PART TIGA
"Ya nggak kenapa-napa," jawabku.
Selama ini, aku berusaha menghindari untuk menghabiskan waktu bersama Mas Daru di tempat yang dan waktu yang sama. Kalau aku jelaskan alasannya, mungkin Dewi akan menganggap ceritaku hanya bagian dari masa lalu.
"Lo kok kelihatannya segan banget ya sama Mas Daru?" tanya Dewi. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya, tetapi sepertinya aku bisa membayangkan tatapan penuh selidik dari Dewi.
Bukan segan juga, tapi lebih ke...
Apa ya? Aku juga tidak bisa mengartikan. Sejak kejadian waktu itu, aku tidak pernah punya kesempatan untuk membicarakan hal itu dengan Mas Daru. Aku tidak tahu bagaimana tanggapan Mas Daru setelah bertahun-tahun lamanya peristiwa itu berlalu. Apakah dia masih kesal atau bagaimana, aku tidak bisa menebak. Tapi kalau melihat dari gerak-geriknya yang biasa saja setiap bertemu denganku, seharusnya kan aku juga tidak perlu memikirkannya. Namanya juga manusia, tempatnya khilaf dan dosa.
"Mas Daru pernah nanya lho ke gue kayak gini. Eh, Wi, temen kamu si Dira kenapa sih setiap ketemu sama aku, ekspresi wajahnya seperti orang yang punya beban hidup berat banget?"
Aku menoleh kepada Dewi.
"Masa sih dia bilang begitu?"
"Iya, beneran. Makanya, gue juga mikir begitu." Dewi terdengar ingin tahu. "Apa dulu kalian pernah ada masalah?"
Lama-lama si Dewi bisa curiga.
Apa aku bilang saja ya? Tapi bagaimana caranya?
"Nggak kok. Cuma, mungkin karena Mas Daru itu seorang dokter, jadi gue segan." Aku tidak sepenuhnya berbohong soal ini. Aku memang selalu takjub melihat seseorang dalam seragam dokter. Membayangkan mereka telah menempuh pendidikan yang sulit dalam jangka waktu lama, apalagi seorang spesialis, membuatku jadi menaruh respek lebih tinggi lagi kepada mereka.
"Ah, masa sih? Gue aja kalo lihat kakak gue, kadang sebal."
"Yeee, lo kan sodaranya?" Aku tergelak.
"Abis dulu dia jail banget. Sampe sekarang, malah. Gue heran kenapa dia bisa jadi dokter." Dewi terdengar meremehkan kakaknya sendiri.
Sama, Wi. Aku juga sempat terkejut ketika mengetahui jika ternyata Mas Daru bisa menjadi dokter. Memang sih, kepribadian seseorang di masa lalu tidak bisa dijadikan gambaran dirinya di masa depan.
"Dia bisa jadi dokter ya karena dia pinter, Wi."
"Iya juga sih. Tapi sampe sekarang, gue masih takjub aja gitu lho. Mama sama Papa tuh sempat hopeless bagaimana mengatasi kenakalan Mas Daru sejak kecil sampai remaja. Padahal pinter lho. Cuma menurut dokter, kenakalan Mas Daru itu disebabkan karena dia susah beradaptasi sama lingkungan sekolah. Bisa jadi karena otaknya jenius, dan dia nggak dapet apa yang dia mau di sekolah. Dia terlalu banyak pertanyaan yang nggak bisa terjawab. Trus gaulnya sama temen-temen yang salah. Makanya waktu dipindahin ke sekolah baru sesuai anjuran dokter, sikapnya mulai berubah."
Dewi sudah seringkali bercerita tentang kakaknya. Dan setiap mendengarnya, aku hanya lebih banyak diam. Aku salah satu orang yang pernah menjadi korban kejahilan, tapi sekaligus aku juga yang pernah menyebabkan dia dipanggil ke ruang kepala sekolah.
Aku dan Dewi pernah satu sekolah sewaktu SD sebelum mereka pindah ke Jakarta. Kami bertemu kembali saat kuliah dan menjadi tidak terpisahkan lagi. Jadi, Dewi tidak tahu jika aku pernah kenal sama Mas Daru sewaktu SMP dan SMA. Hebatnya, aku dan Mas Daru bisa berakting seolah-olah kami tidak pernah bertemu satu sama lain semasa remaja dulu. Dia bisa membahas soal Bagas yang sudah menjadi temannya sementara dia bisa menutup rapat cerita tentangku dari Dewi.
Ya, sebenarnya karena aku juga bukan sosok penting di dalam hidupnya. Jadi mungkin alasan itu yang membuat dia tidak pernah membahas soal diriku di depan Dewi.
Masih sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak menyadari jika mobil Dewi sudah memasuki halaman rumah Mas Daru. Sebuah unit town house tingkat dua bergaya desain modern classic berukuran cukup luas. Pintu garasi sudah tertutup. Suasana hening.
"Yuk turun," ajak Dewi sambil melepaskan sabuk pengaman. Aku membantu Dewi membawa wadah berisi makanan dan menunggu sampai pintu terbuka.
"Eh, udah dateng," sapa Mas Daru. Dia melirikku sekilas, sebelum menengok ke arah Dewi, kemudian menguap lebar. "Hampir aja gue tidur."
"Ya elah, baru juga jam berapa. Kita makan sama-sama dulu, baru Mas tidur," ujar Dewi. Saat melewati Mas Daru, kakaknya itu mengacak rambut Dewi.
Aku terkadang iri melihat keakraban antara Dewi dengan kakak-kakaknya. Karena aku tidak punya kakak, jadi aku sering berkhayal bagaimana rasanya menjadi seperti Dewi. Punya kakak yang menyayanginya, tempat berbagi cerita, berantem manja.
