02 · The Guardian Prince

Sejak masa sekolah, tak terhitung berapa kali Moraroka didekati laki-laki.

Bukan hanya bakat seni yang luar biasa, gadis yang cantik alami, ramah, hangat, dan supel itu sukses menjadi paket komplet yang menarik lawan jenis bagaikan magnet.

Demikian, Mora yang selektif hanya pernah dekat dengan beberapa saja. Dengan yang terbaik, yang dikehendaki hatinya.

Satu yang terbaik adalah Yamamoto Aji, yang pertama kali ditemuinya sekitar dua tahun lalu, beberapa minggu sebelum Covid merebak dan PSBB mengunci Jakarta. Saat itu Mora menghadiri housewarming party Oren yang baru membeli rumah di bilangan Pondok Indah.

Aji yang hadir mengenakan kemeja slim fit dan membawakan hadiah air fryer untuk Oren, beberapa kali bersitatap dengan Mora dan melemparkan senyum. Ketika Aji mengizinkan Mora mengambil creme brulee terakhir di meja prasmanan, saat itulah cowok asing tersebut sukses menarik perhatiannya.

"Dia siapa, Mak?" bisik Mora sambil memperhatikan Aji yang sedang mengobrol dengan manajer Oren.

"Oh, dia orang Funance, Nek. Itu loh, app yang kemarin endorse gue," jawab Oren.

"Funance?" Mora mengingat-ingat nama aplikasi dompet digital yang sedang naik daun itu. "Dia orang IT?"

"No no no!" Oren menggeleng tegas. "Tim IT mereka ada sendiri. Dia CEO-nya, yang pegang bisnis."

"Oooo," gumam Mora.

Ketika Aji melewati mereka, Mora kembali bertanya.

"Dia bukan orang Indo ya, Mak?"

Oren melirik curiga. Tak biasanya seorang Moraroka menaruh perhatian pada lawan jenis, lebih-lebih yang belum dikenal. "Blasteran, Nek. Bapaknya Jepang, mamaknya asli Cisarua."

"Ooo...." Mora mengangguk, matanya tak lepas memperhatikan gerak-gerik Aji.

"Cakep, ya? Dia single loh." Oren menyenggol lengan Mora. "Gue kenalin ya, Nek."

Mora tidak menolak saat Oren menyeretnya ke depan Aji. Perkenalan itu berjalan singkat, padat, dan cukup bermakna.

Selama berkenalan, sorot mata Aji menampakkan ketertarikan yang kentara terhadap Mora, yang pada hari itu datang dengan rambut dicepol manis dan mengenakan blus rose gold serta celana jins yang memeluk kakinya dengan sempurna.

"Jadi, kamu seniman?" tanya Aji saat melihat tas kanvas Mora yang berhias noda cipratan cat.

"Iya, aku ngelukis."

"Wow, keren," puji Aji.

Lelaki itu lantas tersenyum, membuat Mora sadar bahwa di pipi kirinya terdapat lesung pipit yang manis. Mora juga menyadari betapa setiap kali Aji berbicara, ada selipan logat Jepang yang membuatnya terdengar sedikit cadel. Lucu juga, pikir Mora.

"Kamu sendiri juga keren, bisa mimpin perusahaan yang lagi viral dipake di mana-mana. Bahkan aku sendiri juga pake, loh, Funance itu."

Pujian Mora dibalas Aji dengan kekehan pelan, "Nggak kok, itu bisa ramai karena kerja keras tim marketing."

Ah, pangeran yang rendah hati, pikir Mora. Gadis itu lantas bertanya, "Jadi, kenapa kamu milih ngembangin Funance di Indonesia? Setahuku app ini aslinya dari Jepang, kan?"

Aji menjawab dengan pandangan yang dialihkan. "Panjang ceritanya. Mungkin kapan-kapan aku ceritain, kalau kita ada kesempatan ngobrol lagi."

Jawaban itu membuat Mora sedikit kecewa sekaligus penasaran. Gadis itu menangkap maksud tersirat dari kalimat terakhir Aji, mengindikasikan adanya harapan bertemu di masa depan.

"Oke," jawab Mora menyetujui.

Kini giliran Aji yang menunjuk tas kanvas Mora, tampak masih penasaran dengan sepak terjang gadis itu.

"Itu akrilik, kan? Susah hilangnya kalau kena kain. Sengaja kamu cipratin ke tas atau memang ketumpahan?"

