Maaf, Aku Cemburu
Oke. Sebagai seorang anak yang bahkan dibuang dikala masih berumur beberapa hari, kehidupan sudah menjadi suatu anugerah buatku.
Pastinya hidupku berbeda dengan anak-anak lainnya yang ada di kota ini, sedari awal saja sudah berbeda. Dan sisi baiknya, aku jadi tidak terlalu banyak berharap. Mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua angkatku saja sudah aku masuk dalam kategori kemewahan. Bahkan meski tiap hari Minggu Mama selalu menyuruhku untuk menemaninya memasak kue yang sialnya selalu saja gagal, aku tidak pernah merasa bila itu hal yang sia-sia.
Delapan belas tahun hidup bersama dua orang yang tidak pernah lelah memberikan perhatian mereka padaku, mengapa aku harus menggangap sebuah kegagalan sebagai sesuatu yang sia-sia?
"Aku penasaran, bagaimana bisa seorang diusiamu bisa sebijak ini?" Aku tersenyum, bukan sekali atau dua kali sebenarnya, sudah sedari lama aku mendapatkan pertanyaan itu.
"Ini semua butuh proses, kita semua pasti mengalaminya, hanya mungkin aku saja yang terlalu cepat." Dan semakin sering pada semakin naiknya jenjang pendidikan belum lagi aku berada pada generasi serba tutorial dan tips and tricks.
Tidak menyalakan orang tuaku juga begitu.
"Semuanya jadi serba mudah sekarang, kalau jaman Mama dulu apa-apa masih harus cari sendiri. Dulu saja waktu kami masih bayi, Mama harus bolak-balik menelpon Oma hanya karena kamu tiba-tiba demam."
Dua orang yang selalu memperjuangkan diriku dalam kondisi apapun. Rasanya tidak pantas bila aku menuntut banyak pada mereka disaat mereka sama sekali tidak menuntutku. Cenderung bersikap bebas bahkan mendorongku untuk melakukan banyak hal tanpa perlu meminta persetujuan mereka, termasuk untuk mencari kedua orang tua kandungku.
Hal yang mungkin tidak akan pernah aku ingin lakukan.
"Kuliahnya lancar?" Mama bertanya seperti biasa tiap kali kami hampir menyelesaikan makan malam. "Kamu masih melanjutkan bisnismu sebagai mak comblang?"
Aku melirik sesaat pada Bunda yang masih fokus dalam menghabiskan makan malamnya tanpa ingin ikut bertanya. "Iya, semuanya baik. Pekerjaan di tempat les juga lancar."
Bisnis mak comblang ini sebenarnya juga terjadi secara tidak sengaja. Bermula dari diriku yang mendapatkan nilai sempurna pada beberapa mata kuliah dan membuat sekitar lima orang teman sekelas memintaku untuk mengajari mereka. Dengan senang hati aku tentu melakukannya, dengan jam kuliah yang tidak begitu padat pada hari Selasa, hitung-hitung bagiku untuk kembali memperdalam materi. Namun bila ada yang menawarkan diri untuk membayarku, kenapa aku harus menolak?
Hidup ini tidak gratis. Kuliah butuh uang. Meski uang hasilku membuka les kecil-kecilan itu tidak seberapa, setidaknya bisa menghemat uang jajan.
Yang semula hanya terpusat pada lima anak, sedikit-sedikit mulai bertambah kala kehadiran privat kecil-kecilan itu terdengar bahkan hingga ke telinga adik tingkat.
Membuat wajahku secara otomatis dikenal oleh banyak mahasiswa di kampus. Tidak jarang juga ada anak SMA yang ikut dalam satu atau dua pertemuan sekedar untuk bertanya tugas. Aku sudah pasti memiliki banyak relasi.
Dan lagi-lagi ada oknum yang ingin memanfaatkan diriku guna mendekatkan dirinya dengan sang pujaan hati, mungkin?
