1. Orang Berpunya

Lolita percaya kalau kata cukup bisa membatasi kekayaan, di dunia ini tidak akan ada orang tamak. Keyakinan tersebut tidak Lolita bentuk hanya dalam beberapa tahun. Sejak lahir, ia telah mengamati sekitar. Orang-orang dapat memelintir makna dari kata cukup; 'cukup' untuk beli rumah tingkat dua, 'cukup' untuk punya mobil tiga, dan 'cukup' untuk merendahkan masyarakat yang memang benar cukup.

Nahas bagi Lolita. Ia tidak termasuk dalam golongan beruntung yang posisi tangannya berada di atas. Ia tidak terlahir sebagai orang berpunya.

Lolita tidak munafik. Akibat hidup dalam kondisi serba kekurangan sejak dini, harapan Lolita adalah menjadi orang kaya saat dewasa kelak. Namun, mimpi Lolita selalu mendapat cercaan para penanya. Mereka berkata keinginannya kurang idealis. Mereka mengejek angan-angannya tidak spesifik.

Hingga sekarang Lolita berusia 28 tahun, keinginannya tetap sama. Ia begini bukan karena tidak bisa menilai dunia dengan pikiran lebih terbuka atau tidak melihat peluang bermimpi lain. Ia justru makin tahu bahwa impiannya benar. Dengan menjadi orang kaya, ia bisa menjadi siapa pun yang ia mau.

Kapan mimpi Lolita akan berubah? Jawabannya tentu setelah Lolita berhasil menjadi orang kaya.

"Loli, aku minta odol lagi."

"Loli, boleh tethering bentar? Aku kehabisan paket data."

"Loli, besok pinjam mobil buat ke Bandung, ya!"

Persona Lolita meningkat jadi orang yang sedikit lebih kaya setelah tinggal bersama Ghina. Sesuatu yang Ghina pinta memang hal-hal kecil, tetapi telah menunjukkan bahwa Lolita adalah orang berpunya. Ada orang yang meminjam dan meminta sesuatu padanya, berarti Lolita punya kelebihan, bukan?

"Loli." Panggilan Ghina mendapat lirikan mata sekilas dari teman berbagi tempat tinggalnya. "Besok free nggak? Minum, yuk! Weekend lho, waktunya senang-senang."

"Jaga."

Ghina menghela napas. Matanya berbinar sedetik kemudian. "Gantian jaga aja sama ... siapa, tuh, yang minggu lalu izin dan tukar jadwal jaga sama kamu?"

"Khansa?" Lolita menyebut nama yang Ghina maksud, lalu menggeleng. "Nope. Kita sudah tukar jaga Rabu kemarin. Waktu itu jadwal jaga gue tabrakan sama jadwal jaga di rumah sakit satunya."

"Nggak asyik banget!" Ghina melempar ponselnya ke hamparan buku dan kertas-kertas di meja. Seakan kehilangan semangat, tubuhnya melunglai ke sandaran sofa. "Aku butuh hiburan sebelum belajar buat maju ilmiah minggu depan."

"Netflix and mi rebus aja," usul Lolita. Tatapannya masih tertancap pada layar laptop. "Bulan ini gue bokek."

"Bokek gimana? Kamu, kan, kerja di dua rumah sakit siang dan malam."

Lolita berdeham. Ia memutar posisi laptopnya hingga menghadap Ghina. Layar perangkat keras itu menunjukkan jendela berisi tabel-tabel perhitungan penuh angka.

"Lo bisa lihat penjabaran pemasukan dan pengeluaran di tabel ini? Ada beban sewa apartemen per bulan, uang makan, ongkos transpor, kebutuhan bulanan, plus cicilan mobil. Itu aja sudah keluar lima belas juta. Bulan ini gue kirim uang untuk keluarga di rumah sebanyak empat setengah juta. Tinggal sisa setengah juta." Lolita mencebik kesal. Ia telentang di lantai beralaskan karpet bulu empuk. "Sisa segitu, gimana bisa untuk ajojing? Gue ogah bongkar tabungan darurat."

Ghina memperhatikan rincian keuangan milik sahabatnya. Tatapan Ghina bergulir seiring tetikus menekan tanda segitiga ke bawah pada scrollbar vertikal. Setelah membaca dengan seksama, kepala gadis itu manggut-manggut. Analisis singkatnya berakhir pada sebuah kesimpulan.

"Aku tahu penyebab kamu harus lembur terus beberapa bulan belakangan ini," kata Ghina sok intelek sambil menunjuk satu kolom. "Nih, cicilan mobil. Kenapa nggak cicil dalam dua atau tiga tahun aja? Kalau begini, kan, kamu jadi ngos-ngosan kejar setoran."

"Gue nggak suka terlalu lama menyimpan utang."

