Chapter 7 - Kejanggalan

"Venchy!" Citra terpontang-panting menghampiri bangku Venchy. Pemilik bangku itu terlonjak kaget. "Venchy, kamu disuruh ke ruang BK."

"Apa?" tanya Venchy terteleng dan tersenyum konyol. Citra mengangguk cepat. Ia butuh oksigen sekarang akibat berlari dari ruang BK ke kelasnya. Venchy memutar bola matanya, sedang mulutnya berembus pasrah. "Najis...."

Selama perjalanan menuju BK, Venchy sempat-sempatnya melihat keadaan kelas MIPA 1 yang siswanya jarang keluar karena belajar tiada henti. Gadis dengan kepang kembar ini sampai berjinjit dan mendongak, bahkan berjalan mundur demi melihat Vinci. Namun, sosok yang dicari tidak ada, mungkin ke kantin atau ke perpustakaan. Ia intip isi perpustakaan yang searah menuju ruang BK, pun tak ada Vinci. Pikirnya, ke mana dia pergi? Apa dia sendiri keluar kelas? Entahlah, masa bodoh. Venchy harus urusi masalah dengan BK.

Begitu sampai di tujuan, Venchy memperingati hari ini sebagai hari sialnya. Kenapa ruang BK harus berada di antara koperasi sekolah dan kamar mandi? Wangi uang, makanan, dan pesing bercampur merangsang rasa mual.

Ia buru-buru memasuki ruang BK. Sudah ada bapak berkepala setengah botak yang menunggu kedatangan Venchy, duduk bersandar dengan salah satu kaki ditaruh di pahanya. Tatapannya mengintimidasi.

"Bapak ... cari saya?" tanya Venchy kikuk.

"Duduk!" Spontan Venchy duduk di bangku kayu, bersikap formal dengan wajah-pura-pura-tegang. Dia mendesah parau, menggeleng memijat keningnya. "Kau tau masalahmu, Venchy Mariana?"

Masalah? Venchy tak merasakan demikian, sehingga ia menggeleng cepat sebagai jawaban. Ia melihat guru itu menggulung buku tipis ukuran A4. "Kau baru saja buat masalah dengan anak donatur!" Buku yang digulung tersebut menghantam kepala Venchy dengan keras.

Venchy berpikir, emang kenapa kalau dia anak donatur? Toh, beliau menyumbangkan hartanya untuk kepentingan sekolah. Namun, Venchy merasa ada yang janggal dengan sekolah ini. Ia menunduk takut.

"Sekolah ini butuh dana sangat besar agar siswa mendapatkan fasilitas yang nyaman!" kata guru BK. "Tapi kamu malah buat masalah dengan anak donatur. Kau tau akibatnya apa?"

Venchy tak menjawab. Ia hanya membenarkan letak kacamatanya. Di balik benda pengurang kadar paras wajah ini, tatapan tajam meluas di netra hitamnya.

"Sekolah kehilangan dana dari mereka!" sambungnya bernada kasar, membuang buku tersebut ke meja kaca. "Fasilitas idaman siswa pun lenyap! Anjing sepertimu tak pantas bersekolah di sini kalau mereka tau sifatmu seperti ini."

"Kenapa guru bajingan seperti Bapak pantas bekerja di sekolah mewah?" Venchy mendongak tersenyum miring. "Seharusnya guru bersikap baik, berbicara halus pada muridnya. Sekarang saya mau tanya, apa Bapak membela orang itu karena dia kaya?"

Ucapan Venchy langsung membungkam mulut guru BK itu. Di babak ini, Venchy menang debat.

"Kenapa kamu berantem sama Diya?" Dia mengubah topik, bahkan intonasinya menurun.

Dengan jujur ia menjawab, "Aku memukulnya karena dia bertindak semena-mena, Pak. Seolah-olah peraturan sekolah tiada gunanya buat dia. Dan aku berhak menyebut tindakanku sebagai memberontak, bukan kekerasan."

Venchy tak berbohong. Kenapa Diya mengusiknya saat belajar dan tak membuat masalah? Kalau saja Venchy adalah anak donatur, kalau ia mendapatkan perlakuan demikian karena penampilan culunnya, Venchy tinggal bilang: "Jangan nilai orang dari fisiknya."

"Benarkah?" Dahi bapak itu mengerut, seiring matanya menyipit mencari kesalahan muridnya. "Bukan karena kamu ganggu Diya yang lagi belajar?"

Senyum Venchy memudar. Ia melotot tak percaya. "Apa?"

"Kamu ganggu Diya yang lagi belajar?" Dia mengulangi perkataannya. "Diya bilang begitu ke Bapak."

Bukan, bukan begitu. Rahangnya mengeras. Matanya bergerak sembarang arah. Dengan setengah hati, Venchy menunduk dan berkata, "Maafin Venchy, Pak. Venchy gak bakal mengulanginya lagi."

"Awas, ya? Saya simpan omonganmu." Ia mengambil ponsel, yang diduga merekam pembicaraannya. "Kamu boleh keluar sekarang."

