16 · Key to Her Heart

The key to her heart
Is that she knows who you are
You come clean from the start
Laying down all your cards

🌲

Rumah putih di atas bukit itu dihiasi kepulan asap hitam tipis pada sore ini. Di halaman belakang, Mora dan Oren sedang berdiri mengelilingi sebuah tong sampah. Masing-masing dari mereka bergantian melempar sampah ke dalam sana, hasil buruan Mora di gudang pribadinya seharian ini.

"Kenapa sih lo bisa kepincut sama ni cowok, Nek?" Oren bertanya sambil membuang lembaran foto ke dalam tong. Dia memperhatikan gambar wajah Zal yang hangus dengan cepat dalam bara api. "He's practically nobody. Nggak tajir-tajir amat, dateng dari daerah antah berantah, nggak pernah juara kelas, populer juga enggak."

"Hmmm...." Mora menjawab dengan gumaman, lebih fokus membuang setumpuk pesan bertuliskan tangan dari dalam kotak kenangan di pangkuannya, lurus ke dalam tong di hadapan mereka.

"No reason," ucap Mora dengan nada lirih. "Kebetulan aja dia... ada."

Ya. Zal selalu ada di bangku belakangnya, transparan dan tak terlihat, tidak membekas di ingatan sebagian besar orang. Namun bagi gadis itu, Zal adalah teman kelas yang unik.

Mora tahu Zal tidak banyak bicara, namun otaknya selalu bekerja. Dia memperhatikan bagaimana---berbeda dengan sahabatnya yang suka menjawab pertanyaan di depan kelas---Zal sebenarnya bisa menjawab soal Matematika paling rumit, namun hanya menyimpan solusi itu di lembar kertasnya sendiri.

Awalnya, hal itu hanya sekadar membuat Mora penasaran. Namun, tidak seperti laki-laki lain, Zal yang berkesempatan duduk dekat bangku Mora tidak keranjingan mencari perhatian atau bahkan berniat mendekati gadis itu. Seperti tak ada ketertarikan.

Dan itu malah semakin membuat Moraroka tertarik.

Sampai akhirnya Mora tahu bahwa Zal sering menghabiskan waktu di ruang komputer. Sosoknya yang beberapa kali berhenti di depan ruang seni. Sampai akhirnya kesempatan itu tiba; Mora tahu bahwa Zal adalah satu-satunya siswa di kelas mereka yang menembak ITB sebagai kampus pilihan.

Maka dimulai lah itu semua, awal segala kisah mereka. Semata karena Mora ingin menuntaskan rasa penasarannya.

"Alasan sepele gitu aja, tapi bisa jalan tiga taun." Suara Oren membuat Mora menoleh. Sahabatnya itu sedang fokus memilah dan membaca sekilas pesan-pesan di kartu ucapan lama, sebelum membakarnya ke tong sampah.

Mora pun menunduk, bertatapan dengan salah satu foto mereka saat mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur. Sedetik hatinya berdenyut. Itu adalah pendakian mereka yang terakhir.

Gadis itu ingat betul bagaimana pemandangan matahari terbit di Ranu Kumbolo seakan memberikan nyawa bagi otak imajinasinya, membuatnya mengabadikan pemandangan danau ajaib itu di kanvas yang kini terbengkalai di dalam gudang.

Sekilas gadis itu menimbang-nimbang apa harus membakar lukisan-lukisannya yang berhubungan dengan Zal. Namun tidak, sepertinya itu terlalu jauh. Dia tak punya hati untuk membakar karyanya sendiri.

Buru-buru Mora melempar foto itu ke dalam kobaran api, sebelum memori lain menyesakkan ingatannya, memperkeruh cara berpikirnya.

"Udah lah, cepet kelarin ini yuk, Mak, biar kita cepet masuk. Udah mulai dingin, nih," ucap gadis itu sebelum menuangkan seluruh isi kotak kenangan ke dalam tong sampah.

Oren mengangguk setuju dan melakukan hal yang sama. Sebagai sahabat yang baik, dia menuruti kemauan Mora untuk datang ke sini, membantunya 'bersih-bersih', dan menemani gadis yang mengaku malas tidur sendirian di rumah kosong itu.

