PART 10

Akhirnya bisa nge-post juga. Aku belum sempat ngedit bagian ini. Tapi lumayan panjang lho part ini, untuk membayar absen dua hari kemarin. Untuk part 11 dstnya, aku nggak pasti jadwal post-nya. Diusahakan rajin nulis dulu, pokoknya. Maklum author mageran hehe...

Happy reading.

PART 10

"Siapa ya?"

Yasmin tidak bisa menebak, siapa yang baru saja membunyikan bel. Pak Sar tidak mungkin, karena kata Pak Sar, dia akan menunggu di mobil.

Apa mungkin ibu sekuriti yang tadi?

Sistem keamanan di dalam apartemen itu sangat ketat. Siapa pun yang tengah membunyikan bel kemungkinan besar adalah sesama pemilik unit di situ atau sekuriti.

"Maaf, mengganggu sebentar, Bu." Suara si ibu?

Lho, benar. Kok bu sekuriti tadi balik lagi?

"Saya diminta berjaga di sini. Ada pesan dari kepala sekuriti."

"Biasanya nggak kok." Yasmin mengerutkan kening, heran.

Apa jangan-jangan ini permintaan dari mama?

"Tapi nggak apa-apa kan Bu?" tanya sekuriti perempuan itu saat Yasmin masih dalam mode diam. Dia merasa perlu mengkonfirmasi dengan mama.

"Iya, Yasmin. Tadi Mama lupa ngasih tau ke kamu, kalau mulai sekarang, setiap ke unit itu kamu harus ditemani sekuriti."

"Kok gitu, Ma? Tujuannya buat apa?"

"Biar Mama tenang aja. Oke? Kamu jangan-jangan lama-lama di situ. Mama sudah kasih tau Pak Sar untuk nganter kamu pulang setengah jam lagi. Mama lagi ngobrol sama temen Mama, kebetulan tadi bahasnya soal kriminal. Mama langsung keinget sama kamu. Takut aja kamu kenapa-napa."

"Iya deh, Ma. Aku ngerti. Makasih karena Mama udah sekhawatir itu sama aku."

"Iya, Sayang. Take care ya? Langsung pulang aja, nggak usah singgah di mana-mana."

Yasmin berpikir-pikir untuk tidak berlama-lama di sana. Karena tujuannya hanya sekadar melihat-lihat. Entah gara-gara mama menyinggung soal kriminal, dia jadi ikut-ikutan parno. Hanya berselang lima menit, dia memberitahu sekuriti bahwa urusannya sudah selesai. Yasmin keluar dari unit, mengunci pintu dengan key card dan memasukkan password.

Nanti kalau dia berencana ke sana atau ke tempat lain, sebisa mungkin dia akan membawa teman.

"Kok cepat, Non?" tanya Pak Sar sebelum Yasmin membuka pintu mobil.

"Tadi hanya lihat-lihat aja, Pak. Mm, Pak Sar abis ditelepon sama mama?" Yasmin mengonfirmasi juga ke Pak Sar.

"Iya, barusan ditelepon. Katanya suruh jagain Non. Tadi saya sempat nyusul sampai ke pos sekuriti, tapi katanya udah ada sekuriti yang jagain Non di atas."

"Oh gitu?"

Lebih baik berjaga-jaga daripada membiarkan kejadian buruk datang, bukan?

"Ya udah. Langsung pulang aja ya, Pak?" kata Yasmin lagi sebelum masuk ke dalam mobil, mengajak Pak Sar meninggalkan tempat itu.

Tanpa menunggu lama, Pak Sar segera menjalankan kendaraan.

Mobil pun melaju santai di jalan raya di antara para pengguna jalan lain.

Yasmin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan dalam perjalanan selain melihat ponsel. Yasmin lalu mulai membalas chat-chat yang masuk.

Termasuk dari Jati.

Jati menanyakan pertanyaan yang sama, apakah dia masih marah.

Well, baru kali ini Jati jadi se-concern itu.

Hari ini tiba-tiba saja setiap orang mendadak jadi super perhatian kepadanya.