"Baik, Pak." Venchy beranjak dari kursi, menapakkan sepatu khas sekolah di luar ruang BK. Pintu ditutup dengan lembut. Venchy mendesah murka. Tatapannya berlangsung dingin seakan ingin membunuh seseorang. Ia pergi menuju kelasnya. "Dasar, anak donatur...."

Tangan mulusnya merogoh benda pipih dari saku rok, menyimpan hasil rekamannya bersama guru BK paling menyebalkan. "Ada faktor lain rupanya yang membuat banyak orang kena bullyan."

"Venchy!" Seseorang memanggilnya, seorang lelaki. Langkah Venchy terhenti, menoleh ke sumber suara. Sosok pemuda berambut merah itu melambaikan tangan, meminta Venchy untuk ke sana. Pikirnya, ada apa gerangan? Ia lekas berlari menghampirinya.

"Ada apa, Uwel?" tanya Venchy tersenyum manis.

"Begini, Ven. Hari ini tidak ada agenda...." Kalimat berikutnya Venchy tak menyimak. Ia memandang adik kembarnya diolok-olokkan oleh beberapa orang. Dua di antara mereka berjenis kelamin perempuan. Mereka tampak puas mendorong kepala Vinci, dengan senyum miring, berteriak di telinganya. Venchy juga melihat darah mengucur di hidung dan titik luka, bahkan tiap tetesnya mengotori buku yang dia catat. Mereka tertawa saat Vinci bergeming dengan darah menetes. Hal itu buat senyumnya memudar kembali.

"Venchy!" Ia terlonjak kaget, melemparkan senyum manisnya lagi. "Ada apa, Uwel?"

"Kamu gak nyimak perkataanku?" tanya Uwel mengernyit curiga.

"Ah iya, maaf." Venchy terkekeh seraya membenarkan letak kacamata. "Hari ini gak ada agenda?"

"Iya, tapi mungkin lima hari lagi kita akan rapat soal acara hari sumpah pemuda. Kau datang ke ruang OSIS sekitar jam setengah 10 untuk merekam momen rapat dan mendiskusikan isi acaranya. Bisa?"

"Bisa!" Venchy mengangguk mantap. "Pastinya!" Meski begitu, pandangannya tak luput dari gadis yang mengolok Vinci.

Justru gadis berambut pirang sepunggung itu menghampirinya, berdiri angkuh di samping Uwel. "Siapa ini? Pengurus OSIS yang baru?"

"Yep," jawab Uwel melirik gadis dengan papan nama bertuliskan 'Anita Rahma'. "Dia jadi seksi dokumentasi."

Anita mengangguk paham."Kamu pasti orang yang jujur, ya."

"Iya...." Ia mengulurkan tangannya dengan senyum manis di bibir. "Venchy, salam kenal."

Biar Venchy perhatikan. Dia meraih tisu di saku rok, mengeluarkan sehelai untuk membersihkan telapak tangannya sebelum menjabat tangan Venchy, bahkan hanya sebatas tepukan tangan. "Anita, mohon kerja samanya."

Venchy mengangguk sopan. Padahal sebenarnya, Venchy muak dengan tingkah lakunya. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Takut ada pelajaran yang tertinggal."

"Oke."

Venchy pun berbalik dengan bersedekap, berjalan menuju ruang kelas di pojok depan sana. Tangannya terkepal kuat. Sorot matanya menggelap, bahkan alisnya bertautan mempertajam kesan matanya. Ia mengerling sekilas. "Kerja sama? Jujur? Kutunjukkan diriku yang berbanding terbalik dari dugaanmu, Anita. Karena kau akan tunduk padaku."

Ia masuk dan disambut oleh Diya yang berdiri mendekatinya. Senyum sinis terpahat mendukung tatapan jijiknya. Langkah sepatu menggema di telinga Venchy, mengelilingi pelanggan rekayasa guru BK.

Mulutnya berhadapan dengan daun telinga Venchy. "Gimana rasanya ditegur oleh guru BK?"

Venchy enggan menjawab. Ia hanya menjeling malas. Sensasi panas menggebu-gebu di tubuhnya. Tangan dan kakinya gatal ingin melesatkan tinju pada Diya.

"Gerak-gerikmu terlalu gampang dibaca. Kamu gak berantem di sekolah lagi, kan?" Kalau saja Vinci tak bilang demikian, sudah pasti Diya mati di tangan Venchy.

"Ketua...." Citra datang mengelus pundak Venchy. "Kamu itu keterlaluan, Diya! Nasib baik Venchy gak marah."

"Tak apa," kilah Venchy menenangkan Citra. "Aku tak selera melihat cecunguk yang satu ini." Ia memberikan lirikan membunuh sebelum mengambil beberapa buku untul dibawa ke perpustakaan. Ia berbisik pada Citra.

"Beritahu aku kalau ada guru." []

Majalengka, 23 November 2020

SPOILER ALERT!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top