Chapter 16 - I Trust
"Plis, sinyal ada...." Venchy berjalan ke sembarang titik ruangan di kamarnya dengan ponsel ia angkat dan goyangkan. Monitor menatap Venchy. Hanya layar putih. Barulah tampak beranda Yucub* menempatkan video anime yang ia tunggu di paling atas. Saat itu, sinual wifi baru muncul jika kembali berdiri di depan TV. Lebarlah senyumnya.
"Akhirnya!" Jarinya dengan lincah mengusap dan menekan layar. Muncul hasil pencarian menggunakan kata kunci 'materi bahasa Sunda kelas 11', disusul pemberitahuan pasal video anime yang update terbaru telah terunduh.
Namun, bunyi pintu yang tergebrak menghentikan kegiatan wajib Venchy. Melirik pintu yang tertutup, dalam benak ia ingin tahu kejadian di luar kamarnya, hingga jeritan mimi kos makin merayu Venchy untuk melihat peristiwa tersebut.
Menggenggam gagang sapu, ia membuka pintu dengan cepat dan mengacungkan ujungnya ke depan. Badan Venchy berdesir dingin, melihat sosok berwajah sama dengannya berbaring macam hewan sekarat. Luka bertebaran di sekujur tubuh dia, pun seragam yang kotor akan tanah dan coretan spidol.
"Vinci!" Ia ambruk menelentangkan jasad Vinci. Tangan menyelinap ke leher dan lutut agar gampang dibopong, kemudian membaringkan adik kembarnya di sofa butut. yang sering ia pakai untuk rehat, lengkap dengan bantal empuk yang baru saja ganti sarung. "Kenapa kamu bisa gini sih?"
Vinci tak menjawab, justru menutup muka sambil meringik. Alam sadar Venchy menjelajah sendiri, teringat kalau Uwel tak jadi pulang bersama Vinci.
"Ada pesan dari Vinci. Katanya dia mau pulang sendiri, takut kerjaan kita sampai malam."
"Benaran? Coba aku lihat."
"Ini."
Venchy menyipitkan matanya. Teringin memarahi diri sendiri tapi tak mampu. Kenapa ia tak curiga sedikitpun saat mengetahui bahwa pesan Vinci ternyata tipu muslihat? Menangis pun air mata tak keluar. Menjerit hanya berujung menganga tanpa suara. Pada akhirnya, Venchy tenggelam di atas dada bidang Vinci yang makin meringkuk mengeraskan erangan.
"Kenapa kamu bohongi aku, Vinci?" tanya Venchy dengan suara lemah. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Kalbu ini terasa diremas, ditumbuk hingga menjadi partikel debu. "Kenapa, Vin?! Kenapa?!"
"Sabar, Neng." Seseorang mengusap kedua bahu Venchy. Sedikit mendongak mempersilakan netra melirik lemah, mimi kos dengan alat pengeriting rambut di kepalanya bangkit ke dapur. Venchy tak menyadari mimi kos sudah memasak air.
"Mending Neng Venchy siapin baju buat dia, nanti Neng bersihin badannya." Dia datang membawakan segelas teh dan sebaskom air hangat dengan kaos milik Venchy di dalamnya. "Neng wayahna* sabar, jangan kasih pertanyaan sama Vinci, apalagi tadi Neng nanyanya pake marah-marah. Makin tertekan mental dia."
Venchy bangkit tanpa mengucapkan sepatah kata, berjalan sempoyongan mengambil kaos olahraga miliknya. Ia turuti instruksi mimi kos. Dia menemani Venchy membersihkan badan Vinci termasuk muka dengan pelupuk membengkak, memandang dingin bercampur jijik. Tak luput mengeringkannya sebelum dilumuri obat luar bagi luka lecet yang menampilkan titik putih kemerahan atau mengompres titik ungu dengan kantong es----mimi kos membawanya dari warung.
Sebab Vinci pula Venchy mesti menunda ritual me time sampai lelaki itu mulai tenang. Sesekali mengamati adik kembarnya yang memasang sorot mata kosong, ia bertanya pada mimi kos yang asyik melahap kue pukis dan menonton sinetron idaman ibu-ibu, "Mi, ini gimana cara bersihinnya?"
Wanita bersetelan daster kuning itu merebut seragam Vinci dalam cengkeraman Venchy, menilik setiap coretan di sana. "Wah, ini mah gak bisa dibersihin kecuali dianuin."
"Dianuin?" tanya Venchy terbelalak.
"Ada cara buat hilangin noda spidol di baju, Ven," kata mimi kos mengoreksi. "Nih seragam biar mimi yang cuci. Neng fokus urusi akang ganteng aja, belajar betul-betul juga." Lepas itu, dia keluar dari kamar Venchy.
