PART 2
Part 2
Seharusnya tidak perlu memaksakan diri menjalani pernikahan seperti ini.
Tapi kalau sudah terlanjur cinta, lantas manusia bisa apa?
"Yas, nanti jangan lupa lho. Jati diajak makan malam di sini."
Suara mama terdengar bersemangat ketika mengingatkan rutinitas itu.
Yasmin mengerutkan kening, sebelum kembali membaca halaman sebuah majalah High End terbitan luar negeri bersampul super model Gigi Hadid. Mamanya berlangganan paling tidak dua majalah lokal dan dua majalah impor, mengalahkan dirinya yang sama sekali tidak berlangganan majalah. Jadi, kadang kalau Yasmin ke rumah orangtuanya, dia banyak menghabiskan waktu membaca lembar demi lembar media cetak bergambar full color tersebut.
Sejak menikah dengan Jati tiga bulan lalu, papa dan mama menerapkan sebuah kebiasaan baru, yaitu makan malam bersama dua kali sebulan setiap Minggu malam. Kebiasaan tersebut melibatkan seluruh anggota keluarga inti yaitu papa, mama, Mas Yasa dan istrinya Dini, Lily, juga Yasmin dan Jati. Mereka tidak selalu bisa berkumpul secara lengkap, karena terkadang masing-masing dari mereka memiliki halangan untuk berkumpul, karena terkadang ada juga undangan entah resepsi atau acara dengan relasi yang digelar pada saat itu. Sebisa mereka saja, jika ada waktu.
Sejauh ini, Yasmin dan Jati selalu menghadiri acara makan malam bersama. Hal itu karena Jati selalu berhasil meluangkan waktu ketika dibutuhkan. Yasmin sendiri tidak pernah menemui kendala untuk mengosongkan waktu, karena dia memiliki waktu luang di akhir pekan. Pekerjaan sebagai penulis buku anak, terbilang cukup fleksibel. Yasmin merasa tidak perlu harus selalu bergadang di malam hari untuk menyelesaikan tulisannya. Selama ini, dia bekerja di jam normal seperti pekerja pada umumnya.
"Iya, Ma. Kan masih beberapa hari lagi? Mas Jati pasti ingat."
Lidah Yasmin terasa kaku ketika menyematkan kata sandang di depan nama Jati. Sewaktu sekolah dulu, dia selalu memanggil Jati dengan sebutan Kak Jati. Mereka sangat jarang berinteraksi satu sama lain sehingga Yasmin tidak pernah punya banyak kesempatan untuk mengobrol dan memakai kata sandang tersebut. Lalu, ketika harus memanggilnya memakai sapaan Mas, ada perasaan asing. Bukan berarti Yasmin tidak suka dengan panggilan Mas kepada suaminya sendiri. Tapi, dengan hubungan yang tidak cukup hangat, dia merasa tidak terlalu perlu menggunakannya.
Karena saat mereka hanya berdua, Yasmin memanggil Jati dengan sebutan Kak, atau terkadang hanya nama saja sesuai permintaan Jati. Jati tidak pernah minta dipanggil Mas, jadi jelas, sapaan itu sekadar formalitas.
"Bagaimana kabar buku-buku kamu?" tanya mama setelah mereka selesai dengan urusan makan malam.
"Baik-baik aja, Ma. Sales sama review rata-rata positif. Yah namanya juga buku anak. Mau dikomentarin gimana lagi?"
"Mama kira dulu kamu nulis fiksi?" tanya mama, yang Yasmin yakin hanya sekadar basa-basi.
"Kapok, Ma. Review-nya jelek. Kemarin, aku lihat di Goodreads ada yang cuma ngasih satu bintang. Bahkan ada yang DNF dengan alasan bukan seleranya-lah, atau ceritanya ngebosenin. Hmm, Yasmin memang nggak bakat nulis novel."
"Masa gara-gara itu aja kamu sampai berhenti nulis fiksi, Yas? Jangan sampai komentar negatif menghentikan kamu. Lagipula, setiap orang punya selera dan penilaian masing-masing. Bisa saja kan yang ngasih rating jelek itu memang nggak cocok sama tulisan kamu."
Mama selalu punya argumentasi kuat setiap mereka mengobrol. Karakter mama yang selalu positif dan optimis selalu ditanamkan kepada anak-anaknya. Yasmin pun merasakan pola asuh mama mampu membentuknya dan saudara-saudaranya menjadi pribadi yang baik. Hanya, terkadang, Yasmin menemukan sisi lemah dalam dirinya, yaitu sifat pesimis. Tidak parah-parah amat sih, hanya jika berhadapan dengan penilaian, hal itu bisa mempengaruhi mood-nya.
