2. Membagi Cinta

Lolita membuka pintu dan melihat lampu ruang tengah belum menyala. Ia bergegas memeriksa tempat sepatu. Sepasang flat shoes berpita milik Ghina diletakkan bertumpukkan. Ghina jelas sudah pulang. Namun, entah mengapa Ghina membiarkan tempat tinggal mereka gelap gulita.

Kotak besar di tangan Lolita bergoyang pelan. Gerakan tersebut menyadarkan Lolita untuk segera menyalakan lampu dan meletakkan barang-barang bawaan. Ia melempar tas ransel begitu saja tanpa kelembutan, lalu meletakkan kotak berpintu ruji-ruji penuh kehati-hatian di dekat kaki meja.

"Welcome home!"

Lolita berjongkok di depan pet carrier yang telah terbuka. Ia sabar menunggu.

Tak sampai semenit bunyi gesekan langkah di atas pasir terdengar. Sepasang telinga segitiga menyembul keluar. Wajah berkumis mengintip malu-malu. Hewan yang seluruh tubuhnya berbulu putih itu celingukan.

Lolita biasanya tidak banyak tersenyum. Namun, ia tidak dapat menahan tulang pipinya agar tidak naik. Sungguh, tingkah si kucing terlalu lucu baginya.

"Mulai sekarang kita tinggal bersama di sini, oke?" Lolita bicara sendiri seperti orang gila.

Si kucing pincang mengeong sebagai balasan. Lolita menjerit kecil akibat gemas. Bagaimana bisa seekor kucing liar cepat mengerti maksud ucapan Lolita?

"Astaga! Itu kucing siapa?"

Lolita terduduk di lantai. Debaran dadanya sangat berisik akibat terkejut. Ia menoleh ke sumber suara. Ghina tengah asyik memandangi si kucing yang balik melihatnya penuh rasa ingin tahu.

"Gue kira lo tidur."

"Memang," balas Ghina singkat. Ia buru-buru mengitari sofa untuk mengamati si pendatang baru dari jarak dekat. "Kucing siapa?" Ghina mengulang pertanyaan.

Lolita mengendus aroma aneh. Bau koyo yang menyengat menguar dari orang di sebelahnya. "Ghin, lo pakai berapa banyak koyo?"

"Setengah pak kayaknya ada. Maklumlah! Aku, kan, remaja jompo."

"Pertama, lo bukan remaja. Kedua, lo jadi jompo karena sibuk mengurung diri seharian di kamar." Lolita mengangkat tubuh dan duduk belunjur di sofa. Ia membiarkan Ghina bermain-main dengan si kucing.

"Pertama, aku di dalam kamar bukan mengurung diri, tapi lagi kerja sampingan bikin konten endorsement. Kedua, dari tadi aku tanya ini kucing siapa, kamu nggak jawab." Ghina membalik kata-kata Lolita. Ia membawa si kucing ke pangkuan. "Kaki kamu sakit? Aku elus-elus, ya, biar cepat sembuh."

"Bukan cuma sakit. Si kucing habis operasi," sahut Lolita. Posisi duduknya melorot jadi berbaring.

"Operasi? Kenapa?"

"Fraktur. Kakinya terjepit beton penutup saluran air." Suara Lolita saat menjawab kian pelan. Matanya setengah terpejam. "Hati-hati kalau mau ajak kucingnya main! Kata dokter, kucing itu lagi hamil."

Kesadaran Lolita mengawang. Akumulasi lelah mengundang kantuk. Dua belas jam Lolita bertugas jaga bangsal. Setelah itu ia menghabiskan dua jam lamanya mengarungi lautan kendaraan bermotor demi menjemput kucing di rumah sakit hewan. Tak heran apabila Lolita menyerah pada nalurinya. Ia butuh istirahat.

"Nama kucingnya siapa, Lol?" tanya Ghina sambil menepuk-nepuk kaki Lolita.

Lolita bergumam panjang dan berguling memunggungi Ghina. Ia memberi jawaban malas-malasan. "Bikin, Ghin!"

"Bikin? Maksud kamu bikin nama? Memang belum dikasih nama sama pemiliknya? Kalau mau operasi, biasanya kucing itu ...."

Tenang sebelum badai. Diam sebelum membantai. Lolita yang hampir terlelap seketika dapat merasakan aura mencekam dari balik punggung. Bulu kuduknya meremang merasakan sinyal bahaya.

