Chapter 20 - Bad Bye

Venchy dengan santainya membaringkan tubuh penuh luka dan darah ke dalam ketinggian menara pabrik gula, merentangkan sebelah tangan ke depan. Manik cokelat Venchy menutup lembut, berharap di tengah terjun ke permukaan tanah, jiwanya keluar dari raga.

"Venchy!"

Tangan kecil Venchy digenggam erat, menggantungkan tubuh kerdil ini hingga menghantam dinding menara. Setengah kesadarannya menerawang. Apakah ia sudah lepas dari jasad? Mata bulat Venchy terbuka lemah, mengecilkan iris yang diterpa cahaya dari bawah. Sebuah cairan merayap di tangan Venchy, meninggalkan sensasi dingin bila tertiup angin.

"Aaargh!" Jerit parau terdengar menggelegar di telinga Venchy, menyeret alam bawah sadar untuk kembali melihat seseorang yang menarik tubuhnya ke atas, sedikit demi sedikit.

Spontan Venchy menengadah, baru mengetahui kalau tangan mereka berlumuran darah. Uwel berusaha menariknya dengan sisa tenaga yang dimiliki membuat mata Venchy berkaca-kaca.

"Uwel...." Ia menggigit bagian bawah bibirnya dengan keras.

"Jangan ... banyak ... omong!" Uwel kembali memekik dan mengerang, mendongak menambah kekuatan untuk menarik Venchy dengan cepat. "Cepat naik! Aku tak kuat lagi menahanmu!"

Venchy masih bergeming, tapi terlihat ada kemauan meraih sisi puncak pabrik gula.

"Pikirkan soal Vinci!"

Barulah hancur ilusi yang mengajaknya tenggelam mengunjungi kematian. Terlintas wajah Vinci yang tersenyum lebar menunjuk Venchy, dalam sekejap wajah dia berubah menjadi mengerikan. Dia tersedan. Mata dia memerah hingga ke pipi, berbalik meninggalkannya bagai seonggok kayu lapuk.

"VENCHY!" Darah yang senantiasa mengalir di tangan Venchy rupanya bersumber dari lengan Uwel. "Kumohon naik, Venchy!"

Namun, ia tetap bergeming, masih terpana dengan tindakan lelaki itu. Ilusi kembali menghampiri pikiran Venchy meski redup, tapi perlahan ia meraih sisi puncak menara. Ia melihat tangan Uwel yang seakan tali tambang. Sobek, teringin putus dari badan. Begitu tercapai, mendadak gemetar bagai mengalami ketinggian.

Dengan sisa tenaga, Venchy mencoba menaiki puncak menara pabrik gula dan berharap caranya mampu mengurangi kesakitan di tangan Uwel. Dua kali nyaris terjatuh, tapi Venchy berhasil naik kembali, begitupun Uwel yang langsung berbaring usai menarik Venchy ke puncak.

Hujan masih mengguyur dua insan yang saling menggenggam tangan, beberapa tetesnya membersihkan cairan merah di lengan Uwel. Kilat putih muncul bagai ahli teleportasi, mendatangkan gemuruh mengerikan yang memicu racun mimpi buruk di otak. Bagi mereka, gemuruh tadi tidaklah mempan. Mereka amat tenang, meski angin mengipasi tubuhnya yang basah, ataupun tangisan awan yang menambah suhu minus.

"Kenapa kamu menyelamatkanku?" Bibir pucat Venchy terbuka sedikit demi melontarkan seuntai kalimat. Dengan kaku, ia melirik sendu. Lelaki berambut gondrong itu terpejam pun tersenyum lembut.

"Padahal kau adalah musuhku...." Venchy menambahkan. Ia merasa Uwel terlalu erat menggenggam tangan yang mana kulit arinya keriput pertanda jenuh akan air.

"Karena kau ... sungguh berarti untukku."

Iris hitam Venchy seakan dipercik cahaya kala melotot tak percaya. Benaknya kembali dihantui masa-masa manis selama di SMA. Banyak lembaran foto bersama dia. Tertawa bersama dia. Bahkan bekerja bersama dia meski sebatas lingkup OSIS.

Semua itu mereka akhiri dengan tawa.

Venchy bertanya pada diri sendiri. Mengapa ia tak menyadari hal itu? Hal yang amat jelas hingga mampu dipahami lewat mata telanjang, mengapa Venchy baru menyadarinya?

"Kalau bukan kau yang menghajarku waktu membully Vinci semasa kecil," dia mulai menjelaskan, "sampai sekarang aku pasti akan bertindak kejam seperti berandalan kebanyakan." Uwel menoleh melempar tatapan lembut. "Terima kasih ... untuk semua tingkah lucu yang kau ragakan di hadapanku."