"Lebih nyaman nulis buku anak sih, Ma. Karena aku bisa sekalian ngayal seperti jadi anak kecil lagi. Makasih buat koleksi buku dongeng yang sering Mama hadiahin buat aku."
Seluruh koleksi buku milik Yasmin tersimpan dengan rapi di dalam perpustakaan keluarga. Yasmin punya rak khusus di sana karena buku koleksinya yang paling banyak. Termasuk serial-serial cantik dan koleksi novel yang rata-rata bergenre romance. Novel-novel yang dikumpulkannya belakangan mendorongnya untuk mulai menulis. Ditambah inspirasi yang dia dapatkan dari sosok cowok idolanya semasa remaja, yang siapa lagi kalau bukan Jati.
Tapi, Jati tidak pernah tahu soal itu. Bisa-bisa Jati makin besar kepala. Selain alasan itu, Yasmin tidak mau mempermalukan diri sendiri jika Jati tahu soal novel-novel karyanya, apalagi sampai membacanya.
Belum apa-apa, Yasmin sudah bergidik. Bayangan Jati membaca hasil karyanya, seketika menghadirkan perasaan tidak nyaman. Bagaimana kalau reaksi Jati seperti kebanyakan pembaca?
"Jadi, jangan berkecil hati lagi, apalagi sampai murung karena penilaian buruk orang lain, karena hidup kamu adalah milik kamu, bukan milik orang lain. Mama selalu yakin kalau putri Mama ini adalah perempuan dewasa yang anggun dan bermental kuat. Harus semangat terus."
"Pasti, Ma." Yasmin sampai memeluk mama saking senangnya. Kata-kata mama selalu bermakna dan memotivasi. Yasmin berjanji tidak akan berkecil hati lagi. "Yasmin mau nyoba nulis fiksi lagi."
"Nah, gitu dong."
***
Jati tengah dalam perjalanan pulang dari kantor. Hari itu, pembangunan cluster berada pada tahap persiapan. Tanah untuk membangun cluster atau kavling, sudah lengkap dari segi perizinan. Dalam hal ini, status tanah tersebut sudah berada pada status sangat sesuai (S1), karena memenuhi beberapa syarat kesesuaian fisik tanah misalnya bentuk tanah, drainase permukaan dan syarat lainnya. Butuh proses yang sangat panjang mulai dari pemilihan lokasi pembangunan perumahan hingga tahap akhir yaitu pemasaran.
Jati butuh banyak berkonsultasi dengan pihak kontraktor dan konsultan sebelum memulai proyek bernilai ratusan milyar, hasil kerjasama Hartadi Group dan Baskoro Property. Nilai proyek sangat fantastis untuk proyek pertamanya sebagai co-owner. Owner lainnya tidak lain adalah Mas Yasa, kakak Yasmin.
Dulunya, Jati mengawali karir dengan menjadi pelaksana lapangan di sebuah proyek perumahan bersubsidi di pinggiran kota Jakarta. Setahun setelah lulus S1, Jati kemudian mengambil SKA arsitek muda sebagai lisensi untuk bekerja. Jakarta merupakan daerah yang mewajibkan lisensi arsitek ketika akan bekerja di sebuah proyek. Hal ini karena Jakarta menerapkan aturan IPTB.
Dua tahun kemudian, dia melanjutkan kuliah magister di University of Cambridge dan kembali lagi ke Jakarta setelah lulus. Karirnya semakin berkembang setelah bergabung di proyek-proyek besar perusahaan kontraktor keluarganya yang menangani konstruksi pabrik dan warehouse.
Semuanya berjalan normal sampai kakeknya mengungkapkan keinginannya untuk "mempererat" silaturahmi dengan keluarga Hartadi yang dikenal sebagai salah satu owner dari perumahan menengah ke atas yang tersebar di beberapa daerah di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan. Silaturahmi yang belakangan berlanjut ke perjodohan antara dirinya dan Yasmin.
Yasmin Widyanata Hartadi.
Bagaimana mungkin yuniornya semasa SMA yang tidak pernah akrab dengannya itu bisa menjadi istrinya.
Perjodohan itu bukan soal merger perusahaan atau modus lain berlatar belakang bisnis.
Sekali lagi kakek menegaskan jika perjodohan antara Jati dan Yasmin murni karena mendekatkan hubungan dua keluarga besar. Kakeknya dan kakek Yasmin adalah sahabat semasa kuliah dan kerja. Sebuah hubungan nostalgia yang kedengarannya sangat manis.
Jati tidak langsung menolak atau menerima, karena memang tidak ada alasan kuat untuk keduanya. Kalau pun kemudian dia akhirnya menerima perjodohan, hal itu terjadi karena dia tidak kunjung mendatangkan perempuan lain untuk diperkenalkan sebagai calon istri. Rasanya dia enggan mengungkit hubungannya dengan seseorang di masa lalu yang berakhir cukup pahit. Dia hanya ingin melupakannya dan memulai hubungan baru.
