Chapter 8 - Anak Donatur

Bermodalkan cermin bulat yang bisa dipegang, Venchy menepuk titik merah di sudut bibir dan tulang pipi dengan kapas basah. Venchy suka baunya, mirip di rumah sakit saat masuk ke ruang pemeriksaan. Walau perih saat bersentuhan dengan sumber luka, tapi ia menyukai sensai ini. Sebelas duabelas dengan rasa sakit di hati.

"Persetan anak donatur...." Ia baru selesai menempelkan plester di pipi kanannya. Masih banyak luka memar yang harus diobati. Ia membereskan peralatan pertolongan pertama ke tas kecil, beralih memeras handuk kecil dari baskom berisikan air hangat. "Kalau itu emang hak kamu, berarti aku juga punya hak untuk memukulmu hingga meninggalkan trauma."

"Mau gue bantu, Ven?" Seorang gadis datang menaruh teh hangat buatan pemilik kos. Ia merebut handuk hangat dari cengkeraman Venchy, duduk di samping Venchy untuk mengompres beberapa titik ungu di pinggang temannya.

Sesekali, kerutan mengukir kening dan salah satu matanya. Namun tatapannya masih berlangsung tajam semenjak kejadian tadi sore. Saat itu, Venchy baru selesai piket menyapu kelas. Halaman sekolah pun sepi siswa. Ia berjalan tergesa-gesa sebelum akhirnya merasakan ikatan rambutnya tertarik, bahkan ada tiga gadis keluar dari persembunyian di arah jam 11.

"Dia orang yang menghajarmu, Diya?" tanya gadis yang menarik rambut Venchy. Ia pura-pura tak berkutik, meringkuk ketakutan. Sejenak ia mengerling, terlihat orang ini menarik salah satu sudut bibirnya.

"Iya!" jawabnya dengan mantap. "Semua teman sekelasku tunduk padanya, bahkan dia mempermalukanku di depan mereka. Kejam, bukan?"

"Venchy?" Gadis di sebelah Diya mulai mendekati Venchy selaku korban, mengangkat rahang bawah Venchy yang mengeras seperti tatapannya. Seulas senyum tak cukup mempercantik wajah bengusnya. "Tak kusangka, kamu yang merupakan pengurus OSIS bisa bertarung."

Dia mendengkus sinis, mendorong wajah Venchy dengan kasar. Iris hitam Venchy makin nyalang. Kawanannya berkata, "Duduk!" Ia jatuh bertekuk lutut akibat belakang lututnya ditendang. Venchy merasakan perih yang setimpal dengan dendam di hatinya, begitupun rambutnya yang masih ditarik, yang kemudian beralih mengunci tangannya.

"Aku ingin tau, seberapa kuatnya cewek cupu ini sampai Diya melapor ke Ketua," kata perempuan berambut merah lurus sepinggang.

"Biar kucoba." Kakinya menerjang pinggang Venchy hingga tersungkur. "Mana? Gak melawan."

"Ya udah, dihajar aja!" Puluhan serangan meninggalkan banyak luka di tubuh Venchy. Kacamata terlempar jauh; Isi tas berserakan; Darah pun keluar di titik tertentu termasuk sudut bibir dan hidungnya. Mereka baru selesai menendang setelah melihat tubuh Venchy bergetar.

"Tinggalkan dia." Gadis yang mendorong wajah Venchy tersebut mulai pergi, disusul beberapa anak buahnya. Terakhir yang pergi menyusul kawanannya adalah Diya, yang menginjak kacamata Venchy hingga remuk dan melempar seuntai kalimat negatif.

"Makanya jangan melawan anak donatur!" Begitulah katanya. Tak ada siapapun yang menolong, bahkan petugas kebersihan dan jaga malam yang baru datang pun seakan tutup mata. Ia hanya bisa tertawa kecil dalam arti cukup aneh untuk dijawab.

Mengingat kejadian itu, Venchy ingin sekali menghajar mereka. Andai kata mereka bukan anak donatur, mungkin tindakan Venchy menorehkan trauma psikisnya.

"Kenapa lo gak hajar mereka?" tanya Lail mencelupkan handuk yang mulai mendingin.

"Aku gak punya hak buat melawan mereka," jawabnya dengan tatapan kosong.

"Kenapa? Lo kayak ... bukan Venchy yang gue kenal." Ia mengerahkan sedikit tekanan di kompresannya. "Bilang kalau sakit."

"Mereka urusannya dengan Vinci, bukan denganku." Venchy meringis tanpa mendesis, hanya desah berat. "Dan aku tak punya hak melindungi Vinci lagi. Dia yang bilang. 'Mending urusi dirimu sendiri. Jangan pernah usik aku lagi.' Aku turuti saja, percuma aku kasih tau dia. Degil."

"Jadi lo mau pindah sekolah?" Ia selesai mengobati luka di pinggang. "Tunjukkin luka memar yang lain."

Venchy mengulurkan tangan dan diterima dengan baik oleh Lail. "Aku gak bakal pindah sekolah. Mungkin melakukan aktivitas kayak siswa kebanyakan jauh lebih baik. Tapi lihat Vinci menderita...."

"Gue ngerti perasaan lo, Ven." Lail meraih remote TV di tengah menggenggam tangan berbalut handuk basah. Sebuah tayangan film Asia menemani perbincangan mereka. "Kenapa lo gak cobain adegan mata-mata?"

"Mata-mata?" Venchy menaruh buku paket yang terbentang di pangkuan, kemudian meneguk teh hingga tersisa setengah. "Kayak gimana?"

