Mundane Virtual Reality

Mundane Virtual Reality


Karma baru saja menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi gaming, ketika aku melepaskan sepatu dan meletakkan benda itu pada alat khusus untuk menghilangkan baunya.

Cuaca di luar sedang sangat dingin, tetapi Karma tidak menyalakan pemanas ruangan. Dia terlalu sibuk dengan game VR-nya untuk menyadari bahwa suhu di sekitarnya menurun drastis, memang tak berguna.

Aku menghampirinya, melepaskan earphone yang melekat di kepalanya, "Kau sudah makan malam?"

Lelaki itu berdecak tak suka, tetapi dia tetap melepaskan kacamata VR-nya, memasang senyum palsu, dan memelukku erat. "Belum, Sayang. Aku menunggumu pulang dari kantor."

Dalam hati aku mendecih, kulepaskan pelukannya pelan-pelan dan bergerak menuju dapur. Aku menyukai rumah itu dan segala teknologi yang ada di dalamnya. Aku hanya perlu menekan beberapa tombol, dan voila! Makan malam siap.

Karma mematikan komputernya dengan satu jentikan jari, lalu bergerak ke dapur. Aku dapat melihatnya dengan jelas karena dinding dapur memiliki kaca transparan.

Hubungan ini menjadi lebih aneh daripada sebelumnya. Sejak banyak sekali hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia digantikan oleh mesin-mesin serbaguna. Karma berhenti dari pekerjaannya dan mulai sibuk memainkan game VR-nya, sehingga aku tak yakin dia masih hidup, atau sudah pindah ke dalam game itu. Memang, dia mendapatkan uang yang banyak dari sana, tetapi dia seperti kehilangan nyawa.

Seperti, bukan manusia lagi.

"Bagaimana pekerjaanmu?" Ia duduk di depanku, mengambil makanan yang sudah kusiapkan untuknya.

Kuperhatikan lagi wajahnya, aku sama sekali tidak mengenal Karma yang itu. Matanya cekung, lingkaran hitam di bawah matanya semakin pekat, wajahnya pucat, dan kendati aku tidak pernah terlambat memberinya makan, aku merasa berat tubuhnya semakin menyusut setiap hari.

"Baik," jawabku. "Ada proyek baru yang harus kukerjakan, dan ini proyek yang sangat besar."

"Proyek apa?"

"Aku tidak bisa membicarakan itu denganmu, Karma."

Dia baru saja akan menyuap makanannya ketika mendengarku mengucapkan namanya, dia berhenti seketika. "Karma?"

Aku menutup mulut, memandangnya dengan tatapan datar. Sementara dia memandangiku dengan tatapan seolah ada banyak hal yang ingin ia tanyakan padaku, tetapi ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.

"Aku mulai merasa kau menyesal sudah menikah denganku, Dara." Aku dapat merasakan kemarahannya, tahu persis bahwa dia tidak suka aku memanggilnya dengan nama.

"Jangan mulai lagi," balasku.

"Lalu, ada apa dengan Karma itu?"

"Hanya sedikit menguji efek game VR-mu itu, jelas agresivitasmu meningkat karenanya."

"Tidak ada hubungannya. Kau membuatku kehilangan selera makan."

Dia berbalik, memunggungiku, itu membuatku merasa harus tersenyum. Tetapi senyum itu lekas hilang begitu dia kembali memandangku, "Aku mencintaimu, Dara."

"Aku tahu."

Dia berdecak, kembali ke kursi gaming-nya sementara pemanas airku berbunyi. Setelah memindahkan air, aku meneruskan makanku.

"Jangan lupa makan apa yang sudah kusiapkan untukmu, berat badanmu semakin menyusut." Aku tahu Karma masih mendengarkanku meski dia berpura-pura sibuk dengan game-nya. "Masih belum terlambat jika kau ingin berhenti dari pekerjaanmu itu."

"Aku tidak pernah terlambat makan," sahutnya.

Saat itu aku sudah pindah ke ruang tengah, tidak jauh dari tempatnya bermain.

"Aku hanya mengkhawatirkan keadaanmu, Karma."

Dia melepaskan earphone-nya lagi. Kali ini aku bisa merasakan keresahannya. "Kau tidak pernah memanggilku Karma, kecuali kalau kau sedang marah. Kali ini, ada apa?"

Aku ingin kau berhenti menjadi manusia tidak berguna, Karma.

"Aku tidak suka kau bekerja dengan cara itu, berada di depan monitor sepanjang waktu, kekurangan waktu tidur, kau memangkas usiamu menjadi separuh."

"Sudah tidak ada tempat untuk laki-laki kecuali bermain game ini, Dara. Mengertilah. Aku tidak ingin kau bekerja keras sendirian, aku juga bekerja di sini."

Memang, memang itulah tujuan semua ini diciptakan. Para lelaki bodoh ini adalah proyek besar yang sejak tadi kubicarakan.