Mata Mora membundar. "Oh, engga, ini tas emang aku buat lap kalo lagi ngelukis. Eh, kamu kok tau jenis cat gini?"

"Sedikit." Lagi-lagi Aji merendah. "Waktu kecil, kesenian jadi pelajaran favoritku. Cuma keluarga berharap aku kuliah bisnis, dan career path juga nuntut buat aku jadi orang sibuk. Jadi, yah, kesukaan masa kecilku nggak kesampaian."

"Wow...." Mora menjeda. "Keren."

Aji mendengkus geli. "Keren gimana? Boring gitu."

"Ya kamu keren dong, bisa prioritasin kewajiban ketimbang hobi."

"Kamu lebih keren, bisa bikin kerjaan dari hobi."

Di tengah-tengah argumen remeh itu, Oren menyela dengan nampan berisi piring-piring kotor. "Ya ya ya, kalian berdua sama-sama keren. Saking kerennya sampe-sampe ga nyadar kalo paty gue udah kelar."

"Eh iya ya?" Mora memandang sekeliling, menyadari kebenaran kalimat Oren tadi sebab dia dan Aji adalah orang terakhir di ruang tengah rumah baru sahabatnya itu.

"Maaf ya, Lauren. Habisnya, teman kamu terlalu... menarik." Aji melempar senyum tipis pada Mora, membuat degup jantung gadis itu terasa jatuh ke perutnya.

Sebelum Mora salting lebih jauh, Aji sudah berdiri dan meraih nampan piring kotor dari tangan Oren. "Saya bantu bersih-bersih ya, sebagai ucapan terima kasih karena sudah ngenalin saya ke Moraroka."

Oren mengangguk dan hanya bisa melongo, melepaskan Aji berlalu dari hadapan mereka. Baik dia dan Mora saling bertukar pandang setelahnya, seakan menyuarakan seruan hati yang sama; pria ini sempurna!

🌲

Dua hari setelah housewarming party, Mora mendapati Aji muncul di tempat kerjanya.

"Kok di sini?" Mora bertanya tanpa bisa menahan senyumnya.

Aji datang dengan setelan kerjanya, celana kain, sepatu pantofel, dan kemeja yang dasinya dilonggarkan dan jas yang ditanggalkan. Aji menjawab dengan menyodorkan ponselnya, yang menunjukkan poster digital di sosial media Sugiharto Gallery.

"Galerimu lagi buka workshop lukis." Aji memamerkan senyum lesung tunggalnya. "Di mana saya bisa daftar?"

Mora menoleh ke sekeliling galeri. Hanya ada mereka berdua di lantai pertama ini, sebab staf lain sibuk mempersiapkan lokasi workshop di lantai atas.

"Well, kalau belum daftar online, bisa langsung gabung aja. Tapi workshop-nya baru dimulai tiga jam lagi." Mora tertawa tipis. "Kamu dateng kepagian."

"Ouch." Aji ikut tertawa, lalu melihat jam di pergelangan tangannya. "Sebenernya, ini waktu yang pas. Bubur ayam di depan parkiran tadi kelihatannya enak. Kamu sudah sarapan, Mora?"

Mora sudah mengisi perut dengan nasi uduk sebelum berangkat ke galeri, namun dia tetap menggeleng. "Belum."

"Bagus, kalau gitu ayo isi tenaga sebelum kamu kerja. Mau?"

Ajakan Aji membuat Mora mengangguk dengan semangat. "Boleh."

Sejak momen itu, hampir setiap hari Mora dan Aji sarapan bersama. Kadang di dekat galeri, kadang menjajal food stall dekat kantor Funance.

Sayangnya dalam beberapa minggu, kegiatan rutin mereka harus terhenti karena pandemi. Lockdown total mengharuskan Sugiharto Gallery tidak beroperasi, pun kantor Funance tempat Aji memimpin memberlakukan sistem WFH total.

Hampir setiap hari, Mora dan Aji bertukar kabar. Entah dari chat, voice call, hingga video call. Beberapa kali juga Mora menyelip sebagai tab kecil, distraksi manis untuk Aji yang memimpin meeting dalam conference call.

Hampir setiap minggu juga Aji berkunjung ke rumah Mora, membawakan oleh-oleh makanan untuk mama dan adiknya, yang berkembang menjadi drop off bahan-bahan makanan seperti sayur, beras, dan daging-dagingan.

