PART DUA

PART 2

Aku tidak pernah mau punya pacar dari lingkungan kerja yang sama. Hal yang teguh kupegang sejak dulu. Waktu jaman sekolah saja, aku selalu menghindari hubungan romantis dengan teman dalam lingkup pergaulanku. Berarti termasuk teman main, sekolah, dan yang sudah pasti tidak mungkin adalah teman sekelas. Memacari teman sekelas tidak pernah terlintas di benakku sedikitpun. Karena selain akan menjadi sasaran empuk gosip teman sekelas, kalau sudah putus rasanya pasti canggung. Ya bayangin aja, punya mantan, teman sekelas yang setiap hari bertemu. Rasa tidak enakan itulah yang membuat hidup jadi tidak tenang. Bagaimana kalau hal yang sama berlaku dalam hubungan antar teman sekantor. Baru membayangkannya saja aku sudah pusing.

Kantor tempatku bekerja merupakan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan. Perusahaan kami sudah biasa menangani berbagai macam iklan yang nantinya akan ditayangkan di berbagai media, misalnya media elektronik atau iklan berjalan yang biasa ditemukan di pinggir jalan.

Pengalaman pertama bekerja, sebetulnya sama saja dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Butuh adaptasi dengan lingkungan kerja. Melamar sebagai fresh graduate dengan pengalaman kerja yang minim membuatku harus memulai dari bagian kecil. Bantu-bantu copywriting sampai membantu pekerjaan OB seperti menyiapkan kopi dan men-scan dan fotokopi berkas. Sampai kemudian aku diberi kesempatan untuk bergabung dengan tim dan sukses membuat sebuah iklan yang memuaskan hati klien.

Pekerjaanku kedengarannya sederhana saja, membuat desain berupa gambar dan tulisan, yang kemudian nantinya akan digabungkan oleh tim editing sehingga menghasilkan iklan dua dimensi atau tiga dimensi, tergantung konsep iklan yang dikerjakan. Sejauh ini, kami memang menerima iklan apa saja, selama materi iklan tidak menyinggung SARA atau mengiklankan sesuatu yang mengundang kontroversi. Namanya juga mencari klien sebanyak mungkin, ya kan?

Lalu bagaimana dengan gajinya?

Gajiku terhitung standar untuk ukuran karyawan yang telah bekerja selama lima tahun. Berhubung pekerjaan ini tidak sama dengan PNS yang tergantung pada masa kerja dan golongan, kisaran gajiku dipengaruhi oleh kinerja. Jadi, jumlah gaji setiap bulan akan bervariasi, sesuai volume kerja dan prestasi. Singkatnya, semakin banyak proyek yang kami kerjakan, maka gaji yang diterima juga akan semakin banyak. Apalagi kalau iklannya dari perusahaan besar, meskipun permintaan sedikit ribet, tetapi bayarannya sangat besar. Untuk itu, bos di kantor mesti sering menjalin relasi dengan banyak perusahaan, biar proyek jadi lebih lancar.

Seperti biasa, setiap pagi, aku akan mengendarai motor matic untuk berangkat kerja. Tapi, kadang aku bareng Dewi, nebeng BMW-nya kalau kebetulan waktu berangkatnya bersamaan. Dewi mengelola sebuah butik dan kafe, joinan dengan Mas Daru dan temannya.

Seperti pagi ini, Dewi mengantarku sampai kantor.

"Lo lembur?" tanya Dewi saat kami berada di jalan.

"Gitu deh. Ada pesanan iklan yang mesti diselesain cepat-cepat."

"Oo, ntar lo bilang aja kalo udah kelar, gue jemput."

"Nggak usah repot, Wi. Gue bisa naik taksi online."

"Janganlah. Ntar gue jemput, nggak pa-pa kok. Sekalian gue ntar malam juga mau ke tempat Mas Daru. Mau bawain makanan."

"Oh, ya udah kalo lo maksa." Aku bercanda, kemudian tertawa bersama Dewi. Dewi hanya mengernyit, menangkap candaan garingku.

"Nggak tau deh, kenapa akhir-akhir ini nyokap gue jadi rajin masak-masak."

