2. Intro [II]

Dre terbangun ketika terdengar suara bantingan pintu. Disusul dengan bantingan panci. Keributan untuk yang kesekian. Dre mencoba abai, menarik selimut, bermaksud melanjutkan tidurnya. Tapi suara berikutnya membuat dia melempar guling dan menendang selimut. Tergopoh-gopoh lari menuju pintu. Menemui sumber keributan, dengan nyawa belum sepenuhnya terkumpul.

Begitu pintu terbuka, Dre menghambur ke tubuh kecil yang tersungkur di lantai. Dia dekap erat-erat. Tangis lirih tertahan itu terdengar begitu dekat. Juga tubuh kecilnya yang gemetar.

"Heh, kamu masih anak kecil, berani-beraninya sama Bapak! Kamu mana bisa sekolah kalau bukan Bapak yang kasih duit, hah?!"

Dre mengusap lengan yang dia dekap, menuntunnya berdiri. Memutuskan untuk mengabaikan keributan di belakangnya dan membawa Amelia masuk ke lift.

"Itu anak hasil didikanmu. Lihat! Masih kecil dia menjadi pembangkang. Berani berteriak di depan bapaknya! Besar mau jadi apa dia?"

"Bapak yang kasih contoh itu ke Amelia. Bapak tolong berkaca, Amelia begitu karena dia lihat, dia ngerti kalau punya seorang Bapak yang kasar!" Sang Ibu membela, tidak terima anaknya dikatai seperti itu. Amelia belum sepenuhnya mengerti. Apalagi harus disalah-salahkan seperti itu.

Suara itu hilang ketika lift tertutup dan membawa keduanya turun.

"Bapak jahat."

Dre menoleh, meraih kepala Amelia dan membawanya ke dalam dekapannya. Seperti yang sudah-sudah, Dre hanya bisa membiarkan Amelia mengadu sambil tersedu.

"Bapak bisanya cuma mukul Ibu, Mbak."

"Kamu belajar yang rajin, biar bisa bahagiain Ibu ya."

"Bapak datang minta uang, berantakin lemari, ngerusak kue jualan Ibu."

Lift berdenting. Tiba di lantai basemen. Dre menahan pintu tetap menutup, membiarkan Amelia menyelesaikan kalimatnya. Hanya sebentar, semoga saja tidak mengganggu orang lain yang ingin menggunakan lift.

"Aku benci Bapak, Mbak."

Dre menghela napas pelan. Menatap dinding lift yang terlihat dingin dan angkuh. Dia tidak bisa menjawab hal yang justru pernah dia rasakan. Kebencian yang sama untuk alasan yang berbeda.

Tangannya bergerak untuk mengusap lengan Amelia. Memberi kekuatan sebisanya. Ketika Amelia terlihat mengusap pipi, selesai menangis, Dre melepas tangannya dari tombol lift.

Abaikan Dre yang masih mengenakan celana tidur panjang, tanktop putih dibalut cardigan hitam. Kena goda Bang Jepri yang baru membuka ruko, yang hanya dibalas decakan Dre.

"Mel, Mel, bentar." Bang Jepri menahan langkah mereka. Mengulurkan uang sepuluh ribuan. "Buat nambah uang jajan ya."

"Nggak usah, Om. Makasih."

"Nggak apa-apa, terima aja."

Amelia mendongak ke Dre yang dibalas dengan anggukan.

"Makasih, Om."

Mereka melanjutkan langkah. Ketika hendak menyeberang, Dre berpindah ke sisi kanan. Jalanan sedang padat-padatnya. Satpam sekolah saja kewalahan. Mana kendaraan yang lewat tidak mau mengalah. Mereka juga sedang mengejar waktu.

"Mbak, udah sampai sini aja. Aku bisa nyeberang sendiri." Amelia menolak Dre yang berniat mengantarnya hingga gerbang.

"Aku anterin sampai gerbang pokoknya." Dre hanya khawatir kalau anak ini kabur dari sekolah. Ya siapa tahu memang ada niatan begitu. Hanya jaga-jaga saja.

Sampai di gerbang, dengan ujung cardigan, Dre menghapus sisa air mata di pipi Amelia. Merapikan poninya yang mencuat. Menepuk-nepuk seragam sekolah yang sedikit kusut.