Ketika sudah selesai dengan kegiatan mereka, dua perempuan ini meninggalkan tong yang masih membara dan berjalan kembali ke dalam rumah. Baru ketika sampai di ruang tengah, mereka menangkap lamat-lamat suara salam yang memanggil-manggil dari depan rumah.

"Asalamualaikum... permisi...."

Seorang driver ojol dengan jaket hijau melongokkan kepala dari pagar depan. Sambil menjawab salam dalam hati, Mora buru-buru keluar rumah sambi mengerutkan kening, bertanya-tanya apa keperluan driver ini sebab dia dan Oren tidak merasa memesan delivery makanan.

"Ya, ada apa, Pak?" tanya gadis itu.

"Benar ini alamat rumah Neng... Mororo...."

"Ya, saya," potong Mora.

Sudah terlampau sering orang-orang salah membaca namanya, dan pada sore yang sendu ini dia agak malas kalau harus mengoreksi nama untuk yang ke sekian juta kalinya.

"Ini, Neng, ada kiriman bunga. Sebentar, ya." Driver tadi mengambil sesuatu dari bagian footstep motor matic-nya yang berfungsi sebagai ruang penyimpanan.

Detik berikutnya, sebuah karangan bunga hadir di hadapan Moraroka. Buket berisi lili putih yang dibalut lingkaran daun eucalyptus dan tebaran bunga baby's breath di berbagai sisi memberikan aksen warna yang cantik dan padu. Putih dan hijau, dengan sedikit cipratan kuning di dekat putik bunga lili.

"Makasih, Pak...." Gadis itu menerima dengan senyum yang mulai terkembang.

"Ijin foto buat bukti ya, Neng," ucap driver tadi, siap menggenggam smartphone di tangannya.

Mora mengangguk tanda persetujuan, lalu membiarkan bapak tadi menjalankan tugasnya.

Sekembalinya ke dalam rumah, gadis itu disambut oleh senyum lebar Oren dan kelakarnya yang menggoda. "Cieee," ucap perempuan itu sambil menyenggol pinggul Mora.

"Gue seneng deh Nek, lo akhirnya dapetin cowok yang emang beneran deserve you better kek gini. Kalau sama yang dulu mah, boro-boro dikirimin ginian."

Komentar Oren itu direspons Mora dengan senyum hambar. Memang, Zal tidak pernah memberinya bingkisan bunga mahal seperti ini. Namun dulu, tak jarang pemuda itu memetikkan bunga liar di tengah pendakian mereka.

Merasa pikirannya mulai melantur lagi, Mora pun menggeleng pelan.

"Gue taroh ini di vas dulu ya, Mak," ucap gadis itu sambil beranjak ke dapur.

Saat membongkar bingkisan itu, Mora baru menyadari ada satu kartu ucapan terselip di sana. Di sana ada sebuah pesan yang terbaca:

'Bunga cantik untuk perempuanku yang paling cantik. Much love, Aji.

PS, ada salam dari mamiku, katanya nggak sabar nunggu makan malam besok.'

🌲

Yamamoto Aji melonggarkan dasinya. Cuaca sore hari di perumahan Menteng, Jakarta Pusat ini tidak terlalu menyengat. Kemacetan juga lebih jinak dari biasanya, membuatnya bisa mencapai rumah dengan lebih cepat.

Dia baru saja tiba dan masih belum berganti dari setelan kerja. Dari saku celananya, sebuah getar notifikasi di ponsel sakunya membuat lelaki itu menghentikan langkah kaki yang hendak menaiki tangga, menuju kamarnya di lantai dua.

"Mam...," panggil Aji sambil membaca status aplikasi ojol di ponselnya.

Bukti pengiriman yang menunjukkan foto gadis cantik tanpa riasan muka, memeluk buket bunga lili pilihannya, berhasil membuat senyum tipis timbul dari sudut bibir lelaki itu. Dia pun mengunci gawai, memasukkannya kembali ke saku.

Aji mengurungkan langkah ke lantai atas, alih-alih memblokkan tujuan ke dapur, tempat mamanya berada.

"Mami udah siapin buat besok kan, dinner sama Mora?" ucapnya pada wanita yang sedang sibuk mengawasi ART menata belanjaan ke dalam lemari es.

