Yang Paling Cantik
Yang Paling Cantik
Pagi itu, aku sedang berjalan-jalan di trotoar, melewati deretan gedung sambil menikmati segelas teh varian baru dan udara segar. Jarang sekali ada kesempatan menghirup udara segar di kota yang besar ini. Jadi, aku tak boleh melewatkannya. Pas sekali sedang hari libur. Omong-omong teh ini rasanya agak aneh, seperti daun teh hijau dicampur mint dan ada sedikit rasa anggur. Apa lidahku yang tidak beres? Tapi, enak juga.
"Hari ini mau ngapain, ya?"
Sembari berpikir tentang kegiatan selanjutnya, tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah selebaran. Belum sempat aku membacanya, orang berpakaian serba putih itu menarik tanganku masuk dan kemudian mendorong pundakku hingga nyaris menabrak meja resepsionis. Kasar sekali dia.
"Halo, silahkan dinikmati. Pintu masuknya di sana."
Belum sempat habis jengah, aku dibuat terperangah. Aku disodorkan sebuah keranjang anyaman berisi lima butir telur, plastik berisi susu, dan kotak plastik isi tepung. Apa ini? Maksudku, apa aku baru saja disuruh memasak?
"Ini untuk apa?"
Bukannya menjawab, dengan cepat pria itu memasang topeng di wajahku dan menaruh keranjang di pergelangan tangan. Aku bahkan tidak sempat menghindar dari seorang perempuan dengan seragam sama yang menarikku dari pria itu. Hei, kalian siapa berani menyeretku sembarangan seperti menarik seekor kucing?
Lagipula, kenapa aku diam saja, ya, diseret seperti ini? Padahal biasanya tubuhku akan refleks menghindar ketika ada teman yang mau menggandeng lengan atau memelukku. Aneh, rasanya seperti aku kehilangan kendali atas tubuhku.
Omong-omong, sepertinya lorong yang kami lewati panjang sekali seperti tidak ada ujungnya. Pemandangannya pun aneh. Seluruh dinding, lantai, dan langit-langit dicat hitam putih. Persis labirin pada gambar hipnotis di internet, ingat tidak? Bentuk gambarnya kotak-kotak hitam putih seperti papan catur. Ya, begitulah. Aku jadi pusing.
"Uh, aku mual."
Perempuan berseragam putih itu sontak menghentikan langkah. Wajahnya yang sebagian ditutup masker, menampilkan ekspresi hangat. Oh, dia tersenyum.
"Selamat melihat peragaan busana di dalam. Tepung tidak suka. Telur sedikit menarik. Susu yang terbaik."
Eh? Apa?
Perempuan itu membuka pintu di depanku. Gila, siapapun yang mengecat tembok di sini pastilah seorang profesional. Aku sama sekali tidak melihat ada pintu disitu. Kukira lorongnya masih panjang.
Cahaya di dalam terang sekali. Meski semua dinding dan furniturnya serba putih, entah kenapa tetap terlihat bagus. Seperti merasakan perasaan sesuatu yang murni dan tenang. Ternyata sudah cukup banyak penonton di dalam. Langsung saja aku duduk di kursi yang paling dekat dengan pintu masuk, pas sekali di situ masih kosong.
Oh, tunggu. Perempuan tadi bilang kalau ini adalah acara peragaan busana, ya? Boleh juga. Sudah lama sekali sejak terakhir melihat peragaan busana. Mungkin sekitar tiga tahun lalu? Entahlah. Kira-kira, musim fashion yang sedang tren apa, ya, sekarang? Apakah gaya retro? Gaya vintage? Atau malah gotik? Ah, sepertinya tidak mungkin.
Selagi asyik berpikir, lampu di ruangan semuanya mati. Gelap gulita. Sampai beberapa detik kemudian, lampu besar di tengah ruangan menyala. Sebuah panggung yang panjang muncul dari lantai. Canggih sekali. Dan, kurasa semua penonton mulai merasa tegang. Pandangan mereka begitu tajam menatap sebuah tirai yang baru muncul di ujung panggung.
Sepertinya sudah mulai acaranya. Tapi, apa tidak ada pembawa acara? Aneh sekali.
Sreekkk!
Tirai dibuka. Oh, itu dia! Peserta dengan nomor urut pertama berjalan dengan anggun di atas panggung. Gaun putihnya yang berbulu bergoyang seperti ombak ketika kakinya menapak. Begitu pula dengan rambutnya yang sangat cantik mengilap, persis seperti emas. Bagaimana dengan wajahnya? Tak perlu kusebutkan, hanya dengan sekali lihat orang akan tahu bahwa wajahnya begitu sempurna. Ah, dia seperti angsa putih berambut pirang. Cantik sekali.