"Mbak Dre punya adik?" Pertanyaan itu tiba-tiba.

"Nggak."

"Kalau kakak punya?"

Dre terdiam.

"Mbak Dre mau jadi kakakku?"

"Mau."

Amelia maju untuk memeluk Dre. Erat. "Makasih, Mbak. Makasih banyak."

***

"Ada keributan apa, Mbak?"

Tiara enggan menjawab, dia hanya menarik lengan adiknya untuk segera masuk. Bertanya hal lain. "Udah sarapan, Nu?"

"Udah, Mbak. Bikin susu tadi. Aku cuma bentar ya, ngantar bubur ayam aja. Ada meeting setengah tujuh." Keanu meletakkan plastik putih di meja makan.

"Besok-besok sarapan karbo, Nu. Kamu kalau siang suka telat makan, nanti jadi maag."

"Iya, Mbak. Pamit." Sekilas memeluk bahu kakaknya. Tiara ingin balas mengacak rambut, urung, baru sadar kalau mereka sudah besar. Lagi pula, Keanu sudah dandan rapi berpomade, acakan gemasnya hanya akan merusak tatanan rambut adiknya.

Saat hendak melangkah ke lift, dia melewati pintu kamar nomor dua yang terbuka. Dia memelankan langkah, siapa tahu bisa menyapa Dre. Tapi sepertinya kosong, tidak ada orang. Ke mana?

Dre sedikit terkejut mendapati Keanu di depan kamarnya. Lelaki itu terlihat rapi dengan setelan kemeja dan celana bahan. Sementara dirinya masih bau bantal.

Dia merapatkan cardigan, menyapa lebih dulu. "Mau berangkat kerja, Nu?"

Tanpa sadar dia ikutan memanggil dengan penggalan 'Nu', seperti Tiara memanggil lelaki itu. Dre belum tahu selisih umur mereka. Mungkin tiga atau empat tahun? Semoga saja lelaki ini tidak tersinggung dengan panggilannya yang terkesan sok akrab.

"Iya. Habis dari mana?"

"Nganter ke sekolah."

"Oh. Anak kamu kelas berapa?"

"Kamu udah lama di sini?" Memilih untuk balik bertanya.

Keanu mengernyit bingung. Tapi tetap menjawab. "Baru aja. Cuma mampir bentar ngantar bubur buat Mbak Tiara."

Dre menoleh ke unit nomor enam—milik orangtua Amelia. "Aku habis antar anak sebelah."

"Oh." Keanu cepat paham. "Duluan ya. Sampai ketemu nanti."

Sampai ketemu nanti. Apa lelaki itu akan mengunjungi kakaknya larut malam nanti? Membuatkan nasi goreng spesial lagi? Dan apakah Dre akan diundang untuk bergabung lagi?

Eh. Pikiran macam apa itu. Dre menggeleng. Berderap masuk. Dia punya tumpukan cucian yang menggunung. Dan lagi, bisa-bisanya dia melantur. Paginya sudah cukup sibuk tanpa harus memikirkan hal-hal yang remeh.

***

"Nu, mampir!"

Keanu melangkah cepat. Tidak berhenti. "Nanti, Bang Jep. Gue ada meeting pagi."

"Semangat kerjanya. Dedek-dedek gemes rusun menunggu untuk dipinang!"

Mau tak mau, Keanu tertawa mendengar candaan itu. Melewati gerbang dan berbelok ke kiri, dia menyusuri trotoar sebelum menyeberang. Gedung kantornya ada di sebelah timur tower apartemennya. Cukup dekat. Hanya berjalan kaki lima menit sudah sampai.

Kantor tempatnya bekerja ada di lantai sepuluh. Sepagi ini, dia harus berdempetan di dalam lift bersama mbak-mbak cantik yang bekerja di klinik kecantikan. Tabah berada di antara parfum yang memenuhi lift. Kantor mereka ada di lantai sebelas.

Salah satu yang kebetulan mengenal Keanu, menyapa ramah. "Pagi banget, Nu? Opreknya maju ya?"

"Mau meeting dulu, Mbak."

"Oh."