"Hey, udah pulang kamu?" Sang mami menyambut Aji dan mencium pipi anak semata wayangnya. "Tenang aja, ini udah disiapin kok. Terus besok juga Chef Faris udah oke, ini bahkan bahan-bahannya kita siapin sesuai list dari dia."

"Oh, good." Aji ikut memperhatikan ke arah lemari es.

Sang mami menyentuh lengan putranya. "Mami tau kamu nggak sabar buat ketemu Mora, tapi kamu nggak perlu setegang itu lah, Ji. Ini kan cuma makan malam. Lagipula, ini di rumah loh, bukan kantor. Nggak usah bossy begitu kan bisa. Percaya aja sama Mami, bakal lancar semua."

Lelaki itu menghela napas, setengah kagum bagaimana maminya masih bisa membacanya dengan jelas seperti buku terbuka. Hal ini memberinya sedikit rasa aman.

"Mm." Aji mengangguk. "Mami emang terbaik. Thanks ya." Dia pun lantas merangkul wanita yang tingginya hanya sebahunya itu. Sungguh dia menyayangi wanita ini.

"Apa sih yang enggak buat anak lakik Mami yang lagi kasmaran ini. Dah. Kamu naik gih, mandi dulu. Baju kamu bau AC mobil, bikin Mami pusing."

Usiran itu berbalas tawa tipis Aji, sebelum lelaki itu akhirnya pamit dan benar-benar naik ke atas.

Selama menghabiskan waktu di bawah shower, pikiran Aji berkelana ke berbagai arah. Pekerjaannya, rumahnya, dan juga gadis idamannya. Mora.

Dia ingat sekali, sepulangnya dari housewarming party Laurencia dua tahun lalu, tepat setelah dia diperkenalkan dengan Mora, Aji sama sekali tak bisa mengusir gadis itu keluar dari pikirannya.

Seumur hidup, bukan sekali ini dia menaruh ketertarikan pada wanita. Pun di lingkungan kerjanya, wanita cantik adalah hal yang lumrah bisa dinikmati mata kapan saja, di berbagai kesempatan.

Tapi kali ini beda. Pada Moraroka, seperti ada magnet tak terlihat yang membuat pandangan matanya enggan minggat. Mungkin dari cara gadis itu membawa diri? Cara dia tersenyum ramah pada tamu-tamu lain di pesta itu? Atau cara dia berbicara, dan kejutan-kejutan unik yang diberikannya seperti fakta bahwa dia adalah seniman yang nyasar di rumah seorang selebgram.

Aji tersenyum lagi, teringat bagaimana dulu, saking resahnya dia memikirkan gadis yang baru dikenalnya itu, sang mami sampai bisa tahu dan langsung menanyakan padanya di malam yang sama.

"Kamu ada masalah apa sih, Ji, di kantor? Dari tadi mondar mandir terus, Mami jadi ikut nggak tenang liatnya."

Dengan sekali tarikan napas, pemuda itu bisa memutuskan dengan ringan bahwa bercerita pada maminya bukanlah keputusan yang salah.

"Aku tadi ketemu seseorang, Mi," ujarnya sebelum akhirnya lanjut bercerita. Penuturan Aji ditutup dengan satu pertanyaan, "Gimana ya caranya, buat bikin dia tertarik sama aku juga?"

Alih-alih menjawab, sang Mami malah melongo. "Wah, kamu beneran sesuka itu, ya? Nggak pernah Mami seumur-umur liat kamu senyam-senyum begini."

Melihat putranya berdecak tak sabar, wanita itu pun tertawa sebelum melanjutkan.

"Ya udah, kejar aja. Horeta yamai ni kusuri nashi ne (jatuh cinta itu sakit yang nggak ada obatnya, ya kan)? Yang penting jadi diri kamu sendiri, jangan pura-pura jadi orang lain."

"Kasih tunjuk kalau kamu beneran tertarik sama dia, nggak usah pura-pura cuek dan tarik-ulur."

Aji bersyukur sekali karena mengikuti saran maminya kala itu. Sebab kini, hasilnya berjalan sesuai rencana. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top