Ia memperhatikan Vinci lagi. Dia masih mematung. Teh yang mimi siapkan untuknya tak dia sentuh.
"Kamu vak mau minum tehnya?" kata Venchy menawarkan minuman pembangkit mood. "Nanti keburu dingin."
Vinci tak buka suara. Tanpa merasa bersalah ia melabeli teh buatan mimi kos sebagai miliknya. Sisi kawah cangkir nyaris menempel dengan bibir merah dadu jika Vinci mulai menggumam tak jelas.
"Apa?" Venchy menaruh cangkir teh kembali, kemudian berjongkok menghadap Vinci. "Kamu pengen apa? Nanti aku belikan."
Vinci menggeleng dengan tatapan kosong. "Mereka...."
"Mereka?" Dahi Venchy sedikit mengerut. "Kenapa dengan mereka?"
"Mereka...." Yang keluar setelah demikian justru air mata. Tersayat hati Venchy melihat adiknya kembali menangis, maka ia menggenggam tangan Vinci kuat-kuat sambil mengecup punggung tangan dia.
"Apa mereka merundungmu?" Venchy terpaksa melontarkan kalimat bangsat yang terus tumbuh dalam hati. "Siapa yang merundungmu? Biar aku hajar mereka."
"Jangan!" Baju Venchy menjadi korban terkaman Vinci. Mukanya makin menyebalkan dengan mata berkaca-kaca dan alis enggan bertautan meninggalkan kesan buruk. "Aku gak mau Venchy terluka."
"Aku jauh lebih benci kalau kamu terluka," sanggah Venchy menatap intens. "Kalau aku biarkan, mereka dengan seenak jidat akan terus melukaimu, dan aku gak suka kamu kayak gitu."
"Tapi, Venchy----"
"Bilang saja padaku." Tampang muka Venchy melunak. Satu tangannya lagi merayap mengelus kepala Vinci. "Aku menjamin kita gak bakalan terluka, kalau kamu mau membiarkan aku menuntaskan masalahmu."
"Apa aku akan aman?" tanya Vinci meringkuk memperkuat genggaman tangannya. "Bagaimana kalau mama tau soal aku dari mereka yang membullyku? Aku gak mau mama cemasin aku."
Venchy terdiam sesaat. Ia edarkan pandangan ke sembarang arah. Mengingat wanita yang ia sebut ibu....
Venchy memaksakan senyum. "Jangan khawatir. Aku gak bakal bikin mama cemas. Yang penting sekarang kamu ceritakan siapa mereka dan kapan kamu dibully."
Vinci terkesiap sebentar sebelum akhirnya menggeleng lirih dan berkata, "Aku tak bisa ceritakan. Beri aku waktu untuk beristirahat."
"Oke...." Venchy dengan berat hati membiarkan Vinci tidur, memulai kembali ritual wajib yang ia lakukan setiap malam hingga dini hari. Akan tetapi sampai pukul 11 malam, baru saja mau mencatat materi dari video pembelajaran, konsentrasinya buyar begitu mudah. Lain hal Vinci yang telah terlelap dipeluk selimut.
Muncul dua cabang yang mampu memberi denyut nyeri di kepala. Satu sisi ia harus bisa mengikuti pelajaran besok, tapi ia juga risau seperti ibu yang gelisah kenapa Vinci tak pulang-pulang.
Teringin menelepon ibunda untuk mengabarkan bahwa Vinci akan menginap selama beberapa hari di kamar kos Venchy. Masa ia hendak menekan tombol untuk memulai panggilan, mendadak ragu kala sekelebat memori mengajak alam sadarnya menonton sebentar.
Teringat diri ini meringkuk dan menangis di ruangan tanpa barang apapun. Hanya kamar ukuran kamar mandi berlapiskan lantai dan jendela saja, dengan pagar besi warna hitam sebagai pembatas ruang.
Hal itu menerbitkan seringai miring.
"Persetan dengan mereka!" []
Hee, kok Venchy gak mau telepon ibunya? Apa yang terjadi sama keluarga Venchy?
Cerita tentang masalah Venchy dan ibunya gak bakal aku publish di sini karena takkan ada hubungan apa-apa dengan alur ceritanya yang fokus pada sekolah.
Revina_174
Majalengka, 5 Maret 2021
*:
-Yucub: Plesetan dari Youtube
-Neng: Panggilan ke perempuan seumur atau lebih muda dalam bahasa Sunda
-Wayahna: Mau gak mau/terpaksa (Bahasa Sunda)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top