Orangtua Dewi dulunya juga tinggal di kampungku. Tetapi setelah anak-anak mereka beranjak besar dan Dimas, kakak tertua Dewi sudah masuk kuliah, mereka kemudian pindah ke Jakarta. Rumah mereka di kampung kini masih dijaga serta dirawat kerabat dari ayah Dewi. Alasannya, biar mereka punya tempat menginap kalau sedang rindu dengan kampung.

"Ibu juga lagi senang-senangnya nyoba resep baru. Kemarin aja waktu gue pulang, Ibu antusias banget mempraktekkan resep dari Youtube," jelasku.

"Oh, ya? Apa memang lagi musim ya?" tanya Dewi. Aku hanya mengangkat bahu.

"Kebetulan aja sih kayaknya."

Dewi memelankan mobil saat akan berbelok ke halaman kantorku. "Untung aja masakan nyokap gue enak, jadi gue sama sodara gue nggak perlu khawatir bakal sakit perut."

"Iya, sama." Aku mengangguk setuju. Beruntung sekali eksperimen Ibu selalu berhasil. Yaah, minimal kalau agak gagal sedikit, hasil masakannya masih bisa dimakan.

Dewi bersiap memanuver mobilnya berbalik ke jalan.

"Oke deh. Gue turun dulu. Makasih ya?" pamitku kepada Dewi. Aku memakai ransel kecilku, kemudian keluar dari mobil. Pandangan sekuriti selalu saja takjub melihat mobil yang dikendarai Dewi.

"Ah, lo. Kayak apaan aja deh." Dan seperti biasa, Dewi selalu menolak setiap aku berterimakasih. Aku beruntung memiliki teman sebaik Dewi.

"Wah, dianter temannya lagi, Mbak?" sapa Pak Timo, ramah. Aku merapikan kemeja pink yang ujungnya kumasukkan ke dalam celana panjang hitam yang kukenakan.

"Iya, Pak. Teman tajir," jawabku.

Sebelum Pak Timo mengira mobil itu milikku, aku sudah membuat klarifikasi sejak kemarin-kemarin.

Mereka sekeluarga memang gemar mengendarai mobil mewah. Bukan hanya mereka saja sih, karena aku cukup yakin, orang-orang tajir pada umumnya paling suka mengoleksi mobil mewah. Mobil mewah yang kumaksud adalah jenis mobil impor yang harganya milyaran dengan nilai pajak yang mampu membuat ginjal rakyat jelata bergetar. Aku sudah searching harga mobil Dewi. Untuk BMW tipe X1 yang dikendarai Dewi, harganya lebih dari satu milyar. Lalu punya kakak-kakaknya malah lebih mahal lagi. M4 milik Mas Daru saja lebih dari dua milyar. Buset. Kenapa sih beli mobil harus mahal-mahal?

Nggak usah heran, Nin. Otak kamu aja yang nggak nyampe mikirnya kenapa?

Jawabannya apalagi demi nilai prestise? Gengsi kan, punya uang banyak, mobilnya biasa-biasa saja.

Yaah menurutku sih begitu.

Aku memanggul ranselku yang berisi laptop menuju ke meja tempatku bekerja sehari-hari. Sebuah meja kerja warna putih, berukuran sempit dan bersih dari tumpukan kertas. Berbeda dengan bagian administrasi yang tumpukan berkasnya semakin hari semakin meninggi.

"Kopi, Mbak Nin." Fery, anak magang baru menawari kopi.

"Jadi repot nih, Fer. Tapi nggak usah, tadi udah minum kopi di rumah. Makasih ya?" Aku membuka laptop dan menyalakan tombol power. Laptop yang kupakai bekerja selama empat tahun ini, sudah minta ganti. Aku sedang menabung untuk membeli laptop i7, prosesor tinggi, bisa backflip, touch screen dan kualitas gambar super tinggi. Tapi harganya yang menyentuh 20 jutaan, membuatku berpikir ulang untuk membelinya. Mahal banget!

Shely, dari bagian kreatif yang juga baru saja datang, menyapaku ramah. Dia menurunkan hand bag pink Gosh-nya dan merapikan rambut. "Hari ini, lo naik mobil ya, Nin? Gue nggak lihat motor lo."

