03 · The Witch and The Rat

Mora duduk di ruang tengah rumah keluarganya sambil memejamkan mata, merasakan sebuah benda dingin menyentuh lehernya. Pesta ulang tahunnya memang sudah bubar satu jam lalu, namun Oren dan Aji masih bertahan sebagai orang-orang terdekat gadis itu, menghabiskan waktu yang lebih berkualitas.

"Nah, sekarang boleh buka mata." Suara Aji terdengar dari belakang punggung gadis itu.

Dia pun membuka mata lalu meraba lehernya, mendapati sebuah kalung sudah terpasang di sana.

"Astaga, Aji...." Mora mendesis sembari memperhatikan kalung itu. Liontinnya serupa dengan cincin pertunangan yang sudah melingkar di jari Mora sejak setengah tahun lalu; berlian berbentuk oval. "Ini cantik banget," lanjutnya dengan lirih.

"Hadiah yang cantik untuk perempuan paling cantik," balas Aji sambil membelai pucuk kepala gadis itu.

"Ji... arigatou (terima kasih)...." Mora tersenyum ke arah lelaki itu, lantas menjulurkan dua tangan tanda membuka pelukan. Aji pun menyambut, merapatkan tubuh mereka dalam satu dekapan hangat.

"Ii yo (nggak masalah)," bisik lelaki itu dekat telinga Mora.

"Ekhem!"

Tiba-tiba saja terdengar suara dehaman dari sisi lain ruangan, membuat Mora dan Aji menoleh bersamaan.

Oren berdiri di sana, melipat tangan. "Dunia emang serasa milik berdua ya, yang lain cuma numpang," komentarnya sebelum berjalan mendekat.

"Yee, bawel amat sih Mak Lampir." Mora nyengir tanpa rasa bersalah dan membiarkan sahabatnya itu mengecek kalung dari Aji.

Oren bersiul saat melihat mata liontin pada kalung hadiah tersebut. "Sengaja lo, Aji, mau bikin satu set? Tinggal antingnya doang nih, bisa lah diselipin di mas kawin nanti."

"Apa nih, kok bahas-bahas mas kawin?" Suara Mama bergabung di ruangan itu, seiring nyonya rumah datang membawakan nampan minuman dan beberapa piring kudapan sisa sajian garden party tadi.

Mereka lantas bercengkerama, mengobrol ringan dan sesekali bercanda. Setelah beberapa saat, ruangan itu mendadak hening karena kedatangan seseorang. Lizzy.

"Mau ngapain kamu?" tanya Mora dengan nada datar, cenderung dingin. Sejak beberapa tahun lalu, Mora tidak pernah lagi hangat saat menyambut adiknya itu.

"Ini, aku mau ngasih hadiah buat Kakak...."

Pergerakan Lizzy yang lamban dan takut-takut membuat kakaknya bengah. Si bungsu yang baru saja lulus SMA itu menyerahkan benda berbungkus kertas cokelat kayu yang diikat pita dari rotan.

Mora menerima pemberian Lizzy tanpa mengucapkan terima kasih, lalu langsung membukanya dengan merobek kertas itu.

"Apa ini?" tanya Mora sambil mengerutkan kening.

Di tangannya terdapat kantong memanjang yang digulung, yang ketika dibuka berisi barisan kuas yang tertahan di straps kain hasil jahit tangan. Saat diperhatikan lebih dekat, di setiap ujung gagang kuas itu juga terdapat sebuah ukiran huruf M.

"Itu... dari aku sama Papa." Lizzy mencicit.

Mora hampir menjatuhkan set kuas itu dari tangannya.

"Ada salam juga dari Papa, katanya... selamat ulang tahun buat Kakak. Maaf dia belum bisa dateng, dan cuma bisa ngasi hadiah ini. Dia yang bikin kuasnya, dan aku yang jahit...."

Tak sempat si bungsu menuntaskan kalimatnya, sang kakak sudah melempar set kuas itu ke atas sofa dan berjalan cepat meninggalkan ruangan.

Suasana jadi hening seketika. Lizzy menunduk dengan rasa bersalah, Oren dan Mama mengunci mulut mereka seakan memaklumi kejadian barusan, sementara Aji tampak segera bangun untuk menyusul Mora ke kamarnya.