Apa barusan Jakarta Selatan kejatuhan meteor ya?

Ada yang terasa ganjil hari itu.

Yasmin tersenyum.

Benar-benar ya, kalau sudah menjelang PMS pikirannya bisa menjadi lebih kreatif.

***

Benda apa yang biasanya diberikan kepada seorang istri yang sedang ngambek?

Coklat, bunga atau tiket nonton bioskop?

Beberapa perempuan lebih suka diberi barang-barang berharga seperti perhiasan atau menggemukkan isi ATM.

Tetapi ini Yasmin. Uang dan barang-barang mewah, terlalu biasa untuknya.

Hm.

Mungkin akan berbeda jika Jati yang memberikannya sendiri.

Lalu, se-sore ini, apa masih sempat dia keliling berbelanja di mall? Dia pun tidak paham benda yang benar-benar disukai Yasmin. Tas? Jam tangan? Sepatu? Atau parfum?

Jati mengabaikan pertanyaan di dalam pikirannya, dan memilih membelokkan mobil ke arah parkiran Pacific Place mall.

Talk less do more. Or think less do more.

Seperti apa respon Yasmin, nanti akan dipikirkan lagi.

Selesai berurusan dengan parkir, Jati berjalan memasuki kawasan mall. Pacific Place tergolong sebagai mall besar di mana butik-butik barang branded impor berada. Pilihan yang tersedia cukup banyak, atau malah sangat banyak. Hanya perlu memastikan dia masih mengingat letak butik yang menjual barang-barang kesukaan wanita, seperti tas dan sepatu.

Saat baru saja memasuki gerai Lafayette, seorang pramuniaga menyambut ramah. Menanyakan kebutuhan apa yang dicari oleh Jati. Lengkap dengan pertanyaan kepada siapa benda yang dibeli akan diberikan. Jati belum menyebutkan apa-apa. Dia memilih mengikuti pramuniaga berkeliling di dalam toko, sampai akhirnya matanya tertumbuk pada etalase, tempat beberapa koleksi tas terbaru dipajang apik.

"Sebenarnya ada koleksi terbaru Coach, Pak. Tapi belum tiba di Indonesia. Mungkin bulan depan. Apa mau di-save kalau koleksinya tiba?"

"Untuk sementara, saya beli yang available stock saja."

"Baik, Pak. Nanti, Bapak boleh mengisi form data, jadi kami bisa mengabari katalog terbaru melalui e-mail, SMS dan Whatsapp."

"Boleh." Jati kemudian menunjuk ke arah tas Coach Disney collection berwarna krem. Stok terakhir dari edisi tersebut. Setidaknya, itu yang dikatakan si pramuniaga yang sopan dan ramah tadi.

Dibandingkan harga Prada dan Louis Vuitton, harga Coach cukup terjangkau. Jati teringat Yasmin pernah bercerita singkat tentang kesukaannya mengoleksi tas dari beberapa brand dan dia sempat menyebutkan merek Coach. Jati tidak sempat mengamati satu per satu koleksi tas Yasmin yang tertata rapi di lemari khusus walk in closet. Harapannya, semoga saja tas yang dibelinya ini belum dimiliki oleh Yasmin. Karena rasanya akan sangat memalukan jika hal itu terjadi. Untuk menanyakan kepada Yasmin, pun hal yang mustahil.

Bisa dibilang, Jati sedang mencoba peruntungan.

Sudahlah. Dia tidak mau memikirkan apa-apa selain mendapatkan maaf dari Yasmin.

Selesai berbelanja, Jati memutuskan segera pulang. Sempat terlintas sesuatu dalam pikirannya saat melewati sebuah pattiserie.

Permintaan maaf ini akan terasa lebih lengkap jika dia membeli sesuatu yang manis untuk Yasmin.

***

Mobil yang sering dipakai Yasmin telah terparkir di garasi saat Jati tiba di rumah. Warna langit semakin menggelap, semburat oranye dan abu-abu sudah benar-benar lenyap.

