15 · Sun and Vein

Sebelum kita sejauh matahari
Kita pernah sedekat nadi


🌲

Ingatan tentang ladang rumput hijau, langit bersih tanpa awan, dan bunga edelweis sepanjang mata memandang menyambut lamunan Zal di meja kerjanya, kini.

Bahkan lelaki masih mengingat lamat-lamat bau sulfur yang mengambang tipis di udara, tertutup aroma embun jika pagi tiba.

"Pacaran? Sama kamu?"

"HAHAHA... aaah... akhirnya."

"Aku udah lama nungguin kamu nanyain ini loh, Zal."

Tawa itu masih menggema, menabuh manja gendang telinganya. Syahrizal tersenyum sendiri, menarik bibirnya ke sudut yang hanya bisa diakses oleh hal-hal yang bersentuhan dengan gadis itu. Cinta pertama yang bernama Moraroka.

Kalau diingat-ingat, entah penunggu gunung macam apa yang merasuki Zal di Pangrango kala itu, sehingga membuatnya mampu melakukan hal sinting di hadapan Mora.

Mengajak berpacaran. Hah!

Kekonyolan itu mungkin perwujudan dari rasa bersalah, usaha banting setir atas arah percakapan yang hampir menyakiti gadis pujaannya. Bisa direka juga itu candaan yang tak kesampaian, sebuah kesalahan sosialisasi dari pemuda yang terlampau tolol bercengkerama.

Atau mungkin juga, itu merupakan momen yang tepat. Sebuah sentilan keberanian karena gadis itu yang memulai terlebih dulu, memercik ide 'pacaran bohong-bohongan' yang jujur saja sedikit menohok harga diri Zal sebagai lelaki.

Enak saja dia dijadikan perisai, tanpa dianggap stus dan eksistensinya sebagai seseorang yang spesial. Ah, tidak. Zal tidak akan sanggup kalau harus bermain drama pura-pura di tengah badai yang menerpa hatinya.

Besides, he wants the real thing.

"Lhoooo, nyapo to (ngapain toh) Mas Bos, pagi-pagi wis senyam-senyum koyok kuda lumping...."

Zal tersentak. Kehadiran seseorang yang memasuki ruang kerja itu sukses membuyarkan lamunannya.

"Eh, Pak Pur? Ada apa, Pak?" Gelagapan Zal menyambut OB senior di kantornya itu.

Pria paruh baya dengan rambut beruban di hadapannya tersenyum sambil menyuguhkan sesuatu dari nampan.

"Ini, saya bawa teh hangat manis untuk Mas Bos yang manis. Monggo (silakan)...."

"Oh, makasih Pak," ucap Zal sambil membetulkan kacamatanya.

Lelaki tua berseragam OB biru di hadapannya itu mengangguk tanda pamit ke luar ruangan, sekali lagi melempar senyum menggoda pada bosnya yang tertangkap basah melamun sepagian.

Setelah kembali sendirian, Zal hanya bisa menghela napas. Pandangannya berlabuh pada seikat bunga edelweis yang bertengger dalam pot atas meja.

Pasti keinget momen di Mandalawangi karena bunga ini. Pak Pur dapet dari mana sih buket beginian segala?

Pemuda itu pun mulai mengalihkan perhatian pada laptopnya, menyibukkan diri dari kenangan lama yang belakangan ini sering menyisip dari alam bawah sadarnya.

Di hadapan Zal, layar digital itu menunjukan wallpaper logo perusahaannya, sebuah start-up bernama Artikulasi, dengan tipografi 'ART' yang kapital dan mencolok, menandakan seni sebagai objek dagang utamanya.

Artikulasi merupakan sebuah marketplace daring yang dibangun Zal selama tiga---khususnya dua---tahun terakhir, menjembatani antara seniman dan konsumen seni digital. Agak tricky memang, membangun usaha dari nol, terlebih lagi pada masa pandemi.

Tapi, Zal bukanlah pengeluh. Dia sadar dia sedang membangun kempompong.

Melihat dari perkembangan Artikulasi, butuh beberapa bulan lagi sebelum perusahaan besutannya ini melejit, siap terbang dan bersaing di pasar saham.