"Jangan," tahan Oren. "Biar gue aja."

Aji hendak menolak, namun melihat sekilas pandangan Mama yang mengangguk ke arah perempuan itu, dia pun menyerah. "Oke."

Oren pun bangkit, berjalan dengan anggun melintasi ruangan. Saat berpapasan denga Lizzy, dia melempar pandangan seakan melihat tikus sungguhan. Pandangan jijik.

🌲

Panggilan sayang 'Mak Lampir' yang sering dilayangkan Mora untuk sahabatnya, Oren, sebenarnya bukan hanya untuk mengejek semata. Bagi gadis itu, julukan itu memang cocok dan sesuai untuk sang selebgram.

Mak Lampir sebenarnya adalah putri dari kerajaan kuno yang sakit hati karena cintanya tidak direstui, sehingga pergi bertapa ke gunung Merapi untuk mendapat kesaktian. The broken-hearted witch, begitu nilai Mora akan kisah nenek-nenek yang kerap menghantui masa kecilnya itu.

Begitu pula dengan sahabatnya, Laurencia, yang sewaktu SMA bertekad untuk glow up karena keluarga cowoknya tidak merestui mereka pacaran.

"Lo tau kan mereka bukannya nggak suka sama lo, tapi karena Agung emang disuruh fokus masuk kuliah? Apa lagi nanti kampusnya beda kota, kalo nggak putus ya LDR bertahun-tahun, Ren," ujar Mora kala itu.

"Gue nggak peduli. Pokoknya nanti begitu Agung liat gue lagi, gue pengen dia nyesel karena dia udah nyia-nyiain gue!" Begitu argumen Oren saat itu.

"Dasar Mak Lampir, batu banget kalo dibilangin," komentar Mora.

Itulah momen pertama kali Mora mulai menjuluki sahabatnya sebagai Mak Lampir.

Tak butuh waktu lama sampai Oren membalasnya dengan julukan 'Nenek Gayung', semata karena Mora sering meminta bantuan sahabatnya itu untuk mengambilkan air di gayung untuk mengganti air kuasnya setiap dia mengunjungi ruang kesenian sekolah, tempat di mana Mora selalu menghabiskan waktu menunggu Oren latihan cheers.

Persahabatan yang terjalin dari lebih dari setengah dekade itu membawa mereka pada saat ini, saat di mana Oren membuka perlahan pintu kamar Mora yang tidak dikunci. Di dalam, Mora sedang tengkurap di ranjang sambil menumpu kepala ke bantal.

"You okay, Nek?"

Sapaan Oren membuat Mora menoleh pelan.

"Mmmm," balasnya.

Oren pun mendekat, duduk di sisi ranjang dan menyentuh pundak sahabatnya. "Adek lo emang ngerusak mood banget, pake bawa-bawa bokap lo segala."

Mendengar komentar Oren atas kejadian di lantai bawah itu, Mora pun menghela napas.

"Gue nggak paham deh Mak, kenapa dia bisa santai aja ngasih barang itu? Masa nggak mikir sih kalo gue bakal kesel banget pas tau itu dari siapa?" Gadis itu mendengkus.

Rasa getir menahun yang dikubur dalam benak Mora tumbuh subur menjadi kepahitan tiap kali bersinggungan dengan adiknya.

Di tengah badai emosi dan keinginan untuk tidak bersinggungan dengan adiknya, sebenarnya ada satu sudut di hati gadis itu yang menyangsikan keadaan mereka kini; berjarak, penuh penolakan, dan terbersit sedikit dendam.

Sungguh ironis setiap kali Mora mengingat masa kecil mereka, yang berbanding terbalik dengan saat ini.

Dulu, dia dan Lizzy hidup akur layaknya kakak-adik yang saling menyayangi, bercermin dari orang tua mereka yang juga masih saling mencintai. Menggambar bersama, membuat kerajinan tangan, membantu Mama memasak dan bikin kue, serta mengobok-obok cat air Papa.

Sayangnya, cermin itu harus retak.

"Lo nggak perlu menye-menye gini ngabisin tenaga buat orang yang nggak penting, Nek." Suara Oren membuat Mora mendongak. "You're better than them."

Mora tersenyum. Sahabatanya, si Mak Lampir yang ambisius dan pantang tersakiti ini, memang berbakat menjadi motivator jitu saat dia sedang down.