"Ya lo diam-diam blokir rencana musuh buat ngebully Vinci gitu," jawab Lail mengusulkan. "Atau kumpulin bukti buat menumpas bullying di sekolah demi Vinci."

"Kumpulin bukti?" Venchy mengulangi dua kata yang disebutkan Lail. "Kumpulin bukti...." Matanya membulat. Mulutnya terbuka sedikit. "Tunggu, aku memikirkan sesuatu."

Ia melirik Lail yang menatap kebingungan. Senyum manis terpampang di mulutnya. "Kita buat rencana baru. Aku membutuhkanmu, Lail."

Lail terkesiap, tapi ia mengangguk sekali sembari berkata, "Gue selalu ada buat lo, Venchy."

****

Hari ini, penampilan Venchy sedikit berbeda dari segi rambutnya. Bukan lagi dikucir ekor kuda, melainkan dijepit ala kadarnya menggunakan penjepit rambut kupu-kupu, menyisakan beberapa helai yang mempercantik wajahnya. Di sela perjalanan menuju kelas, ia mengeratkan kedua tali tas. Manik hitam berkilat intens tanpa bergerak sedikitpun.

"Baiklah...." Venchy mengembuskan napas selega mungkin. "Beri aku waktu sebulan untuk melancarkan rencana baruku."

Ia berbelok ke kantin, tapi langkahnya terhenti sebelum menabrak dada bidang seorang pemuda. Venchy terbelalak hingga spontan menahan napas. Ia melirik papan nama di seragam, tertulis Riqquell. Venchy langsung menundukkan kepala dan berbalik, berharap bisa lari secepat yang ia bisa.

"Venchy?" Sayangnya harapan Venchy tak selamanya terkabul. Tangan kekarnya menarik lengan Venchy, membawa tubuh mungil berhiaskan titik ungu ke dalam dekapannya. Dia menangkup dan mengangkat muka Venchy dengan lembut. "Kenapa kamu bisa begini, Venchy?"

"Ah, ini cuma...." Venchy mencoba melepaskan tangkupannya. Namun, apalah daya kekuatan lelaki lebih besar dari perempuan. Malahan dia mempererat dekapannya dan membawa Venchy ke ruang UKS yang berada berseberangan dengan kantin.

Saat Venchy duduk di samping brankar, pintunya dikunci. Lelaki itu mengikat rambutnya asal-asalan, bergerak cepat mengambil beberapa obat luka di kotak P3K. Dengan sigap ia menepuk titik luka di tubuh Venchy dengan kapas basah akan alkohol. Venchy mengamati raut muka Uwel, di mana matanya bergerak cepat menargetkan luka yang belum terobati.

"Kamu diserang sama siapa, hah?" Kini Uwel memandang wajah Venchy, kemudian membasahi luka lecet di tulang hidung dan pipi. "Katakan padaku."

"A-aku kecelakaan kemarin," kilah Venchy tertawa sumbang. "Aku gak hati-hati waktu itu, asal masuk jalur jalan aja eh malah keserempet truk. Kayak ginilah jadinya."

Uwel menyipit tajam. Venchy berharap dia tak curiga. Bisa-bisa identitasnya terbongkar! Pasti Uwel tak mau berteman dengannya lagi karena catatan BK. Venchy baru bisa bernapas lega saat Uwel mengangguk pelan seraya menyetujui alasannya. Dua plester tertempel di garis merah keunguan pada wajahnya.

"Lain kali hati-hati, ya." Uwel menepuk pundak Venchy, bangkit menyimpan obat-obatan ke tempat semula. Dia sempat mendekatinya lagi, tapi mendadak menuliskan sesuatu di telapak tangan Venchy menggunakan pulpen. Dari namanya, Venchy menduga bahwa Uwel menulis nama salep penghilang bekas luka. "Beli obat ini. Cantik kamu hilang kalau banyak bekas luka."

Venchy menggumam pendek. Ia beranjak dari brankar, membuka kunci supaya bisa pergi ke kelas dengan tingkat malu nyaris mau meledak. Saking tersipu malunya, Venchy menabrak Citra yang baru selesai piket. Nasib baik Venchy memeluknya, tapi Citra kaget bagai bertemu hantu.

"Ke-ketua kenapa?" tanya Citra melepaskan pelukan Venchy. "Kok kayak dikejer pak satpam?"

"Hah?" Ia melirik dan berkedip dua kali sebelum merapikan rambut dan seragam batiknya. "Gak, gak apa-apa kok."

"Beneran Ketua gak apa-apa?" Citra mengerling penasaran, begitu pula Venchy yang mengikuti arah pandang Citra.

Uwel keluar dari ruang UKS, disambut teman-teman yang baru masuk sekolah. Mungkim teman satu eskul. Melihat dia tersenyum lebar membuat hati Venchy tercelus. Mereka mengajak Uwel ke kelas MIPA 1.

"Ketua ditolongin sama uwel?" Venchy mendelik panik, lantas berbalik mengibas tangan pertanda 'tidak'. "Bukan gitu, Cit."

"Terus kenapa Ketua kayak terburu-buru gitu?" Skak mat! Venchy tak tahu harus berkata apa lagi. Ditambah Citra menunggu jawabannya.

Venchy terpaksa tertawa sambil merangkul leher Citra dan menepuk pundaknya. "Kau tau? Dia baik, makanya aku merasa aneh pada diriku karena percaya apa kata dia." Venchy berkata demikian sebagai diversi sebelum masuk ke kelasnya. Namun, Citra malah mengernyit.

"Apa yang Ketua maksud adalah Uwel?" []

Majalengka, 6 Desember 2020

SPOILER ALERT!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top