"Sudah datang, Den?" tanya Nena basa-basi ketika membukakan pintu. Jati selalu menolak setiapkali Nena menawarkan bantuan untuk membawakan tas atau apapun yang dibawanya masuk ke rumah.

Nena tersenyum melihat kantung-kantung belanja yang sedang ditenteng Jati, tanpa bertanya apa-apa. Jati sudah menyisihkan satu kotak untuk Nena seraya berpesan agar Nena menyimpannya dulu. Jati tidak ingin Yasmin merasa dirinya bukan prioritas jika mengetahui Nena yang lebih dulu mendapatkan kue.

Yasmin tengah menuruni tangga sambil merapikan gelungan rambut saat Jati berada di ruang TV. Gerak-gerik Yasmin tidak nampak antusias dengan kedatangannya seperti biasa.

Jati menghela napas dalam dan meletakkan kantung-kantung yang dibawanya ke atas meja makan. Kecuali Coach yang tadi dia letakkan di meja depan TV.

"Saya beliin sesuatu buat kamu."

Tanpa menunggu jawaban, Jati menyambung ucapannya. Untuk menegaskan maksudnya.

"Sebagai permintaan maaf."

Wajah Yasmin yang tadi menatap sebal saat berjalan masuk ke dalam rumah, masih bertahan seperti itu. Jati mengeluarkan salah satu kotak berisi sliced cake Chateraise.

"Kenapa harus repot-repot beli kue sebagai permintaan maaf?" tanya Yasmin. Kotak kue yang tadi dibuka Jati dibiarkan di atas meja tanpa disentuh.

"Makanan manis biasanya cukup ampuh memperbaiki mood seseorang. Sepotong cake itu juga lumayan bikin kenyang. Biar makannya nggak seret, sekalian tadi saya beli minumnya. Chocolate Frappe. Kamu suka Frappe kan?"

Yasmin hanya melirik sekilas bungkusan berisi kue dan minuman di atas meja. Yasmin menggumamkan terima kasih dengan suara pelan. Tapi dia masih belum melihat isi kotak di depannya.

Jati sudah mengatakan kepada dirinya sebelumnya bahwa dia akan menerima apapun respon dari Yasmin.

***

"Legendary fresh cream cake Chateraise."

Siapa yang sanggup menolak sliced cake seenak itu?

Tidak hanya satu, tetapi dua potong sekaligus. Itu pun masih ditambah Mixberry Rare Cheese Cake dan Fruit cube cake.

Ih kesal!!!

Kesal, karena Yasmin tidak yakin akan sanggup mengabaikan potongan-potongan cake cantik dan tentu saja rasanya yang super enak. Terbayang kelembutan tekstur cake berpadu dengan fresh cream dan potongan stroberi segar itu ketika mendarat di lidahnya. Belum lagi minuman cokelat yang manis dan dingin. Benar-benar godaan di waktu yang tidak tepat.

Mengapa Jati harus membelikan sesuatu yang Yasmin tahu tidak akan bisa ditolaknya?

Argh! Kesal banget!

"Jadi, bagaimana dengan permintaan maaf saya?" Jati menarik kursi di dekat kursi tempat Yasmin duduk. Baru kali ini Jati menghampirinya sepulang kerja. Biasanya juga Yasmin yang selalu punya inisiatif.

Au ah!

"Yasmin." Jati memanggil namanya dengan suara pelan dan penuh kehati-hatian.

Yasmin melirik Jati, lalu kembali menatap kepada deretan sliced cake yang semakin menggoda iman.

Jadi begini rasanya menghadapi Jati dan usahanya untuk meminta maaf? Mendengar suara Jati memanggil namanya saja, sudah cukup memberikan sensasi pergolakan di dalam perut Yasmin.

Ya, kalau minta maafnya dengan cara yang lebih romantis, mungkin Yasmin akan mempertimbangkan untuk memberikan maaf.

"Baik kalau gitu. Mungkin sebaiknya kita bicarakan saja tentang hal ini di dalam kamar. Saya nggak mau Nena sampai dengar percakapan saya sama kamu."

Sebetulnya Yasmin juga bermaksud seperti itu. Ternyata Jati sudah lebih dulu mengusulkan untuk mereka membahasnya di dalam kamar.