"Mas."

Pak Pur kembali membuka pintu ruangan kerjanya, membuat Zal yang sedang membaca e-mail mengangkat alis sambil bertanya, "Kenapa?"

Lelaki tua itu menyelipkan tubuhnya dari pintu yang setengah terbuka sambil menyerahkan sebuah kotak yang terbungkus rapi. "Ini ada paket."

"Oh...." Zal bangkit, menerima dan mengucapkan terima kasih.

Lagi, setelah ditinggal sendiri di ruangannya, kali ini dia membolak-balikkan paket dan mulai membaca label resi yang tertempel di sana. Pengirim: SMAN XX Yogyakarta, Kelas X-Bahasa.

Seketika senyum Zal kembali terbit. Hangat.

Dibukanya bungkusan itu dengan cutter tipis yang diambil dari rak stationary kecil pada mejanya. Kotak kardus yang ada di dalam paket itu berisi rumbai-rumbai kertas bekas, mengamankan sebuah pigura foto yang menyambut tatapan teduh pemuda itu.

Bingkai pigura tersebut dibuat dari tanah liat, dibentuk dan diwarnai layaknya batu karang dan lautan, lengkap dengan detail-detail bertema pantai seperti kerang, kepiting, ombak, dan rumput laut.

Pun foto yang menyambut senyum Zal berisi barisan sekelompok siswa-siswi, berpakaian bebas, di tengah pantai berlatarkan laut lepas. Di sudut barisan itu terdapat seorang pria dewasa yang berdiri, mengacungkan jari jempol ke arah kamera. Dialah Papa Mora.

Zal membalik pigura itu dan mendapati sebuah catatan kecil di belakangnya.

'Terima kasih yang sepenuh hati dari kelas X-Bahasa. Kamu mengajarkan bahwa seni memang sepatutnya dihargai. Semoga senyum anak-anak ini cukup untuk membalas jasamu, Syahrizal.'

"Sangat cukup, Pak," gumam pemuda itu seakan bisa membalas tulisan yang ada di balik pigura.

Menyadari kekonyolannya bermonolog sendiri, Zal pun tertawa pelan, lalu meraih ponselnya, menghubungi pria yang ada di foto itu.

Sambil menunggu sambungan diangkat, sekali lagi Zal melirik ke arah kiriman manis dari guru sekaligus murid kelas Bahasa yang menghangatkan paginya itu.

Pemuda itu sadar bahwa ini semua merupakan balas budi dari andilnya dalam menyalurkan prakarya kelas itu, ucapan terima kasih karena Zal sudah membantu anak-anak didik papa Mora untuk bisa menjual kerajinan tangan mereka, yang hasilnya bisa digunakan untuk berkarya wisata dan juga disumbangkan sebagian.

Bagi Zal sendiri, hal itu juga malah menguntungkannya---menguntungkan Artikulasi.

Kerajinan tangan anak-anak kelas Bahasa itu adalah salah satu prototipe yang diluncurkannya perusahaan kecilnya, sebuah produk orisinil yang begitu polos dan otentik, yang meskipun bernilai jual rendah, namun dapat mengumpulkan laba dari kuantitas yang banyak.

"Halo?" Suara pria dewasa menyambut dari ponsel yang digenggam Zal.

"Halo. Pak? Paketannya sampai. Ini... waktu anak-anak ke Parangtritis kemarin, ya?"

"Wah, cepat sekali sudah sampai. Ya, ya, betul, yang minggu lalu itu. Terima kasih ya, Zal. Gara-gara kamu, kami semua jadi kecipratan rejeki. Senang rasanya bisa menutup tahun ajaran dengan jalan-jalan bareng mereka."

Pemuda itu tertawa ringan. "Sudah cukup Bapak bilang makasihnya. Sekarang giliran saya. Makasih ya, Pak, Artikulasi jadi dapat user baru lumayan banyak."

Pria di seberang sana membalas tawa. "Ah, kamu ini."

Zal tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh iya, Bapak udah balik dari Jakarta? Kok nggak ngabarin saya? Kan saya bisa jemput dari stasiun."

Tawa pria di ujung sambungan telepon kembali membahana.