Secepat kilat Lolita melompati sandaran sofa. Ia bersembunyi di baliknya. Separuh wajah Lolita muncul untuk mengintip takut-takut. Ia melihat Ghina masih duduk memangku si kucing, tetapi sorot mata Ghina tidak ramah lagi.

Inilah alasan Lolita dari tadi menghindari satu pertanyaan penting Ghina. Temannya itu pasti akan mengomel panjang lebar.

"Kondisi kamu lagi nggak memungkinkan untuk memungut kucing liar sembarangan, Loli. Kucingnya sampai dioperasi dan dibelikan macam-macam." Ghina mencecar memakai bukti. Jari telunjuk Ghina teracung pada aneka peralatan kucing di samping pet carrier.

"Kasihan, Ghin," sahut Lolita yang enggan keluar dari tempat perlindungan.

"Kamu, kan, bisa cari kontak para rescuer kucing liar. Kamu nggak harus menanggung beban merawat si kucing."

"Kasihan, Ghin," ulang Lolita dengan nada memelas.

"Hidup kamu lebih menyedihkan, Loli." Ghina menahan gemas. "Buruan balik duduk sini! Badan aku lagi pegal-pegal. Aku nggak bisa menuruti hawa nafsu untuk memulai peperangan," lanjut Ghina sarkastik.

Seakan menurut pada tetua adat, Lolita pun duduk kembali di sofa. Secara otomatis punggung Lolita menegak dengan kedua tangan lurus memegang lutut. Lolita mempersiapkan diri menerima gerutuan Ghina.

"Sudah merasa kaya? Sudah punya uang lima ratus juta? Sudah lupa seminggu lalu kamu hampir pingsan gara-gara baca SMS Ibu isinya begitu?" cecar Ghina.

Kepala Lolita bergerak ke kanan dan kiri berulang-ulang. Ia tak berani menatap Ghina.

"Jawab jujur! Biaya yang kamu keluarkan untuk kucing ini berapa banyak?"

Sederet gigi putih nan rapi menghiasi wajah lawan bicara Ghina. Perlahan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan Lolita terangkat. Setelah mendapat pelototan dan decak kagum main-main dari Ghina, jari-jari Lolita mengerut masuk dalam kepalan tangan.

"Dua ratus ribu? Nggak usah bohong! Itu dapat makanan kucing doang."

"Dua ... juta ...," sahut Lolita sengaja memberi jeda. "Delapan ratus ribu," sambungnya.

Ghina menghela napas panjang. Ia melihat ke arah Lolita, lalu beralih menatap si kucing. Ghina heran. Kucing ini sepertinya mengerti isi percakapan Ghina dan Lolita barusan. Ia bersikap sangat imut supaya Ghina tidak marah. Si kucing menyenggol punggung tangan Ghina biar kepalanya kembali mendapat elusan.

"Sampai sekarang BMKG belum kasih kabar mau ada hujan duit," kata Ghina setelah keheningan panjang terjadi. "Kamu nggak benar-benar bermaksud merawat kucing ini di sini, kan? Kamu tahu, kan, ada peraturan dilarang memelihara hewan di apartemen ini? Tadi kamu bilang, kucingnya juga lagi hamil. Bakal banyak kucing. Kebutuhannya bakal membengkak, Lol. Dengan jadwal kerja yang sibuk, memang kamu sanggup merawat mereka semua?"

"Pasti nanti ada jalan." Lolita tak tergoyahkan meski Ghina melempar banyak serangan pemikiran logis. "Masalah aturan ... selama nggak ada yang tahu, kayaknya bakal baik-baik aja."

"Loli." Terdapat nada peringatan dalam panggilan tersebut. "Jalan keluar yang sekarang harus kamu cari adalah menyelesaikan persoalan utang orang tua kamu, bukan malah makin mempersulit diri dengan bawa hewan peliharaan ke rumah. Uang nggak datang tiba-tiba begitu aja."

"I know," balas Lolita kian berani. "Kalau mau membicarakan susahnya cari uang, gue lebih tahu tentang hal itu. Lo baru beberapa bulan meniti karier tambahan sebagai selebgram dan sudah mengeluh capek badan. Lo nggak berhak kasih gue kuliah tentang kehidupan!"