"Bagaimana kalau kita bicarain hal ini setelah makan malam?"

Yasmin hanya menggerakkan mulut, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Jati lebih dulu beranjak dari kursi. Sepintas mengatakan dia harus segera mandi.

***

Sesudah makan malam dan bersih-bersih, Jati benar-benar melakukan yang dikatakannya tadi. Sepertinya Jati akan melakukan segala upaya untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka malam itu juga. Yasmin belum memutuskan apa-apa sebelum Jati memberikan penjelasan yang bisa diterimanya.

Satu fakta lagi.

Ternyata Jati membelikan sebuah tas untuknya.

Ya, Jati merasa perlu repot-repot membelikannya segala macam, untuk meminta maaf sedangkan Jati tidak merasa penting mengucapkan pernyataan cinta saat Yasmin butuh mendengarnya langsung dari mulut Jati.

Apa memang iya, mengucapkan cinta bisa jadi sesuatu yang sangat sulit?

"Hari ini saya lumayan sibuk di lokasi proyek. Tahap persiapan sudah rampung dan kalau tidak ada kendala, minggu depan tahap pembangunan sudah akan dimulai."

Jati memulai obrolan mereka dengan menceritakan kesibukannya hari ini.

"Bagaimana dengan kesibukan kamu hari ini?" tanya Jati, jelas menujukan pertanyaan itu kepadanya.

"Biasa aja. Nothing special."

"You are. Kamu benar-benar marah sama saya." Nada suara terdengar datar. Kendati demikian, Yasmin bisa merasakan nada terkejut di sana.

Mungkin Jati berpikir, Yasmin tidak akan mungkin marah kepadanya. Tapi sekarang, Yasmin berhasil membuktikan bahwa dia sedang marah. Dan berhak untuk itu.

"Kenapa harus semarah ini, Yasmin?"

Ngapain nanya soal itu?

Apa Jati tidak tahu jawabannya?

Nggak usah basa-basi. Aku nggak suka! Batin Yasmin.

"Kenapa harus nanya sesuatu yang Kak Jati sudah tahu jawabannya?" Yasmin tidak bisa menahan keketusan dalam suaranya.

"Apakah setelah saya mengucapkannya, kamu nggak akan marah lagi ke saya?"

Tentu saja.

Eh.

Mungkin.

Kalau hanya diucapkan tanpa dilakukan, apa gunanya?

"Mengucapkan selalu lebih mudah daripada melakukan."

"At least, Kak Jati mau ngomong cinta. Apa aku harus nunggu seumur hidup untuk menunggu sesuatu yang sebenarnya mudah banget untuk diucapkan?"

Jati terdiam. Membuat Yasmin semakin kesal.

"Kenapa sulit banget sih buat Kak Jati untuk ngomong cinta ke aku?" Yasmin balik bertanya.

"Saya sudah pernah jelasin alasannya. Buat saya, pernyataan cinta itu nggak hanya di mulut saja. Saya sedang mencoba, dan saya butuh waktu. Kalau sikap saya itu sedemikian mengganggu kamu, maka saya minta maaf."

"Lalu, kenapa Kak Jati ngajak aku nikah kalau Kak Jati nggak cinta sama aku?" Tanpa sadar, suara Yasmin makin meninggi.

Yasmin sampai harus berdiri dari kursi kayu yang didudukinya, lalu mendekat ke tiang pembatas balkon. Saat Yasmin berbalik, Jati ternyata sudah berdiri di sampingnya. Yasmin bergeser untuk memperlebar jarak di antara mereka, tapi Jati langsung menahan dengan gestur yang selama ini tidak pernah dilakukan Jati. Jati meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan Yasmin yang tengah berpegangan di besi pembatas balkon.

"Saya nggak mau kehilangan kesempatan menikahi kamu. Saya takut ketika saya nunggu perasaan cinta itu datang, kamu sudah jadi milik orang lain."

What? Apa Yasmin tidak salah dengar?

Bisa banget kaya gitu?

