggak?" Yasmin mengikutinya duduk di tepi tempat tidur. "Ponselnya disimpan dulu dong. Nanti malah ganggu."

Jati menurut dan lantas menonaktifkan ponselnya kemudian menunduk dan menyelipkannya di kolong tempat tidur.

"Hei, malah ngelamun lagi." Yasmin menepuk lembut pipinya setelah menghadapkan wajah mereka.

"Eh? Kenapa, Yas?"

"Tuh kan? Kenapa sih? Jadi males kan kalo gini," keluh Yasmin.

"Hei, i'm here. I'm not going anywhere."

Kali ini giliran Jati yang menyentuh wajah Yasmin, menahannya sebelum berpaling.

"Iya, tapi pikiran kamu yang kemana-mana."

"Sorry, Sweetheart. Iya. Ayo sini."

Tanpa menunggu lama, Jati mengecup bibir Yasmin. Butuh lima kali kecupan untuk mendapatkan perhatian Yasmin kembali. Dan kini Jati mulai membaringkan Yasmin sambil terus menciuminya.

"Mau sampai mana, Sayang?" bisik Jati setelah melepaskan dress yang dipakai Yasmin. Dia selalu menanyakan pertanyaan itu sebelum melangkah lebih jauh. Menyesuaikan keinginan Yasmin.

"More than foreplay." Yasmin lalu meralat. "Tapi terserah kamu aja."

Hubungan seksual mereka selalu didominasi olehnya. Hal itu disebabkan keterbatasan yang dimiliki Yasmin. Yasmin memang sangat menggantungkan urusan yang satu ini kepadanya. Menjadi pihak yang menerima, bukan memberi.

"Yas," ucap Jati saat mencium tengkuk Yasmin.

"Hmm?"

"Tukaran posisi."

"Aku di atas?"

"Ya," angguk Jati. Mungkin cara ini akan berhasil, mereka belum pernah mencobanya.

Butuh waktu cukup lama hingga mendapatkan posisi yang aman untuk mencoba melakukan intercourse.

Awalnya, Yasmin kebingungan bagaimana memposisikan diri di atasnya. Dia menggigit bibir dengan resah, sementara keningnya semakin mengerut. Bibir mungilnya yang lembab membulat saat Jati akhirnya menemukan celah yang dicarinya. Mengaduh pelan saat milik Jati mulai bergerak memasukinya.

She looks hot, sexy, but innocent at the same time. Like, how?

Bagaimana perempuan ini terlihat begitu cantik, atraktif sekaligus penuh kelembutan di saat yang bersamaan?

Jati mengamati wajah Yasmin, mencari-cari raut wajah kesakitan saat miliknya semakin memasuki Yasmin. Mereka masih separuh jalan, dan dia masih belum bisa menebak bagaimana hasil dari perjuangan kali ini.

"Kak Jati," lirih suara Yasmin. Kedua tangannya bertumpu di perut Jati, terasa basah dan dingin.

"Rileks ya, Yas? I know you can do it."

Anggukan pelan Yasmin terlihat. Napasnya naik turun sementara peluh semakin mengaliri tubuhnya.

Berapa lama ini akan bertahan?

C'mon. Yas. Sedikit lagi.

Please, please. Make it happen.

"Argh."

Belum sempat keadaan berlanjut, terdengar ringisan Yasmin.

"I can't, Kak. Sakit banget." Gelengan kuat Yasmin menandakan jika dia benar-benar tidak sanggup lagi melanjutkan intercourse.

Jati mendesah kuat. He though it's the time. Unfortunately, no.

"It's okay, Sayang. It's okay!" Jati mencoba menenangkan Yasmin yang tengah kesakitan.

Dengan bantuannya, Yasmin mengangkat tubuhnya sedikit demi sedikit hingga mereka kini kembali terpisah. Jati masih punya waktu ke kamar mandi dan menumpahkan gairahnya di sana. Saat membuka pintu, Yasmin berdiri di depannya, lalu bergantian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Awalnya cukup sulit menghadapi situasi seperti ini, di saat gairahnya sedang dalam kadar tinggi, namun seketika harus terhenti sebelum mencapai klimaks. Lambat laun, Jati mulai bisa mengontrol keinginannya dengan memuaskan dirinya sendiri setiapkali hubungan seksual mereka menemui kegagalan. Menurut dokter, keadaan ini tidak bisa dibiarkan berlama-lama, karena lambat laun dapat menimbulkan gangguan pada reproduksi laki-laki yaitu gangguan ejakulasi.

"Sepertinya sudah ada kemajuan, Kak. I can feel it."

"Hmm, ya. I feel it too."

"It's almost there, right?" tanya Yasmin di dekat telinganya.

"Yes. Sepertinya nggak bakal lama lagi."

"Harus berusaha lebih keras lagi kalau begitu."

"Take your time. Jangan sampai dibawa stres ya?"

"Hmm."

"Padahal saya lumayan lama foreplay-nya tadi." Jati mengusap-usap kening dan rambut Yasmin penuh sayang. "But you're doing great, Sweetheart."

***

Eh maaf jadinya nulis adegan ginian mulu :D next part bakal lebih menyorot tentang orang-orang disekeliling mereka. Seperti kehadiran Bian dan Reva. Tapi nggak akan beratkonfliknya, secara ini sudah part 24 :D mestinya udah nggak ada riak-riak. Konfliknyatelat nongol? Iya kali :D tapi udahlah ya, dinikmati aja ceritanya. Aku nggakada target ini cerita mau dibukuin apa nggak. Ya kalo nggak ada target, gimanaya? Nulisnya juga have fun nggak adabeban. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top