Tunggu, ada yang janggal. Setiap langkahnya menyusuri catwalk, tak ada tepuk tangan meriah atau sekadar tatapan berbinar dari penonton. Sebaliknya, orang-orang yang duduk mengelilingi panggung dengan wajah ditutupi topeng, menatap sinis pada wanita cantik tadi. Bahkan, beberapa orang menggeram tidak suka. Baiklah, mungkin hanya aku saja yang menganggapnya cantik. Tapi, benar, kok, dia memang cantik.
Oke, sudah. Lupakan peserta pertama. Kita lanjutkan saja untuk peserta berikutnya.
Tak lama kemudian, seorang wanita berbalut pakaian ketat berwarna merah gelap muncul. Rambut indahnya disanggul dan diletakkan topi hitam besar di atas kepalanya. Pria manapun yang melihatnya pasti akan terpesona. Semua lekukan tubuhnya yang sempurna tampak, bahkan saking ketatnya gaun mini itu, belahan dadanya terlihat. Begitu menggoda. Cantik dan seksi. Aku sampai iri dengannya. Oke, tidak boleh iri. Semua perempuan memang cantik.
Lagi-lagi suasana hening. Kali ini beberapa orang bersorak tidak suka, bahkan ada yang melempari perempuan itu dengan telur. Apa yang dia lakukan dengan telur itu? Sayang sekali, padahal telurnya bisa untuk sarapan besok pagi.
Seingatku, tak pernah ada orang yang melempar telur ketika acara peragaan busana. Kalaupun seseorang tidak suka dengan model busananya, dia tidak akan melempar apa pun kepada peserta. Aneh sekali. Apa yang terjadi di sini? Tak tahan, kubaca selebaran yang dibagikan tadi. Benar, kok. Di situ tertulis 'akan diadakan acara peragaan busana, lihat dan tentukan pemenangmu'. Sudahlah, mari kita lanjutkan saja menonton.
Seorang perempuan muncul dengan gaya aneh. Rambutnya berantakan, gaun putihnya compang-camping dan penuh noda. Kakinya tidak mengenakan alas apapun. Demi apa pun, bahkan bau badannya tercium sampai tempatku yang duduk paling belakang. Hei, kenapa dia bisa ikut acara peragaan busana? Maaf, bukannya mencela, tapi peragaan busana itu bukankah panggung tempat seseorang memperlihatkan keindahan dan kemolekan?
Ketiga perempuan itu kini berdiri berjejeran dengan jarak satu meter. Cahaya lampu menyoroti ketiganya. Mereka masing-masing menunjukkan ekspresi aneh, yang satu teduh, satunya lagi angkuh, sedangkan lainnya seperti tertekan. Kurasa sudah saatnya kami para penonton memilih siapa yang paling baik di antara mereka.
Tapi, bagaimana caranya memilih?
Di tengah asyiknya berpikir, seseorang di sampingku berdiri dan melempar telur pada peserta kedua, dilanjut melempar tepung pada peserta pertama, dan melempar susu pada peserta terakhir. Kemudian, penonton lain pun menyusul, melakukan hal yang serupa. Sedangkan aku masih diam di tempat. Kejadian ini terlalu aneh. Lagipula, sayang juga telurnya kalau dibuang-buang. Boleh tidak, ya, kalau dibawa pulang?
Setelah beberapa lama. Para penonton berhenti melakukan aksi lempar-melempar. Menyisakan para peserta yang habis kuyup dan amis. Aku baru ingat perkataan petugas yang mengantarku kemari. Tepung tidak suka, telur sedikit menarik, susu yang terbaik. Sepertinya, pemenang ditentukan dari situ. Yang paling bersih dari lemparan telur dan tepung, maka dialah pemenangnya.
Jadi, bagaimana hasil akhirnya?
Sungguh, aku sama sekali tidak ingin mengakui, tapi kenyataannya persis di depan mata. Peserta paling akhir, paling berantakan, paling bau, dan paling... jelek. Dia pemenangnya. Di tubuhnya sama sekali tak ada tepung atau telur. Dia mandi susu.
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Dua peserta yang cantik dan seksi itu dibawa ke belakang panggung oleh petugas. Sedangkan, si buruk rupa—maaf, maksudku si cantik tapi kumal, dipakaikan tiara dari mutiara asli dan bingkisan uang tunai berbentuk angsa berwarna merah muda.
"Gila. Stress. Tidak waras."
Ini sebenarnya peragaan busana paling cantik atau paling kumal? Ya sudahlah, pelajaran baiknya, aku tidak boleh menilai sesuatu hanya dari tampilan luar. Bisa saja, kan, si kumal kita itu memiliki etika paling baik dibanding peserta lainnya, mungkin saja dia hanya kalah soal fisik dan penampilan. Entahlah. Hal bagus lainnya, aku dapat bahan menu masakan gratis dan tontonan menarik. Lumayan untuk mengisi hari liburku ini.
Omong-omong, aku jadi ingin membuat telur mata sapi, pancake, dan susu madu untuk sarapan. Jadi lapar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top