"Bohong banget. Kak Jati ngomong seperti itu hanya untuk pembelaan kan?" tuduh Yasmin, cepat.

Jati menggeleng.

"Saya serius. Untuk apa saya bohong sama kamu?"

"Yaa untuk mempertahankan ego, mungkin. Kak Jati terbiasa dengan keadaan di mana selalu aku yang ngejar, selalu aku yang punya inisiatif. Selalu aku yang ngalah dan selalu aku yang punya harapan sendiri. Berjuang sendirian itu capek, Kak. Mungkin ada saatnya aku akan nyerah memperjuangkan cinta Kak Jati. Aku nggak mau ketika saat itu datang dan yang tersisa hanya penyesalan."

"Saya akan berusaha lebih keras, Yasmin. Ada sesuatu di masa lalu saya yang butuh waktu untuk dipulihkan. Suatu saat saya akan ceritakan sama kamu ketika saya sudah benar-benar siap dan situasinya sudah kondusif. Tapi untuk saat ini, kamu hanya perlu percaya sama saya, bahwa saya berusaha jadi pribadi yang lebih baik. Menjadi laki-laki yang pantas dicintai dan mencintai kamu."

Kata-kata itu terdengar menyakitkan sekaligus menyedihkan. Jati bahkan belum sepenuhnya jujur.

Tapi untuk saat ini, seharusnya Yasmin tidak menuntut banyak, bukan?

"Serius? Serius Kak Jati akan berusaha mencintai aku?"

"Serius." Jati mengangguk. "Jangan marah lagi."

"Aku nggak akan marah lagi asal...,"

"Saya tahu. Ini kan?"

Jati memahami maksud Yasmin. Sebelum Yasmin menuntaskan ucapannya, Jati mendekatkan wajahnya untuk mencium kening Yasmin.

Yasmin memeluk tubuh Jati. Selain karena bahagia, juga karena hembusan udara malam yang cukup dingin. Yasmin menengadah untuk menyentuhkan telunjuknya di permukaan bibir Jati.

"Lagi. Tapi pake ini. Boleh? Kiss me until my mouth no longer knows how to ask you for more. As it should be." Yasmin meminta.

"As it should be."

***

"As it should be."

Jati menunduk untuk menempelkan bibirnya ke bibir Yasmin.

Bukan hanya karena Yasmin yang meminta. Tapi karena dia menyadari bahwa dia juga menginginkannya.

Her lips were like the soft beauty of a delicately designed silken scarf.

"I can't stop to thinking about your lips on mine." Yasmin mengucapkannya saat mereka berhenti sejenak untuk menghirup oksigen. "I just can't stop kissing you. I always want more."

"Go get yours, Yasmin."

Yasmin tersenyum senang sebelum menyentuhkan bibirnya. Entah siapa yang memulai, mereka mulai berciuman lebih intens, dengan mulut terbuka.

Kali ini sambil sesekali membuka mulut, menggerakkan lidahnya untuk merasakan Yasmin, yang kemudian balas direspon Yasmin dengan baik. Yasmin terdengar mulai mengeluarkan gumaman lirih ketika Jati semakin memperdalam ciumannya sekaligus meningkatkan intensitas gerakan bibir dan lidahnya. Jemari Yasmin mengusap punggungnya, sesekali menjambak rambutnya, dan berpegangan erat di tengkuknya.

"Touch me." Lirih Yasmin sambil mengarahkan telapak tangan Jati ke balik dress tidur yang dikenakannya.

Jati menggerakkan telunjuk dan jempolnya dengan hati-hati. Yasmin mengaduh pelan saat Jati mengusapnya pelan di satu titik. Pegangannya pada bahu Jati semakin mengerat.

"Can we move?"

Yasmin menunggu responnya. Saat Jati menunjukkan anggukan kecil, Yasmin menariknya menuju kursi santai panjang dengan bantalan empuk yang melapisi bagian kepala. Kursi tersebut biasanya dipakai Yasmin untuk berjemur di balkon.

Jati tidak menyangka jika kursi itu punya fungsi lain yang tidak kalah penting.

Such as the place to make love.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top