Karena terbiasa berperan sebagai kakak tertua di keluarga, Ghina sama sekali tidak terkejut mendapat bentakan Lolita yang kekanak-kanakan. Gadis di depannya hanya sedang kebingungan. Ghina mengenal Lolita tidak hanya satu atau dua tahun. Kehidupan Lolita yang keras membentuk reaksinya memandang suatu permasalahan.

"Do you see yourself in this cat?"

Otot-otot wajah Lolita mengendur. Kepalan tangannya melonggar. Ia mengangguk patah-patah. Lolita segan menatap balik mata sahabatnya yang terlampau sabar dan perhatian.

"Gue kasihan kalau si kucing melahirkan di jalan, padahal kakinya sakit. Gue menyaksikan sendiri bagaimana nyokap gue jadi orang tua tunggal, Ghin. Gue sebagai anak ikut-ikutan kena susahnya."

Jawaban tersebut tidak menerbitkan mimik terkejut di wajah Ghina. Dari luar Lolita memang terlihat keras dan dingin, tetapi sebenarnya punya hati yang lembut. Lolita mudah kasihan melihat makhluk lain kesakitan. Pada sahabat-sahabatnya saja Lolita sangat loyal membantu meski dirinya sedang kesusahan, apalagi sama kucing yang lebih tidak berdaya lagi.

"Aku bantu urus kucing ini."

Lolita mendelik tak percaya. Ia menggeleng kuat-kuat. "Nggak perlu, Ghin. Lo juga lagi susah. Gue nggak mau ...."

"Bantu membersihkan kandang, memberi makan, mengajak main," potong Ghina sebelum ucapan Lolita melantur makin jauh. "Nggak semua bantuan berupa uang."

Ghina membiarkan si kucing melompat turun dari pangkuan untuk menjelajah rumah. Kini atensi Ghina sepenuhnya terarah pada Lolita. Ia mendengus dan menahan tawa ketika melihat binar di kedua mata Lolita.

"Wait! Percakapan kita belum selesai." Aba-aba Ghina menahan Lolita di tempat. "Kita harus cari tahu gimana caranya kamu bisa kaya secara cepat."

"Kalau mau kaya, kerja," jawab Lolita. Kedua bahunya terangkat. "Nanti gue coba cari lowongan lagi. Dokter bisa praktik di tiga tempat. Masih ada sisa satu slot."

"Astaga! Jangan nambah-nambahin jam jaga dong! Aku yang cuma lihat jadi ikut-ikutan merasa hidup sesak banget." Ghina menggeleng tak setuju. "Cari pekerjaan lain yang lebih fleksibel, tetapi dapat gaji fantastis."

"Apa? Ngepet?"

"Itu opsi pertama." Balasan santai Ghina membuat Lolita ternganga. "Opsi kedua, kamu jadi sugar baby."

"No! Big no!" Lolita menyilangkan tangan di depan dada membentuk huruf X besar.

"Kalau gitu ...," Ghina mengerling jahil, "cari suami kaya."

Lolita tersedak ludah sendiri. Sebelah tangannya menepuk dada. Di sampingnya, Ghina tertawa-tawa dan tampak puas melihat Lolita menderita.

"Cowok dan pernikahan adalah dua hal yang paling gue hindari dalam hidup," ucap Lolita setelah napasnya kembali normal. "Gue anti banget sama cowok. Terus ... pernikahan. Dengan melihat bokap sendiri meninggalkan anak dan istri luntang-lantung bertahun-tahun, lo pikir gue mau menikah?"

"Kalau sudah menemukan orang yang tepat, kenapa enggak?"

"Bukan gitu, Ghin." Lolita mendesah pelan. Jemarinya mengurut kening. "Masalahnya, gue yakin nggak bakal bisa merasakan cinta."

Otak Ghina sibuk mencari kalimat balasan. Tanpa sengaja matanya melihat si kucing yang tengah mengambil ancang-ancang melompat ke atas kursi gaming di pojok ruangan. Tiba-tiba terlintas sesuatu hal yang baru Ghina sadari. Ide itu membuat Ghina menarik garis bibir ke samping.

"Tapi, Lol. Kamu punya cinta untuk dibagi. Kamu nggak bakal tergerak memungutnya dari jalanan kalau nggak punya cinta," cetus Ghina sambil menunjuk si kucing. Senyum Ghina terlihat makin optimis. "Kita lihat apakah kucing benar-benar hewan pembawa keberuntungan yang bisa mengajarimu arti cinta."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top