"Misal aku resign, boleh masukin lamaran ke kantormu?"

"Boleh. Emang ada rencana resign, Mbak?"

"Ada, tapi masih dipikirin lagi. Telanjur nyaman sama temen-temen kerja, mau pisah kok berat."

Keanu mengangguk setuju. Pekerjaan memang seputaran; jobdesc, gaji dan teman kerja. Kalau kita merasa sreg dengan salah satu di antara ketiganya, maka ya aman-aman saja. Setidaknya kita masih punya alasan untuk tidak resign. Kalau dari kasus Arin, mungkin pekerjaan atau gaji yang kurang sesuai. Keanu tidak ingin mempertegas. Menganggap itu hal privasi.

Oke, lift sudah tiba di lantai sembilan. Dia terpojok di bagian belakang. Pastilah cukup canggung meminta jalan di antara para perempuan ini.

Lift berdenting, membuka di lantai sepuluh. Keanu mengucap permisi dengan nada sesopan mungkin. Dia juga berusaha, sebisa mungkin tidak menyenggol lengan mereka.

"Keanu." Arin menahan pintu lift tetap terbuka.

Keanu berbalik. "Ya?"

"Nanti siang aku traktir makan."

Terdengar gemuruh yang langsung teredam begitu pintu tertutup dan wajah Arin yang nampak merona sempat tertangkap matanya. Keanu hanya geleng-geleng.

***

Menyandang ransel hitam di bahu kiri, Dre menuruni tangga. Perutnya lapar dan kulkasnya kosong. Jadi dia berniat mampir ke warung Mpok Mumun. Sarapan di tempat. Dia memang terbiasa sarapan. Kalau urusan makan siang dan malam bisa dia tunda. Tapi masalah sarapan seperti sebuah kewajiban. Mungkin karena sejak kecil dirinya dibiasakan sarapan. Bunda tentu akan marah kalau sampai dia melewatkan sarapan.

Dan sekarang, tanpa Bunda pun, Dre tetap harus sarapan. Memang tidak akan ada yang mengomel, tapi sudah jadi kebiasaan saja.

"Mpok, nasi seperti biasa ya."

"Ambil sendiri aja gih. Tangan Mpok telanjur pegang sabun," sahutnya dari westafel yang menempel di dinding belakang warung.

Dre mengangguk. Mengambil piring, menyendokkan nasi dan beberapa lauk. Lantas duduk di meja dekat kipas angin. Warung cukup sepi. Penghuni rusun yang kebetulan tidak memasak, pasti sudah membeli sarapan sejak tadi. Kalau Dre memang sarapan sekalian berangkat kerja, biar praktis.

"Bapak ibuknya Amelia berantem lagi tadi?"

"Iya, Mpok. Kasihan aku sama Amelia."

Mpok Mumun menghela napas. Menoleh. Tangannya penuh sabun. "Ningsih nggak tegas. Kalau aku jadi dia, udah kapan tahu aku ceraikan si Budi."

"Ya, mungkin, cinta." Dre mengangkat bahu. "Atau demi masa depan Amelia, Mpok."

"Amelia pasti juga setuju kalau orangtuanya pisah."

"Aku pengin bujuk Tante Ningsih sih, Mpok. Tapi kok kayak nggak ada hak. Aku masih kecil, orang baru pula, disangkanya lancang nanti."

"Emang nggak mempan. Itu para penghuni lantai dua juga udah bosen nasihatin."

"Aku cuma bisa bantu jagain Amelia aja, Mpok. Nggak lebih. Itu pun kalau pas aku masih di rumah, kayak tadi."

Mpok Mumun selesai mencuci piring, dia mencari lap dan menyusul duduk di depan Dre.

"Mira belum balik?"

Dre berhenti mengunyah. Bosan mendengar pertanyaan serupa. Tapi tetap menjawab. "Belum. Kenapa, Mpok?"

"Kangen aja." Jawaban yang membuat Dre tersenyum. Mpok Mumun tidak rese seperti yang lain, yang kalau bertanya soal Mira pasti berujung nyinyir. Mira beginilah, Mira begitulah.

"Nanti aku sampaikan."

Mpok Mumun berjengit, mengibaskan tangan. "Nggak perlu, nggak perlu."