"Tante kan jago masak, bantuin saya jalanin program free food for Covid, ya? Funance mau nganter makanan gratis untuk orang-orang yang lagi positif. Nanti kalau ada sisanya, boleh Tante keep aja buat makan di sini. Tolong ya, Tan?" pinta Aji, menjabarkan ide dermawannya.

Tentu saja, Mama Mora mengiyakan dengan mata yang berbinar.

"Kamu itu too good to be true loh, Ji! Udah, mulai sekarang panggil 'Mama' aja, jangan 'Tante' lagi. Mama pengen punya anak yang berbakti dan baik budi kayak kamu. Nggak kayak mereka...."

Mama melirik pada Lizzy yang sedang tiduran di sofa sambil membaca manga, lalu beralih pada Mora yang duduk di atas karpet, fokus membuat sketsa di sketch book-nya.

Aji pun tertawa. "Siap, Ma."

Meski terlihat sibuk dengan sketsa, Mora diam-diam menyimpulkan, bahwa Yamamoto Aji telah menjadi malaikat bagi keluarganya. Mama yang merupakan ibu tunggal dari dua anak tanpa penghasilan tetap, yang selama ini hidup mengandalkan gaji Mora di galeri dan penjualan lukisan, telah terselamatkan oleh kebaikan Aji kala itu.

Detik itu juga Mora tahu, Aji adalah orang yang tepat.

"Buset dah Nek, udah jalan berbulan-bulan, emak lo udah ngasih lampu ijo, tapi belom ditembak juga?" Oren memekik dalam sambungan telepon. Kala itu dia positif Covid dan sedang melakukan isolasi mandiri.

Mora berdecak. "Lo kaku banget sih Mak, kayak nggak kenal gue aja. Nggak butuh lah status-status begituan. Yang penting tuh quality time with quality people."

"Iyeee, gue tau, seorang Moraroka yang susah dimiliki, sampe pacaran aja cuma dua kali seumur hidup," cibir Oren. "Tapi Nek, lo nggak mikir apa? Kalo nggak cepet-cepet di-lock, cowok sebagus Aji bakal direbut orang!"

Kalimat itu membuat Mora tercenung seketika. Sudah menjadi rahasia umum kalau Aji adalah idola di kantornya, bos yang humble dan baik hati, pangeran yang akan bisa mewujudkan semua mimpi gadis muda menjadi nyata.

Bibir Mora mengerucut, tanda berpikir. Bohong kalau perkataan Oren barusan tidak membuatnya khawatir.

🌲

New normal menjadi fase adaptasi ulang bagi semua orang, membangkitkan kehidupan lama yang terkubur pandemi, termasuk Mora dan Aji. Mereka akhirnya bisa melanjutkan tradisi lama. Makan di luar. Namun selama memesan hingga makanan tiba, Mora tak banyak bicara.

"Kamu mau cerita sesuatu?" tanya Aji tiba-tiba.

"Eh?" Garpu di tangan Mora hampir lepas.

"Wajah kamu, kusut banget. Lagi mikir apa?"

"Well...." Mora menelungkupkan garpu di piringnya. "Sebenarnya ada."

Aji ikut menaruh garpu dan pisau di sisi-sisi piring steak-nya, siap mendengarkan.

Mora butuh menarik napas beberapa kali untuk mengumpulkan keberanian menatap mata Aji yang tajam. Pada tarikan napas terakhir, Mora akhirnya bertanya.

"Sebenarnya... kita ini apa?"

Aji sempat terkejut seper sekian detik, namun dengan cepat bisa tersenyum untuk menetralkan ekspresinya.

Alih-alih menjawab Mora, dia malah meraih sesuatu dari sakunya.

"Kebetulan banget kamu nanyain hal ini...."

Aji mengulurkan sebuah kotak bludru berwarna biru toska. Ketika dibuka, logo bertuliskan Tiffany & Co menyambut pandangan Mora, sekaligus sebuah cincin emas putih dengan center stone berlian berbentuk oval.

"Aji? Ini...?" Mora terkesima, bergantian menatap cincin itu dan wajah pria di hadapannya.

Ini lebih dari apa yang Mora harapkan. Sangat lebih.

"Ini jawaban aku sama pertanyaan kamu tadi, Moraroka." Aji meraih tangan gadis itu, dan mengenakan cincin itu di jari manisnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top