"Iya, dianter tadi," jawabku. Shely mengambil kaca kecil dan melihat tampilan wajahnya.

"Dianter sama Dewi? Soalnya tadi, gue papasan di jalan." tanyanya lagi. Shely mengenal Dewi karena aku mengenalkan mereka sewaktu kantor kami mengadakan acara makan-makan di restorannya. Shely tercengang sewaktu mengetahui ternyata Dewi adiknya Dimas, kakak kelasnya di SMA dulu. Jadi dia sudah tahu kalau keluarga mereka kaya raya.

"Iya."

Shely mengangguk-angguk. "Kakak-kakaknya masih pada belum nikah ya?" tanya Shely makin kepo.

"Iya."

Aku bosan menjawab dengan jawaban yang sama. Singkat dan tidak padat. Karena aku selalu menahan diri untuk tidak membahas soal Dewi dan keluarganya dengan orang lain, meskipun aku mengetahui cukup banyak tentang keluarga mereka karena Dewi memang suka bercerita kepadaku.

"Mereka bersaudara cantik dan ganteng-ganteng. Udah gitu tajir lagi." Shely mengeluarkan laptop dari dalam tas jinjingnya. "Lo beruntung bisa masuk circle keluarga mereka."

"Biasa aja sih buat gue. Temenan sama Dewi juga nggak bikin gue lantas jadi ikutan tajir."

"Tapi kan minimal lo juga ngerasain gimana rasanya naik mobil mewah sekelas BMW? Gue aja nggak pernah lho. Paling mahal kemarin juga naik Honda Accord. Itupun hanya nebeng mobil Om gue ke acara nikahan keluarga. Om gue itu yang paling sukses sih di keluarga gue."

Aku mengangguk, lantas tertawa kecil. "Lumayanlah, bisa bikin halu dikit."

Iya, aku memang jujur. Kadang mengkhayal bagaimana rasanya punya rumah mewah, apartemen mewah, mobil mewah, liburan mewah...

"Nin, nanti meeting lagi bentar," ujar Mas Kenny yang melintas di depan mejaku. Mas Kenny adalah project leader iklan yang sedang kami garap. Dia menjadi PL karena konsep iklannya yang dipakai oleh klien dari pilihan tiga konsep yang ditawarkan Cell-Era, perusahaan kami.

"Iya, Mas."

Proyek kali ini, kami mengerjakan pesanan iklan es krim Hott, brand Korea yang baru setahun ini masuk ke Indonesia. Kami berhasil mendapatkan proyek itu setelah bersaing dengan biro iklan lain yang cukup terkenal. Karena konsep yang ditawarkan dinilai fresh dan sesuai keinginan mereka, akhirnya pihak Hott setuju bekerjasama dengan Cell-era.

***

Dewi menjemputku selepas pukul delapan malam. Aku menjadi dua orang terakhir bersama Mas Kenny yang masih tinggal di kantor. Awalnya Dewi mengira aku dan Mas Kenny ada something. Aku bilang kalau Mas Kenny sudah punya istri yang sangat dia cintai dan dua anak kecil yang sedang lucu-lucunya.

"Abis dari sini baru ke tempat kakak lo?" Aku memperjelas.

"Iya, dia baru pulang jam segini." Dewi menyetel musik. "Eh, jadi gini. Gue sebenarnya mau sekalian makan bareng di rumah Mas Daru. Lo belum makan kan? Mama ngasih makanannya banyak, katanya sekalian buat lo juga." Dewi menunjuk sebuah wadah Tupperware. "Yang itu buat dibawa pulang. Yang gede ini nanti kita makan bareng sama Mas Daru."

"Eh, gimana? Gimana?" tanyaku panik. Maksudnya kami bertiga makan malam bersama di tempat Mas Daru, gitu?

"Kenapa? Lo udah makan?" tanya Dewi, tidak menyadari kepanikanku.

"Belum. Tapi kenapa harus makan malam di tempat kakak lo?"

"Dan kenapa nggak?" Dewi bertanya balik.

***

Ini aku akan post juga ya di Karyakarsa, mulai dari awal. Masih gratis :D tapi mau ngasih tip juga boleh kok :DDDDD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #love#rumah