"Iya, pasti aku sampaikan."

Kalau refleks Dre jelek, dia sudah kena sabet serbet yang biasanya disampirkan di bahu Mpok Mumun itu.

***

"Mas, diminum tehnya."

Sarapan sudah usai beberapa jam yang lalu. Meja makan sudah dibersihkan. Dua anak sudah berangkat kerja dan sekolah. Tapi pagi ini, sang Ayah memutuskan untuk tidak masuk kerja. Memilih duduk di teras samping. Bahkan, jika bisa memilih pun, dia bisa berhenti berangkat ke kantor. Perusahaan sudah bisa berjalan sendiri. Dia cukup mengawasi dari rumah. Apalagi sekarang ada Biru. Anak itu bisa diandalkan dalam banyak hal.

Ainun balas tersenyum ketika suaminya mengatakan terima kasih lewat tatap. Dia tahu, sejak semalam tidur suaminya tak nyenyak. Tidak, bukan hanya semalam. Tapi sudah tiga bulan ini.

"Mas merindukan Audrey." Itu bukanlah pertanyaan. Ainun bisa menebaknya dengan mudah.

"Wajar, Nun. Aku lama-lama akan terbiasa."

"Mas sudah coba menemui Audrey lagi?"

"Sudah." Lalu mendesah. "Dia tetap keras kepala. Tapi mau gimana. Dia juga masih marah. Percuma mengajaknya bicara."

"Maafin aku, ya, Mas. Karena kehadiran kami di rumah ini, justru membuat Audrey pergi." Sebelum dirinya bergabung di teras ini, mudah saja menyimpulkan tanpa perlu bertanya, alasan yang membuat suaminya termenung di teras. Yang serta merta membuat Ainun kembali merasa bersalah. "Aku, Biru dan Jingga bisa di sini, menghabiskan waktu dengan Mas, merasa begitu disayangi. Kami, dengan sadar, berbahagia di atas sakit hati Audrey."

"Bukan, sama sekali bukan salah kalian, Nun." Adnan mengambil satu tangan istrinya untuk digenggam. Selama tiga bulan ini, jika rumah hanya menyisakan mereka berdua, obrolan tetap mengarah ke sana. Betapa Ainun yang selalu merasa bersalah dengan apa yang terjadi di rumah ini. "Akulah yang gagal menjadi Ayah untuk Audrey. Aku tidak bisa membuat dia bertahan di rumah."

"Kalau saja kita tidak menikah, Audrey masih di sini, Mas."

"Kamu menyesali pernikahan kita?"

Tatap lembut itu menatap sendu. "Bukan begitu, Mas."

"Nun, dengar. Suatu hari nanti, aku percaya Audrey akan pulang. Kita akan menjadi sebuah keluarga yang utuh. Untuk saat ini, Audrey hanya ...." Adnan tercekat. Mencoba tersenyum. Mencari kalimat yang tepat. "Dia hanya butuh waktu untuk berpikir dan menerima semuanya, Nun. Selain karena aku tidak bisa menahannya pergi, di satu sisi, aku juga melepasnya. Aku ingin Audrey menemukan caranya sendiri untuk menjadi dewasa."

Kembali tercekat. Bukan, bukan karena ragu. Dia yakin Audrey bisa bertahan di luar rumah. Meski hal itu tidak pernah ada dalam pikiran Adnan, bahwa dia harus membiarkan putri kesayangannya tumbuh dewasa bukan dalam pengawasannya.

"Dia memang manja, aku tahu. Semua keinginannya mudah terkabulkan. Hampir separuh hidupnya bergantung ke almarhumah bundanya. Tapi, aku salah. Dia tidak semanja itu. Dia anak yang kuat. Aku masih ingat bagaimana dia tetap tegar ketika jasad bundanya dikebumikan. Justru dia yang memelukku, Nun. Dia yang menenangkanku."

Terdengar helaan napas tertahan. Sesak menjalar di dada. Matanya berkaca. Suaranya bergetar. Genggaman di tangannya mengerat.

"Dan aku percaya, aku selalu percaya padanya, Nun."

***

A/N:

Udah bab 2 aja. Padahal draft tinggal bab 3 😭

Kamis, 27/02/2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top