Saat ini pula, Venchy menganalisa apakah matanya memerah akibat air mata atau air hujan. Ia ingin tahu apakah cairan yang mengalir di sekitar mata ini sungguh air mata atau air hujan.

Melihat Uwel yang tersenyum riang dari kecil hingga sekarang, dalam hitungan detik telah direnggut dengan wajah masam yang berkepanjangan. Seketika ia memejam erat, membalas genggaman tangan dengan kuat, menghadap padanya yang masih terlelap diguyur hujan.

Batinnya rutin mengatakan 'minta maaf' yang berujung terlelap dibuai mimpi sembari melontarkan kata tersebut. Andai mimpi mau menawarkan satu permintaan, Venchy teringin bersua dengan dia, yang kini telah pergi untuk selamanya.

"Kau masih tak mau merelakanku?" Suara berat terdengar lembut di telinga Venchy. Ia membuka mata, tapi yang ia lihat hanya putih.

"Rifki?" Gadis dengan luka lebam di wajahnya celingak-celinguk gelisah. "Di mana kamu? Aku merindukanmu!"

"Aku di sini, Venchy." Sentuhan hangat menjalar di punggungnya, saat itu pula hamparan bunga lotus kuning memercikan cahaya mirip kelip-kelip. Mereka berkumpul membentuk cermin, memperlihatkan sosok lelaki berkemeja putih tengah memeluk Venchy dari belakang. Ia langsung mendelik, berkaca-kaca hingga tak kuasa menahan bendungan di pelupuk mata.

Netra dia terpejam, tapi senyum dia amat manis seperti cara Uwel mengapresiasi ketekunan anggota OSIS yang bertugas. Perlahan dia membuka mata, melirik Venchy lewat tatapan meneduhkan.

"Aku tak mau kamu jadi begini." Tangan Rifki yang berselimutkan cahaya terulur mengusap titik ungu di wajah Venchy. "Apa kamu berkelahi demi aku? Demi Vinci? Kenapa kamu lakukan hal itu? Aku tidak suka kamu bersikap seperti diriku yang dulu."

"Iya...." Venchy menunduk membalas uluran tangan dia. Tetes air mata jatuh menumbuhkan banyak sekali bunga. "Hatiku tak bisa move on darimu. Hatiku tak mampu mengabaikan penderitaan Vinci. Bahkan hatiku tak siap untuk memaafkan dia."

"Maksudmu Uwel?"

"Iya...." Suara Venchy nyaris hilang kala menjawab. "Hatiku makin bimbang melihat Uwel terluka demi menyelamatkanku. Aku tau, dia melakukan hal itu karena aku pengurus OSIS. Uwel adalah ketua OSIS, sudah tugasnya melindungi anggotanya."

Ucapan Venchy barusan membuat Rifki tertawa gumam. Dia melepas pelukannya, berganti menyetarakan tinggi badan untuk menangkup wajah Venchy yang beruraian air mata.

"Dengar, Venchy," kata Rifki mengusap pipi Venchy yang basah. "Uwel bertindak seperti itu bukan karena kamu pengurus OSIS, melainkan perasaan lain yang mampu mendeskripsikan dirimu sebagai sosok spesial di hati dia."

Venchy mendongak terkesima, lebih-lebih senyum Rifki yang meracuni pikirannya. "Beri dia kesempatan kedua. Relakan aku. Gantikan aku yang membekas di hatimu dengan dia."

"Apa dengan cara itu, kau akan tenang di sana?" tanya Venchy mengerling miris.

"Tentu," jawab Rifki melepaskan tangkupan di wajah Venchy. Lelaki itu mulai melangkah mundur menuju cermin yang melebur menjadi ribuan cahaya. "Kamu percaya padaku, kan?"

Venchy bergeming, ambruk memandang tak rela. Partikel cahaya tadi kembali membentuk menjadi sebuah pintu.

"Aku sedih lihat kamu menderita karena aku dan Vinci. Sekali ini saja, aku ingin kamu menjadi perempuan yang seharusnya, hidup tanpa kekerasan, bahagia bersama teman-teman barumu. Dengan melakukan hal yang aku katakan, aku bisa tenang dan makin suka sama kamu."

Sosok itu hilang ditelan cahaya khas kunang-kunang. Lapisan bening yang melindungi matanya kembali pecah menjadi butir air, mengalir dan jatuh mengenai mahkota bunga. Kini mereka berpencar menjadi hiasan malam yang melegenda, makin terang warnanya jika Venchy mengulum senyum lembut.

"Akan aku lakukan, tapi aku butuh waktu untuk melaksanakan keinginanmu." []

Majalengka, 8 April 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top