Dia hanya tidak mau bekerja di luar lagi, karena lebih aman dan nyaman mencari uang melalui game yang menyesatkan itu.

Karma terlalu sibuk memainkan semua game itu, yang semuanya adalah simulasi soal kekerasan fisik, dan para lelaki ini merasa dirinya sangat kuat karena mampu mengalahkan pemain lain di dalam game, mereka merasa memahami strategi perang dan berada di puncak kekuasaan, meski yang sebenar-benarnya terjadi adalah mereka dilumpuhkan oleh permainan itu sendiri.

Aku tahu persis hal itu, karena aku juga terlibat dalam perancangan game-game itu. Aku bekerja di perusahaan yang merancang semua itu, yang semua pegawainya adalah perempuan. Dan tidak satupun dari para laki-laki ini yang tahu bahwa kaum yang mereka anggap lemah, telah menemukan cara yang mudah untuk melumpuhkan mereka. Termasuk Karma, dia hanya tahu selama ini aku bekerja di luar, tanpa pernah tahu apa pekerjaanku sebenarnya.

Mereka disibukkan dengan game of fame, semakin mereka memenangkan game-game itu, mereka semakin akan dibayar tinggi. Semua penghasilan mereka itu akan digunakan untuk membayar biaya-biaya teknologi yang telah dirancang oleh para perempuan untuk memudahkan pekerjaan kami.

Tidak lagi ada perempuan yang pakaiannya bau asap karena memasak, tidak ada perempuan yang tangannya harus kasar karena mencuci, kami sudah lama berhenti dari semua pekerjaan rumah tangga, karena semua teknologi itu mampu menggantikan kami.

Sementara para lelaki itu terus tenggelam dalam dunia virtual mereka yang kini menjadi lebih lumrah di mana-mana. Sistem pemerintahan kini dipegang oleh perempuan, bahkan para laki-laki itu tidak juga menyadarinya.

Proyek besar yang kukatakan padanya tadi, adalah menyempurnakan game simulasi itu agar para lelaki kehilangan waktu tidurnya, semakin lama menghabiskan waktunya di depan layar, dan jelas hal itu akan meningkatkan angka kematian mereka. Para lelaki egois itu akan segera musnah dari muka bumi.

Semula aku merasa puas, karena Karma tidak lagi harus keluar rumah dan tergoda oleh perempuan setan di luar sana. Aku juga senang karena dia akan mati pelan-pelan akibat game sialan itu. Aku benci pecandu game, akan lebih baik jika mereka mati lebih cepat.

Namun, hari ini, setelah melihat Karma dengan perasaan yang hampa, aku merasa telah berlaku sangat jahat kepadanya. Aku ingin dia berhenti dari semua itu, walaupun dia harus menjadi beban seumur hidupku karena tidak bekerja, tetapi dia sama sekali tidak menyadarinya.

Dia malah berpikir aku marah padanya.

Kukira aku sangat membencinya karena dia tukang selingkuh di masa lalu. Kupikir aku akan bahagia jika dia mati di atas hobinya yang menyesatkan itu, tapi ternyata aku sangat mencintainya, sehingga tak ingin melihatnya mati cepat.

"Kau tidak perlu bekerja lagi, jika proyekku berhasil, setelahnya kita bisa hidup bertahun-tahun tanpa perlu bekerja lagi. Berhentilah memainkan game itu, Karma."

Tidak ada jawaban.

Aku menoleh padanya, dan mendapati hidungnya berdarah.

Meski seluruh tubuhku mulai bergetar karena firasat yang buruk, aku tetap memaksakan diri untuk mendekat padanya, melepaskan earphone yang tergantung di lehernya. Bukan hanya hidung, tapi telinganya juga berdarah.

Tidak, tidak secepat ini!

Aku segera membawanya ke rumah sakit terdekat, yang sudah barang tentu semua dokter dan stafnya adalah perempuan. Mereka bahkan terkejut melihatku panik membopong Karma menuju ruang gawat darurat.

"Kau tidak perlu berpura-pura, Dara. Dia tidak bisa melihat jika kau tertawa, dia sudah mati," Leonor berbisik di telingaku.

Meski begitu, dia tetap membiarkanku membaringkan tubuh Karma di atas brankar.

"Seperti yang kukatakan padamu tadi, dia sudah mati."

"Ayolah, Leonor, kau harus memeriksanya dahulu. Dia tidak akan mati secepat itu," ujarku, berusaha mengucapkannya dengan tenang, meskipun aku sudah putus asa.

"Perkiraanku, dia tidak tidur sejak kau pergi. Berapa lama kau meninggalkan rumah?"

"Dua minggu. Aku sibuk mengembangkan game simulasi itu."

"Selama itu pula dia sudah tidak tidur."

Aku membatu. Hampa, hancur, dan bingung.

Leonor menepuk pundakku. "Selamat, Dara. Misimu berhasil."

Aku tidak tahu bahwa memenangkan keegoisan terasa semenyakitkan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top