04 · A Work of Art

Seminggu berlalu setelah Moraroka resmi bertambah usia. Hari-harinya berjalan seperti biasa, berkarir dengan segala kemelutnya.

'Kantor' tempat gadis itu bekerja, Sugiharto Gallery, terletak di distrik paling sibuk di Jakarta. Hanya butuh lima menit jarak tempuh dengan berjalan kaki dari pusat kawasan Gatot Subroto.

Hal itu membuat galeri seni ini menjadi opsi mudah para pekerja korporat untuk melipir menghindari macet, melepas penat dengan mencuci mata. Di sisi lain, Mora sebagai penanggung jawab galeri harus rela datang lebih pagi sebelum jam sibuk, dan pulang lebih malam dari semua orang.

Jikalau Pak Sugiharto, pelukis senior sekaligus pemilik galeri ini tidak berbaik hati mengizinkan Mora menggunakan salah satu ruangan untuk menjadi studio pribadinya, rasanya mungkin gadis itu tidak akan bertahan hingga selama ini---tiga tahun menjadi pengurus, kurator, sekaligus kontributor Sugiharto Gallery.

"Mora, gimana-gimana? Udah nyampe semua belom, delivery barangnya?" Agustinus mengganggu gadis yang sedang menyeruput es kopinya.

"Itu kan kerjaan lo, Gus. Kan lo yang jadi PIC*, yang kontakan sama mereka. Lo yang pegang resi pengirimannya kan?" balas Mora sambil menghela napas.

*Person In Charge, penanggung jawab dalam mengontrol pekerjaan atau proyek sesuai dengan rencana.

Ini dia bagian paling melelahkan dari pekerjaannya, yakni mengasuh Agustinus yang kerap dipanggil Gusti, putra bungsu Pak Sugiharto yang dititahkan menjadi pewaris galeri.

"Resi, yang...?" Cowok itu memiringkan kepala.

"Yang nomer-nomer itu!" Mora meneguk es kopi beraroma kacang hazelnut demi menenangkan diri. "Udah dikasi kan, sama kontributornya? Yang dari Surabaya, Banyuwangi, Bali?"

Melihat Gusti yang masih cengo, gadis itu pun tersenyum manis, sarkastis. Rasanya kesabarannya mulai menipis. "Buka deh WA lo, cek chat dari kontributor, pada ngasih foto atau screenshot-an nggak mereka, yang ada logo ekspedisinya?"

"Oh, yang JNT ini? Eh, bener ya?" Gusti menggulir ponselnya, lalu menunjukkan pada gadis itu.

"Ya, itu. Ada nomor tracking-nya kan?" Mora menunjuk pada satu titik. "Lo cari aja di website-nya, udah sampe mana tuh paket. Kemarin gue denger udah ada berapa yang nyampe? Kayaknya lo yang nerima, kan?"

Cowok itu mengangguk. "Iya, ada di belakang, belom gue unboxing."

"Nah, lo kroscek ulang deh mana aja yang udah ngirim, sama mana yang belom nyampe. Sementara dicicil dulu aja, ngatur lukisan yang udah ada." Gadis itu menghela napas lega karena ketidakbecusan Gusti sudah mulai tampak ujungnya.

"Siap. Thanks, Mora."

"No problem," balas gadis itu sebelum meneguk lagi kopinya, membiarkan juniornya pergi ke ruang penyimpanan galeri.

Setidaknya, paginya akan aman. Gadis itu tak sabar menanti waktu makan siang, saat dia sudah berjanji untuk lunch date bersama Aji.

Sejak bertunangan, mereka sudah tidak sarapan bersama sesering dulu. Mora tahu belakangan, kalau demi menghabiskan waktu sarapan itu tunangannya harus berangkat jauh lebih pagi.

Kini, gadis itu merasa makan siang adalah waktu yang lebih manusiawi untuk menghabiskan momen bersama lelaki yang semakin hari semakin sibuk itu.

🌲

Satu peraturan tak tertulis yang diajarkan Oren pada Mora, bahwa saat makan di luar dengan cowok, jangan sampai kita mengeluarkan dompet.

"Kenapa?" tanya Mora, skeptis. Kala itu, mereka sedang berstatus mahasiswi, menempuh pertengahan semester empat.