Kepala Ghina sedikit miring mendengarnya. Bagi orang yang mudah mengeluarkan kartu kredit tanpa tangan tremor seperti Ghina, prinsip Lolita barusan tentu terdengar aneh. Mulut Ghina sudah terbuka, tetapi tidak sempat bicara karena Lolita keburu menyumpalnya dengan sekeping biskuit cokelat.

"Berhenti membicarakan uang! Gue mumet."

Lolita bangun dari posisi rebahan. Ia merapikan laptop tanpa bicara. Suasana hening sesaat, sampai akhirnya Lolita sadar dirinya tengah jadi objek pengamatan Ghina.

"Aku jadi kangen sama kamu yang dulu, deh," celetuk Ghina saat tatapan mereka bertemu. "Nggak perlu jauh-jauh, kita flashback satu tahun yang lalu. Waktu itu kamu jadi dokter cuma sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utamanya bisa dibawa ke mana-mana asal ada internet. Kamu bahkan mengantar Naya pergi healing ke Manado supaya teman kita yang satu itu membatalkan niatnya bercerai."

Gerakan Lolita berhenti. Akhirnya ia menjatuhkan beban tubuh ke sofa. Lolita mengisi ruang kosong di samping Ghina. Gadis bertubuh mungil dan berambut pendek sebahu itu tidak memberi tanggapan dengan kata-kata. Ia hanya mendongak, mengamati eternit, dan melamun.

"Kenapa nggak terus hidup kayak gitu?" tanya Ghina. "Maksud aku, kamu terlihat sangat senang pada masa itu. Work hard, play hard, huh?"

"Work hard play hard berlaku untuk orang-orang yang Tuhan beri restu. Saat itu penghasilan gue memang banyak, tapi nggak menentu. Buktinya, satu tahun belakangan ini tabungan gue makin menipis." Lolita menghela napas panjang di antara penjelasannya. "Nyokap sudah nggak kerja, benar-benar full time mengurus kakek di rumah. Biaya berobat kakek juga nggak murah. Gue nggak bisa selamanya main-main, Ghin."

"Maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu makin stres." Ghina menyikut pelan pinggang Loli. Ia mencoba menarik perhatiannya. "Aku, kan, banyak utang ke kamu, nih. Gimana kalau minggu besok, biar aku traktir? Kamu butuh refreshing juga, Lol. Jangan jaga terus!"

"Traktir?" Lolita bertanya guna memastikan.

Ghina menjawab dengan anggukan.

"Pakai duit siapa?"

"Pakai CC adik." Ghina terkekeh, kemudian meringis. "Mama sama Papa bisa bikin aku miskin. Tapi, apa gunanya punya dua adik kalau nggak dimanfaatkan?"

Mulut Lolita membuka setengah. Namun, sedetik kemudian rasa heran Lolita menguap. Lolita justru bingung kenapa ia sempat mengkhawatirkan kondisi keuangan Ghina.

Ghina berasal dari dinasti dokter yang mampu mendirikan rumah sakit usaha keluarga. Mantan finalis mojang Bandung itu mendepak diri dari rumah akibat menolak perjodohan konyol yang orang tuanya sodorkan. Bukan cuma itu, aset berupa mobil dan semua kartu kredit ikut diambil orang tua Ghina. Berbekal belas kasihan adik-adiknya, Ghina berhasil mengais sedikit kekayaan mereka untuk bertahan hidup.

"Hell no! Orang kaya sejenis lo nggak mungkin miskin dalam sekejap." Lolita berdecak lirih.

Ghina mengibas sebelah tangan, tak peduli pada ucapan Lolita barusan. "Kamu mau, kan? Mumpung waktunya pas, nih. Kita sama-sama butuh refreshing."

"Gue pikir-pikir dulu, ya. Gue harus cari orang untuk tukar jaga. Nanti gue kasih kabar kalau sudah pasti."

"Yes!" Sebelah tangan Ghina terkepal. Ia segera membenahi peralatan belajar yang tersebar di meja. "Kalau gitu, aku belajarnya juga nanti, nunggu fresh lagi."

Garis bibir Lolita tertarik ke samping melihat kelakuan Ghina. Tatapan Lolita mengantar temannya hingga menghilang di balik pintu kamar. Lolita baru saja berdiri akan pergi ke kamarnya sendiri ketika tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan masuk.

Awalnya Lolita biasa saja. Namun, gadis itu seolah-olah kehilangan penopang saat membaca kata terakhir dalam pesan. Lutut-lututnya melemas. Lolita terduduk di sofa. Seluruh tubuhnya bergetar akibat menahan kengerian yang begitu hebat.

Ibu: Ayah kamu masuk penjara gara-gara nggak bisa bayar utang. Ibu didatangi pihak bank dan disuruh bayar. Ibu nggak punya uang.

Lolita tidak bisa berkata-kata. Roda hidupnya terasa berhenti begitu saja. Permasalahan keluarga Lolita selalu sama. Malapetaka datang dalam bentuk kemelaratan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top