"Nggak lah, Bapak nggak mau ngerepotin kamu. Sudah pulang dari kemarin lusa, makanya bisa ngirim paketan anak-anak ke kamu. Oh iya, Zal, ngomong-ngomong tentang Jakarta...."

Jantung pemuda berdenyut sedetik lebih dalam karena antisipasi. Sebutan kota itu biasanya beririsan dengan putri sulung pria itu. Moraroka.

Meskipun putus dengan berantakan, hidup terpisah kota dan sama sekali tidak bertukar sapa selama bertahun-tahun, namun rasanya hati Zal masih terganjal pada gadis itu. Pacar pertamanya. Pacar satu-satunya.

Bagaimana tidak, jika desas-desus kehidupan Mora sekarang ini saja terasa bagaikan magnet, cerdik menyisip sampai ke telinganya. Entah itu dari infotainment, trending topik di Internet, kabar berita online, atau selentingan obrolan di group chat angkatan SMA dan kampusnya.

Semua, entah kenapa, selalu menemukan cara untuk bersinggungan dengan Moraroka. Seperti saat ini, bahkan bertelepon dengan ayah gadis itu, tentu saja Zal sudah bersiap dengan terpaan gadis masa lalunya yang kini bersinar gemilang itu.

"Ah, nanti saja. Lebih enak dibicaraka langsung. Kamu kapan ada waktu? Ayo kita makan ayam geprek yang enak di dekat pasar itu."

"Ehm...." Zal menarik napas. Setidaknya bom kabar Moraroka bisa menunggu lebih lama untuk meledak. Lebih banyak waktu untuk Zal menyiapkan diri---meskipun dia tahu, dia tak pernah siap jika berurusan dengan gadis itu.

Pemuda itu mengembus napas, lalu menjawab, "Ya boleh, Pak. Besok aja gimana?"

🌲

Ini sedikit yang Zal tahu tentang Mora yang sekarang; setelah lulus kuliah, gadis itu diakuisisi oleh seniman senior bernama Sugiharto, dipelihara dalam galeri seninya dan dibebaskan membangun sayap, siap terbang bermodalkan bakat alami yang dimilikinya.

Dan ketika tahun demi tahun berlalu, perlahan Zal bisa melihat kepakan sayap itu. Nama Mora mulai disebut-sebut sebagai pendatang baru yang brilian.

Koneksi yang menyebar dan mengikat layaknya jaring laba-laba juga memudahkan laju karir gadis itu, menjadikan hasil tangannya sebagai konsumsi khalayak elit di negara ini, melejitkan nilai jual lukisan-lukisannya.

Terlepas dari keengganan Zal membahas siapa yang melatarbelakangi licinnya koneksi tersebut, dia tetap bersyukur karena setidaknya beban pundak Mora menjadi ringan karena ini.

Dia tahu, di balik gemerlap foto-foto yang bertebaran di jagat maya, sesungguhnya gadis itu memiliki tanggungan finansial yang cukup alot untuk digeluti perempuan seusianya.

Ah, betapa Zal berharap dia bisa meringankan beban Mora. Sedari dulu, saat mereka masih bersama, dia selalu mencoba. Namun sayang, di masa itu dia sendiri masih tertatih-tatih dengan kegagalan.

Ditambah lagi, kini gadis itu sudah mendapatkan seseorang yang bisa menjalankan peran sebagai malaikat penolongnya.

"Kemarin pas di Jakarta, Bapak dikenalkan sama Aji, tunangannya yang sering muncul di berita itu."

Kata-kata papa Mora membuat Zal kesulitan menelan ayam geprek yang sedang dia kunyah. "Dia... orangnya seperti apa, Pak? Baik kan, ke Mora?"

Pria di hadapan Zal menghentikan makannya sejenak, seakan merenung, sebelum akhirnya menjawab. "Bapak minta maaf sekali, karena harus membawa kamu ke situasi begini."

Zal menggeleng pelan. "Bukan salah Bapak."

"Syahrizal," panggil pria itu, lalu melanjutkan dengan suara pelan. "Kalau boleh jujur... Bapak sedih karena calon mantu Bapak bukan kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top