Oren masuk kampus swasta yang berbeda dengan Mora, sehingga mereka jarang bertemu seperti saat SMA. Tapi sekalinya hang out dan main bersama, banyak curahan wejangan dari si ratu kecantikan yang saat itu berpacaran dengan senior kampusnya yang super tajir, siap membanjiri Mora.

"Karena cowok itu tulang punggung, tugasnya menafkahi, ngeluarin duit! Kita mah cewek, jadi tulang rusuk aja. Pelengkap."

Mora paham jalan pikiran sahabatnya yang enggan dimanfaatkan lelaki. Bahkan Oren juga pernah berkata, kita sebagai perempuan sudah mengeluarkan modal cukup besar untuk merawat penampilan, maka sudah jadi tugas lelaki yang menikmati fisik kita untuk membayar semua biaya lainnya---makan, nonton, dan sebagainya.

Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan Mora saat itu, di tengah statusnya sebagai mahasiswi jurusan seni yang tidak single.

"Salah lo pacaran ama nih cowok Nek, masa makan aja bayarnya ganti-gantian, belom lagi kalo jalan lo juga ngeluarin duit bensin," keluh Oren.

"Biarin deh, gue yang jalanin hepi-hepi aja. Terus ya, gue bantu bayar bensin juga karena dia nganter jemput ke kampus tiap hari."

"Dih, udah tugas dia lah sebagai cowok buat punya modal pacaran lo." Oren masih kukuh.

Mora pun tertawa tipis."Lo tuh nerapin konsep feminis kolot apa gimana sih Mak, ke cowok lo?" Gadis itu melontarkan canda sarkas yang membuat lawan bicaranya cemberut.

Oren paling sebal kalau sahabatnya sudah mengucapkan istilah-istilah berat, terlebih lagi yang tidak terlalu dia mengerti artinya, sebab itu membuatnya jadi merasa bodoh.

Terlebih sejak sahabatnya ini berpacaran dengan mahasiswa berandalan itu di awal tahun kuliah, Mora jadi berubah. Lebih... ceplas-ceplos. Bebas. Liar.

"Gue sumpahin lo berdua cepet putus, terus lo dapet cowok yang beneran oke! Yang gentleman, yang tajir, royal, sukses! Biar tau rasa lo!"

Doa kala itu terwujud pada saat ini, di lobi sebuah restoran tengah kota, di mana Mora berjalan dengan hak sepatu empat sentinya, membunyikan suara yang menggema sampai ke langit-langit.

"Ada reservasi atas nama Aji, Mbak?" tanya Mora pada seorang hostess yang menyambutnya dengan penuh senyuman.

"Oh, ada Kak. Mari saya antar."

Hostess itu memimpin Mora ke satu meja di ujung ruangan, dekat jendela. Dari tengah perjalanan, Mora sudah bisa melihat tunangannya yang duduk manis menunggu di sana. Lelaki itu sibuk mengetikkan sesuatu di smartphone dengan wajah serius.

"Hai," sapa gadis itu setelah duduk di hadapan Aji.

Lelaki itu langsung mengangkat wajah dan tersenyum padanya.

"Hey, sorry, anak finance lagi blunder nih, alamat telat gajian," ucap Aji sambil melambaikan ponselnya, seakan meminta pemakluman Mora untuk melanjutkan kegiatannya berbalas pesan digital.

"Loh, kamu yang punya perusahaan, ikut gajian juga?" tanya gadis itu sambil duduk dan meraih buku menu.

"Enggak, ini lebih ke gaji karyawan satu kantor." Aji akhirnya menaruh ponsel di atas meja, lalu memijit pelipisnya. "Emang salah sih, ngasih tanggung jawab besar ke orang baru yang masih amatir. Kacau."

Mora tersenyum. Apa yang dilalui Aji tak jauh beda dari keadaannya saat ini---mengasuh Gusti si anak emas pemilik galeri.

"Oh. Pas banget juga, tadi pagi...." Mora mulai mengoceh tentang sang junior dan ketidakbecusannya yang menyusahkan, bersamaan dengan ponsel Aji yang kembali menyala dengan notifikasi.