Tapi, memulai hubungan baru tidak akan berhasil jika seseorang belum sepenuhnya meletakkan masa lalu di tempat yang semestinya.
Yaitu di belakang.
Sigh.
Jati mencengkeram kemudi lebih erat.
Saat mobilnya berhenti di depan pagar, Mini Cooper Volcanic milik Yasmin sudah terparkir rapi di dalam garasi. Bersebelahan dengan BMW 3 Series Touring yang sesekali dipakai bergantian dengan Pajero Sport yang dikendarainya kini.
Nena, asisten rumah tangga mereka, berjalan cepat untuk membukakan gerbang. Begitu melihatnya, Nena tersenyum lebar.
"Den Jati pulangnya cepat ya?"
Jati mengangguk pelan, kemudian memajukan mobilnya masuk ke halaman rumah hingga berhenti tidak jauh dari gerbang yang kini sedang ditutup Nena.
"Ada urusan malam nanti, mobilnya masih mau dipake," jelas Jati sebelum Nena bertanya mengapa mobilnya tidak langsung masuk garasi. Jati memang berniat keluar rumah malam nanti ke rumahnya. Adik laki-lakinya, Janu sudah tiba dari Philadelphia. Janu telah lulus kuliah di Universitas Pennsylvania. Dia pulang ke Jakarta sebelum balik lagi untuk melanjutkan magister di RIT. Janu mengikuti jejaknya mengambil jurusan arsitektur mulai dari S1 hingga jenjang S2.
Jati turun dari mobil dan berhenti berjalan ketika melihat Yasmin keluar dari balik pintu depan.
Apakah Yasmin sengaja menyambut kedatangannya?
Ternyata Yasmin berbelok menuju taman berisi koleksi tanaman hias yang Jati tahu harganya tidak murah.
"Oriental Lily-nya cantik banget," kata Yasmin.
"Baru beli?" tanya Jati. Dia tahu, dia tidak mungkin berlalu begitu saja ke dalam rumah, jika Yasmin sedang berada di situ. Kini Ada Nena yang mengawasi mereka berdua.
"Iya. Bagus kan bunganya?" kata Yasmin sambil menatap takjub kepada mahkota bunga yang tengah mekar. "Bunga ini juga sering disebut Stargazer." Pandangan Yasmin kini teralihkan kepadanya, lalu tanpa sungkan menggamit lengannya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. "Kamu pasti capek. Nanti malam mau ke mana?"
"Ke rumah mama. Janu baru pulang dari Philly. Kalau besok, mungkin nggak sempat."
"Aku nggak diajak?"
Jati tentu saja tidak akan bisa menolak. "Boleh, kalau mau ikut."
"Mauu. Makan malamnya di sana?"
"Saya sudah bilang sama mama, akan makan malam di sana."
Yasmin melepaskan gamitan tangannya. "Ya udah. Kalo gitu, aku kasih tau Nena, biar dia nggak usah repot masak."
Jati hanya bisa terpaku melihat Yasmin setengah berlari menghampiri Nena yang sedang berada di dalam dapur, memberitahu rencana malam nanti. Saat Yasmin kembali, Yasmin berjinjit untuk mengecup sebelah pipi Jati seperti biasa.
"Aku juga mau mandi. Mau bareng nggak?" ledek Yasmin.
"Are you serious?" Jati bertanya.
"I am. Why?"
Entah, mengapa di dalam perut Jati kini seolah bergejolak. Bukan karena lapar, pasti.
Apa yang ada di pikiran Yasmin. Bagaimana mungkin Yasmin bisa mengucapkannya dengan mudah? Jati tidak tahu apakah Yasmin serius atau sedang bercanda.
Jika serius, Jati juga tidak yakin mau melakukannya.
Terlalu canggung.
Meskipun Yasmin adalah istrinya, tapi tetap saja terasa ganjil di pikirannya.
Ukuran Bathtub-nya lumayan besar, sebenarnya.
Mungkin tidak akan secanggung yang dibayangkan.
"Kok diam aja, Kak?" tanya Yasmin.
"Eee...apa?"
"Katanya mau mandi?"
Jati berdehem dan melonggarkan dasi. "Saya duluan kalo gitu."
Jati pun bergegas menyusuri tangga dan berusaha mengenyahkan suara-suara usil di dalam kepalanya.
Jika dia tidak memiliki perasaan apa-apa kepada Yasmin, mengapa tingkahnya ketika berada di dekat Yasmin seperti seseorang yang sedang salah tingkah di depan orang yang disukainya?
***
Gimana part ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top