Chapter 11 - Tentang Chia
17 Oktober 2021
"Kau yakin tak melihat Chia sebelum rapat OSIS?" Dua cangkir kopi tubruk tengah dimanja oleh pelanggan Oaks Cafe. Satu baru saja ditaruh, satunya lagi diputar dengan pelan.
Uwel mendesah pelan, membuang muka ke arah jendela yang menampilkan parkiran motor. Mereka terlihat menyilaukan diterpa sinar matahari. "Aku tak melihatnya. Begitu bel pulang, aku langsung ke ruang OSIS, tak keluar sekalipun."
"Aneh." Temannya yang berambut lurus dikucir ekor kuda merebahkan tengkuknya di kepala kursi, menengok rak berbingkai warna hitam dengan aneka ragam tanaman hias tiruan. Kafe dengan tembok berbahan bata dan dilapisi cat putih ini ramai dikunjungi orang meski harganya relatif mahal tapi masuk akal dengan suasana minimalis.
"Apa kau berpikir kalau Chia pindah sekolah?" Perhatian Uwel teralihkan, menatap dengan mata menyipit tajam. Uwel menjawab, "Kalau Chia memang pindah sekolah, pasti dia ada di sana saat aku rapat OSIS. Tapi seperti yang kau bilang, hanya motor yang kita temukan."
"Bisa saja waktu kau rapat, Chia sedang bertemu kepala sekolah untuk menyiapkan persyaratan pindah ke sekolahmu," sanggahnya mendesah lega setelah meregangkan tubuhnya.
Uwel baru saja meneguk kopi hitam. Rasa pahit yang memberikan aroma khasnya masih bersarang di rongga mulut. "Cukup masuk akal, mengingat aku dapat proposal dari kepala sekolah. Hanya saja aku tak menemukan keberadaan Chia, Jimo."
"Tepat sekali!" Jimo memantik jarinya. "Saat kau rapat, Chia baru masuk ke lobi untuk menemui kepala sekolah."
"Berarti dia tau keberadaanku?" Uwel terbatuk pelan.
"Mungkin?" Sang rekan mengangkat bahu. "Sebab Chia memarkirkan motornya di tempat motormu terparkir."
"Chia bukan tipikal barbar," kata Uwel menggeleng pelan, "dia akan barbar jika emosinya tak terkendali akibat hal-hal yang tak dia suka."
"Ayolah, Ketua." Jimo tertawa menghina. Ia mengeluarkan benda pipih di saku jaket, memperlihatkan video sosok bertopi hitam yang selesai menghajar dua orang di parkiran. Ada satu motor warna putih di antara motor hitam. "Kau tidak akan meragukan yang ini, kan?"
"Dari video yang kau rekam...." Uwel memicing dengan kerutan di dahinya. "Baiklah, agak masuk akal. Jika Chia sungguh pindah ke sekolahku, aku berharap dia tak satu kelas denganku."
"Ngomong-ngomong, kenapa kita diskusi soal Chia di sini?" tanya Jimo merogoh vape beraroma permen susu. Begitu diisap, kepulan asap beraroma manis ia embuskan di depan muka Uwel. "Padahal kita bisa bicarakan hal ini sambil merokok di markas."
"Aku ada janji temu dengan pengurus OSIS," jawab Uwel mengulurkan tangan, meminta satu isapan vape milik Jimo. "Aku bisa lupa waktu kalau bahas Chia di markas."
"Kau benar." Tawa kecil Jimo ditimpa asap vape.
Uwel bersandar dengan sebelah tangan melingkar kepala kursi dan menaruh vape ke meja, menengadah menatap keadaan di luar kafe yang ramai diterjang kendaraan roda dua. Uwel teringat dengan kejadian waktu itu, di mana gadis berkekuatan baja berhasil melumpuhkan banyak anggota demi menemui ia. Tatapannya mengingatkan Uwel dengan keseriusan Venchy semasa belajar di tengah diskusi di kantin.
"Apa aku harus memercayai omongannya?" Pandangan Jimo yang mengecek isi vape beralih pada Uwel dengan sorot mata malas. "Maksud Ketua?"
"Anggota geng darah hitam yang sekelas denganku," koreksi Uwel melemparkan lirikan kosong. "Mereka pernah bilang padaku tentang siswi baru yang memotret mereka saat merinding Vinci. Apa menurutmu...."
"Mungkin saja itu Chia," sela Jimo menyipit dingin.
Uwel mendesah panjang. Kalau memang siswi yang mereka maksud adalah Chia, mungkin hari ini juga Uwel bisa menemukan gadis itu. Namun seingatnya, di antara semua pelajar yang mengerubungi kelas MIPA 1, hanya satu siswi yang panik dan berusaha melarikan diri, yang tak lain adalah Venchy sendiri.
Tidak, Venchy mustahil melakukannya. Uwel menggeleng lemah, dengan alasan tengah memikirkan soal acara bulan bahasa di sekolah. Venchy baru bisa dicap 'tak boleh dicurigai', di mana saat misi rahasia berlangsung dia akan bertemu dengan Chia. Akan tetapi, Venchy mengalami luka-luka meski Chia tiada di tempat kejadian.
Apa mungkin Uwel lakukan misi rahasia lagi pada seksi dokumentasi?
"Mikir Chia jangan sampai berlarut-larut." Sejak kapan Uwel termenung, tapi ia terperanjat kaget. Uwel pun baru mendengar deru motor yang berhenti di parkiran. Dari pakaian mereka yang terkesan santai dan tas bervariasi, Uwel menduga bahwa itu tim seksi acara yang akan saling lempar pendapat di kafe ini.
"Kau boleh pergi sekarang, Jimo," ujar Uwel menghela napas panjang. "Tetap cari informasi tentang keberadaan Chia."