Mulanya aku hanya akan membocorkan terkait data diri yang bersangkutan dan kelas mata kuliah apa yang mungkin aku bantu untuk tangani. Aku tentu tidak bodoh dengan menerima sembarangan mahasiswa tanpa biodata yang jelas. Mereka setidaknya harus melengkapi portofolio guna membuatku mudah dalam mencari mereka sewaktu meminta bayaran atas jasa yang aku tawarkan.
Dari yang semula satu oknum, menjadi beberapa oknum. Lalu dari beberapa oknum itu, pastilah ada juga yang gagal.
Dan bisa ditebak. Otak bisnisku dengan segera beralih dari mak comblang menjadi konsultasi hati.
Jenius bukan?!
Ting. Tong.
"Tamu?" Aku berucap sambil merasa aneh. Tidak biasanya ada yang mengunjungi rumah kami. Tidak mungkin juga rekan kerja Mama atau Bunda, keluarga kami memegang teguh prinsip untuk tidak membawa urusan pekerjaan hingga ke rumah. Kalau pun ada biasanya rekan kerja keduanya akan datang secara kekeluargaan pada akhir pekan.
"Biar Bunda yang buka," ucap Bunda yang kebetulan saja sudah menghabiskan makan malamnya. "Sayurannya jangan lupa dimakan," ucapnya kala berdiri sambil melirik piringku.
Aku berucap pelan pada Mama. "Ma, ini bukan besok bukan Jumat Kliwon, kan?"
"Jangan nakut-nakutin," ucapnya. "Lagian bundamu lebih nyeremin daripada setan, kok."
"Ih. Kok jahat sih, aku laporin Bunda lho."
Meksi begitu aku tidak benar-benar melakukannya, saat Bunda kembali aku justru fokus untuk segera menghabiskan makananku seperti pesannya. Ucapan Mama memang tidak salah, Bunda memang lebih menakutkan dari setan.
"Ada siapa Bun?" tanya Mama yang merasa menang.
"Entah, anak laki-laki dia bilang nyari Yesa." Ha? Aku?
"Anak laki-laki? Pacarnya Yesa ya?"
Secara spontan aku berdiri, berucap maaf sambil membungkukkan kepala seakan telah melakukan kesalahan meski baik Mama maupun Bunda sama sekali tidak merasa terganggu.
"Bunda suruh dia parkirin motornya tadi, mungkin sekarang lagi di teras."
"Yesa kalau punya pacar besok diajak aja sering-sering ke sini."
Jika aku benar memiliki pacar mungkin aku tidak akan sepanik ini.
Masalahnya aku tidak punya. Menggelikan bukan untuk seorang mak comblang?
Jadi siapa si pemuda ini?
Pikiranku sudah dipenuhi banyak kemungkinan buruk dengan kedua tangan terkepal siap memberikan tinju selayaknya yang diajarkan Bunda tiap kali terdesak. Namun itu semua seketika runtuh kala melihat cengiran bodoh pemuda yang badannya hampir basah kuyup oleh hujan. "YAK! SIALAN SAHA!"
Dan teriakanku sudah pasti terdengar hingga dalam rumah. "YESA! BARU PACARAN KOK MAIN KDRT!" Sudah pasti itu suara Mama dengan sedikit tawa.
Terbayang sudah habis ini aku akan jadi bulan-bulanan Mama.
Di antara kedua orangtuaku aku memang lebih dekat dengan Mama meskipun sikapnya kadang menyebalkan, namun sejalan dengan prinsip dimana kutub yang berbedalah yang akan saling tarik-menarik, kepribadianku secara hampir sempurna meniru Bunda.
Yang mana sama-sama berusaha untuk melindungi Mama yang entah bagaimana bisa menjadi orang terbaik hati yang pernah kami temui.