"Kamu bawa apa?" tanya Mas Daru yang mengikuti langkah kami menuju meja makan. Wajahnya menaruh minat begitu melihat makanan dalam wadah yang sedang kami buka satu per satu. "Wah. Ada rendang."
Aku beralih ke pantri, mengambil piring, gelas dan sendok kemudian mulai menata di atas meja. Kulihat Mas Daru mengambil wadah-wadah yang sudah kosong karena isinya dipindahkan dan membawanya ke bak cuci piring. Termasuk menyingkirkan plastik pembungkus wadah. Sementara Dewi merapikan meja dan peralatan makan yang siap digunakan.
Sekitar lima belas menit kemudian, kami sudah duduk bersama menikmati hidangan makan malam, olahan tangan Tante Tyas. Rasanya enak, terkhusus rendang dan dendengnya yang nyaris sama dengan rasa masakan Padang pada umumnya.
"Kalo gini sih, Mama udah bisa buka restoran Padang." Mas Daru terdengar memuji masakan mamanya. Tidak berlebihan, karena menurutku juga sama.
"Semoga segera terealisasi." Dewi tersenyum.
Mudah saja bagi keluarga mereka jika ingin membuka restoran lagi. Tinggal mencari lokasi yang pas, chef dan karyawan. Soal uang jelas bukan masalah.
"Kafe sama butik, gimana, Wi?" tanya Mas Daru di sela-sela makan.
"Lumayan, Mas. Omzet penjualan nggak begitu besar bulan ini, tapi tenang aja. Belum rugi kok." Dewi tergelak. "Padahal kemarin udah dibahas. Ngomongin yang lain, kek."
"Ya kalian dong yang nyari topik. Dari tadi, aku terus yang ngomong." Mas Daru menudingku yang sedang duduk di samping Dewi. "Dira, gimana?"
Aku?
Gimana apa ya?
"Kerjaan gimana?" Mas Daru memperjelas. Aku memelankan kunyahanku.
"Mm, lumayan juga, Mas."
Dewi melihat ke arahku. "Biro iklan Cell-Era jadi makin banyak orderan tuh, Mas. Katanya bentar lagi Anin naik jabatan."
"Hush, nggak. Lo ngarang aja." Aku menyikut Dewi.
"Diaminin dong," kata Mas Daru. "Naik jabatan berarti gaji bertambah dan kesempatan untuk meningkatkan karir. Cell-Era memang lagi lumayan happening. Iklan ponsel di Line yang setiap hari nongol itu, buatan perusahaan kalian, kan?"
"Yang Jefri Nichol itu?" tambah Dewi.
"Iya, yang bareng aktris siapa gitu."
"Dian Sastro, Mas. Ya ampun. Masa sekelas Dian Sastro, Mas nggak tau?"
"Bukan nggak tau. Namanya juga lupa." Mas Daru terdengar membela diri.
"Iya, tapi mustahil lho orang bisa lupa nama Dian Sastro."
Iya juga sih. Sama saja kalau ada orang yang melupakan nama Nicholas Saputra. Itu namanya kejahatan yang tidak bisa termaafkan.
Lagian Mas Daru ini mungkin kelamaan sibuk bekerja ya? Makanya nama aktris populer saja, dia bisa lupa.
Aku menikmati perdebatan antara kedua bersaudara itu yang sekarang merembet ke topik lain. Entah dapat ide dari mana, mereka membahas soal teman-teman sekolah mereka dulu. Sampai nama Bagas pun disebut-sebut.
Kan kesel?
"Bagas kerjaannya bagus lho sekarang." Mas Daru melirikku.
"Ya, gimana nggak bagus, Mas. Anak juragan tanah gitu. Nggak usah capek-capek apply di perusahaan buat dapet gaji gede. Kerjaannya juga palingan hanya ngawasin kebun sama usaha keluarga mereka."
"Denger-denger dari Bagas, mereka mau buka unit SPBU lagi."
"Serius, Mas? Udah punya dua SPBU, trus nambah satu lagi? Hebat! Sultan memang beda."
Gini nih, kalau sultan ngomongin sultan.
Bikin makin minder aja.
"Makanya jadi rada bingung, kalo sampe sekarang Bagas belum punya pacar. Aneh banget kan?"
"Iya, bener. Bener. Tapi kalo yang disukai cuma satu cewek, gimana dong?"
Aku melirik Dewi yang sedang melihatku sambil senyum-senyum. Sudah pasti, aku yang jadi bahan pembicaraan mereka.
"Apaan sih, Wi? Udah deh, nggak usah dibahas." Aku tidak bisa menyembunyikan kekesalanku.
Dewi memberikan kode kedipan kepada Mas Daru. Dia tahu persis kalau sudah protes seperti ini berarti aku tidak mau mendengar topik yang sama lagi.
"Sorry, sorry."
Ih, memang lagu Super Junior?
"Sorry juga, gue jadi nge-gas." Aku balik minta maaf. Serem saja aku jadi dibilang galak sama kakaknya. Padahal aku hanya tidak suka seseorang membahas soal Bagas.
"Santai aja." Dewi kembali tersenyum.
Mood-ku jadi sedikit membaik di sepanjang sisa makan malam, karena mereka tidak pernah membahas soal Bagas lagi di depanku.
Aku menegaskan kalau aku tidak pernah membenci Bagas. Aku hanya enggan ketika seseorang yang sudah kuanggap seperti saudara malah dijodoh-jodohkan denganku.
Aku kan bukan anak kecil lagi yang mesti dijodoh-jodohkan?
***
Akhirnya baru bisa update :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top