"Baik, Ketua."
****
Terik matahari yang panas sangat bagus untuk menjemur pakaian. Venchy kelimpungan saat mengangkat ember berisi baju setengah kering ke luar kamar kosan. Lail ada di sini hari ini, duduk bersantai di kursi plastik sambil menyelesaikan tugas membuat artikel. Ia sedikit risih, melihat sahabatnya bolak-balik dengan napas kelelahan.
"Ven, istirahat dulu lah," kata Lail mendongak mengamati Venchy yang keluar meregangkan pegal di pinggangnya. "Gue pesankan teh hangat, ya."
"Gak usah." Venchy terkekeh sambil mengembuskan napas lega. "Cuma kecapean sampai dibeliin teh hangat. Aku bisa tidur nanti."
"Tidur?" Lail mengernyit, matanya mengarah ke atas sekejap. "Emang lo selesai kerjain tugasnya?"
Kekehan Venchy menghilang, diganti tatapan penuh pertanyaan tanpa menghilangkan seringai konyol. "Ha?"
"Nah kan lo lupa sama tugasnya," cibir Lail mengerling malas. "Gue pesankan teh hangat, oke? Jangan bantah."
Gini nih kalau aku ajak Lail ke sini, batin Venchy berpaling menggigit bibir bawahnya. Dengan tarikan napas, ia mengiakan intruksi Lail, melanjutkan kegiatan menjemur pakaian. Sesekali mendongak memperkirakan cuaca di jam berikutnya. Sebelah kanan—tempatnya berdiri—awan mendung sudah bercengkerama, berencana merundung matahari.
"Bakal hujan nanti," gumam Venchy tersenyum pahit. Tangan kurusnya meraba pakaian dan selimut yang menggantung di jemuran. Decak kesal merutuki kegiatannya hari ini. "Lail!" Venchy menoleh, mendapati Lail yang baru saja meletakkan ponselnya.
"Nanti bantuin aku angkat jemuran kalau hujan!" Permintaan Venchy diterima dengan anggukan mantap dan acungan jempol. Lail ingin tahu setelah mendengar getaran ponsel Venchy di meja. "Ven, ada chat!"
Gadis dengan rambut dijepit asal itu berjalan cepat meraih benda pipih tersebut. Salah satu anggota seksi keamanan chat kepadanya secara pribadi. Venchy membacanya, "Ven, tadi aku udah bahas hasil diskusi tim seksi dokumentasi dan ketua OSIS, kami setuju dengan penempatan kami di beberapa titik untuk mengamankan jalur untuk keluar sekolah sebelum masanya. Asik! Kemudian, kami ada saran mengenai penempatan anggota seksi keamanan di beberapa titik perlombaan. Itupun bila kalian tak memaksa, mengingat saran tersebut kami berikan pada tim seksi acara."
"Kok minta persetujuannya ke seksi dokumentasi sih?" tanya Lail dengan nada sedikit meninggi, tak sengaja mendengar ucapan Venchy. "Itu kan bagian seksi acara."
"Aku baru aja mau bilang gitu," celetuk Venchy mencebik.
"Fix, kita satu pikiran." Lail bersandar meregangkan otot-otot tangannya dengan cara merentangkannya ke depan dengan kakinya sekali.
Tanpa menunggu persetujuan Lail, Venchy mengetik pendapatnya. Agak mirip dengan milik Lail, tapi tak apa selagi Venchy berpikir hal yang sama. Pesannya terkirim, tepat saat deru motor memasuki jalan menuju parkiran di kosan. Tak ada keanehan selain warna hitam yang mewarnai motornya, yang identik dengan geng darah hitam.
Lail langsung ke dalam, entah hendak berbuat apa. Lain halnya Venchy yang berkacak pinggang sambil menyipit dingin. Lail kembali dengan memakaikan kacamata ke sahabatnya. Mereka mengamati gelagat lelaki berambut ikal panjang itu dengan seksama.
"Apa menurut lo dia anggota geng darah hitam?" tanya Lail mencengkeram lengan kaos Venchy.
"Bisa saja," jawab Venchy bernada rendah.
Mereka mundur selangkah saat dia pergi ke warung di depannya, menyerukan 'mama' ke mimi kos—cara Venchy memanggil pemilik kos. Tentu mereka kaget. Batinnya serempak menjerit, mama?!
"Lo masih nekat balik sini, hah?" Wanita paruh baya dengan daster merah jambu keluar menggetok kepala pemuda itu dengam sendok sayur. "Gak ubah penampilan lo yang udah kayak kriminal! Pantes banyak yang gak betah sama kosan emak! Gara-gara lo!"
Benaran emaknya dong. Lagi-lagi mereka mengungkapkan hal yang sama dalam hati. "N-nah, Ven. Terpaksa hari ini sampai seterusnya, lo kudu pakai kacamata. Demi gak ketahuan sama mereka. Lo mesti hati-hati saat keluar rumah, atau membukakan pintu untuk tamu. Bisa saja kan tamunya salah satu anggota geng darah hitam."
Venchy tak langsung menjawab. Tangannya terkepal kuat. Hatinya mengatakan, ia harus mengikuti saran Lail. Demi tak diketahui geng yang menghancurkan hidupnya. Namun....
"Mau aku ketahuan atau tidak, aku tetap diburu mereka yang mengharapkan aku mati, Lail." Bila kalian bertanya apakah Venchy kebingungan, jawabannya adalah iya.
Mana yang harus Venchy pilih? Mengikuti saran Lail, atau mengikuti ucapannya sendiri? []
Majalengka, 23 Januari 2021
Wah, Venchy dikasih pilihan nih! Kalau kalian jadi dia, kalian milih yang mana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top