"Ada apa? Dapat alamat rumahku dari mana? Bukannya tadi kita bikin janji bakalan bahas masalah kamu besok setelah kuliah pagi? Kalau seenaknya begini apa menurutmu aku mau bantu? Bisa menghargai privasi orang lain tidak?" Aku memberikan banyak pertanyaan bukan tanpa sebab. Masalahnya, seperti Bunda, aku tidak suka kala ada seorang asing yang tiba-tiba saja menyelonong masuk begitu saja pada kehidupanku. Rumah itu tempat istirahat, apa gunanya tempat ini kalau orang-orang seperti Saha dapat dengan mudah mengetuk pintu dan menyelonong seakan tidak memiliki dosa?
Lain halnya Mama yang dengan senang hati menyukai wajah-wajah baru untuk dilihat. Cuci mata karena bosan melihat wajahku dan Bunda, katanya. "Sama pacarnya yang ramah, jangan seperti penagih hutang gitu," ucapnya yang datang sambil memberikan teh hangat bagi yang tidak aku anggap sebagai tamu.
Mengabaikan Saha yang berucap terima kasih. "Yesa bukan pacarnya, lagian dia juga masih hutang biaya untuk menuliskan surat cinta buat gadis yang dia taksir."
Saha enggak suka aku. Mustahil juga sih, karena kami bahkan enggak pernah saling berbicara meski selalu berada di kelas yang sama.
Baru beberapa hari lalu dia tiba-tiba berbicara padaku, untuk sekelas anak yang benar-benar jenius dia tentu tidak datang untuk mengambil les. "Bisa bantu aku membuat surat cinta?"
Dan kalian tahu apa reaksiku pada saat itu. "Kamu norak banget, sih."
Oke, mungkin itu romantis.
Tapi ayolah, jaman sekarang, anak muda mana yang mengungkapkan perasaannya lewat surat yang dikirim lewat pos?
Buang-buang uang juga.
Meski begitu karena uang juga aku mengambil tawaran itu. Hanya menulis sekitar empat paragraf berdasarkan apa yang pemuda itu deskripsikan terkait seperti apa cara dia menatap gadis yang ditaksir hingga pada perasaannya sendiri. Aku bahkan sampai harus turun tangan berkenalan dengan gadis itu yang sialnya sudah punya pacar.
Sialan, karena Saha sudah mengetahui itu. "Kau ingin aku mendukungmu jadi perusak hubungan orang?"
Dan konyolnya Saha justru menjawab, "aku memang tidak berniat mengirimkan surat itu."
"LALU BUAT APA BODOH?!" Hari ini kami terlibat sedikit perdebatan di kampus dan daripada memukulnya atau mengumpatinya aku memutuskan untuk pulang lebih dahulu dan berjanji akan kembali membahas hal ini besok.
Bagaimana aku tidak merasa sebal terhadap Saha yang sepertinya memberikan kesan pertama seperti seorang yang berpikir bila semuanya bisa diselesaikan dengan uang. ORANG TUAMU KAYA YA?!
Tidak salahkan bila aku merasa sebal? Dengan latar belakangku yang kemungkinan besar dibuang karena masalah ekonomi.
"Bukan Faras yang aku taksir." Oh, hal konyol apa lagi ini.
Empat paragraf surat cinta yang aku buat susah-susah itu kini benar-benar sia-sia. Hal yang bahkan sempat aku kira menjadi mahakarya pertama yang pernah aku buat itu kini tidak lebih seperti barang konyol karen ulah Saha.
"Kau bukan hanya buang-buang uangmu tapi juga buang-buang waktuku." Aku bahkan menghabiskan dua jam mata kuliah hanya untuk berada di kelas yang sama dengan Faras guna bisa mengetahui gadis itu secara langsung.
"Aku menyukai Sam."
Tunggu. Tunggu sebentar. Sam? "Pacar Faras?!" Aku seketika saja berteriak karena terkejut.
Oh, jadi inikah alasan mengapa Saha tidak bisa menuliskan surat cintanya dengan lancar. "Dan saat membaca surat cintamu, kau yakin bila kau tidak sedang jatuh cinta dengan Faras?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top