Tanpa menunggu Mora selesai bercerita, lelaki itu buru-buru mengambil ponsel dan membagi perhatiannya.

Mora pun tersenyum kecut. Dia sudah biasa dengan Aji yang multitasking begini, sehingga gadis itu memutuskan untuk berfokus pada buku menu saja.

"Sori, sori," ucap Aji setengah menit kemudian. "Tadi kamu bilang apa? Anak bos kamu berulah lagi ya?"

Mora hanya mengangguk menanggapinya. Beberapa minggu terakhir dia memang sering mengeluhkan Gusti ke hadapan Aji, lengkap dengan keluhan-keluhan seputar persiapan pameran pertama pasca pandemi di Sugiharto Gallery.

"Kenapa lagi dia?" tuntut Aji karena Mora tidak tampak akan melanjutkan ceritanya.

"Ya gitu...." Nggak penting, batin Mora. "Kamu mau mesen apa?" Gadis itu menunjuk pada buku menu.

"Hmmm... katanya chicken salad di sini enak, dressing-nya mantap. Aku pesan itu," jawab Aji.

"Sama deh." Gadis itu menggumam sebelum mengangkat tangan, memanggil pramusaji.

Setelah selesai memesan, Mora dihadapkan dengan teman makan siangnya yang sudah menaut jemarinya di depan dagu, lurus memandanginya.

"Kamu marah?" tanya Aji.

Bibir Mora mengerucut. Mudah sekali dia dibaca oleh lelaki itu. "Sedikit."

Aji mengembuskan tawa tipis, lalu meraih tangan tunangannya untuk digenggam. Cincin berlian oval yang setia mengikat jari manis gadis itu tampak gemerlapan memantulkan cahaya siang Jakarta yang tebus dari jendela.

"Maaf ya, aku tau kamu paling sebel kalau dicuekin. So, I'm here now. Mau cerita apa lagi tentang si Gusti-Gusti itu?"

Mora menggeleng sambil tertawa. "Udah ga sebel sama dia lagi, keselnya diborong kamu sekarang."

Genggaman di tangan mereka mengerat seiring tawa yang mengudara, tanda cairnya suasana. Mora tidak bisa marah berlama-lama di depan lelaki yang pintar membaca situasi ini.

Tak lama berselang, obrolan yang sudah mengalir ringan pun harus terjeda karena pesanan mereka datang.

Aji tidak bohong, chicken salad yang dipesan mereka memang sangat enak. Padat dengan irisan daging ayam, tapi tetap segar dengan padanan daun selada dan saus dressing yang sangat cocok mengikat sajian ini.

"Oh iya, sampai mana persiapan pameran kamu? Itu start-nya minggu depan kan?" Aji bertanya setelah menelan suapan terakhir salad-nya, lantas meminum sparkling water yang dia pesan sambil menunggu jawaban Mora.

"Iya, bener." Mora menyelesaikan kunyahannya. "Nant sore jadi ada interview sama media online itu, setelah konferensi pers."

"Wow, kamu yang ngisi presscon-nya?" Mata Aji membundar.

"Nggak lah! Pak Sugiharto yang ngisi. Gila aja, aku mah siapa." Gadis itu tertawa.

Lelaki itu juga ikut tersenyum. "Oh, kirain... terus, itu tadi interview-nya? Pak Sugi juga?"

"Kalau itu baru aku nyempil. Single interview. Tiap kontributor dapet jatah promosi kayak gitu." Senyum bangga Mora terbit. "Kan itungannya tahun ini aku jadi kontributor juga."

"Wooo. Keren."

Aji dan pujian tipisnya itu selalu sukses membuat gadis itu merasa senang. Rasanya sisa makan siang ini berjalan mulus dan sempurna, perfect mood booster untuk hari yang masih panjang.

Satu hal yang tidak diduga, di penghujung acara makan siang mereka, sambil menyantap dessert ringan Aji memberi kejutan.

"Sayang, aku boleh tanya sesuatu?"

"Boleh dong," jawab Mora tanpa curiga.

Butuh satu detik lelaki itu menatapkan diri sebelum melontarkan kalimat yang membuat gadis itu menghentikan kunyahannya.

"Kira-kira nanti pas di nikahan kita... papa kamu datang nggak ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top