"Thanks ya, Mak." Mora menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya.

"No probs. Sekarang bangun yuk, tuh si Aji udah mau balik. Masa sih nggak lo anter?"

Mora mengangguk dan merapikan lipatan pakaiannya. Sikap Oren yang sukar merasa sengsara berkepanjangan selalu bisa membuat Mora bangkit dengan lebih cepat. Lagipula, Oren juga benar. Mora lebih baik dari mereka.

🌲

Yamamoto Aji memilin-milin jemarinya sambil menunggu Mora turun. Di hadapannya, mama Mora meminum teh seakan tidak terjadi apa-apa. Mereka hanya tinggal berdua saja, sebab Lizzy pergi ke kamarnya tak lama setelah Mora meninggalkan ruangan ini.

"Apa... Mora sama adiknya memang nggak akur dari dulu, Ma?" tanya Aji tiba-tiba, membuat calon ibu mertuanya itu menahan gelas tehnya di udara.

"Yah, biasa lah kalau bersaudara, pasti sering ada cekcok." Wanita itu tersenyum manis. "Mama sudah sering kok, coba mendamaikan mereka. Kamu anak tunggal kan, Ji?" Wanita itu balas bertanya.

"Iya, Ma."

"Pantas saja kalau kamu nggak tau. Nggak papa, wajar saja antar saudara ada berantemnya sekali-sekali."

Aji merenung. Tapi ini bukan yang pertama kali.

Sependek ingatannya, dia tidak pernah sekalipun melihat Mora memperlakukan adiknya dengan baik. Tiap kali Aji menanyakan kabar anggota keluarganya, Mora selalu berfokus pada sang mama, seakan-akan adiknya itu transparan dan tak ada.

Sekilas Aji melirik set kuas yang tergeletak di atas sofa, masih belum tersentuh sejak Mora jatuhkan dari tangannya tadi.

"Tentang papanya Mora...." Aji bersiap bertanya, namun denting gelas yang ditaruh dengan keras mengurungkan niatnya. Dia melihat mama Mora sudah duduk tegak dengan wajah serius.

"Mama sudah nggak sama papanya Mora," ujar wanita itu dengan nada dingin dan tertata. "Kalau kamu penasaran, tanyakan langsung saja sama Mora. Gimana?"

Meskipun diucap dengan suara rendah dan bernada manis, Aji bisa merasakan sebersit tantangan yang tersirat dari ucapan calon ibu mertuanya. Dia menimbang-nimbang.

Selama bertunangan dengan Mora, dia sama sekali belum bertemu dengan ayah dari gadis itu. Bahkan saat acara pertemuan keluarga pun, hanya dihadiri dengan keluarga besar dari mama Mora. Dan setiap kali Aji bertanya, tak jauh beda dengan respons atas Lizzy, Mora engan membahas papanya.

Aji mengangguk. Mungkin sudah saatnya dia menuntaskan semua kemelut ini, sebelum dia memantapkan diri dengan Mora dalam ikatan pernikahan.

"Hey, sori, udah mau pulang ya?"

Suara Moraroka yang baru turun dari tangga membuat Aji mendongak.

Aji lantas melihat sekilas arloji Rolex yang bertengger di tangan kanannya. Dia butuh waktu satu jam menyetir dari Bogor untuk sampai ke rumahnya di Pusat. Kalau Aji pergi sekarang, dia bisa mencapai rumah sebelum tengah malam. Kebetulan juga besok pagi dia ada meeting mingguan dengan seluruh staf kantor.

"Iya nih," ucap Aji akhirnya.

Lelaki itu bangkit dan mengelus kepala Mora, berpamitan pada Oren dan mencium punggung tangan mama Mora.

Selama perjalanan pulang, Aji mengingat kembali kilasan kejadian satu tahun terakhir. Bagaimana Mora yang sebenarnya berjarak dengan keluarganya, dengan adik dan ayahnya, dan apakah itu akan mempengaruhi kehidupannya dalam membangun keluarga dengan Aji nanti.

Lelaki itu menggeleng saat hampir menerobos lampu merah, mengumpulkan kembali fokusnya untuk menyetir sambil membatin, don't overthink it. She's worth it.

Hanya perlu sedikit disempurnakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top